Minggu, 17 April 2016

Urgensi Undang-undang Pengadaan

Urgensi Undang-undang Pengadaan

OLEH SONY GUSTI ANASTA


Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia saat ini masih diatur dalam level Peraturan Presiden, tahun ini regulasi pengadaan sedang dicitakan dalam sebuah Rancangan Undang-undang Pengadaan (RUU Pengadaan), berbeda dengan Peraturan Presiden yang dibuat langsung oleh LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah), usul RUU Pengadaan justru bersumber dari inisiatif Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Bagaimanapun pengaturan di bidang pengadaan harus bisa mencapai level undang-undang, karena semakin tinggi kasta sumber hukum semakin kuat pula aturan didalamnya dapat berlaku. Namun yang perlu diperhatikan adalah harus adanya turut campur pemerintah (eksekutif) dalam hal ini diwakilkan oleh LKPP, agar materi dalam Undang-undang Pengadaan selain merupakan jelmaan dari politik parlemen (DPD), juga harus bersifat ideal sesuai dengan kondisi lapangan administrasi. LKPP sebagai lembaga yang sedari tahun 2007 mengurusi segala permasalahan dan pengaduan di bidang kebijakan pengadaan akan sangat paham dan komprehensif dalam memberikan sumbang fikir yang lebih elaboratif terhadap pembaharuan pengaturan pengadaan di Indonesia.

Konektor-Konsolidator
Undang-undang pengadaan diperlukan sebagai konektor antara Undang-undang Keuangan Negara dengan Undang-undang Pelayanan Publik. Diamini oleh seluruh anggota rapat pembahasan RUU Pengadaan di LKPP, bahwa Undang-undang Pengadaan akan berada di antara kedua undang-undang tersebut.

Setiap undang-undang tentu memiliki amanah tersendiri, dia memiliki tujuan mengapa dia dibuat. Undang-undang keuangan negara yang membahas bagaimana cara membelanjakan uang negara harus dikoneksikan dan dikonsolidasikan dengan Undang-undang Pelayanan Publik yang memiliki tujuan bagaimana cara terbaik untuk memberikan pelayanan publik kepada masyarakat.

Undang-Undang Pengadaan akan berada diantara undang-undang tersebut, dia akan menghubungkan bagaimana cara membelanjakan uang negara agar hasil belanja tersebut dapat secara optimal meningkatkan pelayanan publik. Sejatinya Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah salah satu upaya dalam memberikan pelayan publik kepada masyarakat, pun pengadaan tersebut harus efektif dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan prinsip-prinsip belanja pemerintah.

Undang-undang Pengadaan akan mengisi kekosongan hukum antara kedua undang-undang diatas, dia akan menutupi gap yang selama ini terbuka. Dikatakan oleh Fanni Sufiandi Kasubdit Pekerjaan Konstruksi LKPP, RUU Pengadaan diharapkan menjadi payung hukum bagi seluruh entititas pengadaan. Dia akan melindungi seluruh subjek pengadaan mulai dari Pengguna Anggaran dan Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan Kelompok Kerja serta Pejabat Pengadaan dalam tubuh Unit Layanan Pengadaan (ULP) selama mereka bertugas sesuai dengan koridor yang telah ditetapkan.

Setya Budi Arijanta, Ahli Pengadaan Indonesia mengatakan bahwa penyebab terjadinya korupsi di lapangan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah disebabkan oleh dua hal. Yang pertama 1) Memang telah terjadi penyalahgunaan kewenangan, 2) karena terkendala aturan.

Tidak sedikit banyak PPK yang dituduh korupsi dan merugikan keuangan negara hanya karena kesalahan administrasi. Keputusan yang diambil kerap dianggap penyelidik sebagai sebuah upaya melanggar hukum, akibatnya banyak nyali dari PPK yang mulai ciut, dalam konteks perkembangan Government Procurement ini menjadi hal yang sangat serius karena dapat mengakibatkan menurunnya penyerapan anggaran, yang pada gilirannya menurunkan kualitas pelayanan publik di tanah air.

Hal diatas terjadi karena dalam konteks Pengadaan Pemerintah, PPK selalu diganjar dengan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi karena dinilai telah merugikan keuangan negara tanpa mempertimbangkan apakah telah terjadi penyalahgunaan kewenangan didalamnya. Padahal sebenarnya kesalahan seorang pelaku kejahatan harus diiringi dengan niat jahat (mens rea).

Undang-undang Pengadaan akan bersifat sebagai katalisator terhadap tuduhan interventif dari pihak-pihak yang cenderung memanfaatkan keadaan. Kondisi seperti ini yang dulu tidak dapat dibendung hanya oleh PERPRES. Dengan akan hadirnya Undang-undang Pengadaan, akan makin menguatkan dan melindungi posisi dari entitas pengadaan yang sedang berkonsentrasi penuh membelanjakan uang negara untuk niat suci dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat.

Adjudication by Parlement
Secara formalitas-teoretis, penyusunan RUU pengadaan adalah sebagai sebuah upaya kesadaran terhadap pemahaman hukum yang utuh. Pengaturan mengenai Public Procurement diharapkan menjadi salah satu penguatan teori ketatanegaraan kita, Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah tidak lagi menjadi Standard Operasional Procedure (SOP) pemerintah, lebih dari itu pengaturan mengenai Government Procurement menjadi kehendak bersama dari rakyat Indonesia (persetujuan parlemen), bahwa sudah saatnya Indonesia kini memiliki Formil Gezet dibidang pengadaan, walaupun secara tekhnis mendetil tetap harus disambung melalui Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden.

John Locke sudah jauh hari menyampaikan bahwa tugas dari badan legislatif adalah membuat undang-undang, sedang tugas dari eksekutif adalah menjalankannya, diantara itu harus ada prinsip pembagian kekuasaan (distribution of power) serta pembatasan kewenangan (restriction of authority). Penulis teringat dengan Political Quotes dari Lord Acton yang mengatakan “The Power tends to  corrupt, but absolute power corrupt absolutely” – (kekuasaan itu cenderung melampaui batas, akan tetapi  kekuasaan yang tidak dibatasi sudah pasti akan melampaui batas). Intinya bahwa pemerintah dihimbau cukup menjalankan aturan saja, jangan sampai ikut membuat aturan yang dia sendiri akan menjalankannya (abuse of power). Karena bila tidak,  apa yang disampaikan Lord Acton beratus tahun silam mendapatkan pembenarannya. Wallahualambisshawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar