Minggu, 01 Mei 2016

Kepala Daerah Milik Siapa?

Kepala Daerah Milik Siapa?

OLEH SONY GUSTI ANASTA




Pemilihan Kepala Daerah baik provinsi maupun kabupaten/ kota memiliki dampak strategis terhadap rencana perkembangan suatu daerah. Setiap keputusan yang diambil merupakan pandangan dan cita-cita kepala daerah ke arah mana suatu daerah hendak dibawa.

Sejauh ini pemilihan kepala daerah melalui pemilihan umum langsung oleh rakyat yang berlaku sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 mendapat sorotan tajam. 10 tahun berlakunya rezim pemilu dalam pemilihan kepala derah ternyata tidak terlalu memberikan dampak yang signifikan kepada masyarakat di daerah. Muncul persepsi apakah lebih baik jika pemilihan kepala daerah dikembalikan kepada DPRD?

Alur Normatif 
Berkenaan dengan pemilihan kepala daerah, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam pasal 18 ayat (4) mengatur bahwa  Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis “

Kata-kata “dipilih secara demokratis” menimbulkan ambiguitas. Apakah “demokratis” berarti dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum, ataukah “demokratis” juga berarti dipilih oleh lembaga perwakilan rakyat (DPRD).

Dalam naskah komprehensif Mahkamah Konstitusi yang berisi risalah-risalah persidangan amandemen konstitusi 1999-2002 yang saya unduh dari website resmi MK mengatakan bahwa, alasan pembentuk undang-undang dasar meredaksi “dipilih secara demokratis” agar memudahkan bagi DPR untuk mengatur pemilihan seperti apa yang sesuai dengan situasi dan kondisi NKRI nantinya. Pasal tersebut sengaja dielastiskan sebagai landasan bagi wakil rakyat untuk mengatur lebih lanjut melalui undang-undang.

Namun dalam pasal 22e ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jelas mengatakan bahwa “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali” dan pasal 22e ayat (2) “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”

Dari pasal diatas ada sebuah konklusi bahwa pemilihan umum hanya dilakukan 5 tahun sekali. Dan pemilihan umum pun hanya dilaksanakan untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD. Tidak untuk kepala daerah. Dengan demikian saya berasumsi bahwa ketentuan pasal yang berisi kata “diilih secara demokratis” adalah pasal mubazir. Karena mau tak mau, sealur dengan definisi pemilu itu sendiri, ketentuan pemilihan kepala daerah harus melalui DPRD.

Aspek Teoretis 
Mengembalikan kewenangan DPRD dalam memilih kepala daerah akan menguatkan asas “Check and Balance”. Kepala daerah yang terpilih, secara subordinasi akan bertanggung jawab terhadap parlemen. Berbeda jika kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat, dimana ia langsung bertanggung jawab kepada publik/ rakyat. Yang mana kata “publik/ rakyat” multitafsir, tidak jelas, dan tidak terlembaga, sehingga menurut saya hanyalah berupa tata kata pencitraan dan lebih mengarah kepada “lips service” belaka.

DPRD yang mana didalamnya terdapat banyak kepentingan, mau tak mau akan dipaksa bersikap objektif dalam menilai kinerja kepala daerah. Sehingga program kerja yang telah dibuat dan dianggarkan dapat benar-benar dipertanggung jawabkan secara akuntabel.

Fakta Empiris 
Djanedri M. Gaffar sekjen Mahkamah Kontitusi dalam tulisannya di harian Seputar Indonesia (6/9/2010) menyampaikan bahwa ada beberapa penyebab mengapa bangsa Indonesia harus memikir ulang sistem pemilihan kepala daerah lewat pemilihan langsung oleh rakyat.

Yang pertama pemilihan kepala daerah secara langsung selalu disertai konflik masyarakat. Mulai dari tahap pencalonan hingga sampai fase pasca-pemilukada. Konflik memang merupakan bagian dari demokrasi, tetapi konflik yang berkepanjangan tentu sangat merugikan dan mencederai makna demokrasi itu sendiri. Seperti yang terjadi di Kerinci, Palembang dan beberapa daerah konflik lainnya.

Kedua, politik uang selalu “terendus” dalam setiap pelaksanaan pemilukada. Politik uang (money politics) yang sejatinya merupakan kasus suap-menyuap telah bergeser menjadi sebuah kewajaran.

Akibat dari politik uang ini, suara rakyat jadi tergadai. Calon yang terpilih belum tentu calon yang benar-benar ideal dan dikehendaki rakyat. Karena merasa sudah “membeli”suara rakyat, Kepala Daerah merasa tidak ada hubungan lagi antara dirinya dengan rakyat pemilih.

Politik uang mengakibatkan pelaksanaan pemilukada menjadi sangat mahal bagi pasangan calon. Apalagi jika harus dilakukan dalam 2 putaran. Padahal, seharusnya pemilihan kepala daerah mesti dilaksanakan secara sederhana dan biaya ringan.

Ketiga, walaupun telah dilakukan pemilihan kepala daerah secara langsung, ternyata hal itu tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan dan kemajuan daerah yang bersangkutan. Hal ini sejatinya kontaradiktif dengan alasan DPD saat pembahasan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dimana DPD saat itu berpendapat kalau kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat dapat lebih meningkatkan kesejahteraan daerah yang bersangkutan,  Karena lepas kepentingan dari DPRD.

Namun faktanya, tidak banyak daerah yang mengalami peningkatan kesejahteraan dan kemajuan secara signifikan. Beberapa daerah memang mengalami kemajuan cukup fenomenal di bawah kepemimpinan kepala daerahnya, tetapi lebih banyak lagi yang jalan di tempat.

Keempat, data dilapangan menunjukkan bahwa di era otonomi daerah semakin banyak kasus korupsi yang terjadi. Kepala daerah yang dipilih secara langsung tidak memiliki dampak terhadap upaya pemberantasan korupsi. Alih-alih memberantas korupsi, ternyata banyak kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Terakhir, Mei 2014 Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Djohermansyah Djohan mengatakan sebanyak 325 kepala daerah sudah terjerat kasus tindak pidana korupsi, baik yang sudah menjadi narapidana, maupun yang masih berstatus tersangka.

Keempat fenomena di atas memunculkan gagasan untuk mengubah cara pemilihan kepala daerah kembali melalui DPRD. Namun bertentangan dengan itu, ada yang berpendapat bahwa mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD adalah langkah mundur. Pemilihan kepala daerah oleh DPRD dipandang akan mengebiri hak rakyat, karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang ratifikasi International Covenan on Civil and Political Rights.

Di sisi lain ada yang beranggapan kalau kepala daerah hanya ditentukan oleh anggota DPRD juga tidak akan menutup kemungkinan terjadinya (money politics). Pemilihan kepala daerah oleh parlemen daerah juga berpotensi melahirkan konflik, apalagi jika kepala daerah yang terpilih bertentangan dengan harapan rakyat.

Alhasil, melahirkan kepala daerah yang jujur, bersih, dan berkompeten, serta memihak kepentingan rakyat tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Perlu sistem dan pengaturan yang tidak hanya berfungsi untuk merangsang kepala daerah  berkerja secara optimal, tetapi juga sistem yang bisa mencegah agar pemerintahan tidak dikuasai oleh sebagian orang (oligarchie politics). Wallahua’lam Bishawab.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar