Selasa, 07 Maret 2017

TI Rilis Global Corruption Barometer: Polisi Menurun, DPR Institusi Paling Korup di Indonesia

Dalam rilis Transparancy International Indonesia, sebesar 78 % masyarakat mendukung bahwa orang biasa dapat berperan dalam melawan korupsi, sebuah optimisme publik yang luar biasa.

OLEH SONY GUSTI ANASTA

Transparancy International (TI) merilis Global Corruption Barometer (GCB), sebuah barometer ukuran korupsi di setiap negara di dunia. Peluncuran riset ini dilakukan bertahap untuk beberapa wilayah di dunia, yakni Eropa dan Amerika, Afrika dan Timur Tengah, serta Negara-negara Asia Fasifik. Untuk Asia Fasifik sendiri, TI Indonesia mendapat giliran terakhir untuk merilis hasil penelitiannya.

GCB sebenarnya dirilis selama 3 tahun sekali, seharusnya setelah 2013, GCM dipresentasikan tahun 2016, namun karena suatu sebab, GCM akhirnya baru disebarkan ke publik pada tahun 2017. Dadang Tri Sasongko, Sekjen TI Indonesia mengungkapkan bahwa partisipasi masyarakat terhadap pencegahan dan pemberantasan korupsi sangat tinggi, namun niat baik masyarakat ini sering diancam lewat kriminalisasi dan penyempitan terhadap ruang ekspresi.

GCB agak sedikit berbeda dari Corruption Perception Index (CPI), GCB menggabungkan metode pengambilan sampel dengan melibatkan persepsi/ pandangan serta pengalaman pribadi responden, misalnya mencari tahu apakah responden pernah melakukan suap ke pejabat pemerintahan, polisi, atau apa yang dilakukan oleh responden ketika ditawari melakukan suap. Wawan Suyatmiko Manajer Riset TI Indonesia berharap GCB dapat memberikan gambaran yang menyeluruh dan komprehensif mengenai persepsi dan pengalaman masyarakat terhadap korupsi di Indonesia.

Wawan menjelaskan terdapat 5 indikator yang digunakan TI Indonesia dalam melaksanakan riset GCB di Indonesia, indikator yang digunakan tersebut adalah tingkat korupsi, kinerja pemerintah, korupsi di lembaga negara, suap layanan publik, masyarakat yang melawan korupsi.

Dari GCB terlihat bahwa persepsi masyarakat terhadap korupsi di Asia Fasifik cenderung naik, sebesar 65 persen masyarakat Asia Fasifik setuju bahwa korupsi meningkat, 22 persen menurun, dan 33 tetap. Lebih sempit, 65 persen dari seluruh masyarakat Indonesia menganggap bahwa korupsi meningkat, hanya 6 persen yang mengatakan menurun, dan sebesar 22 persen masyarakat Indonesia menyatakan angka korupsi tetaplah sama.

Ketika ditanya, lembaga negara mana yang paling korup, sebesar +/- 69 persen Masyarakat Asia Fasifik setuju bahwa institusi kepolisian menjadi lembaga yang paling korup. Sedangkan di Indonesia, data TI Indonesia menunjukkan bahwa sebanyak 54 persen responden berpendapat bahwa DPR merupakan institusi negara Indonesia yang paling korup, dibawah DPR, sebesar 50 persen masyarakat menjatuhkan pilihan bahwa birokrasi merupakan lembaga terkorup nomor 2, kemudian diikuti oleh DPRD sebesar 47 persen, Dirjen Pajak sebesar 45 persen, Polisi 40 persen, Kementerian 32 persen, Pengadilan 32 persen, pengusaha 25, dan tokoh agama sebesar 7 persen.

Jika dibandingkan dengan GCB tahun 2013, penurunan drastis terjadi pada institusi kepolisian, sebelumnya sebesar 91 persen masyarakat Indonesia setuju bahwa Polisi Republik Indonesia merupakan institusi negara yang paling korup, angka itu kemudian diiikuti dengan DPR sebesar 89 persen dan lembaga peradilan 86 persen, birokrasi 79 persen, pengusaha 54 persen, dan tokoh agama sebanyak 31 persen.

Dilihat dari data tersebut, ada banyak kemajuan dalam persepsi masyarakat Indonesia terhadap korupsi. Walaupun 54 persen masyarakat berpendapat DPR adalah lembaga negara yang paling korup, namun setidaknya angka itu mengalami penurunan, begitu pula dengan pengadilan, birokrasi, dan institusi kepolisian, walaupun angka GCB 2017 masih tergolong cukup tinggi, namun terjadi penurunan angka yang cukup signifikan, artinya ada perkembangan terhadap pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Kemudian, ketika ditanya apakah kinerja pemerintah sudah cukup baik dalam memberantas korupsi, sebesar 64 persen masyarakat menganggap bahwa sudah cukup baik, sedangkan 33 persen menganggap kinerja pemerintah masih buruk. Angka tersebut jika dibandingkan dengan GCB tahun 2013, terlihat bahwa kinerja pemerintah dalam memberantas korupsi mengalami peningkatan. Tahun 2013 sebesar 65 persen masyarakat menganggap kinerja pemerintah buruk, hanya 16 persen saja yang memuji upaya pemerintah dalam pemberantasan korupsi.

Dari temuan TI Indonesia, salah satu yang menarik adalah sebesar 32 persen masyarakat Indonesia mengaku pernah melakukan suap, itu artinya 1 dari 3 orang di Indonesia pernah melakukan suap ke pejabat pemerintahan, dan secara gender, sebanyak 52 persen dari pelaku suap tersebut adalah laki-laki dan sisanya perempuan. Dari 32 persen masyarakat yang pernah melakukan suap tersebut, sebanyak 25 persen pernah melakukan suap kepada polisi, angka paling tinggi dari responden yang pernah melakukan suap, angka tersebut kemudian diikuti oleh Dukcapil sebesar 23 persen, rumah sakit dan sekolah masing-masing sebesar 15 persen, institusi air/listrik sebesar 14 persen, dan pengadilan sebesar 6 persen. Dari data tersebut, kita lihat anomali bahwa walaupun institusi kepolisian mengalami penurunan persepsi korupsi yang sangat signifikan, namun sebesar 25 persen dari pelaku suap ternyata menyatakan pernah melakukan suap ke institusi tersebut, angka pengalaman suap paling besar di antara institusi lain yang pernah disuap. Dari fenomena ini, mungkin saja sebenarnya angka korupsi di institusi kepolisian tetap tinggi, namun tidak diketahui oleh publik, jika memang benar demikian, maka perlu bagi pemerintah dan masyarakat sipil untuk mendorong akuntabilitas pelaksanaan anggaran di tubuh kepolisian.

Kemudian, saat ditanya respon masyarakat ketika menerima atau ditawari untuk melakukan suap, mayoritas Indonesia mengatakan menolak untuk melakukan hal tersebut, berbeda dengan masyarakat Asia Pasifik yang akan melapor kepada institusi terkait ketika ditawari untuk melakukan suap. Saat ditanya, mengapa masyarakat Indonesia tidak langsung melaporkan upaya penyuapan, sebesar 38 persen menyatakan takut terhadap konsekuensi, 14 persen tidak tahu kemana harus melapor, 12 persen tidak tahu bagaimana caranya, dan 12 persen tidak ada efeknya.

Namun berita bahagia hadir pada persepsi terhadap keterlibatan masyarakat biasa dalam mendorong perlawanan terhadap korupsi, 78 persen masyarakat Indonesia sepakat bahwa masyarakat biasa dapat berperan dalam melawan korupsi, hal ini menurut Dadang Tri Sasongko merupakan pencapaian yang sangat luar biasa, optimisme Indonesia untuk terbebas dari cengkraman korupsi harus diikuti dengan melibatkan publik dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi, oleh sebab itu segala bentuk kriminalisasi dan segala upaya penyempitan ruang ekspresi harus segera dihapuskan. Wawan menunjukkan bahwa kesimpulan dari hasil riset tersebut adalah bahwa, walaupun tingkat korupsi di Indonesia relative masih tinggi, upaya yang dilakukan pemerintah dan kesadaran masyarakat untuk ikut mendorong dan melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi meningkat.

Wawan menjelaskan, ada 4 rekomendasi yang ditawarkan oleh TI Indonesia kepada pemangku kebijakan. Rekomendasi tersebut adalah, yang pertama, Lembaga legislatif (DPR, DPRD) perlu melakukan upaya lebih keras dalam menegakkan integritas dan nilai-nilai anti korupsi, termasuk juga partai politik, harus terlibat aktif dalam menghadang peluang terjadinya korupsi politik. Yang kedua, reformasi birokrasi oleh pemerintah (Pusat dan Daerah) menjadi ujung tombak bagi penyediaan pelayanan publik yang prima kepada masyarakat. Yang ketiga, negara harus menghadirkan jaminan perlindungan hukum terhadap pelapor/ saksi/ korban, khususnya pada kasus-kasus korupsi yang penting untuk diperhatikan, dan yang keempat, usul inisiatif seperti pembentukan Tim Saber Pungli dapat menjadi inovasi bagi pemerintah dan masyarakat untuk bersama-sama melakukan upaya memberantas korupsi di Indonesia.

Penulis adalah Alumni FH UNJA,
Pengabdi Bantuan Hukum di LBH Jakarta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar