Jumat, 29 April 2016

Konstitusionalitas LGBT

Eksistensi pemberitaan kaum homo dan lesbi semakin masif, setelah Amerika mengesahkan pernikahan sesama jenis, kini giliran Indonesia dituntut agar melakukan hal yang sama.

Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transeksual tergolong merupakan fenomena lama di Indonesia, jumlah dan intensitasnya semakin hari semakin besar. Adalah aneh menyaksikan paham LGBT bisa berkembang dan bertahan di bumi nusantara, mengingat mayoritas penduduk Indonesia memeluk islam sebagai agama kepercayaan.

Dalam Asy-Syuara: 165-166, Allah berfirman “Mengapa kamu mendatangi jenis laki-laki di antara manusia - dan kamu tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampui batas”

Meski di Indonesia tidak semua beragama islam, namun penghormatan terhadap suara mayoritas adalah inti dari demokrasi. Selain itu tidak ada satupun agama Indonesia yang merestui tindakan LGBT, apalagi sampai harus menikah dengan sesama jenis.

Kaum LGBT berpendapat bahwa Setiap manusia diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri jalan hidupnya, menentukan sendiri identitasnya, termasuk orientasi seksualnya. Hal ini mereka anggap urusan pribadi warga negara, dan tidak dapat dicampuri oleh negara. mereka pikir bahwa HAM adalah Hak Azazi yang tidak dapat dicabut oleh negara dalam keadaan apapun. Mereka lupa bahwa pemberlakuan HAM pun di Indonesia mesti menghargai hak azazi orang lain, peraturan perundang-undangan, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Hal ini secara tegas diatur dalam pasal 28 J ayat (1) “Setiap orang wajib menghormati hak azazi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Dan pasal 28 J ayat (2)”Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dalam undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, kemanan, dan ketertiban umum dalam suatu mayarakat demokratis”

Selama pasal ini masih tertulis dalam lembar Konstitusi Republik Indonesia, sampai saat itu, LGBT beserta pernikahan sesama jenisnya tidak akan mendapat tempat dalam masyarakat Indonesia, LGBT dalam pandangan moralitas adalah sebuah bentuk penyimpangan moral yang secara kasar terus membentur norma-norma agama, dan adat istiadat yang ada di Indonesia. kehadirannya dianggap sebagai bentuk penyakit yang dapat merusak mentalitas anak bangsa.

Pemerintah dalam hal ini akan mengkaji dan memfilter pemberlakuan hak azazi manusia menjadi hak azazi warga negara sebagaimana menurut Bahder Djohan Nasution dalam “Negara Hukum dan hak Azazi Manusia” guna menyelamatkan kedudukan nilai-nilai pancasila dalam setiap denyut peraturan perundang-undangan.

Kaum LGBT beranggapan bahwa lesbian dan gay bukanlah merupakan sebuah penyimpangan sosial, oleh sebab itu segala bentuk deskriminasi terhadap kaum mereka segera dihapuskan, termasuk pelarangan perkawinan sesama jenis. Mereka tidak sadar bahwasanya deskriminasi pun secara kritis dilegalkan namun dibatasi oleh pancasila, hanya ketentuan yang tidak sesuai dengan ideologi negara saja yang dapat dideskriminasi, deskriminasi disini dilakukan bukan karena penyimpangan orientasi seksual beberapa orang belaka, tetapi lebih kepada penegakan nilai-nilai morallitas, ketuhanan, dan kemanusiaan yang terkandung dalam pancasila.

Pancasila menurut Hans Nawiasky sebagai staat fundamental norm atau norma dasar penyelanggaran negara, atau Philosofische Groundslag sebagai sebuah sistem filasafat yang mendasari setiap pengambilan keputusan hukum dalam sebuah negara. Karena pancasila adalah sebuah pandangan hidup berbangsa dan bernegara, serta merupakan penjelamaan dari kepribadiaan suatu bangsa, maka tidak berlebihan jika pancasila berfungsi untuk menjaga status, kedudukan, kehormatan, dan kesopanan budaya dan kondisi sosial serta psikis masyarakat Indonesia dari bahaya laten LGBT.

Memang demokrasi berbicara soal kebebasan warga negara dalam menjalankan kehidupannya. Namun kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan yang dikristalisasi dari rakyat setempat, bukan kebebasan yang diambil sesuka hati dari negara lain. Demokrasi kita bukanlah demokrasi yang berdiri atas kepentingan individu, namun demokrasi yang berbasis kolektivitas dan berasas kekeluargaan.

Perkawinan yang sah tidak hanya bicara soal kasih sayang, perkawinan yang sah menurut hukum negara adalah perkawinan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan untuk mencapai kehidupan yang bahagia berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Jika kaum LGBT beranggapan perkawinan merupakan urusan pribadi, maka menurut Undang-undang Perkawinan, perkawinan adalah tidak hanya hubungan antar individu, melainkan juga hubungan antar keluarga, suku, dan marga.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar