Kolonisasi Media Sebagai
Alat Politik
SONY
GUSTI ANASTA
Secara
ideal, media seharusnya menjadi penghubung antara pemerintah dan rakyat.
Kemerdekaan pers adalah salah satu perwujudan dari kedaulatan rakyat yang
berasaskan demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Hal tersebut secara
tersirat tertulis dalam lembaran negara, khususnya dalam undang-undang nomor 40
tahun 1999.
Dewasa
ini, banyak pakar hukum tata negara yang mengatakan bahwa independensi pers
adalah pilar ke-5 kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya dapat dikatakan
kalau salah satu pedoman berjalannya kehidupan berbangsa dan bernegara sangat
ditentukan oleh kemandirian media dalam menyajikan informasi kepada masyarakat.
Peran
media menjadi sangat sentral dewasa ini, apalagi eksistensinya mulai dikaitkan
dengan konsep negara hukum. Jimly Assidiqie merumuskan unsur-unsur dari negara
hukum, salah satunya adalah independensi media massa sebagai fasilitator
komunikasi antara pemerintah dan rakyat.
Bicara
soal independensi, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers menyiratkan
bahwa media seharusnya memberikan pemberitaan yang adil dan berimbang. Hal ini
didukung kuat dengan teori yang dicetuskan oleh Bill Kovach dan Tom Rossentil,
wartawan kawakan amerika yang merumuskan 9 elemen jurnalisme. Salah satu
unsurnya adalah cover both sides,
Unsur
cover both sides maksudnya adalah pemberitaan
harus mencantumkan informasi yang benar secara ideal dan seimbang mengenai
masing-masing pihak yang diberitakan di suatu narasi pemberitaan.
Bentuk
penyimpangan dari doktrin ini ada banyak ragamnya. Namun secara praktis saya
melihat ada 2 pola yang jamak digunakan untuk memanipulasi berita. 1.) dengan
menceritakan satu pihak dan menjelekkan pihak lain, dan ke 2.) dengan
menceritakan satu pihak dan tidak menceritakan pihak lain.
Hal
inilah yang menurut saya dapat membentuk pola pikir masyarakat dalam menilai
sesuatu. Media akan dengan mudah untuk membentuk opini publik. Sekalipun hal
tersebut masih berupa persepsi atau opini, namun jika ranahnya politik akan
menjadi sangat strategis, karena menurut Burhanudin Muhtadi, dalam politik
justru persepsilah yang mempunyai nilai yang kuat.
Oleh
karenanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa alat politik terkuat didunia
tidak terletak pada penokohan figur, bukan pula pada popularitas partai,
melainkan tingkat persuasi media.
Tidak
heran jika ladang ini mulai dilirik politisi kawakan tanah air. Sudah menjadi
rahasia umum jika beberapa media, khususnya televisi sudah digawangi oleh
politisi dari Partai Politik peserta pemilu 2014.
Media
akan menjadi sosok sentral terpilihnya presiden baru Indonesia. Pemilu 2014
akan menjadi saksi sejarah pertarungan media versus media. Sejurus dengan hal
itu, Michael Bauman telah memprediksi akan terjadinya hal demikian. Teori telepolitics-nya sejauh ini terbukti
benar dan membuktikan kebobrokan media saat ini. Dalam teorinya ia mengatakan
bahwa suatu saat akan terjadi, dimana peran partai politik akan bergeser dengan
sendirinya oleh dominasi media terutama televisi dalam memersuasi pemilih.
Salah
satu tujuannya adalah membuat rantai pengikat antara golongan swing vooters atau pemilih mengambang (pemilih
yang belum menentukan pilihan) dalam kancah pemilu 2014 nanti. Secara statistik
jumlah pemilih mengambang dari momen ke momen akan terus bertambah, dan
diprediksi akan semakin meningkat mendekati tahun 2014. Hal ini dikarenakan banyak
hal, salah satunya menurut Burhanudin Muhtadi disebabkan oleh deparpolisasi
(anti parpol).
Kaum
swing vooters menjadi incaran utama. Berbeda
dengan pemilih yang telah mempunyai identitas partai (party ID), swing vooters
adalah golongan pemilih yang lebih mudah untuk dipengaruhi, Karena pilihannya
berada ditengah-tengah. Dengan sedikit polesan melaui doktrin jurnalisme, bukan
tidak mungkin kaum swing vooters yang
menurut penelitian LSI akhir tahun 2012 lalu berjumlah sekitar 55% ini akan
berevolusi menjadi peminat partai pemilik media.
Ada
adagium yang mengatakan bahwa, untuk mencapai tujuan, politik harus
menghalalkan segala cara. Namun bukan berarti harus memanipulasi pemberitaan di
media. Secara yuridis, ada sanksi untuk
setiap pelanggaran yang dilakukan, karena dalam setiap pemberitan pers yang
menyimpang, ada kepentingan rakyat yang dikorbankan.
Media
secara ideal seharusnya menjadi penyambung lidah rakyat ke pemerintah, dan
menjadi kurir informasi pemerintah untuk disampaikan kepada warga negara. Bukan
malah menjadi sarana pencitraan elite politik.
Media
merupakan amanat rakyat. Didalamnya berisi tunai-tunai konstitusi sebagai pengurai
demokrasi. Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi yang benar dan berimbang.
Kepada warga negara cerdaslah dalam bertindak. Pilih mereka yang benar-benar
mempunyai integritas dan kapasitas. Bukan mereka yang sudah membalut boroknya
dengan pencitraan di media.
(Penulis adalah Mahasiswa
FH UNJA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar