Rabu, 18 Mei 2016

Menghukum Korporasi!



Menghukum Korporasi!

OLEH SONY GUSTI ANASTA*


Penegakan hukum lingkungan terhadap bencana kabut asap karena kebakaran hutan dan lahan yang menimpa beberapa Provinsi di Kalimantan dan Sumatera, termasuk Jambi seperti jalan ditempat. Usaha para penggugat yang memperjuangkan lingkungan hidup yang bersih dan sehat mulai dari Pemerintah Pusat, dan Pemerintah Daerah, Masyarakat, serta Organisasi Lingkungan hidup yang masing-masing diatur dalam Pasal 90, 91, 92 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Disinyalir hal itu terjadi karena kekeliruan para penggugat menggunakan alternatif pilihan penegakan hukum yang ada.

Dalam konteks penegakan hukum terhadap kabut asap ini, gugatan dan penuntutan kerap beralamat ke peradilan pidana, maupun peradilan perdata. Dalam perspektif hukum perdata, penegakan hukum lingkungan berorientasi pada ganti rugi pelaku untuk memulihkan baku mutu lingkungan hidup, itupun harus dibuktikan dahulu di pengadilan, sedang dalam perspektif pidana, penuntutan berorientasi hanya pada perbuatan salah si pelaku agar yang bersangkutan dapat dihukum, sehingga diharapkan dapat memberikan efek jera kepada masyarakat.

Padahal sebenarnya UUPPLH punya ruh, setiap orang atau badan hukum yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/ atau perusakan terhadap lingkungan hidup diwajibkan untuk melakukan penanggulangan, pemulihan, restorasi, serta reahabilitasi sampai lingkungan hidup yang telah dirusak atau dicemari kembali sedia kala. Penulis berpendapat apa yang sebenarnya diinginkan masyarakat, adalah seperti yang termakna dalam UUPPLH, bukan penegakan hukum seperti yang dipahami oleh kebanyakan para penggugat dan penuntut. Oleh sebab itu, tidak ada salahnya jika pemerintah mencoba alternatif penegakan hukum administrasi. 

Kerugian Riil 
Dari data yang tersaji di dunia maya, terhitung sampai tanggal 3 November 2015, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Pekanbaru menyebutkan satelit Tera dan Aqua memantau terdapat 708 titik panas di Sumatera. Tiga daerah menjadi penyumbang titik panas terbanyak adalah Jambi dengan 245 titik. Disusul Sumatera Selatan 189 titik dan Riau 177 titik. Titik panas hampir merata terjadi di daerah lainya, seperti Sumatera Barat 32 titik, Lampung 18 titik, Sumatera Utara 10 titik, Aceh 3 titik, Bangka belitung 8 titik, dan Kepulauan Riau 1 titik. Kerugian yang diderita mencapai Rp.930 miliar, itu pun hanya kerugian di bidang lahan saja, belum dihitung kerugian tidak langsung seperti terganggunya jadwal penerbangan, terhentinya distribusi obat dan makanan, liburnya anak sekolah, atau tidak melautnya para nelayan dan lain-lain. Namun yang lebih mengejutkan adalah menurut Musri Nauli dari WALHI, sekitar 80 persen kebakaran hutan yang terjadi disebabkan oleh badan hukum korporasi. Badan hukum/ korporasi merupakan perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan, kehutanan dan lahan. Tiap tahun ada pajak yang mesti disetor ke negara, yang mana pajak tersebut dipergunakan untuk keperluan membangun daerah lewat skema Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), namun jika diteliti, justru kerugian yang timbul akibat bencana kabut asap ditengarai jauh lebih besar dari jumlah pajak yang yang disetor oleh perusahaan, disini telah terjadi ketimpangan keuangan. Ibarat kata pepatah, besar pasak daripada tiang.


Investor dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan memang di anggap sebagai mitra pemerintah dalam memajukan dan memakmurkan masyarakat di daerah, namun pembangunan yang berkelanjutan dalam hal pemanfaatan sumber daya alam juga jangan sampai melangar hak konstitusional warga negara. Pasal 28H UUD RI menyatakan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan” pemerintah dalam hal ini harus mampu mewujudkan kedua cita-cita diatas dalam waktu dan kesempatan yang bersamaan, intinya, pajak dan pembangunan merupakan instrumen pemerintah dalam membangun negara, namun dalam pelaksanaannya, jangan sampai pula menggerus hak konstitusional sehingga merugikan masyarakat setempat. 

Ridwan HR mengatakan bahwa “keberadaan Hukum Administrasi Negara (HAN) itu muncul karena adanya keharusan penyelenggaran kekuasaan dan pemerintahan dalam suatu negara hukum”. HAN berfungsi sebagai ilmu yang dipakai untuk menerapkan aturan hukum, termasuk hukum lingkungan.  Dikatakan banyak sarjana, bahwa HAN merupakan hukum yang istimewa, oleh sebab itu sanksi dari HAN juga bersifat istimewa. Istimewa disini berarti pemberlakuan sanksi administrasi tidak harus melewati peradilan, berbeda dengan sanksi pidana dan sanksi perdata. Sanksi HAN dapat langsung diterapkan kepada si pelanggar norma administrasi dalam rangka untuk menyelenggarakan kekuasaan pemerintah dalam konteks penegakan hukum administrasi. 

Strict Liability
Hukum Lingkungan Indonesia telah menerapkan prinsip strict liability terhadap perusak dan pencemar lingkungan. Pasal 88 UUPPLH berbunyi “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3,  menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” pasal di atas dapat menjadi dasar hukum untuk meminta pertanggungjawaban korporasi  yang kebun atau lahannya terbakar, tanpa harus adanya usaha untuk membuktikan unsur kesalahan dari korporasi. 

Banyak pakar yang mengatakan bahwa strict liability yang diatur dalam pasal 88 UUPPLH tidak dapat diterapkan karena pasal tersebut hanya diterapkan untuk usaha yang melibatkan bahan berbahaya dan beracun (B3).  Jika kita pasati lebih dalam, sebenarnya redaksi pasal terkait tidak hanya memfasilitasi kegiatan yang melibatkan B3, tetapi juga untuk setiap kegiatan yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup. Jadi strict liability dapat diterapkan untuk 1) setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya melibatkan B3 dan 2) setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup. Kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan kabut asap dapat ditafsirkan sebagai kegiatan yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup. 

Selain itu, sebenarnya pun, asap merupakan bagian dari B3, ini terbukti dari redaksi Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah  Nomor 74 tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun. Pasal ini mengklasifikasikan B3 sebagai berikut: a) Mudah meledak (explosive), b) Pengoksidasi (oxidizing), c) Sangat mudah sekali menyala (extremely flammable), d) Sangat mudah menyala (highly flammable), e) Mudah menyala (flammable), f) Amat sangat beracun (extremely toxic), g) Sangat Beracun (highly toxic), h) Beracun (moderately toxic), i) Berbahaya (harmful), j) Korosif (corrosive), k) Teratogenik (teratogenic), l) Mutagenik (mutagenic). Kabut asap dapat ditafsirkan sebagai bahan yang amat beracun, sangat beracun, atau beracun sesuai dengan jumlah kandungan asap di dalamnya. 
Tanggung Jawab Pemerintah

 Sebagai pihak yang menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/ kota memiliki peran dan tanggung jawab untuk mengendalikan, mengawasi sampai dengan menyelesaikan permasalahan kabut asap. Hal ini diatur secara tegas masing-masing dalam Pasal 63 ayat (2) dan Pasal 63 ayat (3). Sebagai pihak yang paling bertanggungjawab, pemerintah dapat langsung menerapkan pertanggungjawaban mutlak (strict liability) kepada korporasi pembakar hutan dan lahan lewat peran Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) sebagai pihak yang mendapatkan kewenangan dari kepala daerah secara degelatif, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 71 dan Pasal 74 UUPPLH. 

PPLH inilah yang nantinya akan membuat sanksi administrasi berupa paksaan pemerintah lewat keputusan tata usaha negara yang berisi catatan-catatan kerugian yang menimpa masyarakat dan keharusan korporasi untuk membayarnya. Jika korporasi tidak mematuhinya, maka kepala daerah dapat membekukan dan mencabut izin lingkungan korporasi yang bersangkutan. Jika korporasi tidak terima, dapat mengajukan gugatan ke peradilan tata usaha negara. dalam tahap ini berlaku prinsip pembuktian terbalik. Korporasi penggugatlah yang harus membuktikan bahwa keputusan pejabat tata usaha negara yang merugikannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. 

Memang menafsirkan kabut asap sebagai B3 terkesan agak sedikit dipaksakan. Pun menganggap kabut asap sebagai bahan yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup juga terdengar sumir, namun tidak ada salahnya mencoba menegakkan aturan hukum yang ada, kendati penafsiran pasal yang bersangkutan masih menimbulkan ambiguitas. Kedepan untuk menjamin kepastian hukum bagi seluruh elemen, sekaligus menguatkan payung hukum bagi berlakunya strict liability, Kementerian yang bergerak di bidang Lingkungan Hidup mesti membuat kebijakan yang bersifat Lex Certa, Lex Scripta, dan Lex Stricta untuk memasukkan kabut asap sebagai bagian dari B3 dan bahan yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup.

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jambi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar