Hak Tenaga Kerja Atas THR
OLEH SONY GUSTI ANASTA
Menteri tenaga Kerja Republik
Indonesia, Hanif Dhakiri menyerukan agar setiap perusahaan memberikan tunjangan
hari raya (THR) keagamaan kepada seluruh tenaga kerja yang berada di Indonesia.
Dalam ujaran konstruktif tersebut ia kemudian memerintahkan kepada Dinas Tenaga
Kerja baik tingkat provinsi maupun kota atau kabupaten untuk turut serta dalam
memberikan perlindungan dan pemenuhan hak perkerja atas THR tersebut. Salah
satu upaya kementerian dan dinas tenaga kerja dalam mewujudkan hal tersebut
adalah dengan membentuk Posko Pengaduan THR 2017 yang telah di buka sejak
minggu pertama di bulan juni 2017. Menanggapi hal tersebut, Dinas tenaga Kerja
Provinsi Jambi, Kota Jambi, Kabupaten
Tanjung Jabung Barat, dan kabupaten lainnya kemudian segera membuat Posko
Pengaduan THR berdasarkan wilayah kerja masing-masing.
Tulisan ini dimaksudkan sebagai
sarana informasi kepada tenaga kerja, pengusaha, dan pengambil kebijakan mengenai
regulasi baru THR. Lewat tulisan ini, penulis ingin menjelaskan seperti apa,
siapa dan bagaimana seseorang berhak mendapatkan THR, serta sebagai wahana
kritik konstruktif Kepada Dinas Tenaga Kerja yang menjaga dan mengawasi relasi
hubungan industrial di Indonesia. Posko Pengaduan THR, merupakan sebuah
kegiatan yang dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja untuk menerima laporan dan
serta pengaduan dari tenaga kerja yang ada di Indonesia berkaitan dengan
terlambatnya atau tidak dibayarkannya THR pekerja.
Setidaknya terdapat 5 poin penting dalam
hal pemberian THR berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor 6 Tahun 2016 Tentang THR Bagi Buruh/ pekerja di perusahaan. Yang pertama
adalah aturan prinsip, yakni THR diberikan kepada Tenaga Kerja yang telah
memiliki masa hubungan kerja lebih dari satu bulan. Jadi untuk setiap pekerja
yang telah bekerja 1 bulan atau lebih sebelum tanggal hari raya agamanya, maka ia
berhak atas THR. Namun untuk pekerja yang masa kerjanya belum genap 30 hari,
maka ia belum berhak untuk mendapatkan THR di tahun itu.
Yang kedua, THR yang dibayarkan
kepada pekerja harus dalam bentuk uang dengan kurs rupiah. Jadi pengusaha tidak
boleh memberikan THR dalam bentuk uang dengan kurs asing atau barang dan
lainnya. Hal ini perlu dipertegas untuk memperingatkan pengusaha nakal yang
sering memberikan barang-barang seperti, minuman kaleng kemasan, sembako, baju,
alat elektronik atau produk-produk sembako lainnya yang secara ekonomis jauh
dibawah nilai THR. Apabila pengusaha ingin memberikan sembako atau barang
kepada pekerjanya, hal itu sah-sah saja, asal tidak menghilangkan kewajiban
pengusaha untuk memberikan THR dalam wujud uang.
Yang ketiga, THR diperuntukkan bagi
seluruh pekerja baik pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT/
Pegawai Kontrak), pekerja dengan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu
(PKWTT/ Pegawai Tetap) dan buruh harian lepas sekalipun. Buruh harian lepas
seperti buruh bangunan, buruh bengkel, buruh tani, atau pegawai toko (tenaga
kerja informal) berhak atas THR selama unsur ketenagakerjaannya terpenuhi.
Pekerja Tetap yang di-PHK maksimal 30
hari sebelum hari raya keagamaanya tiba berhak atas THR dari pengusaha. Pekerja
Kontrak yang kontraknya berakhir sebelum hari raya keagamaan tiba tidak berhak
atas THR, kecuali pengusaha sengaja memutus kontrak secara sepihak sebelum masa
kontraknya berakhir maka ia akan tetap berhak atas THR, selain uang penggantian
sisa kontrak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 62 Undang-Undang nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Yang keempat, besaran THR untuk
pekerja yang telah bekerja lebih dari 12 bulan adalah 1 (satu) bulan upah,
sedangkan untuk pekerja yang masa kerjanya belum genap 12 bulan maka
penghitungan besaran THR mengikuti rumusan berikut: Masa Kerja (dalam bulan)
dikali 1 bulan besaran upah dibagi dengan 12. Sedangkan THR bagi buruh harian
lepas dihitung berdasarkan upah rata-rata dalam 12 bulan terakhir. Jika masa
kerja buruh harian lepas tersebut belum genap 12 bulan, maka besaran THR
dihitung berdasarkan angka rata-rata dari jumlah bulan ia bekerja.
Satu hal yang menurut penulis
mengagumkan dalam Permenakertrans THR ini adalah adanya asas keberpihakan
Pemerintah kepada buruh, yakni dalam kondisi, rumusan upah yang diatur dalam
Permenakertrans THR ini jauh lebih rendah dari rumusan THR sebagaimana yang
telah diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, Dan Perjanjian Kerja
Bersama, maka penentuan besaran THR akan mengikuti aturan yang paling
menguntungkan buruh.
Terakhir, kelima, THR harus sudah
dibayarkan pengusaha paling lambat 7 hari sebelum hari raya agama tenaga kerja
yang besangkutan. Dalam konteks hari raya idul fitri tahun ini yang akan jatuh
pada 25 juni 2017, maka hari terakhir pembayaran THR oleh Pengusaha jatuh pada
hari minggu tanggal 18 juni 2017. Apabila pada tangal tersebut, pengusaha tidak
kunjung membayarkan THR nya, maka pengusaha tersebut mendapat hukuman berupa denda
sebesar 5 persen dari besaran THR atas
keterlambatannya. Dalam hal pengusaha tidak memberikan THR sama sekali, maka
Dinas Tenaga Kerja berdasarkan wilayah kerjanya masing-masing dapat memberikan
sanksi administrasi kepada pengusaha tersebut. Sanksi administrasi kepada
Pengusaha yang tidak memberikan THR menurut pasal 59 ayat (2) PP 78 tahun 2015
tentang Pengupahan adalah (1) Teguran Tertulis; (2) Pembatasan Kegiatan Usaha;
(3) Penghentian Sementara Sebagian atau Seluruh Alat Produksi; (4) Pembekuan
kegiatan usaha.
Atas upaya pemerintah untuk membuka
posko pengaduan THR demi menyerap laporan dan pengaduan dari buruh yang haknya
terlanggar, dengan ini Penulis mengapresiasi atas terobosan dan inovasi dari
stakeholder ketenagakerjaan baik di Indonesia maupun di Jambi khususnya.
Sebagai catatan kedepannya, penulis merasa perlu untuk mengingatkan pemerintah
untuk melakukan pendokumentasian praktik terbaik (lesson learned) dari Posko THR ini, seperti adanya pembuatan Satgas
khusus, atau cerita sukses dari keberdayaan serikat buruh dalam memperjuangkan
THR anggotanya.
Selain itu, Stakeholders juga perlu
menambah wahana saluran pengaduan dengan memanfaatkan teknologi dan informasi.
Laporan dan pengaduan THR tidak hanya dapat dilakukan dengan datang langsung ke
Dinas Tenaga Kerja, namun juga dapat lewat hotline telepon, atau via online
seperti google form, email, facebook dan alat media sosial lainnya.
Apabila relasi kuasa antara pengusaha
dan buruh terlalu timpang, dalam konteks pemenuhan hak tenaga kerja atas THR, pengawas
tenaga kerja dapat menindak, mengawasi, memberikan konfirmasi dan meminta klarifikasi
kepada pengusaha dengan merahasiakan identitas para buruh. Dalam case tertentu, merahasiakan identitas
buruh adalah opsi baik untuk melindungi keberlangsungan hubungan kerja buruh
terhadap resistensi dan refresifitas watak pengusaha kapitalis totaliter.
Selain itu, saya membayangkan seluruh
data yang berhasil dihimpun oleh satuan ketenagakerjaan didokumentasasikan
dalam sebuah big data yang tersimpan
dan terhubung kepada data-data sebelumnya, hal ini perlu dilakukan untuk
mengantisipasi pola-pola pelanggaran ketenagakerjaan, dan sebagai bahan mentah dalam
penyusunan kebijakan (policy making) ke depannya.
Terakhir upaya pemerintah dalam
menanggulangi pelanggaran hak buruh harus dilakukan secara komprehensif dan
keseluruhan. Upaya-upaya progresif semacam ini juga harus dilakukan untuk
pelanggaran ketenagakerjaan lainnya seperti upah pekerja di bawah UMR, masa
kerja PKWT yang melampaui batas, jam kerja yang berlebihan, Pesangon yang tidak
dibayarkan, hingga PHK dan pemutusan kontrak secara sepihak.
*Penulis adalah Pengabdi Bantuan Hukum di LBH Jakarta 2016-2017, Alumni Fakultas Hukum Universitas Jambi
*Penulis adalah Pengabdi Bantuan Hukum di LBH Jakarta 2016-2017, Alumni Fakultas Hukum Universitas Jambi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar