Kamis, 25 Januari 2018

Hak Tenaga Kerja Atas THR



OLEH SONY GUSTI ANASTA


Menteri tenaga Kerja Republik Indonesia, Hanif Dhakiri menyerukan agar setiap perusahaan memberikan tunjangan hari raya (THR) keagamaan kepada seluruh tenaga kerja yang berada di Indonesia. Dalam ujaran konstruktif tersebut ia kemudian memerintahkan kepada Dinas Tenaga Kerja baik tingkat provinsi maupun kota atau kabupaten untuk turut serta dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak perkerja atas THR tersebut. Salah satu upaya kementerian dan dinas tenaga kerja dalam mewujudkan hal tersebut adalah dengan membentuk Posko Pengaduan THR 2017 yang telah di buka sejak minggu pertama di bulan juni 2017. Menanggapi hal tersebut, Dinas tenaga Kerja Provinsi Jambi, Kota Jambi,  Kabupaten Tanjung Jabung Barat, dan kabupaten lainnya kemudian segera membuat Posko Pengaduan THR berdasarkan wilayah kerja masing-masing.

Tulisan ini dimaksudkan sebagai sarana informasi kepada tenaga kerja, pengusaha, dan pengambil kebijakan mengenai regulasi baru THR. Lewat tulisan ini, penulis ingin menjelaskan seperti apa, siapa dan bagaimana seseorang berhak mendapatkan THR, serta sebagai wahana kritik konstruktif Kepada Dinas Tenaga Kerja yang menjaga dan mengawasi relasi hubungan industrial di Indonesia. Posko Pengaduan THR, merupakan sebuah kegiatan yang dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja untuk menerima laporan dan serta pengaduan dari tenaga kerja yang ada di Indonesia berkaitan dengan terlambatnya atau tidak dibayarkannya THR pekerja.

Setidaknya terdapat 5 poin penting dalam hal pemberian THR berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 6 Tahun 2016 Tentang THR Bagi Buruh/ pekerja di perusahaan. Yang pertama adalah aturan prinsip, yakni THR diberikan kepada Tenaga Kerja yang telah memiliki masa hubungan kerja lebih dari satu bulan. Jadi untuk setiap pekerja yang telah bekerja 1 bulan atau lebih sebelum tanggal hari raya agamanya, maka ia berhak atas THR. Namun untuk pekerja yang masa kerjanya belum genap 30 hari, maka ia belum berhak untuk mendapatkan THR di tahun itu.

Yang kedua, THR yang dibayarkan kepada pekerja harus dalam bentuk uang dengan kurs rupiah. Jadi pengusaha tidak boleh memberikan THR dalam bentuk uang dengan kurs asing atau barang dan lainnya. Hal ini perlu dipertegas untuk memperingatkan pengusaha nakal yang sering memberikan barang-barang seperti, minuman kaleng kemasan, sembako, baju, alat elektronik atau produk-produk sembako lainnya yang secara ekonomis jauh dibawah nilai THR. Apabila pengusaha ingin memberikan sembako atau barang kepada pekerjanya, hal itu sah-sah saja, asal tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk memberikan THR dalam wujud uang.

Yang ketiga, THR diperuntukkan bagi seluruh pekerja baik pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT/ Pegawai Kontrak), pekerja dengan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT/ Pegawai Tetap) dan buruh harian lepas sekalipun. Buruh harian lepas seperti buruh bangunan, buruh bengkel, buruh tani, atau pegawai toko (tenaga kerja informal) berhak atas THR selama unsur ketenagakerjaannya terpenuhi.

Pekerja Tetap yang di-PHK maksimal 30 hari sebelum hari raya keagamaanya tiba berhak atas THR dari pengusaha. Pekerja Kontrak yang kontraknya berakhir sebelum hari raya keagamaan tiba tidak berhak atas THR, kecuali pengusaha sengaja memutus kontrak secara sepihak sebelum masa kontraknya berakhir maka ia akan tetap berhak atas THR, selain uang penggantian sisa kontrak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 62 Undang-Undang nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Yang keempat, besaran THR untuk pekerja yang telah bekerja lebih dari 12 bulan adalah 1 (satu) bulan upah, sedangkan untuk pekerja yang masa kerjanya belum genap 12 bulan maka penghitungan besaran THR mengikuti rumusan berikut: Masa Kerja (dalam bulan) dikali 1 bulan besaran upah dibagi dengan 12. Sedangkan THR bagi buruh harian lepas dihitung berdasarkan upah rata-rata dalam 12 bulan terakhir. Jika masa kerja buruh harian lepas tersebut belum genap 12 bulan, maka besaran THR dihitung berdasarkan angka rata-rata dari jumlah bulan ia bekerja.

Satu hal yang menurut penulis mengagumkan dalam Permenakertrans THR ini adalah adanya asas keberpihakan Pemerintah kepada buruh, yakni dalam kondisi, rumusan upah yang diatur dalam Permenakertrans THR ini jauh lebih rendah dari rumusan THR sebagaimana yang telah diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, Dan Perjanjian Kerja Bersama, maka penentuan besaran THR akan mengikuti aturan yang paling menguntungkan buruh.

Terakhir, kelima, THR harus sudah dibayarkan pengusaha paling lambat 7 hari sebelum hari raya agama tenaga kerja yang besangkutan. Dalam konteks hari raya idul fitri tahun ini yang akan jatuh pada 25 juni 2017, maka hari terakhir pembayaran THR oleh Pengusaha jatuh pada hari minggu tanggal 18 juni 2017. Apabila pada tangal tersebut, pengusaha tidak kunjung membayarkan THR nya, maka pengusaha tersebut mendapat hukuman berupa denda sebesar 5 persen dari besaran THR  atas keterlambatannya. Dalam hal pengusaha tidak memberikan THR sama sekali, maka Dinas Tenaga Kerja berdasarkan wilayah kerjanya masing-masing dapat memberikan sanksi administrasi kepada pengusaha tersebut. Sanksi administrasi kepada Pengusaha yang tidak memberikan THR menurut pasal 59 ayat (2) PP 78 tahun 2015 tentang Pengupahan adalah (1) Teguran Tertulis; (2) Pembatasan Kegiatan Usaha; (3) Penghentian Sementara Sebagian atau Seluruh Alat Produksi; (4) Pembekuan kegiatan usaha.

Atas upaya pemerintah untuk membuka posko pengaduan THR demi menyerap laporan dan pengaduan dari buruh yang haknya terlanggar, dengan ini Penulis mengapresiasi atas terobosan dan inovasi dari stakeholder ketenagakerjaan baik di Indonesia maupun di Jambi khususnya. Sebagai catatan kedepannya, penulis merasa perlu untuk mengingatkan pemerintah untuk melakukan pendokumentasian praktik terbaik (lesson learned) dari Posko THR ini, seperti adanya pembuatan Satgas khusus, atau cerita sukses dari keberdayaan serikat buruh dalam memperjuangkan THR anggotanya.

Selain itu, Stakeholders juga perlu menambah wahana saluran pengaduan dengan memanfaatkan teknologi dan informasi. Laporan dan pengaduan THR tidak hanya dapat dilakukan dengan datang langsung ke Dinas Tenaga Kerja, namun juga dapat lewat hotline telepon, atau via online seperti google form, email, facebook dan alat media sosial lainnya.

Apabila relasi kuasa antara pengusaha dan buruh terlalu timpang, dalam konteks pemenuhan hak tenaga kerja atas THR, pengawas tenaga kerja dapat menindak, mengawasi, memberikan konfirmasi dan meminta klarifikasi kepada pengusaha dengan merahasiakan identitas para buruh. Dalam case tertentu, merahasiakan identitas buruh adalah opsi baik untuk melindungi keberlangsungan hubungan kerja buruh terhadap resistensi dan refresifitas watak pengusaha kapitalis totaliter.

Selain itu, saya membayangkan seluruh data yang berhasil dihimpun oleh satuan ketenagakerjaan didokumentasasikan dalam sebuah big data yang tersimpan dan terhubung kepada data-data sebelumnya, hal ini perlu dilakukan untuk mengantisipasi pola-pola pelanggaran ketenagakerjaan, dan sebagai bahan mentah dalam penyusunan kebijakan (policy making) ke depannya.

Terakhir upaya pemerintah dalam menanggulangi pelanggaran hak buruh harus dilakukan secara komprehensif dan keseluruhan. Upaya-upaya progresif semacam ini juga harus dilakukan untuk pelanggaran ketenagakerjaan lainnya seperti upah pekerja di bawah UMR, masa kerja PKWT yang melampaui batas, jam kerja yang berlebihan, Pesangon yang tidak dibayarkan, hingga PHK dan pemutusan kontrak secara sepihak.

*Penulis adalah Pengabdi Bantuan Hukum di LBH Jakarta 2016-2017, Alumni Fakultas Hukum Universitas Jambi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar