Pilih
Kawin Atau Wisuda
oleh Sony Gusti Anasta
Kapan kawin dan
kapan wisuda adalah pertanyaan filosofis yang paling sulit untuk dijawab, bukan
karena kita tidak tahu, tapi karena malah pertanyaan tersebut menyerang mental
bukan logika. Kalau ditanya yang beginian, biasanya saya langsung mangalihkan
ke topik lain, saya lebih rela dibully jika Arsenal tak kunjung juara primer,
atau bertanya pada mereka bagaimana mungkin selama 14 tahun wajah dian sastro
tidak berubah, tetap unyuk dan menggemaskan.
Daripada harus berkontemplasi dan merenung kapan kawin, bikin sakit kepala, terlalu spekulatif mengingat calonnya juga belum ada (bukan kode). Jika si penanya tetap bersih keukeuh, saran saya Cuma satu, pura-pura mati saja.
Bicara wisuda, aku sebenarnya sudah selesai sidang bulan maret lalu, namun karena sistem, terpaksa ijazahku tertahan hingga wisuda 6-8 bulan berikutnya (setahuku). Sulit untuk mencari kerja hanya dengan mengandalkan SKL, secara tidak langsung negara (universitas membatasi hak seseorang untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, dalam tataran yang kritis, dapat diandaikan negara tidak hanya turut memproduksi sarjana namun juga lengkap dengan penganggurannya.
Kemarin, sabtu 14-5-16 seharusnya waktu aku diwisudakan, untuk menghilangkan rasa sedih walaupun beberapa teman bahagia karena aku wisuda serempak dengan mereka untuk wisuda selanjutnya, aku putuskan untuk melawat ke suatu kota,menghadiri undangan teman yang melangsungkan akad nikah, sebelumnya dia pernah bercerita bagaimana keras dan gigihnya usaha dia dalam menjalani hidup di jakarta, menjadi badung, tidak terawat, bertato dan masuk penjara, hingga akhirnya ia menemukan pendamping hidup yang sungguh cantik jelita, agak mirip dengan desi ratna sari di umur 17 tahun. Dia juga bercerita bagaimana ia harus mencari uang sendiri untuk membiayai hantaran dan resepsi pernikahannya.
Pihak keluarga terlihat tidak terlalu ikut campur atau tidak mau mengurusi pernikahannya karena latar belakang dirinya yang sulit diterima kembali, hal ini secara tersirat aku tangkap saat ia bercerita bagaimana perlakuan keluarganya terhadap dirinya, bahkan saat resepsi pernikahan itu terjadi. Namun wajahnya tetap laki laki, gagah, begitu pula jiwanya, tak terlihat umpatan dan kesedihan di hatinya di hari itu. Jujur aku salut dengan dirinya, bagaimana mungkin, dulunya ia terseok seok hidup di jalanan, diusir, tak dianggap, hingga kini mampu menggelar resepsi dengan biaya puluhan juta.
Walaupun dana itu di dapatnya lewat kerja di kantor orang tuanya, namun butuh perjuangan dan mental baja untuk meyakinkan orang tua bahwa ia telah berubah dengan kondisi tato naga masih menyelimuti hampir seluruh punggung kurusnya. Menurutku Perjuangan yang ia lakukan lebih dari sekadar perjuangan sarjana demi mendapat gelar. Walaupun beberapa teman kita yang kurang beruntung harus bertaruh hidup juga untuk menyelesaikan studi S1 nya.
Dalam gambaranku, wisuda dan kawin adalah hal yang sama sama mengerikan. Bayangkan kita harus memulai hidup dengan status baru. Sama seperti pergantian status dari anak dalam kandungan menjadi manusia utuh yang hidup di muka bumi. Atau perubahan status dari manusia menjadi mayat, dimana di alam kubur kita harus menghadapi kehidupan baru yang sama sekali asing bagi kita. sama juga saat bertahun-tahun pacaran sekarang harus menjomblo dalam waktu yang cukup lama.
Wisuda menjadi mengerikan karena disitu tidak hanya sekadar selebrasi, melainkan peralihan status menjadi seorang pengangguran, menjadi 1 di antara ribuan temannya yang lain membuat mereka harus bersaing untuk mendapatkan pekerjaan yang layak untuk modal kehidupan mereka selanjutnya, belum lagi mereka harus bersaing dengan keluaran dari kampus-kampus besar di jawa, karena kulihat ada mode ekspansi bertajuk kolonisasi dari kamus besar di jawa macam UI, UGM, UNPAD, IPB untuk menyebarkan alumnus ke seluruh penjuru negeri. Maka sarjana daerah sudah harus siap menghadapi tekanan mental dari mereka, termasuk keluarga yang harus diberi makan dan dibahagiakan, juga harus sabar dengan gaji bulanan yang relatif tidak humanis mengingat biaya yang mereka keluarkan 4 tahun di bangku kuliah beratus-ratus kali lipat dari itu. Tidak heran banyak sarjana yang pindah disiplin ilmu, (beberapa pindah kasta), beberapa yang sial, justru harus ngojek, jual kue risol, atau menjadi kuli bangunan dekat rumahnya. Sebenarnya tak jadi masalah, namun menjadi berat karena ada gelar di belakang namanya.
Praktis masyarakat akan berkata si Budi adalah seorang sarjana hukum yang ngojek, atau si Ucup sarjana keperawatan yang buat kue putu. Kalimat tersebut memiliki aksioma negatif bahwa adanya ketidakmampuan budi dan ucup untuk menerapkan ilmunya ke dalam kehidupan sehari-hari, sehingga menjadi penjual kue putu, atau ngojek menjadi pelampiasan ekonomis untuk dapat bertahan hidup. Memang beberapa orang punya pendirian pendidikan itu tidak ada hubungannya dalam mencari pekerjaan, pendidikan adalah panggilan untuk memuaskan hasrat atau kepuasan jiwa, (pendidikan adalah hiburan bagi kaum terdidik), namun akhirnya idealitas semacam ini harus gugur bunga ketika dapur tidak mengepul, baju tidak diganti, otaknya yang dipakai untuk mempertahankan komitmen dan ideologinya, akan kalah dengan dominasi perut yang minta untuk diisi dengan toprak atau soto ayam, atau sekadar tahu bulat pinggir jalan. Akhirnya tidak hanya stigma masyarakat yang membunuh karakter sarjana, tetapi juga hak untuk bisa bertahan hidup.
Dari BPS kita bisa lihat data, bahwa jumlah persentase sarjana pengangguran dari tahun 2007-2016 adalah sekitar 20%-30%. Jika kita andaikan saja pengangguran terdidik itu berkisar 25%, dari 1000 orang yang wisuda maka akan ada 250 orang yang akan menganggur, dari 10 sarjana yang sedang main futsal, maka akan ada setidaknya dari 2 yang mengangur, itu belum dihitung apakah 8 orang lainnya mendapat kerja dengan gaji yang layak. Banyak pekerjaan saat ini didapat hanya sebagai pelarian daripada menganggur.
Ternyata, menjadi mempelai pun susahnya minta ampun, tidak kalah susah menjadi seorang sarjana, setelah ijab kobul, engkau akan dihadapkan pada karakter keluarga pasangan yang beragam. Kau juga tidak dapat lagi membelanjakan uangmu dengan seenak perutmu, ada perut orang lain juga yang harus dipikirkan. Intinya tanggung jawab. Bagi kita, teman-teman muslim, ijab qabul adalah peryataan janji paling berat setelah mengucap syahadat. Secara tersurat memang terdengar sepele namun maknanya sungguh luas, sangat dalam. Adanya perpindahan tanggung jawab untuk melindungi dan mengayomi istri dari tanggung jawab ayah dan saudara laki-lakinya ke tanggung jawab suaminya. Sang suami mau tidak mau akan ikut menanggung seluruh dosa dan khilaf yang dilakukan istri dan calon anak-anaknya kelak. Bisa dibayangkan menanggung dosa sendiri saja sudah susah, tak terbayangkan harus menanggung dosa dari istri dan anak-anak, ada kewajiban bagi dirimu untuk selalu memperhatikan istrimu, agar engkau tidak sering memperhatikan istri orang.
Oleh sebab itu kawin menjadi sangat mengerikan bagi orang yang benar-benar paham, kita tidak dapat lagi dengan santai kongkow-kongkow dan bergitar ria bersama anak komplek, atau sekadar futsal sampai jam 11 malam. Kita juga tidak dapat lagi mesan jesey Barcelona terbaru atau beli sepatu futsal adidas, karena budget yang kita punya juga semakin terbatas. Konsentrasi pria hanya akan terbagi bagaimana ia sukses berkarir dan cara ia membahagiakan istrinya kelak.
Belum lagi jika harus menghadapi istri yang pencemburu. Di usia pernikahan yang semakin lama juga kesetiaan dan rasa sayang suami makin berkurang, setahun umur perkawinan mungkin masih panggil sayang sayangan, bebep-bebepan, 5 tahun usia perkawinan ayah – bunda aja, masuk 10 tahun usia perkawinan aku – kamu, masuk 15 tahun saya – anda, masuk 20 tahun usia perkawinan lupa sama istrinya, masuk 30 tahun, bahkan lupa pernah menikah, hehehe. Kesetiaan dan penghormatan kita juga akan diuji disini, apakah 30 tahun usia perkawinan kita tetap saling menghormati dan menyayangi? Sama juga dengan seorang sarjana, ketika sudah wisuda apakah dia akan konsisten menerapkan ilmu yang dimiliki, atau jangan-jangan sarjananya tanpa ilmu sama sekali.
Namun, menjadi sarjana atau menikah juga memiliki kenikmatan bagi mereka yang paham dan sadar akan hakikat keduanya. Sarjana yang paripurna akan meningkatkan taraf hidup ia dan keluarganya, selalu diandalkan masyarakat, menjadi aktor sosial pemberi manfaat. Menikah pun akan sangat bermanfaat, ada tempat curhat, saling berbagi dan menyayangi, bersama-sama menuju bahagia, ada yang bangunin, ada yang merawat kala sakit, ada yang buatin sarapan atau sekedar nyeduh kopi di pagi hari, tak perlu pakai gula karena yang buatnya sudah cukup membuat pagi itu begitu manis. Yang paling penting selalu ada ucapan manis yang membahagiakan dari istri kita (bukan istri orang – apalagi istri pak RT). Di saat dunia menghakimimu, di saat dunia dan pekerjaan menyudutkanmu, selalu ada tempat untuk berpeluk, selalu ada tempat bersandar, ia akan datang dengan senyuman paling manis di dunia, ia akan mengisi sedihmu dengan ucapan-ucapannya yang menyenangkan hatimu.
Namun, idealnya, sarjana dan kawin adalah 2 tahap pintu gerbang yang harus di lewati oleh setiap orang, ada yang sarjana dulu baru kawin, ada yang kawin dulu baru sarjana, ada yang sarjana tapi gak kawin-kawin, ada juga yang belum sarjana dan tidak kunjung kawin-kawin (nah ini yang paling sial bro).
Silahkan kita semua memilih ingin seperti apa dan bagaimana, jika aku boleh usul maka jadilah manusia yang paripurna, segeralah WISUDA kemudian segeralah KAWIN. Atau jika dirasa sulit, silahkan wisuda dulu, kawin belakangan, atau bagi yang sudah tidak sabar dan ingin segera bahagia batinnya boleh langsung kawin saja, daripada buat maksiat kan? Yuuk kawiiin.
Daripada harus berkontemplasi dan merenung kapan kawin, bikin sakit kepala, terlalu spekulatif mengingat calonnya juga belum ada (bukan kode). Jika si penanya tetap bersih keukeuh, saran saya Cuma satu, pura-pura mati saja.
Bicara wisuda, aku sebenarnya sudah selesai sidang bulan maret lalu, namun karena sistem, terpaksa ijazahku tertahan hingga wisuda 6-8 bulan berikutnya (setahuku). Sulit untuk mencari kerja hanya dengan mengandalkan SKL, secara tidak langsung negara (universitas membatasi hak seseorang untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, dalam tataran yang kritis, dapat diandaikan negara tidak hanya turut memproduksi sarjana namun juga lengkap dengan penganggurannya.
Kemarin, sabtu 14-5-16 seharusnya waktu aku diwisudakan, untuk menghilangkan rasa sedih walaupun beberapa teman bahagia karena aku wisuda serempak dengan mereka untuk wisuda selanjutnya, aku putuskan untuk melawat ke suatu kota,menghadiri undangan teman yang melangsungkan akad nikah, sebelumnya dia pernah bercerita bagaimana keras dan gigihnya usaha dia dalam menjalani hidup di jakarta, menjadi badung, tidak terawat, bertato dan masuk penjara, hingga akhirnya ia menemukan pendamping hidup yang sungguh cantik jelita, agak mirip dengan desi ratna sari di umur 17 tahun. Dia juga bercerita bagaimana ia harus mencari uang sendiri untuk membiayai hantaran dan resepsi pernikahannya.
Pihak keluarga terlihat tidak terlalu ikut campur atau tidak mau mengurusi pernikahannya karena latar belakang dirinya yang sulit diterima kembali, hal ini secara tersirat aku tangkap saat ia bercerita bagaimana perlakuan keluarganya terhadap dirinya, bahkan saat resepsi pernikahan itu terjadi. Namun wajahnya tetap laki laki, gagah, begitu pula jiwanya, tak terlihat umpatan dan kesedihan di hatinya di hari itu. Jujur aku salut dengan dirinya, bagaimana mungkin, dulunya ia terseok seok hidup di jalanan, diusir, tak dianggap, hingga kini mampu menggelar resepsi dengan biaya puluhan juta.
Walaupun dana itu di dapatnya lewat kerja di kantor orang tuanya, namun butuh perjuangan dan mental baja untuk meyakinkan orang tua bahwa ia telah berubah dengan kondisi tato naga masih menyelimuti hampir seluruh punggung kurusnya. Menurutku Perjuangan yang ia lakukan lebih dari sekadar perjuangan sarjana demi mendapat gelar. Walaupun beberapa teman kita yang kurang beruntung harus bertaruh hidup juga untuk menyelesaikan studi S1 nya.
Dalam gambaranku, wisuda dan kawin adalah hal yang sama sama mengerikan. Bayangkan kita harus memulai hidup dengan status baru. Sama seperti pergantian status dari anak dalam kandungan menjadi manusia utuh yang hidup di muka bumi. Atau perubahan status dari manusia menjadi mayat, dimana di alam kubur kita harus menghadapi kehidupan baru yang sama sekali asing bagi kita. sama juga saat bertahun-tahun pacaran sekarang harus menjomblo dalam waktu yang cukup lama.
Wisuda menjadi mengerikan karena disitu tidak hanya sekadar selebrasi, melainkan peralihan status menjadi seorang pengangguran, menjadi 1 di antara ribuan temannya yang lain membuat mereka harus bersaing untuk mendapatkan pekerjaan yang layak untuk modal kehidupan mereka selanjutnya, belum lagi mereka harus bersaing dengan keluaran dari kampus-kampus besar di jawa, karena kulihat ada mode ekspansi bertajuk kolonisasi dari kamus besar di jawa macam UI, UGM, UNPAD, IPB untuk menyebarkan alumnus ke seluruh penjuru negeri. Maka sarjana daerah sudah harus siap menghadapi tekanan mental dari mereka, termasuk keluarga yang harus diberi makan dan dibahagiakan, juga harus sabar dengan gaji bulanan yang relatif tidak humanis mengingat biaya yang mereka keluarkan 4 tahun di bangku kuliah beratus-ratus kali lipat dari itu. Tidak heran banyak sarjana yang pindah disiplin ilmu, (beberapa pindah kasta), beberapa yang sial, justru harus ngojek, jual kue risol, atau menjadi kuli bangunan dekat rumahnya. Sebenarnya tak jadi masalah, namun menjadi berat karena ada gelar di belakang namanya.
Praktis masyarakat akan berkata si Budi adalah seorang sarjana hukum yang ngojek, atau si Ucup sarjana keperawatan yang buat kue putu. Kalimat tersebut memiliki aksioma negatif bahwa adanya ketidakmampuan budi dan ucup untuk menerapkan ilmunya ke dalam kehidupan sehari-hari, sehingga menjadi penjual kue putu, atau ngojek menjadi pelampiasan ekonomis untuk dapat bertahan hidup. Memang beberapa orang punya pendirian pendidikan itu tidak ada hubungannya dalam mencari pekerjaan, pendidikan adalah panggilan untuk memuaskan hasrat atau kepuasan jiwa, (pendidikan adalah hiburan bagi kaum terdidik), namun akhirnya idealitas semacam ini harus gugur bunga ketika dapur tidak mengepul, baju tidak diganti, otaknya yang dipakai untuk mempertahankan komitmen dan ideologinya, akan kalah dengan dominasi perut yang minta untuk diisi dengan toprak atau soto ayam, atau sekadar tahu bulat pinggir jalan. Akhirnya tidak hanya stigma masyarakat yang membunuh karakter sarjana, tetapi juga hak untuk bisa bertahan hidup.
Dari BPS kita bisa lihat data, bahwa jumlah persentase sarjana pengangguran dari tahun 2007-2016 adalah sekitar 20%-30%. Jika kita andaikan saja pengangguran terdidik itu berkisar 25%, dari 1000 orang yang wisuda maka akan ada 250 orang yang akan menganggur, dari 10 sarjana yang sedang main futsal, maka akan ada setidaknya dari 2 yang mengangur, itu belum dihitung apakah 8 orang lainnya mendapat kerja dengan gaji yang layak. Banyak pekerjaan saat ini didapat hanya sebagai pelarian daripada menganggur.
Ternyata, menjadi mempelai pun susahnya minta ampun, tidak kalah susah menjadi seorang sarjana, setelah ijab kobul, engkau akan dihadapkan pada karakter keluarga pasangan yang beragam. Kau juga tidak dapat lagi membelanjakan uangmu dengan seenak perutmu, ada perut orang lain juga yang harus dipikirkan. Intinya tanggung jawab. Bagi kita, teman-teman muslim, ijab qabul adalah peryataan janji paling berat setelah mengucap syahadat. Secara tersurat memang terdengar sepele namun maknanya sungguh luas, sangat dalam. Adanya perpindahan tanggung jawab untuk melindungi dan mengayomi istri dari tanggung jawab ayah dan saudara laki-lakinya ke tanggung jawab suaminya. Sang suami mau tidak mau akan ikut menanggung seluruh dosa dan khilaf yang dilakukan istri dan calon anak-anaknya kelak. Bisa dibayangkan menanggung dosa sendiri saja sudah susah, tak terbayangkan harus menanggung dosa dari istri dan anak-anak, ada kewajiban bagi dirimu untuk selalu memperhatikan istrimu, agar engkau tidak sering memperhatikan istri orang.
Oleh sebab itu kawin menjadi sangat mengerikan bagi orang yang benar-benar paham, kita tidak dapat lagi dengan santai kongkow-kongkow dan bergitar ria bersama anak komplek, atau sekadar futsal sampai jam 11 malam. Kita juga tidak dapat lagi mesan jesey Barcelona terbaru atau beli sepatu futsal adidas, karena budget yang kita punya juga semakin terbatas. Konsentrasi pria hanya akan terbagi bagaimana ia sukses berkarir dan cara ia membahagiakan istrinya kelak.
Belum lagi jika harus menghadapi istri yang pencemburu. Di usia pernikahan yang semakin lama juga kesetiaan dan rasa sayang suami makin berkurang, setahun umur perkawinan mungkin masih panggil sayang sayangan, bebep-bebepan, 5 tahun usia perkawinan ayah – bunda aja, masuk 10 tahun usia perkawinan aku – kamu, masuk 15 tahun saya – anda, masuk 20 tahun usia perkawinan lupa sama istrinya, masuk 30 tahun, bahkan lupa pernah menikah, hehehe. Kesetiaan dan penghormatan kita juga akan diuji disini, apakah 30 tahun usia perkawinan kita tetap saling menghormati dan menyayangi? Sama juga dengan seorang sarjana, ketika sudah wisuda apakah dia akan konsisten menerapkan ilmu yang dimiliki, atau jangan-jangan sarjananya tanpa ilmu sama sekali.
Namun, menjadi sarjana atau menikah juga memiliki kenikmatan bagi mereka yang paham dan sadar akan hakikat keduanya. Sarjana yang paripurna akan meningkatkan taraf hidup ia dan keluarganya, selalu diandalkan masyarakat, menjadi aktor sosial pemberi manfaat. Menikah pun akan sangat bermanfaat, ada tempat curhat, saling berbagi dan menyayangi, bersama-sama menuju bahagia, ada yang bangunin, ada yang merawat kala sakit, ada yang buatin sarapan atau sekedar nyeduh kopi di pagi hari, tak perlu pakai gula karena yang buatnya sudah cukup membuat pagi itu begitu manis. Yang paling penting selalu ada ucapan manis yang membahagiakan dari istri kita (bukan istri orang – apalagi istri pak RT). Di saat dunia menghakimimu, di saat dunia dan pekerjaan menyudutkanmu, selalu ada tempat untuk berpeluk, selalu ada tempat bersandar, ia akan datang dengan senyuman paling manis di dunia, ia akan mengisi sedihmu dengan ucapan-ucapannya yang menyenangkan hatimu.
Namun, idealnya, sarjana dan kawin adalah 2 tahap pintu gerbang yang harus di lewati oleh setiap orang, ada yang sarjana dulu baru kawin, ada yang kawin dulu baru sarjana, ada yang sarjana tapi gak kawin-kawin, ada juga yang belum sarjana dan tidak kunjung kawin-kawin (nah ini yang paling sial bro).
Silahkan kita semua memilih ingin seperti apa dan bagaimana, jika aku boleh usul maka jadilah manusia yang paripurna, segeralah WISUDA kemudian segeralah KAWIN. Atau jika dirasa sulit, silahkan wisuda dulu, kawin belakangan, atau bagi yang sudah tidak sabar dan ingin segera bahagia batinnya boleh langsung kawin saja, daripada buat maksiat kan? Yuuk kawiiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar