Waspada
Korupsi Pejabat Daerah!
OLEH SONY GUSTI ANASTA
Pernahkah terpikir pada kita,
mengapa korupsi selalu terjadi melibatkan pejabat negara? baik dipusat maupun
di daerah, mulai dari menteri, gubernur, bupati, kepala dinas, sekretaris
daerah, pejabat keuangan, rektor, dan hakim dipengadilan. Dan mengapa pula,
korupsi yang terjadi kerap kali melibatkan rekanan dari pihak swasta
(pengusaha)? Adakah semacam benang merah yang menghubungkan antara pejabat,
pengusaha, dan korupsi. Tulisan ini mengajak kita merenungi sisi lain dari
oligarki.
Akar
Oligarki
Pernah sekawanan bajak laut
terkenal ditangkap oleh pasukan Iskandar Agung, karena kawanan perompak ini
adalah targetan yang sudah lama dicari-cari, sang maharaja langsung yang turun
untuk menginterogasi.
“Apa hak kamu menjarah lautan. Tanya Iskandar Agung. Hak hamba menjarah lautan adalah sama dengan
hak paduka menjarah dunia, hanya saja karena hamba melakukannya dengan perahu
yang tak begitu besar, orang menyebut hamba bajak laut. Sedangkan paduka
melakukannya dengan armada yang sangat besar, sehingga disebut maharaja. jawab
kepala bajak laut”.
Jawaban dari bajak laut, sontak
mengagetkan seisi istana termasuk Iskandar Agung sendiri, karna tidak mungkin seorang
maharaja yang dielukan selama ini adalah perompak yang sangat besar. Iskandar
Agung adalah raja bijaksana dengan rekam jejak memukau. Seluruh waktunya
tersalurkan hanya untuk memberikan
kemakmuran pada rakyat, jadi tidak mungkin maharaja Iskandar Agung menjarah
rakyatnya sendiri.
Meskipun banyak tokoh istana
mempermasalahkan atas jawaban si bajak laut, tapi penulis memandang bahwa
seperti inilah potret oligarki-korupsi yang sering terjadi di Indonesia, dan
Jambi khususnya. Penulis mengajak kita semua merenung, mungkinkah korupsi,
kolusi, nepotis, serta seluruh bentuk penyalah gunaan wewenang berakar, tumbuh
dan membesar dari struktur ekonomi dan politik yang berada ditangan segelintir
penguasa politik, dan imperium bisnis saat ini? atau korupsi hanyalah persoalan
tekhnis pelanggaran hukum semata?
Oligarki dan Korupsi
Dalam dunia politik, secara
sadar kita mengakui bahwa biaya (political
cost) saat ini sangat besar, mulai dari biaya kampanye, pembuatan alat
peraga, biaya tim sukses per-kabupaten, kecamatan, desa dan lain sebagainya. Calon
pejabat daerah (kepala daerah dan DPRD) pun bukanlah orang sederhana atau orang
kaya separuh. Rata-rata mereka yang berani bertempur adalah mereka para
pengusaha papan atas, keluarga pengusaha, atau orang-orang yang berada dalam
suatu ikatan dinasti politik, baik yang diikat dalam hubungan darah, ataupun
dipertemukan dalam kelompok gerakan ideologis
Biasanya calon akan dibantu
oleh golongan kelompok tertentu dan beberapa para pelaku usaha sebagai donatur
pemenangan, dengan kontrak politik-bisnis yang (ter/di) sepakati. Fenomena
demikian mengakibatkan pemerintahan akan dikuasai beberapa orang. Bahkan kedekatan
emosional antara pelaku usaha atau imperium bisnis dengan pemangku kebijakan
baik di eksekutif maupun legislatif akan mengakibatkan potensi terjadinya
korupsi semakin tinggi.
Dari amatan pribadi, penulis
percaya bahwa korupsi terjadi karena
gagalnya politik kolektif bersemi di instansi dan lembaga pemerintahan. Korupsi
yang terjadi, tidak dapat dilihat secara mikro atau sektoral dengan kajian yang
melompat-lompat. Menurut Febri Diansyah,
anggota ICW, korupsi bukanlah kejahatan yang putus dan sekali selesai. Lebih
dari itu, korupsi merupakan suatu noktah hitam
yang dibangun atas sistem politik kekuasaan yang terpusat pada
segelintir orang dan imperium bisnis yang memanfaatkan fasilitas kekuasaan
untuk meraup keuntungan baik di birokrasi, lembaga negara, ataupun instansi
politik lainnya.
Oleh karena itu, bukan tidak
mungkin, pemegang organized crime
berasal dari tokoh-tokoh pengusaha papan atas dan pengisi kekuasaan politik dan
birokrasi. Jika temanya adalah korupsi, kolusi, dan nepotis, maka bisa jadi
pusat penjarahan itu berada di tempat legitimasi kekuasaan negara, mulai dari
kantor gubernur, kantor bupati/ walikota, kantor DPRD, institusi pendidikan,
atau bahkan kantor penegak hukum di kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
Pelaku usaha yang biasanya berbentuk imperium bisnis (dinasti dagang)
akan memanfaatkan kedekatannya dengan penguasa politik untuk mendapatkan
sejumlah lisensi, konsesi/ izin, dan bahkan monopoli produk tertentu. Target
dari imperium bisnis tak lain adalah mempengaruhi kekuatan politik dan
kewenangan birokrasi dalam pembuatan keputusan. Biasanya pelaku usaha akan
menuntut berupa regulasi yang menguntungkan, kelanjutan bisnis, fasilitas
khusus, dan lain sebagainya. Bahkan tidak menutup kemungkinan beberapa pelaku
usaha akan melibakan aparatur penegak hukum sebagai (satpam) untuk mewanti-wanti
jika disuatu saat mereka terjerat sengketa hukum dan konflik dengan birokrasi
bersangkutan.
Corruption by Greed
Aditjondro dalam bukunya yang berjudul Membedah Kembar Siam Penguasa Politik dan Ekonomi
Indonesia mengatakan ada dua motivasi pejabat negara melakukan korupsi.
Yang pertama Corruption by Need, maksudnya
adalah korupsi karena kebutuhan, bisa juga diartikan korupsi karena kemiskinan (Corruption by Poverty), sehingga
memaksa pejabat atau pegawai birokrasi rendahan penghuni pos basah seperti
pejabat administrasi pembuatan KTP, KK, SIM dan lain-lain, menuntut sejumlah
rupiah guna kelancaran birokrasi.
Yang kedua adalah Corruption by Greed, atau korupsi karena
kerakusan, dilakukan karena pejabat negara merasa tidak puas atas kekayaan yang
sudah dimilikinya, selalu ada hasrat untuk menumpuk kekayaan atau mengamankan
dan mengembangkan cabang bisnisnya yang terlibat dalam imperium bisnis, seperti
halnya skema rantai makanan. Kalau dalam konteks DPRD, biasanya pelaku usaha menjadikan
anggota dewan sebagai alat penetrasi politik kepada eksekutif sekaligus
menjadikan mereka sebagai budak harta calo proyek pengadaan, dan pembangunan
dalam hubungan yang saling menguntungkan.
Setidaknya hal itu merupakan
spekulasi dan kontemplasi mengenai oligarki dalam perselingkuhan antara
kekuatan politik dengan imperium bisnis. Alhasil penulis percaya, pengentasan korupsi
tidak hanya sekadar penerapan pasal, legal
reasoning sebuah putusan, atau perbedaan tafsir ahli hukum semata, lebih
dari itu pemberantasan korupsi mesti dimulai dari revitalisasi struktur politik
yang lebih baik, yang dibangun di atas prinsip revolusi mental para pejabat
dari orientasinya pada harta dan kedudukan kepada orientasi suci memakmurkan
masyarakat Jambi-Indonesia dari cengkraman kemiskinan dan kebodohan. Semoga
bermanfaat.
(Penulis Mahasiswa
BEM FH UNJA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar