Kepala Daerah Milik Siapa?
OLEH
SONY GUSTI ANASTA
Pemilihan Kepala Daerah baik provinsi maupun
kabupaten/ kota memiliki dampak strategis terhadap rencana perkembangan suatu
daerah. Setiap keputusan yang diambil merupakan pandangan dan cita-cita kepala
daerah ke arah mana suatu daerah hendak dibawa.
Sejauh ini pemilihan kepala daerah melalui
pemilihan umum langsung oleh rakyat yang berlaku sejak diundangkannya
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 mendapat sorotan tajam. 10 tahun berlakunya
rezim pemilu dalam pemilihan kepala derah ternyata tidak terlalu memberikan
dampak yang signifikan kepada masyarakat di daerah. Muncul persepsi apakah
lebih baik jika pemilihan kepala daerah dikembalikan kepada DPRD?
Alur
Normatif
Berkenaan dengan pemilihan kepala daerah,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam pasal 18 ayat
(4) mengatur bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah
daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis “
Kata-kata “dipilih secara demokratis”
menimbulkan ambiguitas. Apakah “demokratis”
berarti dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum, ataukah “demokratis” juga berarti dipilih oleh
lembaga perwakilan rakyat (DPRD).
Dalam naskah komprehensif Mahkamah Konstitusi
yang berisi risalah-risalah persidangan amandemen konstitusi 1999-2002 yang
saya unduh dari website resmi MK mengatakan bahwa, alasan pembentuk
undang-undang dasar meredaksi “dipilih secara demokratis” agar memudahkan bagi
DPR untuk mengatur pemilihan seperti apa yang sesuai dengan situasi dan kondisi
NKRI nantinya. Pasal tersebut sengaja dielastiskan
sebagai landasan bagi wakil rakyat untuk mengatur lebih lanjut melalui
undang-undang.
Namun dalam pasal 22e ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jelas mengatakan bahwa “Pemilihan
umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap
lima tahun sekali” dan pasal 22e ayat (2) “Pemilihan umum diselenggarakan untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan
Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”
Dari pasal diatas ada sebuah konklusi bahwa pemilihan
umum hanya dilakukan 5 tahun sekali. Dan pemilihan umum pun hanya dilaksanakan
untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD. Tidak untuk
kepala daerah. Dengan demikian saya berasumsi bahwa ketentuan
pasal yang berisi kata “diilih secara demokratis” adalah pasal mubazir. Karena mau tak mau, sealur
dengan definisi pemilu itu sendiri, ketentuan pemilihan kepala daerah harus
melalui DPRD.
Aspek
Teoretis
Mengembalikan kewenangan DPRD dalam memilih
kepala daerah akan menguatkan asas “Check
and Balance”. Kepala daerah yang terpilih, secara subordinasi akan
bertanggung jawab terhadap parlemen. Berbeda jika kepala daerah yang dipilih
langsung oleh rakyat, dimana ia langsung bertanggung jawab kepada publik/
rakyat. Yang mana kata “publik/ rakyat” multitafsir, tidak jelas, dan tidak
terlembaga, sehingga menurut saya hanyalah berupa tata kata pencitraan dan lebih
mengarah kepada “lips service”
belaka.
DPRD yang mana didalamnya terdapat banyak
kepentingan, mau tak mau akan dipaksa bersikap objektif dalam menilai kinerja
kepala daerah. Sehingga program kerja yang telah dibuat dan dianggarkan dapat benar-benar
dipertanggung jawabkan secara akuntabel.
Fakta
Empiris
Djanedri M. Gaffar sekjen Mahkamah Kontitusi
dalam tulisannya di harian Seputar Indonesia (6/9/2010) menyampaikan bahwa ada
beberapa penyebab mengapa bangsa Indonesia harus memikir ulang sistem pemilihan
kepala daerah lewat pemilihan langsung oleh rakyat.
Yang pertama pemilihan kepala daerah secara
langsung selalu disertai konflik masyarakat. Mulai dari tahap pencalonan hingga
sampai fase pasca-pemilukada. Konflik memang
merupakan bagian dari demokrasi, tetapi konflik yang berkepanjangan tentu
sangat merugikan dan mencederai makna demokrasi itu sendiri. Seperti yang
terjadi di Kerinci, Palembang dan beberapa daerah konflik lainnya.
Kedua, politik uang selalu “terendus”
dalam setiap pelaksanaan pemilukada. Politik uang (money
politics) yang sejatinya merupakan kasus suap-menyuap telah bergeser
menjadi sebuah kewajaran.
Akibat dari politik uang ini, suara rakyat jadi tergadai. Calon
yang terpilih belum tentu calon yang benar-benar ideal dan dikehendaki rakyat.
Karena merasa sudah “membeli”suara rakyat, Kepala Daerah merasa tidak ada
hubungan lagi antara dirinya dengan rakyat pemilih.
Politik uang mengakibatkan pelaksanaan pemilukada menjadi sangat
mahal bagi pasangan calon. Apalagi jika harus
dilakukan dalam 2 putaran. Padahal, seharusnya
pemilihan kepala daerah mesti dilaksanakan secara sederhana dan biaya ringan.
Ketiga,
walaupun telah dilakukan pemilihan kepala daerah secara langsung, ternyata hal
itu tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan dan kemajuan daerah
yang bersangkutan. Hal ini sejatinya kontaradiktif dengan alasan DPD saat pembahasan
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dimana DPD saat
itu berpendapat kalau kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat dapat
lebih meningkatkan kesejahteraan daerah yang bersangkutan, Karena lepas kepentingan dari DPRD.
Namun
faktanya, tidak banyak daerah yang mengalami peningkatan kesejahteraan dan
kemajuan secara signifikan. Beberapa daerah memang mengalami kemajuan cukup
fenomenal di bawah kepemimpinan kepala daerahnya, tetapi lebih banyak lagi yang
jalan di tempat.
Keempat, data dilapangan menunjukkan bahwa di era otonomi daerah
semakin banyak kasus korupsi yang terjadi. Kepala daerah yang dipilih secara
langsung tidak memiliki dampak terhadap upaya pemberantasan korupsi. Alih-alih
memberantas korupsi, ternyata banyak kepala daerah yang tersangkut
kasus korupsi. Terakhir, Mei 2014 Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri,
Djohermansyah Djohan mengatakan sebanyak 325 kepala daerah sudah terjerat kasus
tindak pidana korupsi, baik yang sudah menjadi narapidana, maupun yang masih
berstatus tersangka.
Keempat fenomena di atas memunculkan gagasan untuk mengubah cara
pemilihan kepala daerah kembali melalui DPRD. Namun bertentangan dengan itu, ada
yang berpendapat bahwa mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD adalah
langkah mundur. Pemilihan kepala daerah oleh DPRD dipandang akan mengebiri hak
rakyat, karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005
tentang ratifikasi International Covenan
on Civil and Political Rights.
Di
sisi lain ada yang beranggapan kalau kepala daerah hanya ditentukan oleh anggota
DPRD juga tidak akan menutup kemungkinan terjadinya (money politics). Pemilihan kepala daerah oleh parlemen daerah juga
berpotensi melahirkan konflik, apalagi jika kepala daerah yang terpilih bertentangan
dengan harapan rakyat.
Alhasil,
melahirkan kepala daerah yang jujur, bersih, dan berkompeten, serta memihak
kepentingan rakyat tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Perlu sistem
dan pengaturan yang tidak hanya berfungsi untuk merangsang kepala daerah berkerja secara optimal, tetapi juga sistem yang
bisa mencegah agar pemerintahan tidak dikuasai oleh sebagian orang (oligarchie politics). Wallahua’lam
Bishawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar