Kamis, 25 Januari 2018


Problematika 156a


OLEH SONY GUSTI ANASTA*



Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan vonis dua tahun terhadap terdakwa kasus dugaan penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Auditorium Kementerian Pertanian, Selasa (9/5/2017). Ahok dikenakan pidana berdasarkan Pasal 156a KUHP, menurut majelis hakim, Ahok secara jelas dan tegas melakukan penodaan terhadap umat islam, menimbulkan keresahan dan kegaduhan serta ketidaktertiban di tengah masyarakat.

LBH Jakarta dalam pers rilisnya tertanggal 9 Mei 2017 mengkritik putusan majelis hakim. Kritikan tersebut tidak didasarkan kepada pembelaan kepada Ahok semata namun lebih jauh dari itu, yakni mengkritik penggunaan Pasal 156a KUHP yang sedari dulu telah mengancam kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat, beragama dan berkeyakinan, serta kehidupan berdemokrasi pada umumnya. Bahkan LBH Jakarta telah melakukan Judicial Review terhadap Pasal 156a KUHP pada tahun 2009. Sampai sekarang, LBH Jakarta tetap konsisten membela individu ataupun kelompok yang menjadi ‘korban’ dari  keganasan pasal ini.

Setidaknya ada 7 alasan mengapa putusan majelis hakim yang menerapkan Pasal 156a KUHP bermasalah, Pertama Pasal 156a merupakan Pasal anti demokrasi yang secara jelas melanggar hak seseorang untuk menyatakan pikiran, dan sikap sesuai dengan hati nurani, serta hak atas kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28E Konstitusi, UU HAM, UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, serta ICCPR yang diratifikasi lewat UU 12 tahun 2005.

Yang kedua, Pasal ini kerap menjadi alat politik bagi negara dan pihak mayoritas intoleran untuk mengkriminalisasi hak asasi kelompok minoritas atau individu yang berbeda keyakinan sebagaimana yang menimpa Lia Eden, Abdul Rahman, Ahmad Musadeq, dkk. (Eks Pimpinan Gafatar), Hans Bague Jassin, Arswendo Atmowiloto, Saleh, Ardi Husein, Sumardin Tapaya (sholat bersiul), Yusman Roy (sholat mullti bahasa), Mangapin Sibuea (pimpinan sekte kiamat). Pasal 156a saat ini juga ikut mengancam Habieb Rizieq, dan Megawati yang telah dialporkan menggunakan Pasal anti demokrasi tersebut, dalam kondisi masyarakat yang sedang terbelah saat ini, bukan tidak mungkin produksi kasus yang dilandasi oleh kasus ini akan terus meningkat seiring dengan meruncingnya perbedaan pendapat di masyarakat, iklim perbedaan yang seharusnya ikut memperkaya perspektif bangsa justru menjadi landasan bagi orang yang tidak bertanggung jawab untuk memolisikan orang yang berbeda pendapat dengannya.

Alasan ketiga, Pasal 156a merupakan Pasal yang lahir dari UU 1/PNPS/1965 yang dikeluarkan ketika negara dalam keadaan darurat, pemerintahan tidak berjalan secara normal karena adanya ketegangan antara kelompok muslim dan komunis. Oleh sebab itu, penerapan Pasal 156a tidak relevan lagi dengan era reformasi yang menghendaki adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (demokrasi).

Yang keempat, rumusan Pasal 156a KUHP tidak jelas, ia tidak memenuhi prinsip lex certa dan lex scripta dalam pemenuhan asas legalitas, serta terlampau subjektif untuk diterapkan karena menggantungkan standar kebenaran atau kepatutan pada satu agama, yakni agama mayoritas. Hal ini menjadikan rumusan pasal 156a bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang diatur dalam Pasal 28D ayat (1) sehingga juga mengancam prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi penegakan hukum yang berkeadilan (rule of law) bagi masyarakat.

Alasan kelima, Majelis Hakim dalam putusannya tidak menerapkan Pasal 156a KUHP sebagai delik materiil, uraian mens rea dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim terlalu mengada-ada dan gagal untuk dibuktikan. Majelis Hakim tidak melihat bahwa unsur menciderai umat Islam, menimbulkan kegaduhan serta memecah kerukunan di masyarakat justru disebarkan oleh kelompok-kelompok intoleran yang melaporkan Ahok dan mendorong agar kasus Ahok masuk ke meja hijau. Majelis Hakim justru mebebankan segala bentuk kegaduhan dan gerakan massa yang menimbulkan keresahan di publik selama ini kepada Ahok. Dapat dikatakan, pertimbangan majelis hakim bahwa Ahok menimbulkan kegaduhan dan ketidaktertiban salah orang (eror in persona).

Yang keenam, Majelis Hakim juga abai dalam menerapkan hukum yang kontekstual dan sejalan dengan produk-produk peradilan yang ada sebelumnya, Majelis hakim tidak mengacu kepada Putusan MK No. 84/PUU-X/2012 terkait harus adanya peringatan berupa SKB 3 Menteri dan pengulangan perbuatan setelah terbitnya peringatan tersebut sebelum menerapkan Pasal 156a KUHP dengan sanksi pidana kepada Ahok.

Yang terakhir, penerapan Pasal 156a KUHP selalu didorong oleh tekanan publik. Penafsiran apakah suatu perbuatan bermuatan unsur penodaan terhadap agama tidak  hanya didasari pada kajian terhadap unsur-unsurnya, melainkan mengikuti penafsiran dan tekanan publik yang merupakan berasal dari kelompok mayoritas. Intervensi tersebut pada akhirnya ikut menggiring independensi Majelis Hakim untuk mengambil keputusan yang sesuai dengan tuntutan kelompok intoleran dan mayoritas untuk menyatakan Ahok bersalah. Rule of law dikorbankan serta digantikan dengan rule by mass (mobokrasi). Ini menjelaskan bahwa cita-cita konstitusi kita yang menghendaki independensi hakim dalam setiap peradilan belumlah tercapai, dalam kondisi seperti ini hukum hanya menjadi alat bagi mayoritas untuk menghukum, mengerdilkan, dan menyudutkan minoritas dan kelompok yang berbeda pandangan.

Alhasil Putusan Majelis Hakim PN Jakarta Utara dalam kasus Ahok ini menjadi preseden buruk bagi kelompok minoritas agama dan keyakinan lainnya yang ada di Indonesia, bahkan bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk menyelamatkan demokrasi, Pemerintah dan DPR R.I. mesti meninjau ulang perumusan delik penodaan agama yang saat ini sedang berlangsung dalam pembahasan RUU KUHP di DPR RI dan menghapuskan pasal anti demokrasi tersebut demi menghormati prinsip demokrasi dan tegaknya hak asasi manusia serta kepastian hukum di Indonesia. Wallahualam bisshawab. 

*Pengabdi Bantuan Hukum LBH Jakarta 2016-2017


Tidak ada komentar:

Posting Komentar