Minggu, 03 April 2016

Komplikasi Pilkada dalam Instrumen Lembaga Negara



Komplikasi Pilkada dalam Instrumen Lembaga Negara

OLEH SONY GUSTI ANASTA



Intrik ketatanegaraan memang paling enak untuk dikaji, apalagi yang berhubungan dengan Konstitusi. dengan sistem negara hukum prismatik Pancasila seperti yang diungkapkan guru besar ilmu hukum Universitas Jambi, Sukanto Satoto, menjadikan butir-butir pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak rigid. Penafsiran pasal demi pasal tidak harus berpatok kaku beku pada tata kata bahasa perundangan, akan tetapi bisa biaskan, tergantung pada situasi dan kondisi sosial-politik bangsa Indonesia di suatu waktu. Namun tentu saja penafsiran tersebut haruslah selaras dengan penafsiran MK sebagai Guardian of Constitution.

Tarik ulur antara hukum dan politik beberapa bulan yang lalu menghantarkan status mekanisme pemilihan kepala daerah menjadi ambigu. Beberapa calon kepala daerah yang sudah siap tempur habis-habisan harus kembali memutar otak mencermati peta politik di senayan. Belum lagi harus menunggu putusan dari MK, jika legislasi di senayan digugat ke ranah pengadilan. Apalagi dengan keluarnya PERPPU tentang pemilihan kepala daerah mengakibatkan polemik ini menjadi konflik 3 lini, parlemen, pemerintah, dan pengadilan.


Seperti yang diketahui sebelumnya, pemilihan kepala daerah telah diketok palu melalui paripurna di DPR, rapat tersebut memutuskan bahwa kepala daerah dipilih oleh DPRD yang secara legalitas, dikristalisasi lewat Undang-Undang nomor 22 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota dan Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Namun belum genap 30 hari, aturan ini sudah masuk kedalam registrasi gugatan di MK. Hal ini sebenarnya sebuah kondisi yang wajar, mengingat aturan pemilihan kepala daerah sarat dengan hak politik warga negara yang menjadi pemegang kekuasaan tertingi dalam menentukan pimpinan daerahnya selama 5 tahun kedepan.

Pertanyaan Mendasar
Yang agak membingungkan adalah ketika belum selesainya gugatan di MK, Presiden Republik Indonesia masa bakti 2009-2014, SBY mengeluarkan PERPPU kontroversial yang menganulir undang-undang produk parlemen. Dalam kondisi seperti ini, sistem ketata-negaraan Indonesia dihadapkan kepada 3 pertanyaan mendasar.

Yang pertama dari segi politik, apa sebenarnya yang menjadi alasan SBY dalam mengeluarkan PERPPU tentang pemiihan kepala daerah tersebut? tentu akan menjadi kebiasaan ketatanegaraan bagi Presiden Indonesia berikutnya dalam menafsirkan kepentingan yang mendesak atau kegentingan yang memaksa. Dimensi pembuatan PERPPU lama kelamaan akan bergeser esensi dari penerapan hukum menjadi pelampiasan politik semata. Apalagi diwaktu yang bersamaan undang-undang yang dianulir oleh SBY tengah memasuki acara persidangan di Mahkamah Konstitusi.

Yang kedua, mana yang akan diikuti jika nantinya putusan MK bertentangan dengan substansi PEPPPU yang dikeluarkan SBY, mengingat tidak ada aturan yang jelas dalam konstitusi mengenai hal ini. putusan MK dan PERPPU berada dalam kapasitas yang berbeda, PERPPU berasal dari pemerintah, sedangkan putusan MK produk dari pengadilan. Keduanya sama-sama mempunyai tempat dan posisi dalam bingkai ketatanegaraan Indonesia.

Yang ketiga, jika pada akhirnya kita harus berpijak pada PERPPU dengan alasan legalitas formil sesuai dengan undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, kemudian PERPPU ini digugat kembali ke ranah MK, apa yang harus dilakukan?

Menurut penulis, terdapat 3 pilihan yang akan dilakukan oleh pemerintah. Pilihan pertama MK akan menolak dengan alasan sudah pernah memutus substansi yang sama, akan tetapi dalam produk hukum yang berbeda. Pilihan kedua, MK harus kembali bersidang memutus konflik mengenai pilkada ini dengan alasan formalitas yang dibalut dalam bingkai tanggung jawab untuk mempertahankan isi dan makna konstitusi dari seluruh instrumen hukum lembaga negara, termasuk PERPPU. Atau pilihan ketiga MK menolak dengan alasan masih harus menunggu keputusan dari parlemen, mengingat PERPPU yang dibuat harus mendapat persetujuan di DPR.


Melihat peta politik saat ini, pemerintah nampaknya lebih memilih pilihan ketiga, yaitu menunggu putusan dari parlemen. Sebenarnya berdasarkan yurisprudensi, MK bisa saja menguji dan memutus PERPPU tanpa harus menunggu prosedur internal DPR, karena secara materi, substansi PERPPU sama dengan materi substansi undang-undang.

Peran DPR
Kontribusi DPR sangat menentukan terhadap keberlangsungan demokrasi di Indonesia terutama dalam pemilihan kepala daerah kedepannya, terlepas dari mekanisme yang diselenggarakan langsung atau tidak langsung.

Sebelum mengambil keputusan, DPR harus menguat terlebih dahulu. Penguatan internal juga harus didukung oleh kesolidan partai pengisi kursi di senayan. Bisa jadi konflik dalam tubuh PPP atau krisis internal Golkar beberapa waktu yang lalu ada kaitannya dengan pengambilan keputusan mengenai PERPPU nantinya. bukankah suara Golkar cukup signifikan untuk membalikkan kedudukan dalam pertempuran sengit KMP versus KIH.

Secara hakikat, DPR harus benar-benar memahami bahwa sebagai positive legislature, kedudukan hukum serta perannya sangat strategis dalam menentukan model pemilihan kepala daerah. DPR tidak hanya dituntut melewati prosedur pengesahan atau pembatalan PERPPU semata, lebih dari itu terdapat tanggung jawab moril sebagai salah satu tiang penyangga negara untuk menegakkan nilai-nilai perjuangan rakyat yang termaktub didalam konstitusi.

Walaupun DPR diberikan kewenangan penuh untuk mengesahkan atau membatalkan PERPPU yang bersangkutan, namun tetap saja DPR harus menghormati pandangan dari ahli, masyarakat luas, dan institusi negara lainnya, termasuk putusan MK beberapa waktu lalu yang menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah lewat DPRD tidak bertentangan dengan konstitusi.

MK menganggap pemilihan kepala daerah adalah murni milik rezim pemerintahan daerah, dimana berdasarkan asas desentralisasi, bahwa daerah secara mandiri berhak dan berkewajiban untuk mengurus sendiri urusan rumah tangganya, termasuk dalam memilih kepala daerahnya sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 21 huruf b undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.

Jika harus melewati pemilihan umum, maka pengaturan KPU dalam konstitusi harus dirubah, karena saat ini berdasarkan pasal 22 E ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945, KPU merupakan lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat nasional dan tetap. Oleh karena itu pembentukan KPU Provinsi, Kabupaten/ Kota yang dibentuk berdasarkan PERPPU tidak sesuai dengan prinsip otonomi daerah yang dianut oleh konstitusi.

Memang setiap keputusan yang diambil selalu berkiblat pada politik kepentingan suatu golongan, namun menurut penulis, apapun itu mesti sesuai dengan konsensus-konsensus dalam konstitusi. Meminjam teori ajeg dari Mahfudh MD mengenai hubungan kausalitas antara politik dan hukum, “keputusan politik yang ada harus tunduk pada hukum yang berlaku. Politik baru bisa ikut campur ketika hukum menghendaki yang demikian”. Wallahua’lam bisshawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar