OLEH SONY
GUSTI ANASTA*
Pengembangan
bantuan hukum sudah sejak lama dilakukan, tercatat dalam sejarah, bantuan hukum
dilakukan sebagai perwujudan penghormatan terhadap dogma agama untuk membantu
orang miskin dan tidak mampu yang sedang terkena permasalahan hukum. Beberapa
gereja di zaman romawi membentuk Advokatus Pauvarum atau Poorman Advocates, ia
dibayar untuk membela orang miskin dan buta hukum yang tinggal di sekitar
gereja. Setelah itu beberapa institusi kerajaan menerapkannya terhadap orang
miskin secara keseluruhan, motivasinya beragam, mulai dari alasan kemanusiaan
(charity) kedermawanan, ksatriaan, dan lain-lain.
Gelombang
perkembangan pemahaman Hak Asasi Manusia (HAM) ikut mempengaruhi perkembangan
bantuan hukum di dunia, setelah terbentuk bill
of rights hinga Decleration Universal
of Human Rights, hakikat pemberian bantuan hukum perlahan-lahan mulai
bergeser. Jasa hukum yang diberikan kepada orang miskin bukan lagi diartikan sebagai
bentuk kepatuhan terhadap perintah gereja atau semata-mata pelabelan sebagai
orang yang dermawan di suatu kota. Pemberian bantuan hukum kepada masyarakat
miskin bergeser pada pemenuhan HAM yaitu untuk memberikan kedudukan yang
seimbang di antara sesama manusia.
Secara
bahasa, bantuan hukum disebut Legal Aid,
berbeda dengan legal service yang
dalam hubungannya, advokat bekerja secara profesional, ia dibayar dengan adil
untuk membela kepentingan klien yang sedang bermasalah secara hukum. Di tengah
era globalisasi seperti sekarang ini, investasi menjamur, aktivitas ekonomi
meningkat, tak pelak meninggalkan banyak gesekan di antara orang-orang yang
melakukannya, permintaan terhadap jasa hukum meningkat, akhirnya menjelang itu,
pola pendidikan advokat baik di dunia maupun di indonesia seakan bergeser memenuhi
kebutuhan pasar. Misalnya kita dapat lihat, betapa perkenalan di Pendidikan
Khusus Profesi Advokat (PKPA) selalu dirangsang lewat harta dan pendapatan yang
melimpah. Profesi advocates selalu
dikaitkan dengan jenis pekerjaan yang dapat menghasilkan uang yang banyak,
kewajiban bagi para advokat baru untuk membela kasus probono atau kasus yang melibatkan orang miskin dianggap sebagai
satu diantara pijakan anak tangga sebelum mereka membela korporasi besar dengan
uang balas jasa hingga ratusan bahkan miliaran rupiah. Imbasnya para advokat
muda tidak benar-benar serius dalam memberikan jasa bantuan hukum kepada
mayarakat miskin dan buta hukum, membela masyarakat miskin hanya dijadikan
sebagai syarat formalitas dalam jenjang karirnya. Dengan kondisi yang demikian,
hakikat dibentuknya Advokatus Pauparum
di romawi beratus tahun silam seperti kehilangan makna dan tenggalam digilas
zaman.
Selain itu
dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat membuat
langkah advokat semakin luas dan besar, namun sebenarnya sangat bersifat
sentralistik, di satu sisi hal ini merupakakan langkah baik karena, wilayah
kerja advokat menjadi lebih luas meliputi seluruh wilayah Indonesia, namun di
sisi yang berbeda UU ini justru mematikan potensi advokat yang berada di daerah.
Perusahaan-perusahaan daerah yang mendapat permasalahan hukum akan mengadukan
kasus yang dihadapinya langsung ke lawfirm
yang berada di Jakarta, dengan alasan tingkat profesionalitas dan jam terbang.
Hal ini membuat, tidak sedikit advokat daerah berbondong-bondong untuk belajar
dan mencari pengalaman di Jakarta, akhirnya sumber daya bantuan hukum di daerah
berkurang, tentu saja hal ini berdampak pada akses bantuan hukum orang miskin
yang tinggal di daerah, terutama kabupaten dan desa-desa. Tidak mengherankan
jika Badan Penyuluhan Hukum Nasional (BPHN) sering mengeluhkan akses bantuan
hukum di daerah, terutama kecamatan-kecamatan yang letaknya terpencil.
Pemberian
bantuan hukum kepada masyarakat miskin, buta hukum dan tertindas ditujukan
tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memberikan acces to justice dan perwujudan asas equality before the law. Telah menjadi rahasia umum, misalnya
masyarakat kecil sulit untuk mendapatkan keadilan, hal itu disebabkan karena
yang pertama mereka tidak memiliki
kemampuan secara ekonomis untuk membeli jasa bantuan hukum secara profesional,
yang kedua struktur sosial
masyarakat Indonesia masih menempatkan orang miskin dan buta hukum sebagai
kasta nomor dua setelah orang kaya dan atau orang yang berada, hal tersebut
mengakibatkan perlakuan yang berbeda dari pejabat negara dan masyarakat kelas
lainnya. Pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma kepada orang miskin akan
memberikan akses terhadap keadilan dan menciptakan relasi kuasa yang seimbang
dengan orang yang mampu secara ekonomi (dalam kasus perdata), dan dengan
penyidik / jaksa penuntut umum apabila kasusnya pidana.
Ketika
mendapat bantuan hukum, seorang tersangka menjadi tahu hak-haknya, sebatas mana
kewenangan yang dimiliki oleh Aparaur Penegak Hukum, serta bagaimana cara
melaporkannya apabila telah terjadi maladministrasi atau penyalahgunaan
kewenangan dalam jabatanya. Atau secara perdata misalnya, seorang petani gurem
menjadi tahu status hak atas tanah dan tanamannya, mengerti konsekuensi dan
permasalahan perdata yang sedang dihadapinya, ia menjadi mengerti apa dan
bagaimana yang harus dibela dan dibuktikan di muka persidangan.
Menurut
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UUBH) terdapat 4
tujuan dan manfaat diselenggarakannya bantuan hukum kepada masyarakat miskin.
Pertama, Penyelenggaraan
Bantuan Hukum di Indonesia bertujuan agar warga negara mendapat akses terhadap keadilan. Yang kedua, pemenuhan
terhadap hak konstitusional warga negara (equaliy
before the law). Ketiga, pemberian bantuan
hukum yang merata di seluruh Indonesia, dan Keempat untuk mewujudkan
peradilan bersih, Jujur adil, dan tidak memihak yang pada akhirnya ikut mendorong perbaikan sistem peradilan
(fairtrail).
Bantuan Hukum Masuk Kampus
Yang menarik
dari UUBH adalah pemberian bantuan hukum yang sifatnya partisipatif. Ia tidak
hanya melibatkan orang-orang yang berasal dari kalangan advokat, namun ikut
juga memberikan kesempatan kepada Dosen, Paralegal, hingga Mahasiswa untuk
turut serta memberikan bantuan hukum kepada orang miskin yang buta akan hukum.
Hal ini tentu
saja menjadi jalan keluar yang harus diapresiasi, karena turut membuka ruang
lebih lebar kepada publik untuk ikut serta memberikan bantuan hukum kepada
masyarakat. Ide melibatkan dosen dan mahasiswa menjadi sangat relevan mengingat
sulitnya akses bantuan hukum di daerah dikarenakan kurangnya sumber daya
bantuan hukum dan meningkatnya jumlah kasus yang menimpa masyarakat miskin dan
buta hukum di daerah. Selain itu, pemberian bantuan hukum tidak hanya bersifat
litigasi atau bersidang di pengadilan saja, namun juga mencakup pembelaan di
luar pengadilan atau non litigasi. Bantuan hukum non litigasi menurut UUBH dan
aturan pelaksananya terdiri dari konsultasi hukum, gelar perkara, investigasi
kasus, pembuatan kertas posisi, pembuatan legal
opini, pembuatan dokumen hukum lain, mediasi, negosiasi, pendampingan saat
BAP saksi, pendampingan lain di luar pengadilan, penelitian hukum, penyuluhan hukum,
serta pemberdayaan kepada masyarakat.
Melibatkan
elemen akademik dalam pemberian bantuan hukum juga sejalan dengan tri dharma
perguruan tinggi, yaitu Pengajaran dan Pendidikan, Penelitian dan Pengembangan,
serta Pengabdian Masyarakat. Perguruan tingggi yang paripurna adalah perguruan
tinggi yang menerapkan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat
secara keseluruhan dan bersamaan, oleh sebab itu dalam rangka untuk mewujudkan
hal tersebut, penting rasanya bagi perguruan tinggi untuk melibatkan elemen
akademiknya dalam pemberian bantuan hukum kepada masyarakat miskin untuk
menjamin agar akses terhadap keadilan dan asas persamaan kedudukan di depan
hukum dapat terwujud.
Selain itu,
membuka ruang terhadap elemen akademik di perguruan tinggi untuk memberikan
bantuan hukum kepada masyarakat setidaknya memberikan manfaat dan tujuan baik
kepada masayarakat luas maupun kepada perguruan tinggi itu sendiri, manfaat
tersebut misalnya mudahnya akses bantuan hukum di daerah terutama untuk masyarakat
miskin yang berada di sekitar perguruan tinggi, mewujudkan pemberian bantuan
hukum yang merata di seluruh wilayah Indonesia, membangun sinergitas antara
masyarakat penerima bantuan hukum dengan elemen akademik di perguruan tinggi,
mewujudkan pengabdian kepada masyarakat yaitu pemberian bantuan hukum,
pemberdayaan kepada dosen dan mahasiswa sehingga menambah ilmu, wawasan serta
pengalaman dalam memberikan bantuan hukum baik litigasi maupun nonlitigasi
kepada masyarakat yang membutuhkan, membangun citra atau goodwill perguruan yang tinggi yang baik, serta ikut mendorong
perbaikan sistem peradilan (fairtrail) karena adanya persamaan kedudukan di
depan hukum baik antara sesama para pihak yang berperkara, maupun antara
tersangka dengan aparatur penegak hukum.
Bantuan Hukum Struktural
tidak ada
yang baku mengenai pengertian dari Bantuan Hukum Struktural (BHS), beda sarjana
beda pengertiannya, beda buku beda lagi definisinya. Yang jelas BHS pertama
kali diteorisasi dan dipraktikan oleh Adnan Buyung Nasution (ABN) dkk saat
mendirikan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, yang awalnya dinamai Yayasan Lembaha
Bantuan Hukum se Indonesia. ABN yang sebelumnya berfrofesi sebagai jaksa
kemudian mengundurkan diri dan lebih memilih untuk mendirikan suatu lembaga
bantuan hukum, rumah perjuangan bagi rakyat miskin dan tertindas baik secara
ekonomi, sosial, budaya, hukum dan politik.
Kendati tiada
definisi yang pasti, berdasarkan ringkasan dari pendapat yang banyak tersebut, dapatlah
kita artikan BHS sebagai “sebuah bantuan
hukum yang melibatkan dan memberdayakan masyarakat sebagai pemain utama
perjuangan, yang mana tujuan akhirnya terjadinya perubahan terhadap struktur
sosial, struktur budaya, struktur politik, struktur hukum dan peraturan
perundang-undangan yang timpang, yang melanggengkan kemiskinan, kebodohan,
danhasil dari sistem oligarki lainnya.”.
BHS meyakini
bahwa kemiskinan, kebodohan, penindasan yang ada di masyarakat, tidak terjadi
dengan sendirinya, namun dicipakan oleh
sebuah sistem yang timpang, dan aturan yang tidak mencerminkan keadilan. BHS
bekerja dengan mengorbitkan korban dan masyarakat yang tertindas menjadi
pahlawan bagi diri mereka sendiri, dengan tujuan jangka pendeknya adalah
kemenangan dari kasus tersebut dan tujuan jangka panjangnya yaitu perubahan
structural terhadap kebijakan timpang yang membuat pelanggaran serupa banyak
terjadi.
Oleh sebab
itu dalam BHS, tidaklah cukup jika hanya mengandalkan bantuan hukum litigasi,
namun juga harus menempuh strategi advokasi lainnya agar tujuan BHS dapat
tercapai. Strategi tersebut antara lain adalah dengan melakukan penguatan ke
korban atau masyarakat terdampak itu sendiri (empowering the people) penguatan terhadap korban ini dapat ditambah
kuantitasnya dengan cara menggalang kekuatan sekutu. Sekutu maksudnya disini
adalah orang-orang atau organisasi dan institusi yang memiliki kepedulian, dan
tujuan yang sama dengan masyarakat yang diperdayakan. Gabungan dari masyarakat
dan sekutu tadi dinamakan lingkar inti advokasi.
Selanjutnya,
lingkar inti advokasi tadi dapat membentuk konsep tanding atas kebijakan atau
struktur yang timpang. Untuk menyusun konsep tanding ini pemberi bantuan hukum
dapat melakukan berbagai macam diskusi, seminar, bedah buku, penelitian hukum
dan sosial, atau sekedar pembuatan kertas posisi. Hasil dari konsep tanding
inilah yang kemudian diwujudkan ke dalam suatu rangkaian tindakan advokasi baik
litigasi maupun non litigasi.
Rangkaian
tindakan advokasi tersebut dapat dilakukan dengan: Pertama, melakukan gugatan ke pengadilan negeri, dan tata usaha
negara, pelaporan dan pengawalan kasus pidana di kepolisian hingga pengadilan
atau gugatan permohonan informasi publik ke komisi informasi daerah. Kedua, pemberi bantuan hukum dapat mengajukan
judicial review ke Mahkamah Agung
atau Mahkamah Konstitusi untuk merubah aturan dan kebijakan negara yang
timpang, yang tidak mencerminkan keadilan dan ikut melanggengkan ketimpangan
struktural di masyarakat. Yang ketiga,
pengaruhi para pengambil kebijakan dengan cara melakukan negosiasi, mediasi,
atau pengaduan kepada institusi pengawas atau badan yang berada di atasnya, misalnya
kepada Irwasum, Irwasda, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), dan Propam
untuk polisi yang bertindak di luar aturan perundang-undangan, atau mengadukan
jaksa nakal ke komisi kejaksaan, dan hakim bermasalah ke Badan Pengawas
Mahkamah Agung, serta Komisi Yudisial, mengadukan segala pelanggaran HAM ke
Komnasham, mengadukan segala maladministrasi dalam pelayanan publik ke
Ombudsman, atau mengadukan pelanggaran ke DPR/ DPRD sebagai badan rakyat yang
memiliki fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintahan, serta masih banyak yang
lainnya.
Keempat, pemberi bantuan hukum dapat melancarkan tekanan
kepada pengambil kebijakan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menginisiasi
aksi massa, melibatkan pemberitaan media untuk menguji konsep yang dibangun
oleh pembuat kebijakan, mengawasi segala proses penyelesaian perkara tersebut, melakukan
upaya lainnya dalam rangka untuk melancarkan tekanan psikologis kepada
pengambil kebijakan untuk mempertimbangkan konsep atau ide yang telah dibuat.
Yang kelima adalah kampanye, atau
penyebarluasan konsep yang dibentuk oleh lingkar inti advokasi kepada
masyarakat luas dengan mengandalkan media massa baik cetak maupun daring, yang
pada intinya bertujuan untuk menggalang kekuatan massa, merebut ruang publik
dengan menguji konsep yang dibuat dengan kebijakan timpang yang dikeluarkan
oleh pemerintah. Pada akhirnya kelima strategi advokasi ini bertujuan untuk
merubah struktur yang timpang dengan melibatkan masyarakat terdampak sebagai
agen perubahan.
Oleh sebab
itu ide bantuan hukum struktural yang mana strategi advokasinya terdidi dari 5
rangkaian advokasi termasuk di dalamnya penelitian, diskusi publik,
pemberdayaan masyarakat, dan lain-lain sangat dekat bentuk hingga tujuannya dengan bantuan hukum
nonlitigasi sebagaimana yang diatur dalam UUBH. Dan keduanya sangat mirip
dengan tugas serta peran tri dharma perguruan yang tinggi yang meliputi
Pengajaran, Penelitian dan Pemberdayaan kepada masyarakat.
Menggabungkan
bantuan hukum struktural dengan peran Tri Dharma Perguruan Tinggi merupakan
langkah tepat untuk mewujudkan kondisi berkedadilan di Indonesia. Kesamaan tujuan
dan sebagaian besar metode advokasinya diharapkan dapat membuat keadilan dapat
dicapai oleh semua kalangan termasuk kalangan orang miskin buta hukum dan
tertindas, kalau tidak, adagium hukum romawi klasik yang mengatakan “hukum tajam ke bawah namun tumpul ke atas”
benar adanya.
*Penulis adalah
Alumni FH UNJA, Pengabdi Bantuan Hukum LBH Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar