Rabu, 18 Mei 2016

Menghukum Korporasi!



Menghukum Korporasi!

OLEH SONY GUSTI ANASTA*


Penegakan hukum lingkungan terhadap bencana kabut asap karena kebakaran hutan dan lahan yang menimpa beberapa Provinsi di Kalimantan dan Sumatera, termasuk Jambi seperti jalan ditempat. Usaha para penggugat yang memperjuangkan lingkungan hidup yang bersih dan sehat mulai dari Pemerintah Pusat, dan Pemerintah Daerah, Masyarakat, serta Organisasi Lingkungan hidup yang masing-masing diatur dalam Pasal 90, 91, 92 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Disinyalir hal itu terjadi karena kekeliruan para penggugat menggunakan alternatif pilihan penegakan hukum yang ada.

Dalam konteks penegakan hukum terhadap kabut asap ini, gugatan dan penuntutan kerap beralamat ke peradilan pidana, maupun peradilan perdata. Dalam perspektif hukum perdata, penegakan hukum lingkungan berorientasi pada ganti rugi pelaku untuk memulihkan baku mutu lingkungan hidup, itupun harus dibuktikan dahulu di pengadilan, sedang dalam perspektif pidana, penuntutan berorientasi hanya pada perbuatan salah si pelaku agar yang bersangkutan dapat dihukum, sehingga diharapkan dapat memberikan efek jera kepada masyarakat.

Padahal sebenarnya UUPPLH punya ruh, setiap orang atau badan hukum yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/ atau perusakan terhadap lingkungan hidup diwajibkan untuk melakukan penanggulangan, pemulihan, restorasi, serta reahabilitasi sampai lingkungan hidup yang telah dirusak atau dicemari kembali sedia kala. Penulis berpendapat apa yang sebenarnya diinginkan masyarakat, adalah seperti yang termakna dalam UUPPLH, bukan penegakan hukum seperti yang dipahami oleh kebanyakan para penggugat dan penuntut. Oleh sebab itu, tidak ada salahnya jika pemerintah mencoba alternatif penegakan hukum administrasi. 

Kerugian Riil 
Dari data yang tersaji di dunia maya, terhitung sampai tanggal 3 November 2015, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Pekanbaru menyebutkan satelit Tera dan Aqua memantau terdapat 708 titik panas di Sumatera. Tiga daerah menjadi penyumbang titik panas terbanyak adalah Jambi dengan 245 titik. Disusul Sumatera Selatan 189 titik dan Riau 177 titik. Titik panas hampir merata terjadi di daerah lainya, seperti Sumatera Barat 32 titik, Lampung 18 titik, Sumatera Utara 10 titik, Aceh 3 titik, Bangka belitung 8 titik, dan Kepulauan Riau 1 titik. Kerugian yang diderita mencapai Rp.930 miliar, itu pun hanya kerugian di bidang lahan saja, belum dihitung kerugian tidak langsung seperti terganggunya jadwal penerbangan, terhentinya distribusi obat dan makanan, liburnya anak sekolah, atau tidak melautnya para nelayan dan lain-lain. Namun yang lebih mengejutkan adalah menurut Musri Nauli dari WALHI, sekitar 80 persen kebakaran hutan yang terjadi disebabkan oleh badan hukum korporasi. Badan hukum/ korporasi merupakan perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan, kehutanan dan lahan. Tiap tahun ada pajak yang mesti disetor ke negara, yang mana pajak tersebut dipergunakan untuk keperluan membangun daerah lewat skema Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), namun jika diteliti, justru kerugian yang timbul akibat bencana kabut asap ditengarai jauh lebih besar dari jumlah pajak yang yang disetor oleh perusahaan, disini telah terjadi ketimpangan keuangan. Ibarat kata pepatah, besar pasak daripada tiang.


Investor dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan memang di anggap sebagai mitra pemerintah dalam memajukan dan memakmurkan masyarakat di daerah, namun pembangunan yang berkelanjutan dalam hal pemanfaatan sumber daya alam juga jangan sampai melangar hak konstitusional warga negara. Pasal 28H UUD RI menyatakan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan” pemerintah dalam hal ini harus mampu mewujudkan kedua cita-cita diatas dalam waktu dan kesempatan yang bersamaan, intinya, pajak dan pembangunan merupakan instrumen pemerintah dalam membangun negara, namun dalam pelaksanaannya, jangan sampai pula menggerus hak konstitusional sehingga merugikan masyarakat setempat. 

Ridwan HR mengatakan bahwa “keberadaan Hukum Administrasi Negara (HAN) itu muncul karena adanya keharusan penyelenggaran kekuasaan dan pemerintahan dalam suatu negara hukum”. HAN berfungsi sebagai ilmu yang dipakai untuk menerapkan aturan hukum, termasuk hukum lingkungan.  Dikatakan banyak sarjana, bahwa HAN merupakan hukum yang istimewa, oleh sebab itu sanksi dari HAN juga bersifat istimewa. Istimewa disini berarti pemberlakuan sanksi administrasi tidak harus melewati peradilan, berbeda dengan sanksi pidana dan sanksi perdata. Sanksi HAN dapat langsung diterapkan kepada si pelanggar norma administrasi dalam rangka untuk menyelenggarakan kekuasaan pemerintah dalam konteks penegakan hukum administrasi. 

Strict Liability
Hukum Lingkungan Indonesia telah menerapkan prinsip strict liability terhadap perusak dan pencemar lingkungan. Pasal 88 UUPPLH berbunyi “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3,  menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” pasal di atas dapat menjadi dasar hukum untuk meminta pertanggungjawaban korporasi  yang kebun atau lahannya terbakar, tanpa harus adanya usaha untuk membuktikan unsur kesalahan dari korporasi. 

Banyak pakar yang mengatakan bahwa strict liability yang diatur dalam pasal 88 UUPPLH tidak dapat diterapkan karena pasal tersebut hanya diterapkan untuk usaha yang melibatkan bahan berbahaya dan beracun (B3).  Jika kita pasati lebih dalam, sebenarnya redaksi pasal terkait tidak hanya memfasilitasi kegiatan yang melibatkan B3, tetapi juga untuk setiap kegiatan yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup. Jadi strict liability dapat diterapkan untuk 1) setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya melibatkan B3 dan 2) setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup. Kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan kabut asap dapat ditafsirkan sebagai kegiatan yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup. 

Selain itu, sebenarnya pun, asap merupakan bagian dari B3, ini terbukti dari redaksi Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah  Nomor 74 tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun. Pasal ini mengklasifikasikan B3 sebagai berikut: a) Mudah meledak (explosive), b) Pengoksidasi (oxidizing), c) Sangat mudah sekali menyala (extremely flammable), d) Sangat mudah menyala (highly flammable), e) Mudah menyala (flammable), f) Amat sangat beracun (extremely toxic), g) Sangat Beracun (highly toxic), h) Beracun (moderately toxic), i) Berbahaya (harmful), j) Korosif (corrosive), k) Teratogenik (teratogenic), l) Mutagenik (mutagenic). Kabut asap dapat ditafsirkan sebagai bahan yang amat beracun, sangat beracun, atau beracun sesuai dengan jumlah kandungan asap di dalamnya. 
Tanggung Jawab Pemerintah

 Sebagai pihak yang menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/ kota memiliki peran dan tanggung jawab untuk mengendalikan, mengawasi sampai dengan menyelesaikan permasalahan kabut asap. Hal ini diatur secara tegas masing-masing dalam Pasal 63 ayat (2) dan Pasal 63 ayat (3). Sebagai pihak yang paling bertanggungjawab, pemerintah dapat langsung menerapkan pertanggungjawaban mutlak (strict liability) kepada korporasi pembakar hutan dan lahan lewat peran Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) sebagai pihak yang mendapatkan kewenangan dari kepala daerah secara degelatif, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 71 dan Pasal 74 UUPPLH. 

PPLH inilah yang nantinya akan membuat sanksi administrasi berupa paksaan pemerintah lewat keputusan tata usaha negara yang berisi catatan-catatan kerugian yang menimpa masyarakat dan keharusan korporasi untuk membayarnya. Jika korporasi tidak mematuhinya, maka kepala daerah dapat membekukan dan mencabut izin lingkungan korporasi yang bersangkutan. Jika korporasi tidak terima, dapat mengajukan gugatan ke peradilan tata usaha negara. dalam tahap ini berlaku prinsip pembuktian terbalik. Korporasi penggugatlah yang harus membuktikan bahwa keputusan pejabat tata usaha negara yang merugikannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. 

Memang menafsirkan kabut asap sebagai B3 terkesan agak sedikit dipaksakan. Pun menganggap kabut asap sebagai bahan yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup juga terdengar sumir, namun tidak ada salahnya mencoba menegakkan aturan hukum yang ada, kendati penafsiran pasal yang bersangkutan masih menimbulkan ambiguitas. Kedepan untuk menjamin kepastian hukum bagi seluruh elemen, sekaligus menguatkan payung hukum bagi berlakunya strict liability, Kementerian yang bergerak di bidang Lingkungan Hidup mesti membuat kebijakan yang bersifat Lex Certa, Lex Scripta, dan Lex Stricta untuk memasukkan kabut asap sebagai bagian dari B3 dan bahan yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup.

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jambi

Selasa, 17 Mei 2016

Pilih Kawin Atau Wisuda

Pilih Kawin Atau Wisuda
oleh Sony Gusti Anasta

Kapan kawin dan kapan wisuda adalah pertanyaan filosofis yang paling sulit untuk dijawab, bukan karena kita tidak tahu, tapi karena malah pertanyaan tersebut menyerang mental bukan logika. Kalau ditanya yang beginian, biasanya saya langsung mangalihkan ke topik lain, saya lebih rela dibully jika Arsenal tak kunjung juara primer, atau bertanya pada mereka bagaimana mungkin selama 14 tahun wajah dian sastro tidak berubah, tetap unyuk dan menggemaskan. 

Daripada harus berkontemplasi dan merenung kapan kawin, bikin sakit kepala, terlalu spekulatif mengingat calonnya juga belum ada (bukan kode). Jika si penanya tetap bersih keukeuh, saran saya Cuma satu, pura-pura mati saja.

Bicara wisuda, aku sebenarnya sudah selesai sidang bulan maret lalu, namun karena sistem, terpaksa ijazahku tertahan hingga wisuda 6-8 bulan berikutnya (setahuku). Sulit untuk  mencari kerja hanya dengan mengandalkan SKL, secara tidak langsung negara (universitas membatasi hak seseorang untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, dalam tataran yang kritis, dapat diandaikan negara tidak hanya turut memproduksi sarjana namun juga lengkap dengan penganggurannya.

Kemarin, sabtu 14-5-16 seharusnya waktu aku diwisudakan, untuk menghilangkan rasa sedih walaupun beberapa teman bahagia karena aku wisuda serempak dengan mereka untuk wisuda selanjutnya, aku putuskan untuk melawat ke suatu kota,menghadiri undangan teman yang melangsungkan akad nikah, sebelumnya dia pernah bercerita bagaimana keras dan gigihnya usaha dia dalam menjalani hidup di jakarta, menjadi badung, tidak terawat, bertato dan masuk penjara, hingga akhirnya ia menemukan pendamping hidup yang sungguh cantik jelita, agak mirip dengan desi ratna sari di umur 17 tahun. Dia juga bercerita bagaimana ia harus mencari uang sendiri untuk membiayai hantaran dan resepsi pernikahannya.

Pihak keluarga terlihat tidak terlalu ikut campur atau tidak mau mengurusi pernikahannya karena latar belakang dirinya yang sulit diterima kembali, hal ini secara tersirat aku tangkap saat ia bercerita bagaimana perlakuan keluarganya terhadap dirinya, bahkan saat resepsi pernikahan itu terjadi. Namun wajahnya tetap laki laki, gagah, begitu pula jiwanya, tak terlihat umpatan dan kesedihan di hatinya di hari itu. Jujur aku salut dengan dirinya, bagaimana mungkin, dulunya ia terseok seok hidup di jalanan, diusir, tak dianggap, hingga kini mampu menggelar resepsi dengan biaya puluhan juta.

Walaupun dana itu di dapatnya lewat kerja di kantor orang tuanya, namun butuh perjuangan dan mental baja untuk meyakinkan orang tua bahwa ia telah berubah dengan kondisi tato naga masih menyelimuti hampir seluruh punggung kurusnya. Menurutku Perjuangan yang ia lakukan lebih dari sekadar perjuangan sarjana demi mendapat gelar. Walaupun beberapa teman kita yang kurang beruntung harus bertaruh hidup juga untuk menyelesaikan studi S1 nya.

Dalam gambaranku, wisuda dan kawin adalah hal yang sama sama mengerikan. Bayangkan kita harus memulai hidup dengan status baru. Sama seperti pergantian status dari anak dalam kandungan menjadi manusia utuh yang hidup di muka bumi. Atau perubahan status dari manusia menjadi mayat, dimana di alam kubur kita harus menghadapi kehidupan baru yang sama sekali asing bagi kita. sama juga saat bertahun-tahun pacaran sekarang harus menjomblo dalam waktu yang cukup lama.

Wisuda menjadi mengerikan karena disitu tidak hanya sekadar selebrasi, melainkan peralihan status menjadi seorang pengangguran, menjadi 1 di antara ribuan temannya yang lain membuat mereka harus bersaing untuk mendapatkan pekerjaan yang layak untuk modal kehidupan mereka selanjutnya, belum lagi mereka harus bersaing dengan keluaran dari kampus-kampus besar di jawa, karena kulihat ada mode ekspansi bertajuk kolonisasi dari kamus besar di jawa macam UI, UGM, UNPAD, IPB untuk menyebarkan alumnus ke seluruh penjuru negeri. Maka sarjana daerah sudah harus siap menghadapi tekanan mental dari mereka, termasuk keluarga yang harus diberi makan dan dibahagiakan, juga harus sabar dengan gaji bulanan yang relatif tidak humanis mengingat biaya yang mereka keluarkan 4 tahun di bangku kuliah beratus-ratus kali lipat dari itu. Tidak heran banyak sarjana yang pindah disiplin ilmu, (beberapa pindah kasta), beberapa yang sial, justru harus ngojek, jual kue risol, atau menjadi kuli bangunan dekat rumahnya. Sebenarnya tak jadi masalah, namun menjadi berat karena ada gelar di belakang namanya.

Praktis masyarakat akan berkata si Budi adalah seorang sarjana hukum yang ngojek, atau si Ucup sarjana keperawatan yang buat kue putu. Kalimat tersebut memiliki aksioma negatif bahwa adanya ketidakmampuan budi dan ucup untuk menerapkan ilmunya ke dalam kehidupan sehari-hari, sehingga menjadi penjual kue putu, atau ngojek menjadi pelampiasan ekonomis untuk dapat bertahan hidup. Memang beberapa orang punya pendirian pendidikan itu tidak ada hubungannya dalam mencari pekerjaan, pendidikan adalah panggilan untuk memuaskan hasrat atau kepuasan jiwa, (pendidikan adalah hiburan bagi kaum terdidik), namun akhirnya idealitas semacam ini harus gugur bunga ketika dapur tidak mengepul, baju tidak diganti, otaknya yang dipakai untuk mempertahankan komitmen dan ideologinya, akan kalah dengan dominasi perut yang minta untuk diisi dengan toprak atau soto ayam, atau sekadar tahu bulat pinggir jalan. Akhirnya tidak hanya stigma masyarakat yang membunuh karakter sarjana, tetapi juga hak untuk bisa bertahan hidup.

Dari BPS kita bisa lihat data, bahwa jumlah persentase sarjana pengangguran dari tahun 2007-2016 adalah sekitar 20%-30%. Jika kita andaikan saja pengangguran terdidik itu berkisar 25%, dari 1000 orang yang wisuda maka akan ada 250 orang yang akan menganggur, dari 10 sarjana yang sedang main futsal, maka akan ada setidaknya dari 2 yang mengangur, itu belum dihitung apakah 8 orang lainnya mendapat kerja dengan gaji yang layak. Banyak pekerjaan saat ini didapat hanya sebagai pelarian daripada menganggur.

Ternyata, menjadi mempelai pun susahnya minta ampun, tidak kalah susah menjadi seorang sarjana, setelah ijab kobul, engkau akan dihadapkan pada karakter keluarga pasangan yang beragam. Kau juga tidak dapat lagi membelanjakan uangmu dengan seenak perutmu, ada perut orang lain juga yang harus dipikirkan. Intinya tanggung jawab. Bagi kita, teman-teman muslim, ijab qabul adalah peryataan janji paling berat setelah mengucap syahadat. Secara tersurat memang terdengar sepele namun maknanya sungguh luas, sangat dalam. Adanya perpindahan tanggung jawab untuk melindungi dan mengayomi istri dari tanggung jawab ayah dan saudara laki-lakinya ke tanggung jawab suaminya. Sang suami mau tidak mau akan ikut menanggung seluruh dosa dan khilaf yang dilakukan istri dan calon anak-anaknya kelak. Bisa dibayangkan menanggung dosa sendiri saja sudah susah, tak terbayangkan harus menanggung dosa dari istri dan anak-anak, ada kewajiban bagi dirimu untuk selalu memperhatikan istrimu, agar engkau tidak sering memperhatikan istri orang.

Oleh sebab itu kawin menjadi sangat mengerikan bagi orang yang benar-benar paham, kita tidak dapat lagi dengan santai kongkow-kongkow dan bergitar ria bersama anak komplek, atau sekadar futsal sampai jam 11 malam. Kita juga tidak dapat lagi mesan jesey Barcelona terbaru atau beli sepatu futsal adidas, karena budget yang kita punya juga semakin terbatas. Konsentrasi pria hanya akan terbagi bagaimana ia sukses berkarir dan cara ia membahagiakan istrinya kelak.

Belum lagi jika harus menghadapi istri yang pencemburu. Di usia pernikahan yang semakin lama juga kesetiaan dan rasa sayang suami makin berkurang, setahun umur perkawinan mungkin masih panggil sayang sayangan, bebep-bebepan, 5 tahun usia perkawinan ayah – bunda aja, masuk 10 tahun usia perkawinan aku – kamu, masuk 15 tahun saya – anda, masuk 20 tahun usia perkawinan lupa sama istrinya, masuk 30 tahun, bahkan lupa pernah menikah, hehehe. Kesetiaan dan penghormatan kita juga akan diuji disini, apakah 30 tahun usia perkawinan kita tetap saling menghormati dan menyayangi? Sama juga dengan seorang sarjana, ketika sudah wisuda apakah dia akan konsisten menerapkan ilmu yang dimiliki, atau jangan-jangan sarjananya tanpa ilmu sama sekali.

Namun, menjadi sarjana atau menikah juga memiliki kenikmatan bagi mereka yang paham dan sadar akan hakikat keduanya. Sarjana yang paripurna akan meningkatkan taraf hidup ia dan keluarganya, selalu diandalkan masyarakat, menjadi aktor sosial pemberi manfaat. Menikah pun akan sangat bermanfaat, ada tempat curhat, saling berbagi dan menyayangi, bersama-sama menuju bahagia, ada yang bangunin, ada yang merawat kala sakit, ada yang buatin sarapan atau sekedar nyeduh kopi di pagi hari, tak perlu pakai gula karena yang buatnya sudah cukup membuat pagi itu begitu manis. Yang paling penting selalu ada ucapan manis yang membahagiakan dari istri kita (bukan istri orang – apalagi istri pak RT). Di saat dunia menghakimimu, di saat dunia dan pekerjaan menyudutkanmu, selalu ada tempat untuk berpeluk, selalu ada tempat bersandar, ia akan datang dengan senyuman paling manis di dunia, ia akan mengisi sedihmu dengan ucapan-ucapannya yang menyenangkan hatimu.

Namun, idealnya, sarjana dan kawin adalah 2 tahap pintu gerbang yang harus di lewati oleh setiap orang, ada yang sarjana dulu baru kawin, ada yang kawin dulu baru sarjana, ada yang sarjana tapi gak kawin-kawin, ada juga yang belum sarjana dan tidak kunjung kawin-kawin (nah ini yang paling sial bro).

Silahkan kita semua memilih ingin seperti apa dan bagaimana, jika aku boleh usul maka jadilah manusia yang paripurna, segeralah WISUDA kemudian segeralah KAWIN. Atau jika dirasa sulit, silahkan wisuda dulu, kawin belakangan, atau bagi yang sudah tidak sabar dan ingin segera bahagia batinnya boleh langsung kawin saja, daripada buat maksiat kan? Yuuk kawiiin.

Minggu, 08 Mei 2016

Waspada Korupsi Pejabat Daerah!



Waspada Korupsi Pejabat Daerah!
OLEH SONY GUSTI ANASTA


Pernahkah terpikir pada kita, mengapa korupsi selalu terjadi melibatkan pejabat negara? baik dipusat maupun di daerah, mulai dari menteri, gubernur, bupati, kepala dinas, sekretaris daerah, pejabat keuangan, rektor, dan hakim dipengadilan. Dan mengapa pula, korupsi yang terjadi kerap kali melibatkan rekanan dari pihak swasta (pengusaha)? Adakah semacam benang merah yang menghubungkan antara pejabat, pengusaha, dan korupsi. Tulisan ini mengajak kita merenungi sisi lain dari oligarki.
 
 Akar Oligarki
Pernah sekawanan bajak laut terkenal ditangkap oleh pasukan Iskandar Agung, karena kawanan perompak ini adalah targetan yang sudah lama dicari-cari, sang maharaja langsung yang turun untuk menginterogasi. 

Apa hak kamu menjarah lautan. Tanya Iskandar Agung. Hak hamba menjarah lautan adalah sama dengan hak paduka menjarah dunia, hanya saja karena hamba melakukannya dengan perahu yang tak begitu besar, orang menyebut hamba bajak laut. Sedangkan paduka melakukannya dengan armada yang sangat besar, sehingga disebut maharaja. jawab kepala bajak laut”.

Jawaban dari bajak laut, sontak mengagetkan seisi istana termasuk Iskandar Agung sendiri, karna tidak mungkin seorang maharaja yang dielukan selama ini adalah perompak yang sangat besar. Iskandar Agung adalah raja bijaksana dengan rekam jejak memukau. Seluruh waktunya tersalurkan hanya untuk  memberikan kemakmuran pada rakyat, jadi tidak mungkin maharaja Iskandar Agung menjarah rakyatnya sendiri.

Meskipun banyak tokoh istana mempermasalahkan atas jawaban si bajak laut, tapi penulis memandang bahwa seperti inilah potret oligarki-korupsi yang sering terjadi di Indonesia, dan Jambi khususnya. Penulis mengajak kita semua merenung, mungkinkah korupsi, kolusi, nepotis, serta seluruh bentuk penyalah gunaan wewenang berakar, tumbuh dan membesar dari struktur ekonomi dan politik yang berada ditangan segelintir penguasa politik, dan imperium bisnis saat ini? atau korupsi hanyalah persoalan tekhnis pelanggaran hukum semata?

Oligarki dan Korupsi
Dalam dunia politik, secara sadar kita mengakui bahwa biaya (political cost) saat ini sangat besar, mulai dari biaya kampanye, pembuatan alat peraga, biaya tim sukses per-kabupaten, kecamatan, desa dan lain sebagainya. Calon pejabat daerah (kepala daerah dan DPRD) pun bukanlah orang sederhana atau orang kaya separuh. Rata-rata mereka yang berani bertempur adalah mereka para pengusaha papan atas, keluarga pengusaha, atau orang-orang yang berada dalam suatu ikatan dinasti politik, baik yang diikat dalam hubungan darah, ataupun dipertemukan dalam kelompok gerakan ideologis

Biasanya calon akan dibantu oleh golongan kelompok tertentu dan beberapa para pelaku usaha sebagai donatur pemenangan, dengan kontrak politik-bisnis yang (ter/di) sepakati. Fenomena demikian mengakibatkan pemerintahan akan dikuasai beberapa orang. Bahkan kedekatan emosional antara pelaku usaha atau imperium bisnis dengan pemangku kebijakan baik di eksekutif maupun legislatif akan mengakibatkan potensi terjadinya korupsi semakin tinggi.

Dari amatan pribadi, penulis percaya  bahwa korupsi terjadi karena gagalnya politik kolektif bersemi di instansi dan lembaga pemerintahan. Korupsi yang terjadi, tidak dapat dilihat secara mikro atau sektoral dengan kajian yang melompat-lompat.  Menurut Febri Diansyah, anggota ICW, korupsi bukanlah kejahatan yang putus dan sekali selesai. Lebih dari itu, korupsi merupakan suatu noktah hitam  yang dibangun atas sistem politik kekuasaan yang terpusat pada segelintir orang dan imperium bisnis yang memanfaatkan fasilitas kekuasaan untuk meraup keuntungan baik di birokrasi, lembaga negara, ataupun instansi politik lainnya.

Oleh karena itu, bukan tidak mungkin, pemegang organized crime berasal dari tokoh-tokoh pengusaha papan atas dan pengisi kekuasaan politik dan birokrasi. Jika temanya adalah korupsi, kolusi, dan nepotis, maka bisa jadi pusat penjarahan itu berada di tempat legitimasi kekuasaan negara, mulai dari kantor gubernur, kantor bupati/ walikota, kantor DPRD, institusi pendidikan, atau bahkan kantor penegak hukum di kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.

Pelaku usaha yang biasanya  berbentuk imperium bisnis (dinasti dagang) akan memanfaatkan kedekatannya dengan penguasa politik untuk mendapatkan sejumlah lisensi, konsesi/ izin, dan bahkan monopoli produk tertentu. Target dari imperium bisnis tak lain adalah mempengaruhi kekuatan politik dan kewenangan birokrasi dalam pembuatan keputusan. Biasanya pelaku usaha akan menuntut berupa regulasi yang menguntungkan, kelanjutan bisnis, fasilitas khusus, dan lain sebagainya. Bahkan tidak menutup kemungkinan beberapa pelaku usaha akan melibakan aparatur penegak hukum sebagai (satpam) untuk mewanti-wanti jika disuatu saat mereka terjerat sengketa hukum dan konflik dengan birokrasi bersangkutan.

Corruption by Greed
Aditjondro dalam bukunya yang berjudul Membedah Kembar Siam Penguasa Politik dan Ekonomi Indonesia mengatakan ada dua motivasi pejabat negara melakukan korupsi. Yang pertama Corruption by Need, maksudnya adalah korupsi karena kebutuhan, bisa juga diartikan korupsi karena kemiskinan (Corruption by Poverty), sehingga memaksa pejabat atau pegawai birokrasi rendahan penghuni pos basah seperti pejabat administrasi pembuatan KTP, KK, SIM dan lain-lain, menuntut sejumlah rupiah guna kelancaran birokrasi.

Yang kedua adalah Corruption by Greed, atau korupsi karena kerakusan, dilakukan karena pejabat negara merasa tidak puas atas kekayaan yang sudah dimilikinya, selalu ada hasrat untuk menumpuk kekayaan atau mengamankan dan mengembangkan cabang bisnisnya yang terlibat dalam imperium bisnis, seperti halnya skema rantai makanan. Kalau dalam konteks DPRD, biasanya pelaku usaha menjadikan anggota dewan sebagai alat penetrasi politik kepada eksekutif sekaligus menjadikan mereka sebagai budak harta calo proyek pengadaan, dan pembangunan dalam hubungan yang saling menguntungkan.

Setidaknya hal itu merupakan spekulasi dan kontemplasi mengenai oligarki dalam perselingkuhan antara kekuatan politik dengan imperium bisnis. Alhasil penulis percaya, pengentasan korupsi tidak hanya sekadar penerapan pasal, legal reasoning sebuah putusan, atau perbedaan tafsir ahli hukum semata, lebih dari itu pemberantasan korupsi mesti dimulai dari revitalisasi struktur politik yang lebih baik, yang dibangun di atas prinsip revolusi mental para pejabat dari orientasinya pada harta dan kedudukan kepada orientasi suci memakmurkan masyarakat Jambi-Indonesia dari cengkraman kemiskinan dan kebodohan. Semoga bermanfaat.


(Penulis Mahasiswa
BEM FH UNJA)

Minggu, 01 Mei 2016

Kepala Daerah Milik Siapa?

Kepala Daerah Milik Siapa?

OLEH SONY GUSTI ANASTA




Pemilihan Kepala Daerah baik provinsi maupun kabupaten/ kota memiliki dampak strategis terhadap rencana perkembangan suatu daerah. Setiap keputusan yang diambil merupakan pandangan dan cita-cita kepala daerah ke arah mana suatu daerah hendak dibawa.

Sejauh ini pemilihan kepala daerah melalui pemilihan umum langsung oleh rakyat yang berlaku sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 mendapat sorotan tajam. 10 tahun berlakunya rezim pemilu dalam pemilihan kepala derah ternyata tidak terlalu memberikan dampak yang signifikan kepada masyarakat di daerah. Muncul persepsi apakah lebih baik jika pemilihan kepala daerah dikembalikan kepada DPRD?

Alur Normatif 
Berkenaan dengan pemilihan kepala daerah, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam pasal 18 ayat (4) mengatur bahwa  Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis “

Kata-kata “dipilih secara demokratis” menimbulkan ambiguitas. Apakah “demokratis” berarti dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum, ataukah “demokratis” juga berarti dipilih oleh lembaga perwakilan rakyat (DPRD).

Dalam naskah komprehensif Mahkamah Konstitusi yang berisi risalah-risalah persidangan amandemen konstitusi 1999-2002 yang saya unduh dari website resmi MK mengatakan bahwa, alasan pembentuk undang-undang dasar meredaksi “dipilih secara demokratis” agar memudahkan bagi DPR untuk mengatur pemilihan seperti apa yang sesuai dengan situasi dan kondisi NKRI nantinya. Pasal tersebut sengaja dielastiskan sebagai landasan bagi wakil rakyat untuk mengatur lebih lanjut melalui undang-undang.

Namun dalam pasal 22e ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jelas mengatakan bahwa “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali” dan pasal 22e ayat (2) “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”

Dari pasal diatas ada sebuah konklusi bahwa pemilihan umum hanya dilakukan 5 tahun sekali. Dan pemilihan umum pun hanya dilaksanakan untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD. Tidak untuk kepala daerah. Dengan demikian saya berasumsi bahwa ketentuan pasal yang berisi kata “diilih secara demokratis” adalah pasal mubazir. Karena mau tak mau, sealur dengan definisi pemilu itu sendiri, ketentuan pemilihan kepala daerah harus melalui DPRD.

Aspek Teoretis 
Mengembalikan kewenangan DPRD dalam memilih kepala daerah akan menguatkan asas “Check and Balance”. Kepala daerah yang terpilih, secara subordinasi akan bertanggung jawab terhadap parlemen. Berbeda jika kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat, dimana ia langsung bertanggung jawab kepada publik/ rakyat. Yang mana kata “publik/ rakyat” multitafsir, tidak jelas, dan tidak terlembaga, sehingga menurut saya hanyalah berupa tata kata pencitraan dan lebih mengarah kepada “lips service” belaka.

DPRD yang mana didalamnya terdapat banyak kepentingan, mau tak mau akan dipaksa bersikap objektif dalam menilai kinerja kepala daerah. Sehingga program kerja yang telah dibuat dan dianggarkan dapat benar-benar dipertanggung jawabkan secara akuntabel.

Fakta Empiris 
Djanedri M. Gaffar sekjen Mahkamah Kontitusi dalam tulisannya di harian Seputar Indonesia (6/9/2010) menyampaikan bahwa ada beberapa penyebab mengapa bangsa Indonesia harus memikir ulang sistem pemilihan kepala daerah lewat pemilihan langsung oleh rakyat.

Yang pertama pemilihan kepala daerah secara langsung selalu disertai konflik masyarakat. Mulai dari tahap pencalonan hingga sampai fase pasca-pemilukada. Konflik memang merupakan bagian dari demokrasi, tetapi konflik yang berkepanjangan tentu sangat merugikan dan mencederai makna demokrasi itu sendiri. Seperti yang terjadi di Kerinci, Palembang dan beberapa daerah konflik lainnya.

Kedua, politik uang selalu “terendus” dalam setiap pelaksanaan pemilukada. Politik uang (money politics) yang sejatinya merupakan kasus suap-menyuap telah bergeser menjadi sebuah kewajaran.

Akibat dari politik uang ini, suara rakyat jadi tergadai. Calon yang terpilih belum tentu calon yang benar-benar ideal dan dikehendaki rakyat. Karena merasa sudah “membeli”suara rakyat, Kepala Daerah merasa tidak ada hubungan lagi antara dirinya dengan rakyat pemilih.

Politik uang mengakibatkan pelaksanaan pemilukada menjadi sangat mahal bagi pasangan calon. Apalagi jika harus dilakukan dalam 2 putaran. Padahal, seharusnya pemilihan kepala daerah mesti dilaksanakan secara sederhana dan biaya ringan.

Ketiga, walaupun telah dilakukan pemilihan kepala daerah secara langsung, ternyata hal itu tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan dan kemajuan daerah yang bersangkutan. Hal ini sejatinya kontaradiktif dengan alasan DPD saat pembahasan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dimana DPD saat itu berpendapat kalau kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat dapat lebih meningkatkan kesejahteraan daerah yang bersangkutan,  Karena lepas kepentingan dari DPRD.

Namun faktanya, tidak banyak daerah yang mengalami peningkatan kesejahteraan dan kemajuan secara signifikan. Beberapa daerah memang mengalami kemajuan cukup fenomenal di bawah kepemimpinan kepala daerahnya, tetapi lebih banyak lagi yang jalan di tempat.

Keempat, data dilapangan menunjukkan bahwa di era otonomi daerah semakin banyak kasus korupsi yang terjadi. Kepala daerah yang dipilih secara langsung tidak memiliki dampak terhadap upaya pemberantasan korupsi. Alih-alih memberantas korupsi, ternyata banyak kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Terakhir, Mei 2014 Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Djohermansyah Djohan mengatakan sebanyak 325 kepala daerah sudah terjerat kasus tindak pidana korupsi, baik yang sudah menjadi narapidana, maupun yang masih berstatus tersangka.

Keempat fenomena di atas memunculkan gagasan untuk mengubah cara pemilihan kepala daerah kembali melalui DPRD. Namun bertentangan dengan itu, ada yang berpendapat bahwa mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD adalah langkah mundur. Pemilihan kepala daerah oleh DPRD dipandang akan mengebiri hak rakyat, karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang ratifikasi International Covenan on Civil and Political Rights.

Di sisi lain ada yang beranggapan kalau kepala daerah hanya ditentukan oleh anggota DPRD juga tidak akan menutup kemungkinan terjadinya (money politics). Pemilihan kepala daerah oleh parlemen daerah juga berpotensi melahirkan konflik, apalagi jika kepala daerah yang terpilih bertentangan dengan harapan rakyat.

Alhasil, melahirkan kepala daerah yang jujur, bersih, dan berkompeten, serta memihak kepentingan rakyat tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Perlu sistem dan pengaturan yang tidak hanya berfungsi untuk merangsang kepala daerah  berkerja secara optimal, tetapi juga sistem yang bisa mencegah agar pemerintahan tidak dikuasai oleh sebagian orang (oligarchie politics). Wallahua’lam Bishawab.