Listrik Milik Rakyat
OLEH SONY GUSTI ANASTA*
Pemerintah berdasarkan Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral
Nomor 28 tahun 2016 tentang Tarif Tenaga Listrik Yang Disediakan Oleh PT. PLN
(Permen Tarif Tenaga Listrik) mencabut subsidi untuk hampir seluruh rumah
tangga dengan tegangan listrik 900 VA. Sebelumnya pemerintah mensubsidi rumah
tangga dengan tegangan listrik 450 VA dan 900 VA, namun lewat Permen Tarif
Tenaga Listrik terbaru ini, pemerintah dan serta merta juga Komisi VII Dewan
Perwakilan Rakyat lewat rapatnya bersama Menteri ESDM tertanggal 22 desember
2016 hanya ‘mau’ mensubsidi 23 juta rumah tangga dengan tegangan listrik 450 VA
dan 4 juta rumah tangga 900 VA yang berada dalam garis kemiskinan, sedangkan
sekitar 18 juta rumah tangga dengan tegangan listrik 900 VA-RTM (Rumah Tangga
Mampu) tidak lagi disubsidi.
Kebijakan pemerintah tersebut dinilai benar-benar mencekik rakyat, di
saat dollar dan harga bahan pokok melambung naik, pemerintah justru membebankan
potensi kerugian keuangan negara kepada rakyat. Terkait dengan kebijakan
tersebut setidaknya terdapat 3 alasan bagi kita rakyat Indonesia menolak
kebijakan penghapusan subsidi listrik tersebut.
Kewarganegaraan VS Konsumeritas
Yang pertama Permen Tentang Tarif Tenaga Listrik vis a vis dengan Undang-Undang Nomor Nomor 30 tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan menggeser makna warga negara menjadi konsumen. Dalam rezim
warga negara, sumber daya alam merupakan kepunyaan rakyat, pemerintah sebagai
organisasi sah yang menyelenggarakan kepentingan negara hanya memiliki tugas
untuk mengelola agar sumber daya tersebut dapat dimaanfaatkan untuk kepentingan
rakyat itu sendiri. Oleh sebab itu, pemenuhan hak akses terhadap listrik murah
dan terjangkau dalam rangka mewujudkan kesejahteraan hidup warga negara
merupakan tugas dan tanggung jawab negara (lihat pasal 28I ayat (4) UUD 1945). Dengan
kata lain, mendapat akses listrik dengan harga terjangkau adalah hak setiap
manusia, tidak perduli apakah seorang tersebut itu berada dalam rumah tangga
mampu atau tidak, karena listrik merupakan sumber daya yang secara fundamental
milik rakyat Indonesia secara kolektif. Sama seperti air, komersialisasi
terhadap listrik merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Penarifan
air dan juga listrik maksimal hanya sebatas kepada biaya administrasi,
distribusi dan pengemasan, lebih dari itu air dan listrik tidak boleh dijual.
Sedangkan dalam rezim konsumen, warga negara diposisikan
setara dengan negara dan perusahaan listrik negara, akses terhadap listrik
dapat dinikmati jika terdapat hubungan jual-beli antara produsen yang dalam hal
ini adalah negara dan PLN dengan konsumen yang dalam hal ini adalah warga
masyarakat. Prinsip konsumen dalam UU Ketenagalistrikan dan Permen Tentang
Tarif Dasar Listrik membuat negara tidak memiliki tanggung jawab untuk memenuhi
hak atas listrik warga negara, dia menyerahkan hubungan tesebut kepada relasi
perniagaan yang memiliki prinsip ‘ada uang maka ada barang’. Kewajiban negara
untuk memberikan akses terhadap listrik berlaku apabila masyarakatnya membayar
kepada pihak swasta/ PLN. Dalam hubungan seperti itu, produsen memiliki
otoritas untuk menentukan harga, sebaliknya konsumen juga dapat secara merdeka
untuk menentukan ke produsen mana mereka akan membeli. Pergeseran paradigma
dari konsep kewarganegaraan ke konsep kosumeritas dalam pengelolaan sumber daya
alam membuat jarak antara masyarakat dengan akses terhadap listrik semakin jauh.
Menjauhnya akses terhadap listrik tersebut secara tidak langsung mengalienasi
rakyat dari sumber daya alam. Rakyat tersingkir dan termarjinalkan dari tanah dan
air yang merupakan hak miliknya sendiri.
Hal ini tentu bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD
1945 yang berbunyi “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”
dalam konteks pengelolaan ketenagalistrikan, justru sumber daya hanya ditujukan
untuk sebagian orang saja.
Mekanisme Pasar = Kebijakan Kapitalis
Alasan kedua adalah, Permen tentang tarif dasar listrik
menyerahkan harga listrik kepada mekanisme pasar, artinya Pemerintah bukan
otoritas tunggal dalam melakukan kontrol terhadap harga listik. Pasal 6 ayat
(2) Permen bersangkutan mengatakan bahwa “penyesuaian tarif listrik akan
ditentukan perbulan (setelah bulan juni 2017) berdasarkan perubahan terhadap
(1) Nilai Tukar Mata Uang Dollar Amerika terhadap Rupiah, (2) Indonesia Crude
Price, dan (3) Laju Inflasi.”
Penyerahan harga listrik kepada mekanisme pasar merupakan
bentuk rasa kekalahan negara terhadap sistem kapitalis, ia kemudian memberikan
akses penuh terhadap pasar dan pelaku bisnis untuk menentukan harga dasar
listrik. Hilangnya peran negara digantikan dengan dominasi pasar dalam
penentuan harga listrik menyebabkan terlanggarnya hak warga negara atas
kepastian hukum, dan jaminan kesejahteraan. Padahal Pasal 33 ayat (2) UUD 1945
mengatakan “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Dan Pasal 33 ayat (4) “bumi,
air, dan segala kekayaan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Listrik dan PLN merupakan cabang penting yang menguasai hajat hidup
untuk orang banyak, ia merupakan ekses sumber daya alam yang memiliki peran
penting terhadap pembangunan ekonomi, infrastruktur, dan pembangunan manusia
Indonesia. Oleh sebab itu, dalam konteks perlindungan dan pemenuhan HAM, negara
mesti hadir dan menjadi pelindung dan pemenuh hak asasi tersebut, bukan
kemudian lari dari tugas serta tanggung jawab dan kemudian menyerahkannya
kepada pemilik modal. Membiarkan rakyat miskin, buta pengetahuan, tidak
memiliki kuasa apapun berhadapan dengan pasar yang penuh modal, spekulatif, mafia,
kepentingan ekonomi yang tinggi dan sekaligus ‘rakus’ bukan merupakan langkah
yang tepat untuk negara yang sumber daya alamnya melimpah ruah seperti
Indonesia.
Minus Partisipasi Publik
Yang terakhir, pembentukan dan implementasi Permen Tentang Tarif Dasar
Listrik tidak memenuhi prinsip keterbukaan yang dikehendaki oleh negara hukum
dan demokrasi, dalam penyusunannya pemerintah tidak memberi ruang partisipasi
masyarakat, pemerintah juga tidak memosisikan masyarakat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi, dan sebagai pihak-pihak yang terimbas ketika kebijakan
diterapkan, atau pada intinya pemerintah gagal dalam merumuskan kebijakan yang
kontekstual dan sejalan dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat. Pasal 46
ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan
(UU Administrasi Pemerintahan) mengatakan “Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
memberikan sosialisasi kepada pihak-pihak yang terlibat mengenai dasar hukum,
persyaratan, dokumen, dan fakta yang terkait sebelum menetapkan dan/atau
melakukan Keputusan dan/atau Tindakan yang dapat menimbulkan pembebanan bagi
Warga Masyarakat.” Dalam ayat 2 disebutkan, sosialisasi tersebut harus
dilakukan seminimal-minimalnya 10 hari sebelum kebijakan tersebut diterapkan.
Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Kovenan Hak
Ekosob) yang diratifikasi lewat UU Nomor 11 tahun 2005 dan Kovenan Hak Sipil
dan Politik yang diratifikasi lewat UU Nomor 12 tahun 2005 secara implisit
menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi, serta berhak
untuk ikut serta berpartisipasi dalam pengambilan keputusan mengenai rencana
dan kebijakan yang apabila diterapkan memiliki dampak kepadanya dan
lingkungannya. Prinsip partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan ini
merupakan langkah penting untuk melihat apakah kebijakan yang akan diterapkan
telah memenuhi unsur keadilan di masyarakat terdampak. Dalam pembangunan,
prinsip partisipasi masyarakat sangat sering dilanggar, terutama dalam hal
pemanfaatan hutan, alih fungsi lahan, penertiban liar, penggusuran paksa, dan
lain sebagainya.
Alhasil, kenaikan tarif dasar listrik sebagaimana yang diatur dalam
Permen ESDM Nomor 28 Tahun 2016 tentang
Tarif Tenaga Listrik yang disediakan oleh PT. PLN merupakan: kebijakan inkonstitusonil
karena ia melanggar prinsip pengelolaan sumber daya alam dan prinsip
keterbukaan dan penghargaan terhadap partisipasi masyarakat; kebijakan yang
melegitimasi pemerintah untuk melakukan pembiaran (by ommision) kepada warga negara untuk berhadapan langsung dengan pasar
global dan laju inflasi (kapitalis); serta kebijakan yang berhasil
mendelegitimasi dan menurunkan status masyarakat Indonesia dari sebelumnya
sebagai warga negara menjadi konsumen perusahaan. Jika boleh usul, seluruh
rakyat Indonesia mesti bersatu, ajukan judicial review ke MA, atau kirimkan
gugatan warga negara (Citizens Law Suite/ CLS) langsung ke Presiden Republik
Indonesia.
*Penulis adalah Pengabdi Bantuan Hukum di LBH Jakarta
2016-2017, serta Alumni Fakultas Hukum Universitas Jambi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar