Minggu, 05 Maret 2017

Membumikan Gerakan Bantuan Hukum Struktural di Perguruan Tinggi






OLEH SONY GUSTI ANASTA*

Pengembangan bantuan hukum sudah sejak lama dilakukan, tercatat dalam sejarah, bantuan hukum dilakukan sebagai perwujudan penghormatan terhadap dogma agama untuk membantu orang miskin dan tidak mampu yang sedang terkena permasalahan hukum. Beberapa gereja di zaman romawi membentuk Advokatus Pauvarum atau Poorman Advocates, ia dibayar untuk membela orang miskin dan buta hukum yang tinggal di sekitar gereja. Setelah itu beberapa institusi kerajaan menerapkannya terhadap orang miskin secara keseluruhan, motivasinya beragam, mulai dari alasan kemanusiaan (charity) kedermawanan, ksatriaan, dan lain-lain.

Gelombang perkembangan pemahaman Hak Asasi Manusia (HAM) ikut mempengaruhi perkembangan bantuan hukum di dunia, setelah terbentuk bill of rights hinga Decleration Universal of Human Rights, hakikat pemberian bantuan hukum perlahan-lahan mulai bergeser. Jasa hukum yang diberikan kepada orang miskin bukan lagi diartikan sebagai bentuk kepatuhan terhadap perintah gereja atau semata-mata pelabelan sebagai orang yang dermawan di suatu kota. Pemberian bantuan hukum kepada masyarakat miskin bergeser pada pemenuhan HAM yaitu untuk memberikan kedudukan yang seimbang di antara sesama manusia.

Secara bahasa, bantuan hukum disebut Legal Aid, berbeda dengan legal service yang dalam hubungannya, advokat bekerja secara profesional, ia dibayar dengan adil untuk membela kepentingan klien yang sedang bermasalah secara hukum. Di tengah era globalisasi seperti sekarang ini, investasi menjamur, aktivitas ekonomi meningkat, tak pelak meninggalkan banyak gesekan di antara orang-orang yang melakukannya, permintaan terhadap jasa hukum meningkat, akhirnya menjelang itu, pola pendidikan advokat baik di dunia maupun di indonesia seakan bergeser memenuhi kebutuhan pasar. Misalnya kita dapat lihat, betapa perkenalan di Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) selalu dirangsang lewat harta dan pendapatan yang melimpah. Profesi advocates selalu dikaitkan dengan jenis pekerjaan yang dapat menghasilkan uang yang banyak, kewajiban bagi para advokat baru untuk membela kasus probono atau kasus yang melibatkan orang miskin dianggap sebagai satu diantara pijakan anak tangga sebelum mereka membela korporasi besar dengan uang balas jasa hingga ratusan bahkan miliaran rupiah. Imbasnya para advokat muda tidak benar-benar serius dalam memberikan jasa bantuan hukum kepada mayarakat miskin dan buta hukum, membela masyarakat miskin hanya dijadikan sebagai syarat formalitas dalam jenjang karirnya. Dengan kondisi yang demikian, hakikat dibentuknya Advokatus Pauparum di romawi beratus tahun silam seperti kehilangan makna dan tenggalam digilas zaman.

Selain itu dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat membuat langkah advokat semakin luas dan besar, namun sebenarnya sangat bersifat sentralistik, di satu sisi hal ini merupakakan langkah baik karena, wilayah kerja advokat menjadi lebih luas meliputi seluruh wilayah Indonesia, namun di sisi yang berbeda UU ini justru mematikan potensi advokat yang berada di daerah. Perusahaan-perusahaan daerah yang mendapat permasalahan hukum akan mengadukan kasus yang dihadapinya langsung ke lawfirm yang berada di Jakarta, dengan alasan tingkat profesionalitas dan jam terbang. Hal ini membuat, tidak sedikit advokat daerah berbondong-bondong untuk belajar dan mencari pengalaman di Jakarta, akhirnya sumber daya bantuan hukum di daerah berkurang, tentu saja hal ini berdampak pada akses bantuan hukum orang miskin yang tinggal di daerah, terutama kabupaten dan desa-desa. Tidak mengherankan jika Badan Penyuluhan Hukum Nasional (BPHN) sering mengeluhkan akses bantuan hukum di daerah, terutama kecamatan-kecamatan yang letaknya terpencil.

Pemberian bantuan hukum kepada masyarakat miskin, buta hukum dan tertindas ditujukan tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memberikan acces to justice dan perwujudan asas equality before the law. Telah menjadi rahasia umum, misalnya masyarakat kecil sulit untuk mendapatkan keadilan, hal itu disebabkan karena yang pertama mereka tidak memiliki kemampuan secara ekonomis untuk membeli jasa bantuan hukum secara profesional, yang kedua struktur sosial masyarakat Indonesia masih menempatkan orang miskin dan buta hukum sebagai kasta nomor dua setelah orang kaya dan atau orang yang berada, hal tersebut mengakibatkan perlakuan yang berbeda dari pejabat negara dan masyarakat kelas lainnya. Pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma kepada orang miskin akan memberikan akses terhadap keadilan dan menciptakan relasi kuasa yang seimbang dengan orang yang mampu secara ekonomi (dalam kasus perdata), dan dengan penyidik / jaksa penuntut umum apabila kasusnya pidana.

Ketika mendapat bantuan hukum, seorang tersangka menjadi tahu hak-haknya, sebatas mana kewenangan yang dimiliki oleh Aparaur Penegak Hukum, serta bagaimana cara melaporkannya apabila telah terjadi maladministrasi atau penyalahgunaan kewenangan dalam jabatanya. Atau secara perdata misalnya, seorang petani gurem menjadi tahu status hak atas tanah dan tanamannya, mengerti konsekuensi dan permasalahan perdata yang sedang dihadapinya, ia menjadi mengerti apa dan bagaimana yang harus dibela dan dibuktikan di muka persidangan.

Menurut Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UUBH) terdapat 4 tujuan dan manfaat diselenggarakannya bantuan hukum kepada masyarakat miskin. Pertama, Penyelenggaraan Bantuan Hukum di Indonesia bertujuan agar warga negara mendapat akses terhadap keadilan. Yang kedua, pemenuhan terhadap hak konstitusional warga negara (equaliy before the law). Ketiga, pemberian bantuan hukum yang merata di seluruh Indonesia, dan Keempat untuk mewujudkan peradilan bersih, Jujur adil, dan tidak memihak yang pada akhirnya ikut mendorong perbaikan sistem peradilan (fairtrail).

Bantuan Hukum Masuk Kampus
Yang menarik dari UUBH adalah pemberian bantuan hukum yang sifatnya partisipatif. Ia tidak hanya melibatkan orang-orang yang berasal dari kalangan advokat, namun ikut juga memberikan kesempatan kepada Dosen, Paralegal, hingga Mahasiswa untuk turut serta memberikan bantuan hukum kepada orang miskin yang buta akan hukum.

Hal ini tentu saja menjadi jalan keluar yang harus diapresiasi, karena turut membuka ruang lebih lebar kepada publik untuk ikut serta memberikan bantuan hukum kepada masyarakat. Ide melibatkan dosen dan mahasiswa menjadi sangat relevan mengingat sulitnya akses bantuan hukum di daerah dikarenakan kurangnya sumber daya bantuan hukum dan meningkatnya jumlah kasus yang menimpa masyarakat miskin dan buta hukum di daerah. Selain itu, pemberian bantuan hukum tidak hanya bersifat litigasi atau bersidang di pengadilan saja, namun juga mencakup pembelaan di luar pengadilan atau non litigasi. Bantuan hukum non litigasi menurut UUBH dan aturan pelaksananya terdiri dari konsultasi hukum, gelar perkara, investigasi kasus, pembuatan kertas posisi, pembuatan legal opini, pembuatan dokumen hukum lain, mediasi, negosiasi, pendampingan saat BAP saksi, pendampingan lain di luar pengadilan, penelitian hukum, penyuluhan hukum, serta pemberdayaan kepada masyarakat.

Melibatkan elemen akademik dalam pemberian bantuan hukum juga sejalan dengan tri dharma perguruan tinggi, yaitu Pengajaran dan Pendidikan, Penelitian dan Pengembangan, serta Pengabdian Masyarakat. Perguruan tingggi yang paripurna adalah perguruan tinggi yang menerapkan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat secara keseluruhan dan bersamaan, oleh sebab itu dalam rangka untuk mewujudkan hal tersebut, penting rasanya bagi perguruan tinggi untuk melibatkan elemen akademiknya dalam pemberian bantuan hukum kepada masyarakat miskin untuk menjamin agar akses terhadap keadilan dan asas persamaan kedudukan di depan hukum dapat terwujud.

Selain itu, membuka ruang terhadap elemen akademik di perguruan tinggi untuk memberikan bantuan hukum kepada masyarakat setidaknya memberikan manfaat dan tujuan baik kepada masayarakat luas maupun kepada perguruan tinggi itu sendiri, manfaat tersebut misalnya mudahnya akses bantuan hukum di daerah terutama untuk masyarakat miskin yang berada di sekitar perguruan tinggi, mewujudkan pemberian bantuan hukum yang merata di seluruh wilayah Indonesia, membangun sinergitas antara masyarakat penerima bantuan hukum dengan elemen akademik di perguruan tinggi, mewujudkan pengabdian kepada masyarakat yaitu pemberian bantuan hukum, pemberdayaan kepada dosen dan mahasiswa sehingga menambah ilmu, wawasan serta pengalaman dalam memberikan bantuan hukum baik litigasi maupun nonlitigasi kepada masyarakat yang membutuhkan, membangun citra atau goodwill perguruan yang tinggi yang baik, serta ikut mendorong perbaikan sistem peradilan (fairtrail) karena adanya persamaan kedudukan di depan hukum baik antara sesama para pihak yang berperkara, maupun antara tersangka dengan aparatur penegak hukum.

Bantuan Hukum Struktural
tidak ada yang baku mengenai pengertian dari Bantuan Hukum Struktural (BHS), beda sarjana beda pengertiannya, beda buku beda lagi definisinya. Yang jelas BHS pertama kali diteorisasi dan dipraktikan oleh Adnan Buyung Nasution (ABN) dkk saat mendirikan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, yang awalnya dinamai Yayasan Lembaha Bantuan Hukum se Indonesia. ABN yang sebelumnya berfrofesi sebagai jaksa kemudian mengundurkan diri dan lebih memilih untuk mendirikan suatu lembaga bantuan hukum, rumah perjuangan bagi rakyat miskin dan tertindas baik secara ekonomi, sosial, budaya, hukum dan politik.

Kendati tiada definisi yang pasti, berdasarkan ringkasan dari pendapat yang banyak tersebut, dapatlah kita artikan BHS sebagai “sebuah bantuan hukum yang melibatkan dan memberdayakan masyarakat sebagai pemain utama perjuangan, yang mana tujuan akhirnya terjadinya perubahan terhadap struktur sosial, struktur budaya, struktur politik, struktur hukum dan peraturan perundang-undangan yang timpang, yang melanggengkan kemiskinan, kebodohan, danhasil dari sistem oligarki lainnya.”.

BHS meyakini bahwa kemiskinan, kebodohan, penindasan yang ada di masyarakat, tidak terjadi dengan  sendirinya, namun dicipakan oleh sebuah sistem yang timpang, dan aturan yang tidak mencerminkan keadilan. BHS bekerja dengan mengorbitkan korban dan masyarakat yang tertindas menjadi pahlawan bagi diri mereka sendiri, dengan tujuan jangka pendeknya adalah kemenangan dari kasus tersebut dan tujuan jangka panjangnya yaitu perubahan structural terhadap kebijakan timpang yang membuat pelanggaran serupa banyak terjadi.

Oleh sebab itu dalam BHS, tidaklah cukup jika hanya mengandalkan bantuan hukum litigasi, namun juga harus menempuh strategi advokasi lainnya agar tujuan BHS dapat tercapai. Strategi tersebut antara lain adalah dengan melakukan penguatan ke korban atau masyarakat terdampak itu sendiri (empowering the people) penguatan terhadap korban ini dapat ditambah kuantitasnya dengan cara menggalang kekuatan sekutu. Sekutu maksudnya disini adalah orang-orang atau organisasi dan institusi yang memiliki kepedulian, dan tujuan yang sama dengan masyarakat yang diperdayakan. Gabungan dari masyarakat dan sekutu tadi dinamakan lingkar inti advokasi.

Selanjutnya, lingkar inti advokasi tadi dapat membentuk konsep tanding atas kebijakan atau struktur yang timpang. Untuk menyusun konsep tanding ini pemberi bantuan hukum dapat melakukan berbagai macam diskusi, seminar, bedah buku, penelitian hukum dan sosial, atau sekedar pembuatan kertas posisi. Hasil dari konsep tanding inilah yang kemudian diwujudkan ke dalam suatu rangkaian tindakan advokasi baik litigasi maupun non litigasi.

Rangkaian tindakan advokasi tersebut dapat dilakukan dengan: Pertama, melakukan gugatan ke pengadilan negeri, dan tata usaha negara, pelaporan dan pengawalan kasus pidana di kepolisian hingga pengadilan atau gugatan permohonan informasi publik ke komisi informasi daerah. Kedua, pemberi bantuan hukum dapat mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi untuk merubah aturan dan kebijakan negara yang timpang, yang tidak mencerminkan keadilan dan ikut melanggengkan ketimpangan struktural di masyarakat. Yang ketiga, pengaruhi para pengambil kebijakan dengan cara melakukan negosiasi, mediasi, atau pengaduan kepada institusi pengawas atau badan yang berada di atasnya, misalnya kepada Irwasum, Irwasda, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), dan Propam untuk polisi yang bertindak di luar aturan perundang-undangan, atau mengadukan jaksa nakal ke komisi kejaksaan, dan hakim bermasalah ke Badan Pengawas Mahkamah Agung, serta Komisi Yudisial, mengadukan segala pelanggaran HAM ke Komnasham, mengadukan segala maladministrasi dalam pelayanan publik ke Ombudsman, atau mengadukan pelanggaran ke DPR/ DPRD sebagai badan rakyat yang memiliki fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintahan, serta masih banyak yang lainnya.

Keempat, pemberi bantuan hukum dapat melancarkan tekanan kepada pengambil kebijakan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menginisiasi aksi massa, melibatkan pemberitaan media untuk menguji konsep yang dibangun oleh pembuat kebijakan, mengawasi segala proses penyelesaian perkara tersebut, melakukan upaya lainnya dalam rangka untuk melancarkan tekanan psikologis kepada pengambil kebijakan untuk mempertimbangkan konsep atau ide yang telah dibuat. Yang kelima adalah kampanye, atau penyebarluasan konsep yang dibentuk oleh lingkar inti advokasi kepada masyarakat luas dengan mengandalkan media massa baik cetak maupun daring, yang pada intinya bertujuan untuk menggalang kekuatan massa, merebut ruang publik dengan menguji konsep yang dibuat dengan kebijakan timpang yang dikeluarkan oleh pemerintah. Pada akhirnya kelima strategi advokasi ini bertujuan untuk merubah struktur yang timpang dengan melibatkan masyarakat terdampak sebagai agen perubahan.

Oleh sebab itu ide bantuan hukum struktural yang mana strategi advokasinya terdidi dari 5 rangkaian advokasi termasuk di dalamnya penelitian, diskusi publik, pemberdayaan masyarakat, dan lain-lain sangat dekat  bentuk hingga tujuannya dengan bantuan hukum nonlitigasi sebagaimana yang diatur dalam UUBH. Dan keduanya sangat mirip dengan tugas serta peran tri dharma perguruan yang tinggi yang meliputi Pengajaran, Penelitian dan Pemberdayaan kepada masyarakat.

Menggabungkan bantuan hukum struktural dengan peran Tri Dharma Perguruan Tinggi merupakan langkah tepat untuk mewujudkan kondisi berkedadilan di Indonesia. Kesamaan tujuan dan sebagaian besar metode advokasinya diharapkan dapat membuat keadilan dapat dicapai oleh semua kalangan termasuk kalangan orang miskin buta hukum dan tertindas, kalau tidak, adagium hukum romawi klasik yang mengatakan “hukum tajam ke bawah namun tumpul ke atas” benar adanya.

*Penulis adalah Alumni FH UNJA, Pengabdi Bantuan Hukum LBH Jakarta



Tidak ada komentar:

Posting Komentar