Polemik Investasi BUMN
OLEH SONY GUSTI ANASTA
Dewasa ini, problematika mengenai
status keuangan ditubuh BUMN mencuat kembali. Disatu sisi, beberapa pihak
mengatakan bahwa keuangan BUMN merupakan keuangan negara yang dipisahkan.
disisi yang berbeda BUMN merupakan badan hukum yang berstatus PT, yang mana
keuangan BUMN adalah keuangan perusahaan. itu artinya jika suatu BUMN mengalami
jatuh pailit, maka negara tidak
bertanggung jawab secara utuh untuk menutupi hutang dari BUMN yang
bersangkutan. Dan ketika terjadi suatu tindak pidana korupsi, maka dalam artian
yang paling sempit, bukan berarti hal itu merugikan keuangan negara.
Konflik
Yuridis
Dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003
tentang Keuangan Negara mengatur bahwa keuangan BUMN merupakan bagian dari
keuangan negara. pengaturan hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 2 huruf
(g) yang menentukan keuangan negara yang dipisahkan pada perusahaan negara/
perusahaan daerah. Atau didalam pasal 2 huruf (i) yang menyebutkan bahwa keuangan
negara meliputi kekayaan pihak lain yang diperoleh menggunakan fasilitas yang
diberikan oleh pemerintah.
Selanjutnya didalam pasal 1 angka (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara mengatur bahwa
‘perbendaharaan negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan
negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan. Seperti sejalan dengan
konteks keuangan negara, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjelaskan kalau keuangan negara adalah
seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan.
Dari definisi diatas sudah jelas
undang-undang dalam rezim keuangan negara menabur pengertian bahwa Kekayaan
BUMN merupakan keuangan negara. itu artinya kerugian yang terjadi pada tubuh
BUMN juga merupakan kerugian Negara. Namun, di lain sisi, pasal 4 Undang-Undang
Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN secara eksplisit mengatur bahwa modal BUMN
merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Selain itu dalam
pasal 7 undang-undang yang sama menyebutkan
bahwasanya pengaturan BUMN berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip
perseroan terbatas sebagaimana yang diatur dalam undang-undang perseroan
terbatas, yakni Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007.
Dari cuplikan pasal diatas dapat
dikatakan bahwa status keuangan BUMN masih belum cukup jelas, sehingga
memberikan ketidak-pastian hukum kepada masyarakat dan aparat penegak hukum.
Terutama dalam lapangan hukum pidana, tepatnya dalam tindak pidana korupsi,
dimana definisi dari kerugian keuangan negara bias dan kerap ditarik-ulur oleh
pihak berkepentingan.
Doktrin
‘Comunnis Opinnion’
Sesuatu yang mesti dipahami bersama
mengenai polemik ini adalah bahwa ketika keuangan negara sudah dipisahkan maka
sejatinya keuangan negara yang dijadikan modal bagi BUMN berubah menjadi saham,
oleh karena itu keuangan BUMN sepenuhnya adalah keuangan perusahaan, bukan
keuangan negara lagi. andil negara dalam melakukan intervensi terhadap direksi
atau pimpinan BUMN hanya pada saat RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham).
Hal diatas merupakan penjabaran tekhnis
dari teori comunnis opinnion doctrine dalam
hukum perseroan terbatas, yang
berarti ‘suatu kekayaan-termasuk keuangan
badan hukum, adalah terpisah dari kekayaan pengurus dan pemiliknya atau
pemegang saham’.
Tidak fair jika pemerintah meng-claim
bahwa kekayaan BUMN adalah kekayaan negara, namun disisi lain negara lepas
tangan terhadap keputusan blunder dari direksi yang merugikan BUMN (negara).
Alih-alih bertanggung jawab, negara lewat KPK, malah menuntut direksi dengan
dakwaan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara.
Disisi lain hal ini juga akan membuka
peluang permainan busuk dari mafia hukum dan peradilan, sehingga berpotensi
merugikan keuangan negara lebih banyak lagi. Contohnya jika suatu BUMN
dinyatakan pailit, dengan kondisi
undang-undang kita yang pincang, maka negara mau tak mau mesti menanggung
segala kerugian BUMN dan wajib membayar hutang pada mitra bisnisnya. Seperti
yang terjadi pada beberapa perusahaan negara kita, satu diantaranya Merpati Airlines.
Uang
Publik vs Uang Privat
Dalam literasi keuangan negara,
memasukkan keuangan BUMN kedalam keuangan negara, pada dasarnya bertentangan
dengan doktrin “uang publik” dan “uang privat”. Konsep mengenai “uang publik”
dan “uang privat” dapat ditemukan diberbagai peraturan perundang-undangan kita.
Salah satunya adalah Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang pengadaan
barang dan jasa oleh pemerintah.
Dalam PERPRES tersebut, terhadap
instansi yang baik seluruh atau sebagian modalnya didanai negara dengan APBN/
APBD wajib berpegang teguh kepada PERPRES tersebut. Namun untuk institusi yang
dana atan sebagian modalnya berasal dari keuangan negara namun telah
dipisahkan, menurut PERPRES harus mengikuti
keputusan yang telah dibuat oleh dewan direksi institusi/ perusahaan
yang bersangkutan. Lantas, jika instansi atau perusahaan tersebut adalah
Perusahaan Negara atau Perusahaan Daerah, ketika melakukan pengadaan barang
kebutuhan pabrik, atau menyewa jasa pihak lainnya harus memakai PERPRES 54
tahun 2010 kah? Lantaran sebagian modalnya dibiayai oleh negara, atau berpijak
kepada keputusan internal dari direksi yang berwenang dikarenakan uang negara
sudah dipisahkan? Tentunya hal ini masih menimbulkan ambiguitas.
Manajemen
Tidak Sama
Hikmahanto Juwana, guru besar Universitas
Indonesia pernah menyampaikan, mengelola keuangan BUMN tidaklah sama dengan
mengola keuangan negara. Dalam mengelola uang, pemerintah sebagai penyelenggara
pemerintahan bukanlah entitas yang mencari untung dan dapat diterpa kerugian
karena keputusan bisnis.
Hal ini berbeda dengan posisi BUMN.
Dalam mengelola perusahaan selain dipatok untuk benar-benar memanfaatkan sumber
daya alam, berikut sumber daya pasar di Indonesia, BUMN juga dirangsang untuk
menimba keuntungan yang sebesar-besarnya. Akan tetapi, BUMN dapat pula terjatuh
merugi karena kesalahan keputusan bisnis (business
decission), atau wanprestasi dan perbuatan melawan hukum (onrechmatigheid) dari mitranya.
Secara ilmu tentu kita dapat memahami
bersama, jika hal tersebut terjadi maka mesti diselesaikan secara keperdataan.
Namun jika kesalahan terjadi dikarenakan kelalaian dari direksi, pengurus atau
karyawan maka diselesaikan lewat jalur administratif. Namun, meminjam perkataan
Prof. Hikmahanto Juwana, adalah aneh jika dalam kerugian BUMN dikarenakan
kelalaian dari direksi dalam membaca situsi dan peluang bisnis, harus dijerat
dengan undang-undang Tipikor. Hal ini menurut saya bukanlah merupakan langkah ajeg dalam situasi persaingan pasar yang
semakin tajam. bisa-bisa hal ini akan membuat ciut nyali direksi BUMN dalam mengambil keputusan, karena
dibayang-bayangi oleh tuntutan korupsi. Hal ini kontradiksi dengan pernyataan
menteri BUMN RI 2009-2014 Dahlan Iskan, yang mengatakan siap berjuang membawa
BUMN bersaing sehat melawan konglomerasi swasta yang saat ini ber-aset lebih
dari Rp. 3000 Triliun.
Selaraskan
Norma!
Meski Fatwa Mahkamah Agung nomor
WKMA/Yud/20/VIII/2006 tentang pernyataan kekayaan negara dipisahkan dengan
kekayaan BUMN sudah diterbitkan, bukan berarti masalah selesai sampai disini.
Fatwa MA hanya berlaku dilapangan yudikatif saja. Namun sektor eksekutif, yang
langsung bersentuhan dengan tekhnis permasalahan, ataupun sektor kejaksaan dan
KPK yang akan mengusut kemungkinan terjadinya Tipikor, belumlah mendapat
perhatian yang berarti.
Intinya kita mesti selaraskan norma dan
hadirkan kepastian hukum dalam setiap denyut pasal perundang-undangan yang
berhubungan dengan keuangan negara. pasal 1 huruf (g) undang-undang kekayaan
negara, pasal 1 ayat (1) undang-undang perbendaharaan negara, dan beberapa
pasal lain yang ‘salah gaul’ mesti
direvisi.
Terakhir, kalau memang demikian, maka
Badan Pemeriksa Keuangan juga tidak berhak untuk memeriksa kondisi keuangan
swasta/ perusahaan (BUMN). Negara dilarang turut campur dalam urusan ‘dapur’
warga negaranya. Sekali lagi, titik terjauh negara hanya berada pada saat RUPS
BUMN. Kata Adrian Sutedi, kalau BPK masih mau ‘ngotot’ masuk dan megobrak-abrik
keuangan BUMN, maka kita harus amandemen undang-undang dasar, terutama pasal
23E menjadi “Selain berwenang memeriksa
keuangan negara, BPK juga berwenang memeriksa keuangan swasta”. Kacau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar