Urgensi Undang-undang
Pengadaan
OLEH
SONY GUSTI ANASTA
Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia saat ini masih diatur dalam level Peraturan
Presiden, tahun ini regulasi pengadaan sedang dicitakan dalam sebuah Rancangan
Undang-undang Pengadaan (RUU Pengadaan), berbeda dengan Peraturan Presiden yang
dibuat langsung oleh LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah),
usul RUU Pengadaan justru bersumber dari inisiatif Dewan Perwakilan Daerah
(DPD).
Bagaimanapun
pengaturan di bidang pengadaan harus bisa mencapai level undang-undang, karena
semakin tinggi kasta sumber hukum semakin kuat pula aturan didalamnya dapat
berlaku. Namun yang perlu diperhatikan adalah harus adanya turut campur
pemerintah (eksekutif) dalam hal ini diwakilkan oleh LKPP, agar materi dalam
Undang-undang Pengadaan selain merupakan jelmaan dari politik parlemen (DPD),
juga harus bersifat ideal sesuai dengan kondisi lapangan administrasi. LKPP
sebagai lembaga yang sedari tahun 2007 mengurusi segala permasalahan dan pengaduan
di bidang kebijakan pengadaan akan sangat paham dan komprehensif dalam
memberikan sumbang fikir yang lebih elaboratif terhadap pembaharuan pengaturan
pengadaan di Indonesia.
Konektor-Konsolidator
Undang-undang
pengadaan diperlukan sebagai konektor antara Undang-undang Keuangan Negara
dengan Undang-undang Pelayanan Publik. Diamini oleh seluruh anggota rapat
pembahasan RUU Pengadaan di LKPP, bahwa Undang-undang Pengadaan akan berada di
antara kedua undang-undang tersebut.
Setiap
undang-undang tentu memiliki amanah tersendiri, dia memiliki tujuan mengapa dia
dibuat. Undang-undang keuangan negara yang membahas bagaimana cara
membelanjakan uang negara harus dikoneksikan dan dikonsolidasikan dengan
Undang-undang Pelayanan Publik yang memiliki tujuan bagaimana cara terbaik
untuk memberikan pelayanan publik kepada masyarakat.
Undang-Undang
Pengadaan akan berada diantara undang-undang tersebut, dia akan menghubungkan
bagaimana cara membelanjakan uang negara agar hasil belanja tersebut dapat
secara optimal meningkatkan pelayanan publik. Sejatinya Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah adalah salah satu upaya dalam memberikan pelayan publik kepada
masyarakat, pun pengadaan tersebut harus efektif dan dapat
dipertanggungjawabkan sesuai dengan prinsip-prinsip belanja pemerintah.
Undang-undang
Pengadaan akan mengisi kekosongan hukum antara kedua undang-undang diatas, dia
akan menutupi gap yang selama ini
terbuka. Dikatakan oleh Fanni Sufiandi Kasubdit Pekerjaan Konstruksi LKPP, RUU
Pengadaan diharapkan menjadi payung hukum bagi seluruh entititas pengadaan. Dia
akan melindungi seluruh subjek pengadaan mulai dari Pengguna Anggaran dan Kuasa
Pengguna Anggaran (PA/KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan Kelompok Kerja
serta Pejabat Pengadaan dalam tubuh Unit Layanan Pengadaan (ULP) selama mereka
bertugas sesuai dengan koridor yang telah ditetapkan.
Setya
Budi Arijanta, Ahli Pengadaan Indonesia mengatakan bahwa penyebab terjadinya
korupsi di lapangan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah disebabkan oleh dua hal.
Yang pertama 1) Memang telah terjadi penyalahgunaan kewenangan, 2) karena
terkendala aturan.
Tidak
sedikit banyak PPK yang dituduh korupsi dan merugikan keuangan negara hanya
karena kesalahan administrasi. Keputusan yang diambil kerap dianggap penyelidik
sebagai sebuah upaya melanggar hukum, akibatnya banyak nyali dari PPK yang
mulai ciut, dalam konteks perkembangan Government
Procurement ini menjadi hal yang sangat serius karena dapat mengakibatkan
menurunnya penyerapan anggaran, yang pada gilirannya menurunkan kualitas
pelayanan publik di tanah air.
Hal
diatas terjadi karena dalam konteks Pengadaan Pemerintah, PPK selalu diganjar
dengan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi karena dinilai telah merugikan
keuangan negara tanpa mempertimbangkan apakah telah terjadi penyalahgunaan
kewenangan didalamnya. Padahal sebenarnya kesalahan seorang pelaku kejahatan
harus diiringi dengan niat jahat (mens
rea).
Undang-undang
Pengadaan akan bersifat sebagai katalisator terhadap tuduhan interventif dari
pihak-pihak yang cenderung memanfaatkan keadaan. Kondisi seperti ini yang dulu
tidak dapat dibendung hanya oleh PERPRES. Dengan akan hadirnya Undang-undang
Pengadaan, akan makin menguatkan dan melindungi posisi dari entitas pengadaan
yang sedang berkonsentrasi penuh membelanjakan uang negara untuk niat suci
dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat.
Adjudication by
Parlement
Secara
formalitas-teoretis, penyusunan RUU pengadaan adalah sebagai sebuah upaya
kesadaran terhadap pemahaman hukum yang utuh. Pengaturan mengenai Public Procurement diharapkan menjadi
salah satu penguatan teori ketatanegaraan kita, Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah tidak lagi menjadi Standard
Operasional Procedure (SOP) pemerintah, lebih dari itu pengaturan mengenai Government Procurement menjadi kehendak
bersama dari rakyat Indonesia (persetujuan parlemen), bahwa sudah saatnya
Indonesia kini memiliki Formil Gezet
dibidang pengadaan, walaupun secara tekhnis mendetil tetap harus disambung
melalui Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden.
John
Locke sudah jauh hari menyampaikan bahwa tugas dari badan legislatif adalah
membuat undang-undang, sedang tugas dari eksekutif adalah menjalankannya, diantara
itu harus ada prinsip pembagian kekuasaan (distribution
of power) serta pembatasan kewenangan (restriction
of authority). Penulis teringat dengan Political
Quotes dari Lord Acton yang mengatakan “The
Power tends to corrupt, but absolute
power corrupt absolutely” – (kekuasaan itu cenderung melampaui batas, akan
tetapi kekuasaan yang tidak dibatasi
sudah pasti akan melampaui batas). Intinya bahwa pemerintah dihimbau cukup
menjalankan aturan saja, jangan sampai ikut membuat aturan yang dia sendiri akan
menjalankannya (abuse of power).
Karena bila tidak, apa yang disampaikan
Lord Acton beratus tahun silam mendapatkan pembenarannya. Wallahualambisshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar