Kamis, 25 Januari 2018

Listrik Milik Rakyat


OLEH SONY GUSTI ANASTA*


Pemerintah berdasarkan Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 28 tahun 2016 tentang Tarif Tenaga Listrik Yang Disediakan Oleh PT. PLN (Permen Tarif Tenaga Listrik) mencabut subsidi untuk hampir seluruh rumah tangga dengan tegangan listrik 900 VA. Sebelumnya pemerintah mensubsidi rumah tangga dengan tegangan listrik 450 VA dan 900 VA, namun lewat Permen Tarif Tenaga Listrik terbaru ini, pemerintah dan serta merta juga Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat lewat rapatnya bersama Menteri ESDM tertanggal 22 desember 2016 hanya ‘mau’ mensubsidi 23 juta rumah tangga dengan tegangan listrik 450 VA dan 4 juta rumah tangga 900 VA yang berada dalam garis kemiskinan, sedangkan sekitar 18 juta rumah tangga dengan tegangan listrik 900 VA-RTM (Rumah Tangga Mampu) tidak lagi disubsidi.

Kebijakan pemerintah tersebut dinilai benar-benar mencekik rakyat, di saat dollar dan harga bahan pokok melambung naik, pemerintah justru membebankan potensi kerugian keuangan negara kepada rakyat. Terkait dengan kebijakan tersebut setidaknya terdapat 3 alasan bagi kita rakyat Indonesia menolak kebijakan penghapusan subsidi listrik tersebut.

Kewarganegaraan VS Konsumeritas
Yang pertama Permen Tentang Tarif Tenaga Listrik vis a vis dengan Undang-Undang Nomor Nomor 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan menggeser makna warga negara menjadi konsumen. Dalam rezim warga negara, sumber daya alam merupakan kepunyaan rakyat, pemerintah sebagai organisasi sah yang menyelenggarakan kepentingan negara hanya memiliki tugas untuk mengelola agar sumber daya tersebut dapat dimaanfaatkan untuk kepentingan rakyat itu sendiri. Oleh sebab itu, pemenuhan hak akses terhadap listrik murah dan terjangkau dalam rangka mewujudkan kesejahteraan hidup warga negara merupakan tugas dan tanggung jawab negara (lihat pasal 28I ayat (4) UUD 1945). Dengan kata lain, mendapat akses listrik dengan harga terjangkau adalah hak setiap manusia, tidak perduli apakah seorang tersebut itu berada dalam rumah tangga mampu atau tidak, karena listrik merupakan sumber daya yang secara fundamental milik rakyat Indonesia secara kolektif. Sama seperti air, komersialisasi terhadap listrik merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Penarifan air dan juga listrik maksimal hanya sebatas kepada biaya administrasi, distribusi dan pengemasan, lebih dari itu air dan listrik tidak boleh dijual.

Sedangkan dalam rezim konsumen, warga negara diposisikan setara dengan negara dan perusahaan listrik negara, akses terhadap listrik dapat dinikmati jika terdapat hubungan jual-beli antara produsen yang dalam hal ini adalah negara dan PLN dengan konsumen yang dalam hal ini adalah warga masyarakat. Prinsip konsumen dalam UU Ketenagalistrikan dan Permen Tentang Tarif Dasar Listrik membuat negara tidak memiliki tanggung jawab untuk memenuhi hak atas listrik warga negara, dia menyerahkan hubungan tesebut kepada relasi perniagaan yang memiliki prinsip ‘ada uang maka ada barang’. Kewajiban negara untuk memberikan akses terhadap listrik berlaku apabila masyarakatnya membayar kepada pihak swasta/ PLN. Dalam hubungan seperti itu, produsen memiliki otoritas untuk menentukan harga, sebaliknya konsumen juga dapat secara merdeka untuk menentukan ke produsen mana mereka akan membeli. Pergeseran paradigma dari konsep kewarganegaraan ke konsep kosumeritas dalam pengelolaan sumber daya alam membuat jarak antara masyarakat dengan akses terhadap listrik semakin jauh. Menjauhnya akses terhadap listrik tersebut secara tidak langsung mengalienasi rakyat dari sumber daya alam. Rakyat tersingkir dan termarjinalkan dari tanah dan air yang merupakan hak miliknya sendiri.

Hal ini tentu bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” dalam konteks pengelolaan ketenagalistrikan, justru sumber daya hanya ditujukan untuk sebagian orang saja.

Mekanisme Pasar = Kebijakan Kapitalis
Alasan kedua adalah, Permen tentang tarif dasar listrik menyerahkan harga listrik kepada mekanisme pasar, artinya Pemerintah bukan otoritas tunggal dalam melakukan kontrol terhadap harga listik. Pasal 6 ayat (2) Permen bersangkutan mengatakan bahwa “penyesuaian tarif listrik akan ditentukan perbulan (setelah bulan juni 2017) berdasarkan perubahan terhadap (1) Nilai Tukar Mata Uang Dollar Amerika terhadap Rupiah, (2) Indonesia Crude Price, dan (3) Laju Inflasi.”

Penyerahan harga listrik kepada mekanisme pasar merupakan bentuk rasa kekalahan negara terhadap sistem kapitalis, ia kemudian memberikan akses penuh terhadap pasar dan pelaku bisnis untuk menentukan harga dasar listrik. Hilangnya peran negara digantikan dengan dominasi pasar dalam penentuan harga listrik menyebabkan terlanggarnya hak warga negara atas kepastian hukum, dan jaminan kesejahteraan. Padahal Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 mengatakan “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Dan Pasal 33 ayat (4) “bumi, air, dan segala kekayaan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Listrik dan PLN merupakan cabang penting yang menguasai hajat hidup untuk orang banyak, ia merupakan ekses sumber daya alam yang memiliki peran penting terhadap pembangunan ekonomi, infrastruktur, dan pembangunan manusia Indonesia. Oleh sebab itu, dalam konteks perlindungan dan pemenuhan HAM, negara mesti hadir dan menjadi pelindung dan pemenuh hak asasi tersebut, bukan kemudian lari dari tugas serta tanggung jawab dan kemudian menyerahkannya kepada pemilik modal. Membiarkan rakyat miskin, buta pengetahuan, tidak memiliki kuasa apapun berhadapan dengan pasar yang penuh modal, spekulatif, mafia, kepentingan ekonomi yang tinggi dan sekaligus ‘rakus’ bukan merupakan langkah yang tepat untuk negara yang sumber daya alamnya melimpah ruah seperti Indonesia.

Minus Partisipasi Publik
Yang terakhir, pembentukan dan implementasi Permen Tentang Tarif Dasar Listrik tidak memenuhi prinsip keterbukaan yang dikehendaki oleh negara hukum dan demokrasi, dalam penyusunannya pemerintah tidak memberi ruang partisipasi masyarakat, pemerintah juga tidak memosisikan masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, dan sebagai pihak-pihak yang terimbas ketika kebijakan diterapkan, atau pada intinya pemerintah gagal dalam merumuskan kebijakan yang kontekstual dan sejalan dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat. Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan (UU Administrasi Pemerintahan) mengatakan “Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memberikan sosialisasi kepada pihak-pihak yang terlibat mengenai dasar hukum, persyaratan, dokumen, dan fakta yang terkait sebelum menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan yang dapat menimbulkan pembebanan bagi Warga Masyarakat.” Dalam ayat 2 disebutkan, sosialisasi tersebut harus dilakukan seminimal-minimalnya 10 hari sebelum kebijakan tersebut diterapkan.

Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Kovenan Hak Ekosob) yang diratifikasi lewat UU Nomor 11 tahun 2005 dan Kovenan Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi lewat UU Nomor 12 tahun 2005 secara implisit menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi, serta berhak untuk ikut serta berpartisipasi dalam pengambilan keputusan mengenai rencana dan kebijakan yang apabila diterapkan memiliki dampak kepadanya dan lingkungannya. Prinsip partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan ini merupakan langkah penting untuk melihat apakah kebijakan yang akan diterapkan telah memenuhi unsur keadilan di masyarakat terdampak. Dalam pembangunan, prinsip partisipasi masyarakat sangat sering dilanggar, terutama dalam hal pemanfaatan hutan, alih fungsi lahan, penertiban liar, penggusuran paksa, dan lain sebagainya.

Alhasil, kenaikan tarif dasar listrik sebagaimana yang diatur dalam Permen ESDM Nomor 28 Tahun 2016  tentang Tarif Tenaga Listrik yang disediakan oleh PT. PLN merupakan: kebijakan inkonstitusonil karena ia melanggar prinsip pengelolaan sumber daya alam dan prinsip keterbukaan dan penghargaan terhadap partisipasi masyarakat; kebijakan yang melegitimasi pemerintah untuk melakukan pembiaran (by ommision) kepada warga negara untuk berhadapan langsung dengan pasar global dan laju inflasi (kapitalis); serta kebijakan yang berhasil mendelegitimasi dan menurunkan status masyarakat Indonesia dari sebelumnya sebagai warga negara menjadi konsumen perusahaan. Jika boleh usul, seluruh rakyat Indonesia mesti bersatu, ajukan judicial review ke MA, atau kirimkan gugatan warga negara (Citizens Law Suite/ CLS) langsung ke Presiden Republik Indonesia.


*Penulis adalah Pengabdi Bantuan Hukum di LBH Jakarta 2016-2017, serta Alumni Fakultas Hukum Universitas Jambi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar