Minggu, 10 April 2016

Kolonisasi Media Sebagai Alat Politik



Kolonisasi Media Sebagai Alat Politik

SONY GUSTI ANASTA



Secara ideal, media seharusnya menjadi penghubung antara pemerintah dan rakyat. Kemerdekaan pers adalah salah satu perwujudan dari kedaulatan rakyat yang berasaskan demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Hal tersebut secara tersirat tertulis dalam lembaran negara, khususnya dalam undang-undang nomor 40 tahun 1999.

Dewasa ini, banyak pakar hukum tata negara yang mengatakan bahwa independensi pers adalah pilar ke-5 kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya dapat dikatakan kalau salah satu pedoman berjalannya kehidupan berbangsa dan bernegara sangat ditentukan oleh kemandirian media dalam menyajikan informasi kepada masyarakat.

Peran media menjadi sangat sentral dewasa ini, apalagi eksistensinya mulai dikaitkan dengan konsep negara hukum. Jimly Assidiqie merumuskan unsur-unsur dari negara hukum, salah satunya adalah independensi media massa sebagai fasilitator komunikasi antara pemerintah dan rakyat.

Bicara soal independensi, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers menyiratkan bahwa media seharusnya memberikan pemberitaan yang adil dan berimbang. Hal ini didukung kuat dengan teori yang dicetuskan oleh Bill Kovach dan Tom Rossentil, wartawan kawakan amerika yang merumuskan 9 elemen jurnalisme. Salah satu unsurnya adalah cover both sides,

Unsur cover both sides maksudnya adalah pemberitaan harus mencantumkan informasi yang benar secara ideal dan seimbang mengenai masing-masing pihak yang diberitakan di suatu narasi pemberitaan.

Bentuk penyimpangan dari doktrin ini ada banyak ragamnya. Namun secara praktis saya melihat ada 2 pola yang jamak digunakan untuk memanipulasi berita. 1.) dengan menceritakan satu pihak dan menjelekkan pihak lain, dan ke 2.) dengan menceritakan satu pihak dan tidak menceritakan pihak lain.

Hal inilah yang menurut saya dapat membentuk pola pikir masyarakat dalam menilai sesuatu. Media akan dengan mudah untuk membentuk opini publik. Sekalipun hal tersebut masih berupa persepsi atau opini, namun jika ranahnya politik akan menjadi sangat strategis, karena menurut Burhanudin Muhtadi, dalam politik justru persepsilah yang mempunyai nilai yang kuat.

Oleh karenanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa alat politik terkuat didunia tidak terletak pada penokohan figur, bukan pula pada popularitas partai, melainkan tingkat persuasi media.

Tidak heran jika ladang ini mulai dilirik politisi kawakan tanah air. Sudah menjadi rahasia umum jika beberapa media, khususnya televisi sudah digawangi oleh politisi dari Partai Politik peserta pemilu 2014.

Media akan menjadi sosok sentral terpilihnya presiden baru Indonesia. Pemilu 2014 akan menjadi saksi sejarah pertarungan media versus media. Sejurus dengan hal itu, Michael Bauman telah memprediksi akan terjadinya hal demikian. Teori telepolitics-nya sejauh ini terbukti benar dan membuktikan kebobrokan media saat ini. Dalam teorinya ia mengatakan bahwa suatu saat akan terjadi, dimana peran partai politik akan bergeser dengan sendirinya oleh dominasi media terutama televisi dalam memersuasi pemilih.

Salah satu tujuannya adalah membuat rantai pengikat antara golongan swing vooters atau pemilih mengambang (pemilih yang belum menentukan pilihan) dalam kancah pemilu 2014 nanti. Secara statistik jumlah pemilih mengambang dari momen ke momen akan terus bertambah, dan diprediksi akan semakin meningkat mendekati tahun 2014. Hal ini dikarenakan banyak hal, salah satunya menurut Burhanudin Muhtadi disebabkan oleh deparpolisasi (anti parpol).

Kaum swing vooters menjadi incaran utama. Berbeda dengan pemilih yang telah mempunyai identitas partai (party ID), swing vooters adalah golongan pemilih yang lebih mudah untuk dipengaruhi, Karena pilihannya berada ditengah-tengah. Dengan sedikit polesan melaui doktrin jurnalisme, bukan tidak mungkin kaum swing vooters yang menurut penelitian LSI akhir tahun 2012 lalu berjumlah sekitar 55% ini akan berevolusi menjadi peminat partai pemilik media.

Ada adagium yang mengatakan bahwa, untuk mencapai tujuan, politik harus menghalalkan segala cara. Namun bukan berarti harus memanipulasi pemberitaan di media.  Secara yuridis, ada sanksi untuk setiap pelanggaran yang dilakukan, karena dalam setiap pemberitan pers yang menyimpang, ada kepentingan rakyat yang dikorbankan.

Media secara ideal seharusnya menjadi penyambung lidah rakyat ke pemerintah, dan menjadi kurir informasi pemerintah untuk disampaikan kepada warga negara. Bukan malah menjadi sarana pencitraan elite politik.

Media merupakan amanat rakyat. Didalamnya berisi tunai-tunai konstitusi sebagai pengurai demokrasi. Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi yang benar dan berimbang. Kepada warga negara cerdaslah dalam bertindak. Pilih mereka yang benar-benar mempunyai integritas dan kapasitas. Bukan mereka yang sudah membalut boroknya dengan pencitraan di media.



(Penulis adalah Mahasiswa FH UNJA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar