Jumat, 29 April 2016

Konstitusionalitas LGBT

Eksistensi pemberitaan kaum homo dan lesbi semakin masif, setelah Amerika mengesahkan pernikahan sesama jenis, kini giliran Indonesia dituntut agar melakukan hal yang sama.

Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transeksual tergolong merupakan fenomena lama di Indonesia, jumlah dan intensitasnya semakin hari semakin besar. Adalah aneh menyaksikan paham LGBT bisa berkembang dan bertahan di bumi nusantara, mengingat mayoritas penduduk Indonesia memeluk islam sebagai agama kepercayaan.

Dalam Asy-Syuara: 165-166, Allah berfirman “Mengapa kamu mendatangi jenis laki-laki di antara manusia - dan kamu tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampui batas”

Meski di Indonesia tidak semua beragama islam, namun penghormatan terhadap suara mayoritas adalah inti dari demokrasi. Selain itu tidak ada satupun agama Indonesia yang merestui tindakan LGBT, apalagi sampai harus menikah dengan sesama jenis.

Kaum LGBT berpendapat bahwa Setiap manusia diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri jalan hidupnya, menentukan sendiri identitasnya, termasuk orientasi seksualnya. Hal ini mereka anggap urusan pribadi warga negara, dan tidak dapat dicampuri oleh negara. mereka pikir bahwa HAM adalah Hak Azazi yang tidak dapat dicabut oleh negara dalam keadaan apapun. Mereka lupa bahwa pemberlakuan HAM pun di Indonesia mesti menghargai hak azazi orang lain, peraturan perundang-undangan, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Hal ini secara tegas diatur dalam pasal 28 J ayat (1) “Setiap orang wajib menghormati hak azazi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Dan pasal 28 J ayat (2)”Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dalam undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, kemanan, dan ketertiban umum dalam suatu mayarakat demokratis”

Selama pasal ini masih tertulis dalam lembar Konstitusi Republik Indonesia, sampai saat itu, LGBT beserta pernikahan sesama jenisnya tidak akan mendapat tempat dalam masyarakat Indonesia, LGBT dalam pandangan moralitas adalah sebuah bentuk penyimpangan moral yang secara kasar terus membentur norma-norma agama, dan adat istiadat yang ada di Indonesia. kehadirannya dianggap sebagai bentuk penyakit yang dapat merusak mentalitas anak bangsa.

Pemerintah dalam hal ini akan mengkaji dan memfilter pemberlakuan hak azazi manusia menjadi hak azazi warga negara sebagaimana menurut Bahder Djohan Nasution dalam “Negara Hukum dan hak Azazi Manusia” guna menyelamatkan kedudukan nilai-nilai pancasila dalam setiap denyut peraturan perundang-undangan.

Kaum LGBT beranggapan bahwa lesbian dan gay bukanlah merupakan sebuah penyimpangan sosial, oleh sebab itu segala bentuk deskriminasi terhadap kaum mereka segera dihapuskan, termasuk pelarangan perkawinan sesama jenis. Mereka tidak sadar bahwasanya deskriminasi pun secara kritis dilegalkan namun dibatasi oleh pancasila, hanya ketentuan yang tidak sesuai dengan ideologi negara saja yang dapat dideskriminasi, deskriminasi disini dilakukan bukan karena penyimpangan orientasi seksual beberapa orang belaka, tetapi lebih kepada penegakan nilai-nilai morallitas, ketuhanan, dan kemanusiaan yang terkandung dalam pancasila.

Pancasila menurut Hans Nawiasky sebagai staat fundamental norm atau norma dasar penyelanggaran negara, atau Philosofische Groundslag sebagai sebuah sistem filasafat yang mendasari setiap pengambilan keputusan hukum dalam sebuah negara. Karena pancasila adalah sebuah pandangan hidup berbangsa dan bernegara, serta merupakan penjelamaan dari kepribadiaan suatu bangsa, maka tidak berlebihan jika pancasila berfungsi untuk menjaga status, kedudukan, kehormatan, dan kesopanan budaya dan kondisi sosial serta psikis masyarakat Indonesia dari bahaya laten LGBT.

Memang demokrasi berbicara soal kebebasan warga negara dalam menjalankan kehidupannya. Namun kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan yang dikristalisasi dari rakyat setempat, bukan kebebasan yang diambil sesuka hati dari negara lain. Demokrasi kita bukanlah demokrasi yang berdiri atas kepentingan individu, namun demokrasi yang berbasis kolektivitas dan berasas kekeluargaan.

Perkawinan yang sah tidak hanya bicara soal kasih sayang, perkawinan yang sah menurut hukum negara adalah perkawinan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan untuk mencapai kehidupan yang bahagia berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Jika kaum LGBT beranggapan perkawinan merupakan urusan pribadi, maka menurut Undang-undang Perkawinan, perkawinan adalah tidak hanya hubungan antar individu, melainkan juga hubungan antar keluarga, suku, dan marga.


Minggu, 24 April 2016

TAKICUAH!



TAKICUAH!
OLEH SONY GUSTI ANASTA*

Takicuah adalah bahasa padang, saya beberapa kali mendengar takicuah lewat tembang minang berjudul “Takicuah di Nan Tarang.” Kata teman saya, artinya adalah “tertipu di tempat terang”, atau tertipu secara blak-blakan. Lagu ini menceritakan seseorang yang telah lama menanti sang pujaan hati, namun tertipu oleh sang kekasih. Patah asmara saat hati sedang berbunga-bunga. Tertipu saat hati sedang gembira, dikarenakan sang kekasih lebih memilih pinangan orang lain. 

Takicuah berarti tertipu, pangicuah adalah orang yang menipu, dan mangicuah menipu. Takicuah secara analitis dapat diartikan terjerumus atau terperosok dalam lubang kesusahan dan kesengsaraan. Lubang kesusahan dan kesengsaraan disini berati kesusahan atau kesengsaraan dalam arti luas, termasuk menjeremuskan orang lain dalam dunia politik. Orang bisa bersenang-senang, berandai-andai dengan rencana politiknya, tapi dibalik itu ada orang lain yang sedang menjerumuskan. manis di depan, tapi busuk di belakang.

Orang yang rentan terhadap tindakan ini biasanya orang yang sombong, senang dipuji, namun agak sedikit bodoh. Berlawanan dengan itu orang yang rendah hati tak akan mudah tertipu, dia bisa berpikir sehat dan lurus. Bersikap biasa saja saat dipuji, dan terbuka saat dikritik. Dia tahu mana perbuatan yang murni baik, mana pula perbuatan yang ada maksud jahat di dalamnya. Dia dapat mendefiniskan mana orang yang licik mana pula yang tulus, mana yang benar-benar perhatian, mana pula yang sekadar cari muka.

Orang yang bodoh, dalam pikirannya dia tidak sadar dan tidak dapat membedakan mana pujian mana pula kalimat yang menjerumuskan. Dia tidak dapat menyadari orang yang mula-mula mendukung pendapat dia adalah orang yang ingin menipu. Sekali dipuji, dia akan merasa apa yang dilakukannya adalah benar. Pun begitu dikritik dia berfikir perbuatannya salah. Akhirnya dia hanya akan bertindak sesuai dengan apa yang dikatakan orang lain, tidak punya pendirian. Setelah dipikir-pikir secara matang, barulah dia sadar bahwasanya dirinya sudah takicuah. Jika yang berhasil takicuah adalah seorang pemimpin, maka orang yang dia pimpin akan merasa bingung dan kehilangan pegangan. Setelah itu, orang-orang akan bertindak baseng dan anarki.

Oleh sebab itu posisi pengkhianat, atau orang yang suka menjerumuskan dalam kehidupan sehari-hari sangat berbahaya. Ibarat duri dalam daging, tidak tampak tapi menyakitkan dari dalam. Cicero pernah berkata “Suatu kaum bisa bertahan menghadapi orang-orang bodoh, bahkan orang-orang ambisius sekalipun. Tetapi, suatu kaum akan hancur menghadapi pengkhianat dari dalam”. Pun Bung Karno pernah berorasi dengan berapi-api memperingatkan generasi pembaharu, “Perjuanganku jauh lebih mudah, karena menghadapi bangsa penjajah, akan tetapi perjuangan kalian akan jauh lebih sulit, karena harus berhadapan dengan bangsa sendiri”. Apa yang dikatakan oleh Cicero adalah warning keras akan bahaya laten dari seorang pangicuah, dia belajar dari Caesar (53 SM) yang dibunuh oleh Brutus, padahal sebelumnya Brutus adalah orang yang pernah diampuni Caesar sendiri karena telah mendukung Pompeius dalam laga perang saudara. Dan apa yang dikatakan oleh Bung Karno seakan ikut memberikan penegasan terhadap apa yang disampaikan oleh Cicero, bahwa kata “bangsa sendiri” merujuk kepada segelintir orang hina yang rela mengorbankan kepentingan cita bangsa dan negara hanya karena tergiur oleh harta atau kedudukan.

Cicero tidak berhenti sampai disitu, ia melanjutkan “Seorang musuh di pintu gerbang kurang menakutkan karena ia diketahui dan membawa umbul-umbulnya dengan terang-terangan. Tetapi pengkhianat bergerak di antara orang-orang di sebalik pintu gerbang dengan bebas, bisikan rahasianya berdesir menyusuri semua lembah. Karena pengkhianat tidak tampak seperti pengkhianat, ia bicara dengan aksen yang familiar bagi para korbannya, ia membusukkan jiwa bangsa, ia bekerja secara rahasia dan tidak kenal hari untuk menggerogoti pilar-pilar kota. Seorang pembunuh kurang menakutkan, Pengkhianat itu wabah penyakit”.

Itulah politik. Saat ini, saya beranggapan bahwa politik telah kehilangan esensi, apa yang dikatakan oleh Socrates bahwa politik sebagai seni yang mengandung kesantunan kehilangan relevansi. Ungkapan Cicero lah yang benar, “Politik bukan perjuangan demi keadilan, politik adalah profesi”. Karena politik adalah profesi, maka politisi adalah kaum yang keras dan rajin dalam memperjuangkan ambisi politiknya, baik dengan cara yang santun, maupun dengan cara mangicuah. Dalam kondisi ini ungkapan Thomas Hobbs, homo homini lopus est (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya) memperoleh pembenarannya.

Kita sebagai manusia waras, harus senantiasa waspada terhadap pangicuah, orang yang kelihatannya mendukung kebijaksanaan kita, akan tetapi ingin menjerumuskan. Sekarang banyak orang yang berpotensi jadi pengkhianat, lain di muka, lain di hati. Mereka rela cari muka, jilat sana-jilat sini, menggunting dalam lipatan, menyikut dalam barisan, memukul dengan tangan orang lain. Meminjam kalimat dari Adi Andojo Soetjipto, “Buaya timbul dikira mati, berani bersumpah tapi takut mati”. Berhati-hatilah. Jangan sampai takicuah.

Minggu, 17 April 2016

Urgensi Undang-undang Pengadaan

Urgensi Undang-undang Pengadaan

OLEH SONY GUSTI ANASTA


Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia saat ini masih diatur dalam level Peraturan Presiden, tahun ini regulasi pengadaan sedang dicitakan dalam sebuah Rancangan Undang-undang Pengadaan (RUU Pengadaan), berbeda dengan Peraturan Presiden yang dibuat langsung oleh LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah), usul RUU Pengadaan justru bersumber dari inisiatif Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Bagaimanapun pengaturan di bidang pengadaan harus bisa mencapai level undang-undang, karena semakin tinggi kasta sumber hukum semakin kuat pula aturan didalamnya dapat berlaku. Namun yang perlu diperhatikan adalah harus adanya turut campur pemerintah (eksekutif) dalam hal ini diwakilkan oleh LKPP, agar materi dalam Undang-undang Pengadaan selain merupakan jelmaan dari politik parlemen (DPD), juga harus bersifat ideal sesuai dengan kondisi lapangan administrasi. LKPP sebagai lembaga yang sedari tahun 2007 mengurusi segala permasalahan dan pengaduan di bidang kebijakan pengadaan akan sangat paham dan komprehensif dalam memberikan sumbang fikir yang lebih elaboratif terhadap pembaharuan pengaturan pengadaan di Indonesia.

Konektor-Konsolidator
Undang-undang pengadaan diperlukan sebagai konektor antara Undang-undang Keuangan Negara dengan Undang-undang Pelayanan Publik. Diamini oleh seluruh anggota rapat pembahasan RUU Pengadaan di LKPP, bahwa Undang-undang Pengadaan akan berada di antara kedua undang-undang tersebut.

Setiap undang-undang tentu memiliki amanah tersendiri, dia memiliki tujuan mengapa dia dibuat. Undang-undang keuangan negara yang membahas bagaimana cara membelanjakan uang negara harus dikoneksikan dan dikonsolidasikan dengan Undang-undang Pelayanan Publik yang memiliki tujuan bagaimana cara terbaik untuk memberikan pelayanan publik kepada masyarakat.

Undang-Undang Pengadaan akan berada diantara undang-undang tersebut, dia akan menghubungkan bagaimana cara membelanjakan uang negara agar hasil belanja tersebut dapat secara optimal meningkatkan pelayanan publik. Sejatinya Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah salah satu upaya dalam memberikan pelayan publik kepada masyarakat, pun pengadaan tersebut harus efektif dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan prinsip-prinsip belanja pemerintah.

Undang-undang Pengadaan akan mengisi kekosongan hukum antara kedua undang-undang diatas, dia akan menutupi gap yang selama ini terbuka. Dikatakan oleh Fanni Sufiandi Kasubdit Pekerjaan Konstruksi LKPP, RUU Pengadaan diharapkan menjadi payung hukum bagi seluruh entititas pengadaan. Dia akan melindungi seluruh subjek pengadaan mulai dari Pengguna Anggaran dan Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan Kelompok Kerja serta Pejabat Pengadaan dalam tubuh Unit Layanan Pengadaan (ULP) selama mereka bertugas sesuai dengan koridor yang telah ditetapkan.

Setya Budi Arijanta, Ahli Pengadaan Indonesia mengatakan bahwa penyebab terjadinya korupsi di lapangan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah disebabkan oleh dua hal. Yang pertama 1) Memang telah terjadi penyalahgunaan kewenangan, 2) karena terkendala aturan.

Tidak sedikit banyak PPK yang dituduh korupsi dan merugikan keuangan negara hanya karena kesalahan administrasi. Keputusan yang diambil kerap dianggap penyelidik sebagai sebuah upaya melanggar hukum, akibatnya banyak nyali dari PPK yang mulai ciut, dalam konteks perkembangan Government Procurement ini menjadi hal yang sangat serius karena dapat mengakibatkan menurunnya penyerapan anggaran, yang pada gilirannya menurunkan kualitas pelayanan publik di tanah air.

Hal diatas terjadi karena dalam konteks Pengadaan Pemerintah, PPK selalu diganjar dengan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi karena dinilai telah merugikan keuangan negara tanpa mempertimbangkan apakah telah terjadi penyalahgunaan kewenangan didalamnya. Padahal sebenarnya kesalahan seorang pelaku kejahatan harus diiringi dengan niat jahat (mens rea).

Undang-undang Pengadaan akan bersifat sebagai katalisator terhadap tuduhan interventif dari pihak-pihak yang cenderung memanfaatkan keadaan. Kondisi seperti ini yang dulu tidak dapat dibendung hanya oleh PERPRES. Dengan akan hadirnya Undang-undang Pengadaan, akan makin menguatkan dan melindungi posisi dari entitas pengadaan yang sedang berkonsentrasi penuh membelanjakan uang negara untuk niat suci dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat.

Adjudication by Parlement
Secara formalitas-teoretis, penyusunan RUU pengadaan adalah sebagai sebuah upaya kesadaran terhadap pemahaman hukum yang utuh. Pengaturan mengenai Public Procurement diharapkan menjadi salah satu penguatan teori ketatanegaraan kita, Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah tidak lagi menjadi Standard Operasional Procedure (SOP) pemerintah, lebih dari itu pengaturan mengenai Government Procurement menjadi kehendak bersama dari rakyat Indonesia (persetujuan parlemen), bahwa sudah saatnya Indonesia kini memiliki Formil Gezet dibidang pengadaan, walaupun secara tekhnis mendetil tetap harus disambung melalui Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden.

John Locke sudah jauh hari menyampaikan bahwa tugas dari badan legislatif adalah membuat undang-undang, sedang tugas dari eksekutif adalah menjalankannya, diantara itu harus ada prinsip pembagian kekuasaan (distribution of power) serta pembatasan kewenangan (restriction of authority). Penulis teringat dengan Political Quotes dari Lord Acton yang mengatakan “The Power tends to  corrupt, but absolute power corrupt absolutely” – (kekuasaan itu cenderung melampaui batas, akan tetapi  kekuasaan yang tidak dibatasi sudah pasti akan melampaui batas). Intinya bahwa pemerintah dihimbau cukup menjalankan aturan saja, jangan sampai ikut membuat aturan yang dia sendiri akan menjalankannya (abuse of power). Karena bila tidak,  apa yang disampaikan Lord Acton beratus tahun silam mendapatkan pembenarannya. Wallahualambisshawab.

Minggu, 10 April 2016

Kolonisasi Media Sebagai Alat Politik



Kolonisasi Media Sebagai Alat Politik

SONY GUSTI ANASTA



Secara ideal, media seharusnya menjadi penghubung antara pemerintah dan rakyat. Kemerdekaan pers adalah salah satu perwujudan dari kedaulatan rakyat yang berasaskan demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Hal tersebut secara tersirat tertulis dalam lembaran negara, khususnya dalam undang-undang nomor 40 tahun 1999.

Dewasa ini, banyak pakar hukum tata negara yang mengatakan bahwa independensi pers adalah pilar ke-5 kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya dapat dikatakan kalau salah satu pedoman berjalannya kehidupan berbangsa dan bernegara sangat ditentukan oleh kemandirian media dalam menyajikan informasi kepada masyarakat.

Peran media menjadi sangat sentral dewasa ini, apalagi eksistensinya mulai dikaitkan dengan konsep negara hukum. Jimly Assidiqie merumuskan unsur-unsur dari negara hukum, salah satunya adalah independensi media massa sebagai fasilitator komunikasi antara pemerintah dan rakyat.

Bicara soal independensi, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers menyiratkan bahwa media seharusnya memberikan pemberitaan yang adil dan berimbang. Hal ini didukung kuat dengan teori yang dicetuskan oleh Bill Kovach dan Tom Rossentil, wartawan kawakan amerika yang merumuskan 9 elemen jurnalisme. Salah satu unsurnya adalah cover both sides,

Unsur cover both sides maksudnya adalah pemberitaan harus mencantumkan informasi yang benar secara ideal dan seimbang mengenai masing-masing pihak yang diberitakan di suatu narasi pemberitaan.

Bentuk penyimpangan dari doktrin ini ada banyak ragamnya. Namun secara praktis saya melihat ada 2 pola yang jamak digunakan untuk memanipulasi berita. 1.) dengan menceritakan satu pihak dan menjelekkan pihak lain, dan ke 2.) dengan menceritakan satu pihak dan tidak menceritakan pihak lain.

Hal inilah yang menurut saya dapat membentuk pola pikir masyarakat dalam menilai sesuatu. Media akan dengan mudah untuk membentuk opini publik. Sekalipun hal tersebut masih berupa persepsi atau opini, namun jika ranahnya politik akan menjadi sangat strategis, karena menurut Burhanudin Muhtadi, dalam politik justru persepsilah yang mempunyai nilai yang kuat.

Oleh karenanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa alat politik terkuat didunia tidak terletak pada penokohan figur, bukan pula pada popularitas partai, melainkan tingkat persuasi media.

Tidak heran jika ladang ini mulai dilirik politisi kawakan tanah air. Sudah menjadi rahasia umum jika beberapa media, khususnya televisi sudah digawangi oleh politisi dari Partai Politik peserta pemilu 2014.

Media akan menjadi sosok sentral terpilihnya presiden baru Indonesia. Pemilu 2014 akan menjadi saksi sejarah pertarungan media versus media. Sejurus dengan hal itu, Michael Bauman telah memprediksi akan terjadinya hal demikian. Teori telepolitics-nya sejauh ini terbukti benar dan membuktikan kebobrokan media saat ini. Dalam teorinya ia mengatakan bahwa suatu saat akan terjadi, dimana peran partai politik akan bergeser dengan sendirinya oleh dominasi media terutama televisi dalam memersuasi pemilih.

Salah satu tujuannya adalah membuat rantai pengikat antara golongan swing vooters atau pemilih mengambang (pemilih yang belum menentukan pilihan) dalam kancah pemilu 2014 nanti. Secara statistik jumlah pemilih mengambang dari momen ke momen akan terus bertambah, dan diprediksi akan semakin meningkat mendekati tahun 2014. Hal ini dikarenakan banyak hal, salah satunya menurut Burhanudin Muhtadi disebabkan oleh deparpolisasi (anti parpol).

Kaum swing vooters menjadi incaran utama. Berbeda dengan pemilih yang telah mempunyai identitas partai (party ID), swing vooters adalah golongan pemilih yang lebih mudah untuk dipengaruhi, Karena pilihannya berada ditengah-tengah. Dengan sedikit polesan melaui doktrin jurnalisme, bukan tidak mungkin kaum swing vooters yang menurut penelitian LSI akhir tahun 2012 lalu berjumlah sekitar 55% ini akan berevolusi menjadi peminat partai pemilik media.

Ada adagium yang mengatakan bahwa, untuk mencapai tujuan, politik harus menghalalkan segala cara. Namun bukan berarti harus memanipulasi pemberitaan di media.  Secara yuridis, ada sanksi untuk setiap pelanggaran yang dilakukan, karena dalam setiap pemberitan pers yang menyimpang, ada kepentingan rakyat yang dikorbankan.

Media secara ideal seharusnya menjadi penyambung lidah rakyat ke pemerintah, dan menjadi kurir informasi pemerintah untuk disampaikan kepada warga negara. Bukan malah menjadi sarana pencitraan elite politik.

Media merupakan amanat rakyat. Didalamnya berisi tunai-tunai konstitusi sebagai pengurai demokrasi. Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi yang benar dan berimbang. Kepada warga negara cerdaslah dalam bertindak. Pilih mereka yang benar-benar mempunyai integritas dan kapasitas. Bukan mereka yang sudah membalut boroknya dengan pencitraan di media.



(Penulis adalah Mahasiswa FH UNJA)

Minggu, 03 April 2016

Komplikasi Pilkada dalam Instrumen Lembaga Negara



Komplikasi Pilkada dalam Instrumen Lembaga Negara

OLEH SONY GUSTI ANASTA



Intrik ketatanegaraan memang paling enak untuk dikaji, apalagi yang berhubungan dengan Konstitusi. dengan sistem negara hukum prismatik Pancasila seperti yang diungkapkan guru besar ilmu hukum Universitas Jambi, Sukanto Satoto, menjadikan butir-butir pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak rigid. Penafsiran pasal demi pasal tidak harus berpatok kaku beku pada tata kata bahasa perundangan, akan tetapi bisa biaskan, tergantung pada situasi dan kondisi sosial-politik bangsa Indonesia di suatu waktu. Namun tentu saja penafsiran tersebut haruslah selaras dengan penafsiran MK sebagai Guardian of Constitution.

Tarik ulur antara hukum dan politik beberapa bulan yang lalu menghantarkan status mekanisme pemilihan kepala daerah menjadi ambigu. Beberapa calon kepala daerah yang sudah siap tempur habis-habisan harus kembali memutar otak mencermati peta politik di senayan. Belum lagi harus menunggu putusan dari MK, jika legislasi di senayan digugat ke ranah pengadilan. Apalagi dengan keluarnya PERPPU tentang pemilihan kepala daerah mengakibatkan polemik ini menjadi konflik 3 lini, parlemen, pemerintah, dan pengadilan.


Seperti yang diketahui sebelumnya, pemilihan kepala daerah telah diketok palu melalui paripurna di DPR, rapat tersebut memutuskan bahwa kepala daerah dipilih oleh DPRD yang secara legalitas, dikristalisasi lewat Undang-Undang nomor 22 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota dan Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Namun belum genap 30 hari, aturan ini sudah masuk kedalam registrasi gugatan di MK. Hal ini sebenarnya sebuah kondisi yang wajar, mengingat aturan pemilihan kepala daerah sarat dengan hak politik warga negara yang menjadi pemegang kekuasaan tertingi dalam menentukan pimpinan daerahnya selama 5 tahun kedepan.

Pertanyaan Mendasar
Yang agak membingungkan adalah ketika belum selesainya gugatan di MK, Presiden Republik Indonesia masa bakti 2009-2014, SBY mengeluarkan PERPPU kontroversial yang menganulir undang-undang produk parlemen. Dalam kondisi seperti ini, sistem ketata-negaraan Indonesia dihadapkan kepada 3 pertanyaan mendasar.

Yang pertama dari segi politik, apa sebenarnya yang menjadi alasan SBY dalam mengeluarkan PERPPU tentang pemiihan kepala daerah tersebut? tentu akan menjadi kebiasaan ketatanegaraan bagi Presiden Indonesia berikutnya dalam menafsirkan kepentingan yang mendesak atau kegentingan yang memaksa. Dimensi pembuatan PERPPU lama kelamaan akan bergeser esensi dari penerapan hukum menjadi pelampiasan politik semata. Apalagi diwaktu yang bersamaan undang-undang yang dianulir oleh SBY tengah memasuki acara persidangan di Mahkamah Konstitusi.

Yang kedua, mana yang akan diikuti jika nantinya putusan MK bertentangan dengan substansi PEPPPU yang dikeluarkan SBY, mengingat tidak ada aturan yang jelas dalam konstitusi mengenai hal ini. putusan MK dan PERPPU berada dalam kapasitas yang berbeda, PERPPU berasal dari pemerintah, sedangkan putusan MK produk dari pengadilan. Keduanya sama-sama mempunyai tempat dan posisi dalam bingkai ketatanegaraan Indonesia.

Yang ketiga, jika pada akhirnya kita harus berpijak pada PERPPU dengan alasan legalitas formil sesuai dengan undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, kemudian PERPPU ini digugat kembali ke ranah MK, apa yang harus dilakukan?

Menurut penulis, terdapat 3 pilihan yang akan dilakukan oleh pemerintah. Pilihan pertama MK akan menolak dengan alasan sudah pernah memutus substansi yang sama, akan tetapi dalam produk hukum yang berbeda. Pilihan kedua, MK harus kembali bersidang memutus konflik mengenai pilkada ini dengan alasan formalitas yang dibalut dalam bingkai tanggung jawab untuk mempertahankan isi dan makna konstitusi dari seluruh instrumen hukum lembaga negara, termasuk PERPPU. Atau pilihan ketiga MK menolak dengan alasan masih harus menunggu keputusan dari parlemen, mengingat PERPPU yang dibuat harus mendapat persetujuan di DPR.


Melihat peta politik saat ini, pemerintah nampaknya lebih memilih pilihan ketiga, yaitu menunggu putusan dari parlemen. Sebenarnya berdasarkan yurisprudensi, MK bisa saja menguji dan memutus PERPPU tanpa harus menunggu prosedur internal DPR, karena secara materi, substansi PERPPU sama dengan materi substansi undang-undang.

Peran DPR
Kontribusi DPR sangat menentukan terhadap keberlangsungan demokrasi di Indonesia terutama dalam pemilihan kepala daerah kedepannya, terlepas dari mekanisme yang diselenggarakan langsung atau tidak langsung.

Sebelum mengambil keputusan, DPR harus menguat terlebih dahulu. Penguatan internal juga harus didukung oleh kesolidan partai pengisi kursi di senayan. Bisa jadi konflik dalam tubuh PPP atau krisis internal Golkar beberapa waktu yang lalu ada kaitannya dengan pengambilan keputusan mengenai PERPPU nantinya. bukankah suara Golkar cukup signifikan untuk membalikkan kedudukan dalam pertempuran sengit KMP versus KIH.

Secara hakikat, DPR harus benar-benar memahami bahwa sebagai positive legislature, kedudukan hukum serta perannya sangat strategis dalam menentukan model pemilihan kepala daerah. DPR tidak hanya dituntut melewati prosedur pengesahan atau pembatalan PERPPU semata, lebih dari itu terdapat tanggung jawab moril sebagai salah satu tiang penyangga negara untuk menegakkan nilai-nilai perjuangan rakyat yang termaktub didalam konstitusi.

Walaupun DPR diberikan kewenangan penuh untuk mengesahkan atau membatalkan PERPPU yang bersangkutan, namun tetap saja DPR harus menghormati pandangan dari ahli, masyarakat luas, dan institusi negara lainnya, termasuk putusan MK beberapa waktu lalu yang menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah lewat DPRD tidak bertentangan dengan konstitusi.

MK menganggap pemilihan kepala daerah adalah murni milik rezim pemerintahan daerah, dimana berdasarkan asas desentralisasi, bahwa daerah secara mandiri berhak dan berkewajiban untuk mengurus sendiri urusan rumah tangganya, termasuk dalam memilih kepala daerahnya sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 21 huruf b undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.

Jika harus melewati pemilihan umum, maka pengaturan KPU dalam konstitusi harus dirubah, karena saat ini berdasarkan pasal 22 E ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945, KPU merupakan lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat nasional dan tetap. Oleh karena itu pembentukan KPU Provinsi, Kabupaten/ Kota yang dibentuk berdasarkan PERPPU tidak sesuai dengan prinsip otonomi daerah yang dianut oleh konstitusi.

Memang setiap keputusan yang diambil selalu berkiblat pada politik kepentingan suatu golongan, namun menurut penulis, apapun itu mesti sesuai dengan konsensus-konsensus dalam konstitusi. Meminjam teori ajeg dari Mahfudh MD mengenai hubungan kausalitas antara politik dan hukum, “keputusan politik yang ada harus tunduk pada hukum yang berlaku. Politik baru bisa ikut campur ketika hukum menghendaki yang demikian”. Wallahua’lam bisshawab.