Senin, 06 Maret 2017

Siti Aisyah, Buruh Migran, dan Hukuman Mati

Suasana keberangkatan buruh migran dari Indonesia, dengan modal pendidikan dan komunikasi yang tidak begitu baik, 80 sampai 95 persen buruh migran bekerja sebagai pekerja rumah tangga.
OLEH SONY GUSTI ANASTA*

Siti Aisyah ditangkap oleh otoritas Malaysia sesaat setelah melakukan dugaan pembunuhan berencana kepada Kim Jong Nam, saudara tiri dari pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong Un. Siti Aisyah beserta 5 orang lainnya ditangkap tidak jauh dari tempat kejadian perkara, mereka disangka melakukan pembunuhan berencana dengan meracuni Jong Nam dengan VX, sebuah senjata pembunuh massal yang pernah dilarang PBB penggunaanya. Tidak tanggung-tanggung, Aisyah bahkan dituntut hukuman pidana mati. Banyak pihak mengatakan Aisyah adalah intel, orang suruhan Korea Utara yang sengaja dikirimkan untuk membunuh Jong Nam. Namun banyak juga yang berdalih bahwa Siti Aisyah adalah korban dari konspirasi Korea Utara, ia sengaja dimanfaatkan mengingat kondisinya sebagai buruh migran yang sangat rentan dan tertindas di negara orang.

Terlepas dari siapakah Siti Aisyah, yang pasti nyawanya sangat berharga, berikut juga dengan nyawa buruh migran di negara lainnya yang saat ini tengah terancam pidana hukuman mati. Terakhir September 2016, tercatat sekitar 487 warga negara Indonesia (WNI) terancam hukuman mati di berbagai negara di luar negeri. Dari jumlah tersebut, 282 di antaranya telah terbebas dari hukuman mati, sedangkan 205 sisanya sedang dalam proses pembelaan, 80 – 90 % diantaranya adalah buruh migran yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga.

Pembelaan terhadap WNI yang terancam hukuman mati di luar negeri menjadi hipokratis, mengingat Indonesia tidak memiliki bargaining position sebagai modal politik untuk melakukan lobi pembebasan Aisyah, agak aneh apabila Indonesia memaksa Malaysia untuk tidak mengenakan hukuman mati terhadap WNI, sedang negara kita sendiri sedang gencar-gencarnya menerapkan hukuman mati kepada warga negara asing.

Tercatat setelah mengeksekusi terpidana hukuman mati di tahun 2016 lalu, Indonesia menyisahkan setidaknya 10 terpidana termasuk Marry Jane yang sedang bersiap menunggu giliran. Dengan fakta demikian, agak sulit bagi Indonesia untuk membebaskan Aisyah dari jeratan hukuman mati, sebelum negara kita berhasil merumuskan hakikat dan manfaat dari nestapa tersebut.

Buruh Migran dan Kerentanan
Siti Aisyah mungkin satu di antara banyak buruh migran lain yang terancam hukuman mati, dalam konteks pidana secara struktural, buruh migran memiliki kondisi yang sangat rentan. Kerentanan tersebut dikarenakan buruh migran hidup di negara orang, tidak memiliki sanak famili yang dapat membantu mereka, rata-rata hidup dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan, beberapa bahkan tidak memiliki surat atau visa (korban perdagangan orang), ditambah lagi jika mereka seorang wanita. Wanita di mana pun ia berada akan menjadi salah satu entitas yang rentan karena budaya patriarkhi masih berkerja hampir di seluruh negara di dunia. Kerentanan yang dialami buruh migran akan membuat mereka gampang dimaanfatkan, untuk alasan bertahan hidup, tidak jarang dari mereka dipekerjakan (dijadikan) sebagai kurir narkoba, objek perdagangan orang, buruh dengan upah murah, atau objek pekerja seks komersial. Oleh sebab itu, kendati mereka melakukan perbuatan yang diduga merupakan tindak pidana, bisa jadi mereka hanyalah korban secara struktural, korban dari sistem yang tidak melindungi buruh migran yang rentan.

Dengan demikian, membela Siti Aisyah dapat kita mulai dengan membela buruh migran lainnya yang terjebak dalam suatu sistem yang menindas, suatu struktur yang tidak melindungi buruh migran secara keseluruhan. Jika memang pada faktanya Siti Aisyah benar-benar tidak mengatahui skenario yang dijalankan kepadanya, maka posisi dan kondisinya sama seperti dengan yang dialami oleh Marry Jane. Marry jane dalah buruh migran wanita asal Filiphina yang sengaja dijebak untuk mengantarkan Narkoba ke Indonesia. Faktanya ia tidak mengetahui bahwa di dalam tas yang dibawanya terselip lebih dari 2 KG narkotika.

Menolak Hukuman Mati
Membela Aisyah berarti membela kemanusiaan, penolakan hukuman mati terhadapnya juga harus diberlakukan kepada warga negara asing yang sedang diancam hukuman mati di Indonesia. Pemerintah mesti sadar bahwa hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang paling dasar, dimana berbagai hak lain dimulai dari hak untuk hidup. Hak tersebut diberikan oleh tuhan kepada setiap manusia, tidak dapat dicabut dalam situasi dan kondisi apapun. Ide demikian terkonfirmasi oleh berbeagai instrumen hukum internasional yang telah diterapkan di berbagai belahan negara di dunia, apalagi hal tersebut secara jelas diatur dalam Konstitusi Republik ini.

Hukuman mati juga bertentangan dengan konsep pemasyarakatan yang kita anut. Dalam prinsip pemasyarakatan, pidana yang dijatuhkan selalu ditujukan untuk menghukum perbuatan bukan pelakunya. Oleh sebab itu secara ideal, lembaga pemasyarakatan selalu berfungsi sebagai wadah untuk memperbaiki tabiat seseorang. Hukum selain memiliki unsur sanksi, juga memiliki unsur reparatoir atau pemulihan kepada orang yang melakukannya, hukum demikian menjadi sarana pembangunan untuk menciptakan manusia yang humanis, dan beradab, hukum seperti ini adalah manfaat hukum yang membahagiakan sebagaimana yang pernah diungkapkan Satjipto Rahardjo. Hukuman mati hanya akan menjadi bentuk rasa balas dendam negara terhadap suatu kejahatan yang telah dilakukan, ia akan menjadi wajah buruk penegakan hukum yang tidak mendidik dan merendahkan harkat serta martabat kemanusiaan.

Perbaiki Sistem Peradilan
Hukuman mati pada akhirnya juga akan mengkhianati tujuan pemeriksaan dalam suatu tindak pidana, ia akan memutus rantai informasi terhadap orang dan bentuk kejahatan lain yang masih bekerja di luar sana. Sebagaimana yang terjadi pada Freedy Budiman misalnya, hukuman mati yang dilakukan padanya ternyata tidak dapat membongkar keterlibatan pejabat tinggi di TNI, POLRI, dan BNN dalam bisnis narkoba sebagaimana yang pernah dicurhatkannya pada Harris Azhar. Sama juga halnya dengan Siti Aisyah, vonis mati yang akan diterimanya nanti tidak akan memberikan penjelasan keterlibatan Pejabat Pemerintahan Jong UN di Korea Utara.

Selain itu, pidana mati juga tidak layak diterapkan mengingat mayoritas badan peradilan yang dimiliki belumlah kredibel, sehingga hukuman mati nantinya akan menyebabkan putusan error in persona. Akibatnya putusan tidak berhasil merepresentasikan kebenaran materiil. Sebagai contoh, tidak tersedianya layanan penerjemahan bahasa tagalog yang baik di tahapan pemeriksaan kepolisian sampai persidangan membuat Marry Jane tidak benar-benar mengerti akan apa yang sudah ditanyakan oleh aparatur penegak hukum. Putusan yang diproduksi dari sistem semacam ini hanya akan membuktikan bahwa pengadilan Indonesia tidak mampu menemukan kebenaran materiil seperti siapakah dan mengapa, serta bagaimana seseorang melakukan tindak pidana, oleh sebab itu putusan dari proses pemeriksaan semacam ini sulit untuk dipertanggungjawabkan.

terpidana hukuman mati juga tidak dapat menjadi justice collaborator yang ikut mengungkap kejahatan yang lebih besar daripada kasusnya sendiri. Dengan model putusan semacam itu, Aparatur Penegak Hukum hanya akan menjadi Pemadam Kebakaran yang hanya memadamkan api satu per satu.

Pembelaan terhadap Siti Aisyah dapat kita mulai dengan menaikkan posisi tawar Indonesia dalam kebijakan moratorium hukuman mati. Akhirnya pembelaan terhadap Siti Aisyah tidak hanya didasarkan untuk membela WNI semata, namun secara luas juga membela rasa kemanusiaan itu sendiri. Bring Back Justice!


* Penulis adalah Pengabdi Bantuan Hukum pada LBH Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar