Suasana keberangkatan buruh migran dari Indonesia, dengan modal pendidikan dan komunikasi yang tidak begitu baik, 80 sampai 95 persen buruh migran bekerja sebagai pekerja rumah tangga. |
OLEH SONY GUSTI ANASTA*
Siti Aisyah ditangkap oleh otoritas Malaysia
sesaat setelah melakukan dugaan pembunuhan berencana kepada Kim Jong Nam,
saudara tiri dari pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong Un. Siti Aisyah
beserta 5 orang lainnya ditangkap tidak jauh dari tempat kejadian perkara,
mereka disangka melakukan pembunuhan berencana dengan meracuni Jong Nam dengan
VX, sebuah senjata pembunuh massal yang pernah dilarang PBB penggunaanya. Tidak
tanggung-tanggung, Aisyah bahkan dituntut hukuman pidana mati. Banyak pihak
mengatakan Aisyah adalah intel, orang suruhan Korea Utara yang sengaja
dikirimkan untuk membunuh Jong Nam. Namun banyak juga yang berdalih bahwa Siti
Aisyah adalah korban dari konspirasi Korea Utara, ia sengaja dimanfaatkan
mengingat kondisinya sebagai buruh migran yang sangat rentan dan tertindas di
negara orang.
Terlepas dari siapakah Siti Aisyah, yang pasti
nyawanya sangat berharga, berikut juga dengan nyawa buruh migran di negara
lainnya yang saat ini tengah terancam pidana hukuman mati. Terakhir September
2016, tercatat sekitar 487 warga negara Indonesia (WNI) terancam hukuman mati di berbagai
negara di luar negeri.
Dari jumlah tersebut,
282 di antaranya telah terbebas dari hukuman mati, sedangkan 205 sisanya
sedang dalam
proses pembelaan, 80 – 90 % diantaranya adalah buruh migran yang bekerja
sebagai pekerja rumah tangga.
Pembelaan
terhadap WNI yang terancam hukuman mati di luar negeri menjadi hipokratis, mengingat
Indonesia tidak memiliki bargaining
position sebagai modal politik untuk melakukan lobi pembebasan Aisyah, agak
aneh apabila Indonesia memaksa Malaysia untuk tidak mengenakan hukuman mati
terhadap WNI, sedang negara kita sendiri sedang gencar-gencarnya menerapkan
hukuman mati kepada warga negara asing.
Tercatat
setelah mengeksekusi terpidana hukuman mati di tahun 2016 lalu, Indonesia
menyisahkan setidaknya 10 terpidana termasuk Marry Jane yang sedang bersiap
menunggu giliran. Dengan fakta demikian, agak sulit bagi Indonesia untuk
membebaskan Aisyah dari jeratan hukuman mati, sebelum negara kita berhasil
merumuskan hakikat dan manfaat dari nestapa tersebut.
Buruh Migran dan Kerentanan
Siti Aisyah
mungkin satu di antara banyak buruh migran lain yang terancam hukuman mati, dalam
konteks pidana secara struktural, buruh migran memiliki kondisi yang sangat
rentan. Kerentanan tersebut dikarenakan buruh migran hidup di negara orang,
tidak memiliki sanak famili yang dapat membantu mereka, rata-rata hidup dalam
kondisi ekonomi yang pas-pasan, beberapa bahkan tidak memiliki surat atau visa
(korban perdagangan orang), ditambah lagi jika mereka seorang wanita. Wanita di
mana pun ia berada akan menjadi salah satu entitas yang rentan karena budaya
patriarkhi masih berkerja hampir di seluruh negara di dunia. Kerentanan yang
dialami buruh migran akan membuat mereka gampang dimaanfatkan, untuk alasan
bertahan hidup, tidak jarang dari mereka dipekerjakan (dijadikan) sebagai kurir
narkoba, objek perdagangan orang, buruh dengan upah murah, atau objek pekerja
seks komersial. Oleh sebab itu, kendati mereka melakukan perbuatan yang diduga
merupakan tindak pidana, bisa jadi mereka hanyalah korban secara struktural,
korban dari sistem yang tidak melindungi buruh migran yang rentan.
Dengan
demikian, membela Siti Aisyah dapat kita mulai dengan membela buruh migran
lainnya yang terjebak dalam suatu sistem yang menindas, suatu struktur yang
tidak melindungi buruh migran secara keseluruhan. Jika memang pada faktanya Siti
Aisyah benar-benar tidak mengatahui skenario yang dijalankan kepadanya, maka
posisi dan kondisinya sama seperti dengan yang dialami oleh Marry Jane. Marry
jane dalah buruh migran wanita asal Filiphina yang sengaja dijebak untuk
mengantarkan Narkoba ke Indonesia. Faktanya ia tidak mengetahui bahwa di dalam
tas yang dibawanya terselip lebih dari 2 KG narkotika.
Menolak Hukuman Mati
Membela
Aisyah berarti membela kemanusiaan, penolakan hukuman mati terhadapnya juga
harus diberlakukan kepada warga negara asing yang sedang diancam hukuman mati di
Indonesia. Pemerintah mesti sadar bahwa hak untuk hidup adalah hak asasi
manusia yang paling dasar, dimana berbagai hak lain dimulai dari hak untuk
hidup. Hak tersebut diberikan oleh tuhan kepada setiap manusia, tidak dapat
dicabut dalam situasi dan kondisi apapun. Ide demikian terkonfirmasi oleh
berbeagai instrumen hukum internasional yang telah diterapkan di berbagai belahan
negara di dunia, apalagi hal tersebut secara jelas diatur dalam Konstitusi
Republik ini.
Hukuman mati
juga bertentangan dengan konsep pemasyarakatan yang kita anut. Dalam prinsip
pemasyarakatan, pidana yang dijatuhkan selalu ditujukan untuk menghukum
perbuatan bukan pelakunya. Oleh sebab itu secara ideal, lembaga pemasyarakatan
selalu berfungsi sebagai wadah untuk memperbaiki tabiat seseorang. Hukum selain
memiliki unsur sanksi, juga memiliki unsur reparatoir
atau pemulihan kepada orang yang melakukannya, hukum demikian menjadi sarana
pembangunan untuk menciptakan manusia yang humanis, dan beradab, hukum seperti
ini adalah manfaat hukum yang membahagiakan sebagaimana yang pernah diungkapkan
Satjipto Rahardjo. Hukuman mati hanya akan menjadi bentuk rasa balas dendam
negara terhadap suatu kejahatan yang telah dilakukan, ia akan menjadi wajah
buruk penegakan hukum yang tidak mendidik dan merendahkan harkat serta martabat
kemanusiaan.
Perbaiki Sistem Peradilan
Hukuman mati
pada akhirnya juga akan mengkhianati tujuan pemeriksaan dalam suatu tindak
pidana, ia akan memutus rantai informasi terhadap orang dan bentuk kejahatan
lain yang masih bekerja di luar sana. Sebagaimana yang terjadi pada Freedy
Budiman misalnya, hukuman mati yang dilakukan padanya ternyata tidak dapat
membongkar keterlibatan pejabat tinggi di TNI, POLRI, dan BNN dalam bisnis
narkoba sebagaimana yang pernah dicurhatkannya pada Harris Azhar. Sama juga
halnya dengan Siti Aisyah, vonis mati yang akan diterimanya nanti tidak akan
memberikan penjelasan keterlibatan Pejabat Pemerintahan Jong UN di Korea Utara.
Selain itu,
pidana mati juga tidak layak diterapkan mengingat mayoritas badan peradilan
yang dimiliki belumlah kredibel, sehingga hukuman mati nantinya akan
menyebabkan putusan error in persona. Akibatnya
putusan tidak berhasil merepresentasikan kebenaran materiil. Sebagai contoh,
tidak tersedianya layanan penerjemahan bahasa tagalog yang baik di tahapan
pemeriksaan kepolisian sampai persidangan membuat Marry Jane tidak benar-benar
mengerti akan apa yang sudah ditanyakan oleh aparatur penegak hukum. Putusan
yang diproduksi dari sistem semacam ini hanya akan membuktikan bahwa pengadilan
Indonesia tidak mampu menemukan kebenaran materiil seperti siapakah dan
mengapa, serta bagaimana seseorang melakukan tindak pidana, oleh sebab itu
putusan dari proses pemeriksaan semacam ini sulit untuk dipertanggungjawabkan.
terpidana hukuman mati
juga tidak dapat menjadi justice
collaborator yang ikut mengungkap kejahatan yang lebih besar daripada
kasusnya sendiri. Dengan model putusan semacam itu, Aparatur Penegak Hukum
hanya akan menjadi Pemadam Kebakaran yang hanya memadamkan api satu per
satu.
Pembelaan
terhadap Siti Aisyah dapat kita mulai dengan menaikkan posisi tawar Indonesia
dalam kebijakan moratorium hukuman mati. Akhirnya pembelaan terhadap Siti
Aisyah tidak hanya didasarkan untuk membela WNI semata, namun secara luas juga
membela rasa kemanusiaan itu sendiri. Bring
Back Justice!
* Penulis adalah Pengabdi Bantuan Hukum pada
LBH Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar