Komplikasi Pilkada dalam
Instrumen Lembaga Negara
OLEH
SONY GUSTI ANASTA
Intrik
ketatanegaraan memang paling enak untuk dikaji, apalagi yang berhubungan dengan
Konstitusi. dengan sistem negara hukum prismatik Pancasila seperti yang
diungkapkan guru besar ilmu hukum Universitas Jambi, Sukanto Satoto, menjadikan
butir-butir pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak rigid. Penafsiran pasal
demi pasal tidak harus berpatok kaku beku pada tata kata bahasa perundangan,
akan tetapi bisa biaskan, tergantung pada situasi dan kondisi sosial-politik
bangsa Indonesia di suatu waktu. Namun tentu saja penafsiran tersebut haruslah
selaras dengan penafsiran MK sebagai Guardian of Constitution.
Tarik
ulur antara hukum dan politik beberapa bulan yang lalu menghantarkan status
mekanisme pemilihan kepala daerah menjadi ambigu. Beberapa calon kepala daerah
yang sudah siap tempur habis-habisan harus kembali memutar otak mencermati peta
politik di senayan. Belum lagi harus menunggu putusan dari MK, jika legislasi
di senayan digugat ke ranah pengadilan. Apalagi dengan keluarnya PERPPU tentang
pemilihan kepala daerah mengakibatkan polemik ini menjadi konflik 3 lini,
parlemen, pemerintah, dan pengadilan.
Seperti
yang diketahui sebelumnya, pemilihan kepala daerah telah diketok palu melalui
paripurna di DPR, rapat tersebut memutuskan bahwa kepala daerah dipilih oleh
DPRD yang secara legalitas, dikristalisasi lewat Undang-Undang nomor 22 tahun
2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota dan Undang-Undang nomor 23
tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Namun
belum genap 30 hari, aturan ini sudah masuk kedalam registrasi gugatan di MK. Hal
ini sebenarnya sebuah kondisi yang wajar, mengingat aturan pemilihan kepala
daerah sarat dengan hak politik warga negara yang menjadi pemegang kekuasaan
tertingi dalam menentukan pimpinan daerahnya selama 5 tahun kedepan.
Pertanyaan Mendasar
Yang
agak membingungkan adalah ketika belum selesainya gugatan di MK, Presiden
Republik Indonesia masa bakti 2009-2014, SBY mengeluarkan PERPPU kontroversial
yang menganulir undang-undang produk parlemen. Dalam kondisi seperti ini, sistem
ketata-negaraan Indonesia dihadapkan kepada 3 pertanyaan mendasar.
Yang
pertama dari segi politik, apa sebenarnya yang menjadi alasan SBY dalam
mengeluarkan PERPPU tentang pemiihan kepala daerah tersebut? tentu akan menjadi
kebiasaan ketatanegaraan bagi Presiden Indonesia berikutnya dalam menafsirkan
kepentingan yang mendesak atau kegentingan yang memaksa. Dimensi pembuatan
PERPPU lama kelamaan akan bergeser esensi dari penerapan hukum menjadi
pelampiasan politik semata. Apalagi diwaktu yang bersamaan undang-undang yang
dianulir oleh SBY tengah memasuki acara persidangan di Mahkamah Konstitusi.
Yang
kedua, mana yang akan diikuti jika nantinya putusan MK bertentangan dengan
substansi PEPPPU yang dikeluarkan SBY, mengingat tidak ada aturan yang jelas
dalam konstitusi mengenai hal ini. putusan MK dan PERPPU berada dalam kapasitas
yang berbeda, PERPPU berasal dari pemerintah, sedangkan putusan MK produk dari
pengadilan. Keduanya sama-sama mempunyai tempat dan posisi dalam bingkai
ketatanegaraan Indonesia.
Yang
ketiga, jika pada akhirnya kita harus berpijak pada PERPPU dengan alasan
legalitas formil sesuai dengan undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan, kemudian PERPPU ini digugat kembali
ke ranah MK, apa yang harus dilakukan?
Menurut
penulis, terdapat 3 pilihan yang akan dilakukan oleh pemerintah. Pilihan
pertama MK akan menolak dengan alasan sudah pernah memutus substansi yang sama,
akan tetapi dalam produk hukum yang berbeda. Pilihan kedua, MK harus kembali
bersidang memutus konflik mengenai pilkada ini dengan alasan formalitas yang
dibalut dalam bingkai tanggung jawab untuk mempertahankan isi dan makna
konstitusi dari seluruh instrumen hukum lembaga negara, termasuk PERPPU. Atau
pilihan ketiga MK menolak dengan alasan masih harus menunggu keputusan dari
parlemen, mengingat PERPPU yang dibuat harus mendapat persetujuan di DPR.
Melihat
peta politik saat ini, pemerintah nampaknya lebih memilih pilihan ketiga, yaitu
menunggu putusan dari parlemen. Sebenarnya berdasarkan yurisprudensi, MK bisa
saja menguji dan memutus PERPPU tanpa harus menunggu prosedur internal DPR,
karena secara materi, substansi PERPPU sama dengan materi substansi
undang-undang.
Peran DPR
Kontribusi
DPR sangat menentukan terhadap keberlangsungan demokrasi di Indonesia terutama
dalam pemilihan kepala daerah kedepannya, terlepas dari mekanisme yang
diselenggarakan langsung atau tidak langsung.
Sebelum
mengambil keputusan, DPR harus menguat terlebih dahulu. Penguatan internal juga
harus didukung oleh kesolidan partai pengisi kursi di senayan. Bisa jadi
konflik dalam tubuh PPP atau krisis internal Golkar beberapa waktu yang lalu
ada kaitannya dengan pengambilan keputusan mengenai PERPPU nantinya. bukankah
suara Golkar cukup signifikan untuk membalikkan kedudukan dalam pertempuran
sengit KMP versus KIH.
Secara
hakikat, DPR harus benar-benar memahami bahwa sebagai positive legislature,
kedudukan hukum serta perannya sangat strategis dalam menentukan model
pemilihan kepala daerah. DPR tidak hanya dituntut melewati prosedur pengesahan
atau pembatalan PERPPU semata, lebih dari itu terdapat tanggung jawab moril
sebagai salah satu tiang penyangga negara untuk menegakkan nilai-nilai
perjuangan rakyat yang termaktub didalam konstitusi.
Walaupun
DPR diberikan kewenangan penuh untuk mengesahkan atau membatalkan PERPPU yang
bersangkutan, namun tetap saja DPR harus menghormati pandangan dari ahli,
masyarakat luas, dan institusi negara lainnya, termasuk putusan MK beberapa
waktu lalu yang menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah lewat DPRD tidak
bertentangan dengan konstitusi.
MK
menganggap pemilihan kepala daerah adalah murni milik rezim pemerintahan
daerah, dimana berdasarkan asas desentralisasi, bahwa daerah secara mandiri
berhak dan berkewajiban untuk mengurus sendiri urusan rumah tangganya, termasuk
dalam memilih kepala daerahnya sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 21
huruf b undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.
Jika
harus melewati pemilihan umum, maka pengaturan KPU dalam konstitusi harus
dirubah, karena saat ini berdasarkan pasal 22 E ayat (5) Undang-Undang Dasar
1945, KPU merupakan lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat nasional dan
tetap. Oleh karena itu pembentukan KPU Provinsi, Kabupaten/ Kota yang dibentuk
berdasarkan PERPPU tidak sesuai dengan prinsip otonomi daerah yang dianut oleh
konstitusi.
Memang
setiap keputusan yang diambil selalu berkiblat pada politik kepentingan suatu
golongan, namun menurut penulis, apapun itu mesti sesuai dengan
konsensus-konsensus dalam konstitusi. Meminjam teori ajeg dari Mahfudh MD mengenai
hubungan kausalitas antara politik dan hukum, “keputusan politik yang ada harus
tunduk pada hukum yang berlaku. Politik baru bisa ikut campur ketika hukum
menghendaki yang demikian”. Wallahua’lam bisshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar