Minggu, 24 April 2016

TAKICUAH!



TAKICUAH!
OLEH SONY GUSTI ANASTA*

Takicuah adalah bahasa padang, saya beberapa kali mendengar takicuah lewat tembang minang berjudul “Takicuah di Nan Tarang.” Kata teman saya, artinya adalah “tertipu di tempat terang”, atau tertipu secara blak-blakan. Lagu ini menceritakan seseorang yang telah lama menanti sang pujaan hati, namun tertipu oleh sang kekasih. Patah asmara saat hati sedang berbunga-bunga. Tertipu saat hati sedang gembira, dikarenakan sang kekasih lebih memilih pinangan orang lain. 

Takicuah berarti tertipu, pangicuah adalah orang yang menipu, dan mangicuah menipu. Takicuah secara analitis dapat diartikan terjerumus atau terperosok dalam lubang kesusahan dan kesengsaraan. Lubang kesusahan dan kesengsaraan disini berati kesusahan atau kesengsaraan dalam arti luas, termasuk menjeremuskan orang lain dalam dunia politik. Orang bisa bersenang-senang, berandai-andai dengan rencana politiknya, tapi dibalik itu ada orang lain yang sedang menjerumuskan. manis di depan, tapi busuk di belakang.

Orang yang rentan terhadap tindakan ini biasanya orang yang sombong, senang dipuji, namun agak sedikit bodoh. Berlawanan dengan itu orang yang rendah hati tak akan mudah tertipu, dia bisa berpikir sehat dan lurus. Bersikap biasa saja saat dipuji, dan terbuka saat dikritik. Dia tahu mana perbuatan yang murni baik, mana pula perbuatan yang ada maksud jahat di dalamnya. Dia dapat mendefiniskan mana orang yang licik mana pula yang tulus, mana yang benar-benar perhatian, mana pula yang sekadar cari muka.

Orang yang bodoh, dalam pikirannya dia tidak sadar dan tidak dapat membedakan mana pujian mana pula kalimat yang menjerumuskan. Dia tidak dapat menyadari orang yang mula-mula mendukung pendapat dia adalah orang yang ingin menipu. Sekali dipuji, dia akan merasa apa yang dilakukannya adalah benar. Pun begitu dikritik dia berfikir perbuatannya salah. Akhirnya dia hanya akan bertindak sesuai dengan apa yang dikatakan orang lain, tidak punya pendirian. Setelah dipikir-pikir secara matang, barulah dia sadar bahwasanya dirinya sudah takicuah. Jika yang berhasil takicuah adalah seorang pemimpin, maka orang yang dia pimpin akan merasa bingung dan kehilangan pegangan. Setelah itu, orang-orang akan bertindak baseng dan anarki.

Oleh sebab itu posisi pengkhianat, atau orang yang suka menjerumuskan dalam kehidupan sehari-hari sangat berbahaya. Ibarat duri dalam daging, tidak tampak tapi menyakitkan dari dalam. Cicero pernah berkata “Suatu kaum bisa bertahan menghadapi orang-orang bodoh, bahkan orang-orang ambisius sekalipun. Tetapi, suatu kaum akan hancur menghadapi pengkhianat dari dalam”. Pun Bung Karno pernah berorasi dengan berapi-api memperingatkan generasi pembaharu, “Perjuanganku jauh lebih mudah, karena menghadapi bangsa penjajah, akan tetapi perjuangan kalian akan jauh lebih sulit, karena harus berhadapan dengan bangsa sendiri”. Apa yang dikatakan oleh Cicero adalah warning keras akan bahaya laten dari seorang pangicuah, dia belajar dari Caesar (53 SM) yang dibunuh oleh Brutus, padahal sebelumnya Brutus adalah orang yang pernah diampuni Caesar sendiri karena telah mendukung Pompeius dalam laga perang saudara. Dan apa yang dikatakan oleh Bung Karno seakan ikut memberikan penegasan terhadap apa yang disampaikan oleh Cicero, bahwa kata “bangsa sendiri” merujuk kepada segelintir orang hina yang rela mengorbankan kepentingan cita bangsa dan negara hanya karena tergiur oleh harta atau kedudukan.

Cicero tidak berhenti sampai disitu, ia melanjutkan “Seorang musuh di pintu gerbang kurang menakutkan karena ia diketahui dan membawa umbul-umbulnya dengan terang-terangan. Tetapi pengkhianat bergerak di antara orang-orang di sebalik pintu gerbang dengan bebas, bisikan rahasianya berdesir menyusuri semua lembah. Karena pengkhianat tidak tampak seperti pengkhianat, ia bicara dengan aksen yang familiar bagi para korbannya, ia membusukkan jiwa bangsa, ia bekerja secara rahasia dan tidak kenal hari untuk menggerogoti pilar-pilar kota. Seorang pembunuh kurang menakutkan, Pengkhianat itu wabah penyakit”.

Itulah politik. Saat ini, saya beranggapan bahwa politik telah kehilangan esensi, apa yang dikatakan oleh Socrates bahwa politik sebagai seni yang mengandung kesantunan kehilangan relevansi. Ungkapan Cicero lah yang benar, “Politik bukan perjuangan demi keadilan, politik adalah profesi”. Karena politik adalah profesi, maka politisi adalah kaum yang keras dan rajin dalam memperjuangkan ambisi politiknya, baik dengan cara yang santun, maupun dengan cara mangicuah. Dalam kondisi ini ungkapan Thomas Hobbs, homo homini lopus est (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya) memperoleh pembenarannya.

Kita sebagai manusia waras, harus senantiasa waspada terhadap pangicuah, orang yang kelihatannya mendukung kebijaksanaan kita, akan tetapi ingin menjerumuskan. Sekarang banyak orang yang berpotensi jadi pengkhianat, lain di muka, lain di hati. Mereka rela cari muka, jilat sana-jilat sini, menggunting dalam lipatan, menyikut dalam barisan, memukul dengan tangan orang lain. Meminjam kalimat dari Adi Andojo Soetjipto, “Buaya timbul dikira mati, berani bersumpah tapi takut mati”. Berhati-hatilah. Jangan sampai takicuah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar