Minggu, 08 Mei 2016

Waspada Korupsi Pejabat Daerah!



Waspada Korupsi Pejabat Daerah!
OLEH SONY GUSTI ANASTA


Pernahkah terpikir pada kita, mengapa korupsi selalu terjadi melibatkan pejabat negara? baik dipusat maupun di daerah, mulai dari menteri, gubernur, bupati, kepala dinas, sekretaris daerah, pejabat keuangan, rektor, dan hakim dipengadilan. Dan mengapa pula, korupsi yang terjadi kerap kali melibatkan rekanan dari pihak swasta (pengusaha)? Adakah semacam benang merah yang menghubungkan antara pejabat, pengusaha, dan korupsi. Tulisan ini mengajak kita merenungi sisi lain dari oligarki.
 
 Akar Oligarki
Pernah sekawanan bajak laut terkenal ditangkap oleh pasukan Iskandar Agung, karena kawanan perompak ini adalah targetan yang sudah lama dicari-cari, sang maharaja langsung yang turun untuk menginterogasi. 

Apa hak kamu menjarah lautan. Tanya Iskandar Agung. Hak hamba menjarah lautan adalah sama dengan hak paduka menjarah dunia, hanya saja karena hamba melakukannya dengan perahu yang tak begitu besar, orang menyebut hamba bajak laut. Sedangkan paduka melakukannya dengan armada yang sangat besar, sehingga disebut maharaja. jawab kepala bajak laut”.

Jawaban dari bajak laut, sontak mengagetkan seisi istana termasuk Iskandar Agung sendiri, karna tidak mungkin seorang maharaja yang dielukan selama ini adalah perompak yang sangat besar. Iskandar Agung adalah raja bijaksana dengan rekam jejak memukau. Seluruh waktunya tersalurkan hanya untuk  memberikan kemakmuran pada rakyat, jadi tidak mungkin maharaja Iskandar Agung menjarah rakyatnya sendiri.

Meskipun banyak tokoh istana mempermasalahkan atas jawaban si bajak laut, tapi penulis memandang bahwa seperti inilah potret oligarki-korupsi yang sering terjadi di Indonesia, dan Jambi khususnya. Penulis mengajak kita semua merenung, mungkinkah korupsi, kolusi, nepotis, serta seluruh bentuk penyalah gunaan wewenang berakar, tumbuh dan membesar dari struktur ekonomi dan politik yang berada ditangan segelintir penguasa politik, dan imperium bisnis saat ini? atau korupsi hanyalah persoalan tekhnis pelanggaran hukum semata?

Oligarki dan Korupsi
Dalam dunia politik, secara sadar kita mengakui bahwa biaya (political cost) saat ini sangat besar, mulai dari biaya kampanye, pembuatan alat peraga, biaya tim sukses per-kabupaten, kecamatan, desa dan lain sebagainya. Calon pejabat daerah (kepala daerah dan DPRD) pun bukanlah orang sederhana atau orang kaya separuh. Rata-rata mereka yang berani bertempur adalah mereka para pengusaha papan atas, keluarga pengusaha, atau orang-orang yang berada dalam suatu ikatan dinasti politik, baik yang diikat dalam hubungan darah, ataupun dipertemukan dalam kelompok gerakan ideologis

Biasanya calon akan dibantu oleh golongan kelompok tertentu dan beberapa para pelaku usaha sebagai donatur pemenangan, dengan kontrak politik-bisnis yang (ter/di) sepakati. Fenomena demikian mengakibatkan pemerintahan akan dikuasai beberapa orang. Bahkan kedekatan emosional antara pelaku usaha atau imperium bisnis dengan pemangku kebijakan baik di eksekutif maupun legislatif akan mengakibatkan potensi terjadinya korupsi semakin tinggi.

Dari amatan pribadi, penulis percaya  bahwa korupsi terjadi karena gagalnya politik kolektif bersemi di instansi dan lembaga pemerintahan. Korupsi yang terjadi, tidak dapat dilihat secara mikro atau sektoral dengan kajian yang melompat-lompat.  Menurut Febri Diansyah, anggota ICW, korupsi bukanlah kejahatan yang putus dan sekali selesai. Lebih dari itu, korupsi merupakan suatu noktah hitam  yang dibangun atas sistem politik kekuasaan yang terpusat pada segelintir orang dan imperium bisnis yang memanfaatkan fasilitas kekuasaan untuk meraup keuntungan baik di birokrasi, lembaga negara, ataupun instansi politik lainnya.

Oleh karena itu, bukan tidak mungkin, pemegang organized crime berasal dari tokoh-tokoh pengusaha papan atas dan pengisi kekuasaan politik dan birokrasi. Jika temanya adalah korupsi, kolusi, dan nepotis, maka bisa jadi pusat penjarahan itu berada di tempat legitimasi kekuasaan negara, mulai dari kantor gubernur, kantor bupati/ walikota, kantor DPRD, institusi pendidikan, atau bahkan kantor penegak hukum di kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.

Pelaku usaha yang biasanya  berbentuk imperium bisnis (dinasti dagang) akan memanfaatkan kedekatannya dengan penguasa politik untuk mendapatkan sejumlah lisensi, konsesi/ izin, dan bahkan monopoli produk tertentu. Target dari imperium bisnis tak lain adalah mempengaruhi kekuatan politik dan kewenangan birokrasi dalam pembuatan keputusan. Biasanya pelaku usaha akan menuntut berupa regulasi yang menguntungkan, kelanjutan bisnis, fasilitas khusus, dan lain sebagainya. Bahkan tidak menutup kemungkinan beberapa pelaku usaha akan melibakan aparatur penegak hukum sebagai (satpam) untuk mewanti-wanti jika disuatu saat mereka terjerat sengketa hukum dan konflik dengan birokrasi bersangkutan.

Corruption by Greed
Aditjondro dalam bukunya yang berjudul Membedah Kembar Siam Penguasa Politik dan Ekonomi Indonesia mengatakan ada dua motivasi pejabat negara melakukan korupsi. Yang pertama Corruption by Need, maksudnya adalah korupsi karena kebutuhan, bisa juga diartikan korupsi karena kemiskinan (Corruption by Poverty), sehingga memaksa pejabat atau pegawai birokrasi rendahan penghuni pos basah seperti pejabat administrasi pembuatan KTP, KK, SIM dan lain-lain, menuntut sejumlah rupiah guna kelancaran birokrasi.

Yang kedua adalah Corruption by Greed, atau korupsi karena kerakusan, dilakukan karena pejabat negara merasa tidak puas atas kekayaan yang sudah dimilikinya, selalu ada hasrat untuk menumpuk kekayaan atau mengamankan dan mengembangkan cabang bisnisnya yang terlibat dalam imperium bisnis, seperti halnya skema rantai makanan. Kalau dalam konteks DPRD, biasanya pelaku usaha menjadikan anggota dewan sebagai alat penetrasi politik kepada eksekutif sekaligus menjadikan mereka sebagai budak harta calo proyek pengadaan, dan pembangunan dalam hubungan yang saling menguntungkan.

Setidaknya hal itu merupakan spekulasi dan kontemplasi mengenai oligarki dalam perselingkuhan antara kekuatan politik dengan imperium bisnis. Alhasil penulis percaya, pengentasan korupsi tidak hanya sekadar penerapan pasal, legal reasoning sebuah putusan, atau perbedaan tafsir ahli hukum semata, lebih dari itu pemberantasan korupsi mesti dimulai dari revitalisasi struktur politik yang lebih baik, yang dibangun di atas prinsip revolusi mental para pejabat dari orientasinya pada harta dan kedudukan kepada orientasi suci memakmurkan masyarakat Jambi-Indonesia dari cengkraman kemiskinan dan kebodohan. Semoga bermanfaat.


(Penulis Mahasiswa
BEM FH UNJA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar