Dalam rilis Transparancy International Indonesia, sebesar 78 % masyarakat mendukung bahwa orang biasa dapat berperan dalam melawan korupsi, sebuah optimisme publik yang luar biasa. |
OLEH SONY
GUSTI ANASTA
Transparancy International (TI) merilis Global
Corruption Barometer (GCB), sebuah barometer ukuran korupsi di setiap negara di
dunia. Peluncuran riset ini dilakukan bertahap untuk beberapa wilayah di dunia,
yakni Eropa dan Amerika, Afrika dan Timur Tengah, serta Negara-negara Asia
Fasifik. Untuk Asia Fasifik sendiri, TI Indonesia mendapat giliran terakhir
untuk merilis hasil penelitiannya.
GCB sebenarnya dirilis selama 3 tahun sekali, seharusnya
setelah 2013, GCM dipresentasikan tahun 2016, namun karena suatu sebab, GCM
akhirnya baru disebarkan ke publik pada tahun 2017. Dadang Tri Sasongko, Sekjen
TI Indonesia mengungkapkan bahwa partisipasi masyarakat terhadap pencegahan dan
pemberantasan korupsi sangat tinggi, namun niat baik masyarakat ini sering
diancam lewat kriminalisasi dan penyempitan terhadap ruang ekspresi.
GCB agak sedikit berbeda dari Corruption Perception
Index (CPI), GCB menggabungkan metode pengambilan sampel dengan melibatkan
persepsi/ pandangan serta pengalaman pribadi responden, misalnya mencari tahu apakah
responden pernah melakukan suap ke pejabat pemerintahan, polisi, atau apa yang
dilakukan oleh responden ketika ditawari melakukan suap. Wawan Suyatmiko
Manajer Riset TI Indonesia berharap GCB dapat memberikan gambaran yang
menyeluruh dan komprehensif mengenai persepsi dan pengalaman masyarakat
terhadap korupsi di Indonesia.
Wawan menjelaskan terdapat 5 indikator yang digunakan
TI Indonesia dalam melaksanakan riset GCB di Indonesia, indikator yang
digunakan tersebut adalah tingkat korupsi, kinerja pemerintah, korupsi di
lembaga negara, suap layanan publik, masyarakat yang melawan korupsi.
Dari GCB terlihat bahwa persepsi masyarakat terhadap
korupsi di Asia Fasifik cenderung naik, sebesar 65 persen masyarakat Asia
Fasifik setuju bahwa korupsi meningkat, 22 persen menurun, dan 33 tetap. Lebih
sempit, 65 persen dari seluruh masyarakat Indonesia menganggap bahwa korupsi meningkat,
hanya 6 persen yang mengatakan menurun, dan sebesar 22 persen masyarakat
Indonesia menyatakan angka korupsi tetaplah sama.
Ketika ditanya, lembaga negara mana yang paling korup,
sebesar +/- 69 persen Masyarakat Asia Fasifik setuju bahwa institusi kepolisian
menjadi lembaga yang paling korup. Sedangkan di Indonesia, data TI Indonesia
menunjukkan bahwa sebanyak 54 persen responden berpendapat bahwa DPR merupakan
institusi negara Indonesia yang paling korup, dibawah DPR, sebesar 50 persen
masyarakat menjatuhkan pilihan bahwa birokrasi merupakan lembaga terkorup nomor
2, kemudian diikuti oleh DPRD sebesar 47 persen, Dirjen Pajak sebesar 45
persen, Polisi 40 persen, Kementerian 32 persen, Pengadilan 32 persen,
pengusaha 25, dan tokoh agama sebesar 7 persen.
Jika dibandingkan dengan GCB tahun 2013, penurunan
drastis terjadi pada institusi kepolisian, sebelumnya sebesar 91 persen
masyarakat Indonesia setuju bahwa Polisi Republik Indonesia merupakan institusi
negara yang paling korup, angka itu kemudian diiikuti dengan DPR sebesar 89
persen dan lembaga peradilan 86 persen, birokrasi 79 persen, pengusaha 54
persen, dan tokoh agama sebanyak 31 persen.
Dilihat dari data tersebut, ada banyak kemajuan dalam
persepsi masyarakat Indonesia terhadap korupsi. Walaupun 54 persen masyarakat
berpendapat DPR adalah lembaga negara yang paling korup, namun setidaknya angka
itu mengalami penurunan, begitu pula dengan pengadilan, birokrasi, dan
institusi kepolisian, walaupun angka GCB 2017 masih tergolong cukup tinggi,
namun terjadi penurunan angka yang cukup signifikan, artinya ada perkembangan
terhadap pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Kemudian, ketika ditanya apakah kinerja pemerintah
sudah cukup baik dalam memberantas korupsi, sebesar 64 persen masyarakat
menganggap bahwa sudah cukup baik, sedangkan 33 persen menganggap kinerja
pemerintah masih buruk. Angka tersebut jika dibandingkan dengan GCB tahun 2013,
terlihat bahwa kinerja pemerintah dalam memberantas korupsi mengalami
peningkatan. Tahun 2013 sebesar 65 persen masyarakat menganggap kinerja pemerintah
buruk, hanya 16 persen saja yang memuji upaya pemerintah dalam pemberantasan
korupsi.
Dari temuan TI Indonesia, salah satu yang menarik
adalah sebesar 32 persen masyarakat Indonesia mengaku pernah melakukan suap,
itu artinya 1 dari 3 orang di Indonesia pernah melakukan suap ke pejabat
pemerintahan, dan secara gender, sebanyak 52 persen dari pelaku suap tersebut
adalah laki-laki dan sisanya perempuan. Dari 32 persen masyarakat yang pernah
melakukan suap tersebut, sebanyak 25 persen pernah melakukan suap kepada
polisi, angka paling tinggi dari responden yang pernah melakukan suap, angka
tersebut kemudian diikuti oleh Dukcapil sebesar 23 persen, rumah sakit dan
sekolah masing-masing sebesar 15 persen, institusi air/listrik sebesar 14
persen, dan pengadilan sebesar 6 persen. Dari data tersebut, kita lihat anomali
bahwa walaupun institusi kepolisian mengalami penurunan persepsi korupsi yang
sangat signifikan, namun sebesar 25 persen dari pelaku suap ternyata menyatakan
pernah melakukan suap ke institusi tersebut, angka pengalaman suap paling besar
di antara institusi lain yang pernah disuap. Dari fenomena ini, mungkin saja
sebenarnya angka korupsi di institusi kepolisian tetap tinggi, namun tidak
diketahui oleh publik, jika memang benar demikian, maka perlu bagi pemerintah
dan masyarakat sipil untuk mendorong akuntabilitas pelaksanaan anggaran di
tubuh kepolisian.
Kemudian, saat ditanya respon masyarakat ketika
menerima atau ditawari untuk melakukan suap, mayoritas Indonesia mengatakan
menolak untuk melakukan hal tersebut, berbeda dengan masyarakat Asia Pasifik
yang akan melapor kepada institusi terkait ketika ditawari untuk melakukan
suap. Saat ditanya, mengapa masyarakat Indonesia tidak langsung melaporkan
upaya penyuapan, sebesar 38 persen menyatakan takut terhadap konsekuensi, 14
persen tidak tahu kemana harus melapor, 12 persen tidak tahu bagaimana caranya,
dan 12 persen tidak ada efeknya.
Namun berita bahagia hadir pada persepsi terhadap
keterlibatan masyarakat biasa dalam mendorong perlawanan terhadap korupsi, 78
persen masyarakat Indonesia sepakat bahwa masyarakat biasa dapat berperan dalam
melawan korupsi, hal ini menurut Dadang Tri Sasongko merupakan pencapaian yang
sangat luar biasa, optimisme Indonesia untuk terbebas dari cengkraman korupsi
harus diikuti dengan melibatkan publik dalam pencegahan dan pemberantasan
korupsi, oleh sebab itu segala bentuk kriminalisasi dan segala upaya penyempitan
ruang ekspresi harus segera dihapuskan. Wawan menunjukkan bahwa kesimpulan dari
hasil riset tersebut adalah bahwa, walaupun tingkat korupsi di Indonesia
relative masih tinggi, upaya yang dilakukan pemerintah dan kesadaran masyarakat
untuk ikut mendorong dan melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi
meningkat.
Wawan menjelaskan, ada 4 rekomendasi yang ditawarkan
oleh TI Indonesia kepada pemangku kebijakan. Rekomendasi tersebut adalah, yang
pertama, Lembaga legislatif (DPR, DPRD) perlu melakukan upaya lebih keras dalam
menegakkan integritas dan nilai-nilai anti korupsi, termasuk juga partai
politik, harus terlibat aktif dalam menghadang peluang terjadinya korupsi
politik. Yang kedua, reformasi birokrasi oleh pemerintah (Pusat dan Daerah)
menjadi ujung tombak bagi penyediaan pelayanan publik yang prima kepada masyarakat.
Yang ketiga, negara harus menghadirkan jaminan perlindungan hukum terhadap
pelapor/ saksi/ korban, khususnya pada kasus-kasus korupsi yang penting untuk
diperhatikan, dan yang keempat, usul inisiatif seperti pembentukan Tim Saber
Pungli dapat menjadi inovasi bagi pemerintah dan masyarakat untuk bersama-sama melakukan
upaya memberantas korupsi di Indonesia.
Penulis adalah Alumni FH UNJA,
Pengabdi Bantuan Hukum di LBH Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar