Menghukum
Korporasi!
OLEH
SONY GUSTI ANASTA*
Penegakan
hukum lingkungan terhadap bencana kabut asap karena kebakaran hutan dan lahan
yang menimpa beberapa Provinsi di Kalimantan dan Sumatera, termasuk Jambi
seperti jalan ditempat. Usaha para penggugat yang memperjuangkan lingkungan
hidup yang bersih dan sehat mulai dari Pemerintah Pusat, dan Pemerintah Daerah,
Masyarakat, serta Organisasi Lingkungan hidup yang masing-masing diatur dalam
Pasal 90, 91, 92 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) tidak membuahkan hasil yang memuaskan.
Disinyalir hal itu terjadi karena kekeliruan para penggugat menggunakan
alternatif pilihan penegakan hukum yang ada.
Dalam
konteks penegakan hukum terhadap kabut asap ini, gugatan dan penuntutan kerap
beralamat ke peradilan pidana, maupun peradilan perdata. Dalam perspektif hukum
perdata, penegakan hukum lingkungan berorientasi pada ganti rugi pelaku untuk
memulihkan baku mutu lingkungan hidup, itupun harus dibuktikan dahulu di
pengadilan, sedang dalam perspektif pidana, penuntutan berorientasi hanya pada
perbuatan salah si pelaku agar yang bersangkutan dapat dihukum, sehingga
diharapkan dapat memberikan efek jera kepada masyarakat.
Padahal
sebenarnya UUPPLH punya ruh, setiap orang atau badan hukum yang melakukan
perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/ atau perusakan terhadap
lingkungan hidup diwajibkan untuk melakukan penanggulangan, pemulihan,
restorasi, serta reahabilitasi sampai lingkungan hidup yang telah dirusak atau
dicemari kembali sedia kala. Penulis berpendapat apa yang sebenarnya diinginkan
masyarakat, adalah seperti yang termakna dalam UUPPLH, bukan penegakan hukum
seperti yang dipahami oleh kebanyakan para penggugat dan penuntut. Oleh sebab
itu, tidak ada salahnya jika pemerintah mencoba alternatif penegakan hukum
administrasi.
Kerugian Riil
Dari data yang
tersaji di dunia maya, terhitung sampai tanggal 3 November 2015, Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Pekanbaru menyebutkan satelit Tera
dan Aqua memantau terdapat 708 titik panas di Sumatera. Tiga daerah menjadi
penyumbang titik panas terbanyak adalah Jambi dengan 245 titik. Disusul
Sumatera Selatan 189 titik dan Riau 177 titik. Titik panas hampir merata
terjadi di daerah lainya, seperti Sumatera Barat 32 titik, Lampung 18 titik,
Sumatera Utara 10 titik, Aceh 3 titik, Bangka belitung 8 titik, dan Kepulauan
Riau 1 titik. Kerugian yang diderita mencapai Rp.930 miliar, itu pun hanya
kerugian di bidang lahan saja, belum dihitung kerugian tidak langsung seperti
terganggunya jadwal penerbangan, terhentinya distribusi obat dan makanan,
liburnya anak sekolah, atau tidak melautnya para nelayan dan lain-lain. Namun
yang lebih mengejutkan adalah menurut Musri Nauli dari WALHI, sekitar 80 persen
kebakaran hutan yang terjadi disebabkan oleh badan hukum korporasi. Badan hukum/
korporasi merupakan perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan, kehutanan
dan lahan. Tiap tahun ada pajak yang mesti disetor ke negara, yang mana pajak
tersebut dipergunakan untuk keperluan membangun daerah lewat skema Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD), namun jika diteliti, justru kerugian yang
timbul akibat bencana kabut asap ditengarai jauh lebih besar dari jumlah pajak
yang yang disetor oleh perusahaan, disini telah terjadi ketimpangan keuangan.
Ibarat kata pepatah, besar pasak daripada tiang.
Investor dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan memang
di anggap sebagai mitra pemerintah dalam memajukan dan memakmurkan masyarakat
di daerah, namun pembangunan yang berkelanjutan dalam hal pemanfaatan sumber
daya alam juga jangan sampai melangar hak konstitusional warga negara. Pasal
28H UUD RI menyatakan “Setiap
orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan” pemerintah dalam hal ini harus mampu mewujudkan kedua
cita-cita diatas dalam waktu dan kesempatan yang bersamaan, intinya, pajak dan
pembangunan merupakan instrumen pemerintah dalam membangun negara, namun dalam
pelaksanaannya, jangan sampai pula menggerus hak konstitusional sehingga
merugikan masyarakat setempat.
Ridwan HR mengatakan
bahwa “keberadaan Hukum Administrasi
Negara (HAN) itu muncul karena adanya keharusan penyelenggaran kekuasaan dan pemerintahan
dalam suatu negara hukum”. HAN berfungsi sebagai ilmu yang dipakai untuk
menerapkan aturan hukum, termasuk hukum lingkungan. Dikatakan banyak sarjana, bahwa HAN merupakan
hukum yang istimewa, oleh sebab itu sanksi dari HAN juga bersifat istimewa.
Istimewa disini berarti pemberlakuan sanksi administrasi tidak harus melewati
peradilan, berbeda dengan sanksi pidana dan sanksi perdata. Sanksi HAN dapat
langsung diterapkan kepada si pelanggar norma administrasi dalam rangka untuk
menyelenggarakan kekuasaan pemerintah dalam konteks penegakan hukum
administrasi.
Strict
Liability
Hukum Lingkungan Indonesia telah menerapkan prinsip strict liability terhadap perusak dan
pencemar lingkungan. Pasal 88 UUPPLH berbunyi “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau
kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan
dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap
lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu
pembuktian unsur kesalahan”
pasal di atas dapat menjadi dasar hukum untuk meminta pertanggungjawaban
korporasi yang kebun atau lahannya
terbakar, tanpa harus adanya usaha untuk membuktikan unsur kesalahan dari
korporasi.
Banyak pakar yang
mengatakan bahwa strict liability
yang diatur dalam pasal 88 UUPPLH tidak dapat diterapkan karena pasal tersebut
hanya diterapkan untuk usaha yang melibatkan bahan berbahaya dan beracun (B3). Jika kita pasati lebih dalam, sebenarnya
redaksi pasal terkait tidak hanya memfasilitasi kegiatan yang melibatkan B3,
tetapi juga untuk setiap kegiatan yang menimbulkan ancaman serius terhadap
lingkungan hidup. Jadi strict liability
dapat diterapkan untuk 1) setiap orang yang tindakannya,
usahanya, dan/atau kegiatannya melibatkan B3 dan 2) setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau
kegiatannya menimbulkan ancaman
serius terhadap lingkungan hidup. Kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan
kabut asap dapat ditafsirkan sebagai kegiatan yang menimbulkan ancaman serius
terhadap lingkungan hidup.
Selain itu, sebenarnya
pun, asap merupakan bagian dari B3, ini terbukti dari redaksi Pasal 5 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 74 tahun 2001 tentang
Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun. Pasal ini mengklasifikasikan B3
sebagai berikut: a) Mudah meledak (explosive),
b) Pengoksidasi (oxidizing), c)
Sangat mudah sekali menyala (extremely
flammable), d) Sangat mudah menyala (highly
flammable), e) Mudah menyala (flammable), f) Amat sangat beracun (extremely
toxic), g) Sangat Beracun (highly toxic), h) Beracun (moderately toxic), i) Berbahaya (harmful), j) Korosif (corrosive), k) Teratogenik (teratogenic), l) Mutagenik (mutagenic). Kabut asap dapat
ditafsirkan sebagai bahan yang amat beracun, sangat beracun, atau beracun
sesuai dengan jumlah kandungan asap di dalamnya.
Tanggung
Jawab Pemerintah
Sebagai pihak yang menyelenggarakan urusan pemerintahan,
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/ kota memiliki peran dan tanggung
jawab untuk mengendalikan, mengawasi sampai dengan menyelesaikan permasalahan
kabut asap. Hal ini diatur secara tegas masing-masing dalam Pasal 63 ayat (2)
dan Pasal 63 ayat (3). Sebagai pihak yang paling bertanggungjawab, pemerintah
dapat langsung menerapkan pertanggungjawaban mutlak (strict liability) kepada korporasi pembakar hutan dan lahan lewat peran
Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) sebagai pihak yang mendapatkan
kewenangan dari kepala daerah secara degelatif, sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 71 dan Pasal 74 UUPPLH.
PPLH inilah yang nantinya akan membuat sanksi administrasi
berupa paksaan pemerintah lewat keputusan tata usaha negara yang berisi
catatan-catatan kerugian yang menimpa masyarakat dan keharusan korporasi untuk
membayarnya. Jika korporasi tidak mematuhinya, maka kepala daerah dapat
membekukan dan mencabut izin lingkungan korporasi yang bersangkutan. Jika
korporasi tidak terima, dapat mengajukan gugatan ke peradilan tata usaha
negara. dalam tahap ini berlaku prinsip pembuktian terbalik. Korporasi
penggugatlah yang harus membuktikan bahwa keputusan pejabat tata usaha negara
yang merugikannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan
asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Memang menafsirkan kabut asap sebagai B3 terkesan agak
sedikit dipaksakan. Pun menganggap kabut asap sebagai bahan yang menimbulkan ancaman serius terhadap
lingkungan hidup juga terdengar sumir, namun tidak ada salahnya mencoba
menegakkan aturan hukum yang ada, kendati penafsiran pasal yang bersangkutan
masih menimbulkan ambiguitas. Kedepan untuk menjamin kepastian hukum bagi
seluruh elemen, sekaligus menguatkan payung hukum bagi berlakunya strict liability, Kementerian yang
bergerak di bidang Lingkungan Hidup mesti membuat kebijakan yang bersifat Lex Certa, Lex Scripta, dan Lex Stricta untuk memasukkan kabut asap
sebagai bagian dari B3 dan bahan yang menimbulkan ancaman serius terhadap
lingkungan hidup.
*Mahasiswa
Fakultas Hukum Universitas Jambi