Kamis, 18 Februari 2016

Polemik Investasi BUMN



Polemik Investasi BUMN

OLEH SONY GUSTI ANASTA


Dewasa ini, problematika mengenai status keuangan ditubuh BUMN mencuat kembali. Disatu sisi, beberapa pihak mengatakan bahwa keuangan BUMN merupakan keuangan negara yang dipisahkan. disisi yang berbeda BUMN merupakan badan hukum yang berstatus PT, yang mana keuangan BUMN adalah keuangan perusahaan. itu artinya jika suatu BUMN mengalami jatuh pailit, maka negara tidak bertanggung jawab secara utuh untuk menutupi hutang dari BUMN yang bersangkutan. Dan ketika terjadi suatu tindak pidana korupsi, maka dalam artian yang paling sempit, bukan berarti hal itu merugikan keuangan negara.

Konflik Yuridis
Dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatur bahwa keuangan BUMN merupakan bagian dari keuangan negara. pengaturan hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 2 huruf (g) yang menentukan keuangan negara yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah. Atau didalam pasal 2 huruf (i) yang menyebutkan bahwa keuangan negara meliputi kekayaan pihak lain yang diperoleh menggunakan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah.

Selanjutnya didalam pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara mengatur bahwa ‘perbendaharaan negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan. Seperti sejalan dengan konteks keuangan negara, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjelaskan kalau keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan  atau yang tidak dipisahkan.

Dari definisi diatas sudah jelas undang-undang dalam rezim keuangan negara menabur pengertian bahwa Kekayaan BUMN merupakan keuangan negara. itu artinya kerugian yang terjadi pada tubuh BUMN juga merupakan kerugian Negara. Namun, di lain sisi, pasal 4 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN secara eksplisit mengatur bahwa modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Selain itu dalam pasal 7 undang-undang yang sama menyebutkan  bahwasanya pengaturan BUMN berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip perseroan terbatas sebagaimana yang diatur dalam undang-undang perseroan terbatas, yakni Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007.

Dari cuplikan pasal diatas dapat dikatakan bahwa status keuangan BUMN masih belum cukup jelas, sehingga memberikan ketidak-pastian hukum kepada masyarakat dan aparat penegak hukum. Terutama dalam lapangan hukum pidana, tepatnya dalam tindak pidana korupsi, dimana definisi dari kerugian keuangan negara bias dan kerap ditarik-ulur oleh pihak berkepentingan.

Doktrin ‘Comunnis Opinnion’
Sesuatu yang mesti dipahami bersama mengenai polemik ini adalah bahwa ketika keuangan negara sudah dipisahkan maka sejatinya keuangan negara yang dijadikan modal bagi BUMN berubah menjadi saham, oleh karena itu keuangan BUMN sepenuhnya adalah keuangan perusahaan, bukan keuangan negara lagi. andil negara dalam melakukan intervensi terhadap direksi atau pimpinan BUMN hanya pada saat RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham).

Hal diatas merupakan penjabaran tekhnis dari teori comunnis opinnion doctrine dalam hukum perseroan terbatas, yang berarti ‘suatu kekayaan-termasuk keuangan badan hukum, adalah terpisah dari kekayaan pengurus dan pemiliknya atau pemegang saham’.

Tidak fair jika pemerintah meng-claim bahwa kekayaan BUMN adalah kekayaan negara, namun disisi lain negara lepas tangan terhadap keputusan blunder dari direksi yang merugikan BUMN (negara). Alih-alih bertanggung jawab, negara lewat KPK, malah menuntut direksi dengan dakwaan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara.

Disisi lain hal ini juga akan membuka peluang permainan busuk dari mafia hukum dan peradilan, sehingga berpotensi merugikan keuangan negara lebih banyak lagi. Contohnya jika suatu BUMN dinyatakan pailit, dengan kondisi undang-undang kita yang pincang, maka negara mau tak mau mesti menanggung segala kerugian BUMN dan wajib membayar hutang pada mitra bisnisnya. Seperti yang terjadi pada beberapa perusahaan negara kita, satu diantaranya Merpati Airlines.

Uang Publik vs Uang Privat
Dalam literasi keuangan negara, memasukkan keuangan BUMN kedalam keuangan negara, pada dasarnya bertentangan dengan doktrin “uang publik” dan “uang privat”. Konsep mengenai “uang publik” dan “uang privat” dapat ditemukan diberbagai peraturan perundang-undangan kita. Salah satunya adalah Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah.

Dalam PERPRES tersebut, terhadap instansi yang baik seluruh atau sebagian modalnya didanai negara dengan APBN/ APBD wajib berpegang teguh kepada PERPRES tersebut. Namun untuk institusi yang dana atan sebagian modalnya berasal dari keuangan negara namun telah dipisahkan, menurut PERPRES harus mengikuti  keputusan yang telah dibuat oleh dewan direksi institusi/ perusahaan yang bersangkutan. Lantas, jika instansi atau perusahaan tersebut adalah Perusahaan Negara atau Perusahaan Daerah, ketika melakukan pengadaan barang kebutuhan pabrik, atau menyewa jasa pihak lainnya harus memakai PERPRES 54 tahun 2010 kah? Lantaran sebagian modalnya dibiayai oleh negara, atau berpijak kepada keputusan internal dari direksi yang berwenang dikarenakan uang negara sudah dipisahkan? Tentunya hal ini masih menimbulkan ambiguitas.

Manajemen Tidak Sama
Hikmahanto Juwana, guru besar Universitas Indonesia pernah menyampaikan, mengelola keuangan BUMN tidaklah sama dengan mengola keuangan negara. Dalam mengelola uang, pemerintah sebagai penyelenggara pemerintahan bukanlah entitas yang mencari untung dan dapat diterpa kerugian karena keputusan bisnis.

Hal ini berbeda dengan posisi BUMN. Dalam mengelola perusahaan selain dipatok untuk benar-benar memanfaatkan sumber daya alam, berikut sumber daya pasar di Indonesia, BUMN juga dirangsang untuk menimba keuntungan yang sebesar-besarnya. Akan tetapi, BUMN dapat pula terjatuh merugi karena kesalahan keputusan bisnis (business decission), atau wanprestasi dan perbuatan melawan hukum (onrechmatigheid) dari mitranya.

Secara ilmu tentu kita dapat memahami bersama, jika hal tersebut terjadi maka mesti diselesaikan secara keperdataan. Namun jika kesalahan terjadi dikarenakan kelalaian dari direksi, pengurus atau karyawan maka diselesaikan lewat jalur administratif. Namun, meminjam perkataan Prof. Hikmahanto Juwana, adalah aneh jika dalam kerugian BUMN dikarenakan kelalaian dari direksi dalam membaca situsi dan peluang bisnis, harus dijerat dengan undang-undang Tipikor. Hal ini menurut saya bukanlah merupakan langkah ajeg dalam situasi persaingan pasar yang semakin tajam. bisa-bisa hal ini akan membuat ciut nyali direksi BUMN dalam mengambil keputusan, karena dibayang-bayangi oleh tuntutan korupsi. Hal ini kontradiksi dengan pernyataan menteri BUMN RI 2009-2014 Dahlan Iskan, yang mengatakan siap berjuang membawa BUMN bersaing sehat melawan konglomerasi swasta yang saat ini ber-aset lebih dari Rp. 3000 Triliun.

Selaraskan Norma!
Meski Fatwa Mahkamah Agung nomor WKMA/Yud/20/VIII/2006 tentang pernyataan kekayaan negara dipisahkan dengan kekayaan BUMN sudah diterbitkan, bukan berarti masalah selesai sampai disini. Fatwa MA hanya berlaku dilapangan yudikatif saja. Namun sektor eksekutif, yang langsung bersentuhan dengan tekhnis permasalahan, ataupun sektor kejaksaan dan KPK yang akan mengusut kemungkinan terjadinya Tipikor, belumlah mendapat perhatian yang berarti.

Intinya kita mesti selaraskan norma dan hadirkan kepastian hukum dalam setiap denyut pasal perundang-undangan yang berhubungan dengan keuangan negara. pasal 1 huruf (g) undang-undang kekayaan negara, pasal 1 ayat (1) undang-undang perbendaharaan negara, dan beberapa pasal lain yang ‘salah gaul’  mesti direvisi.

Terakhir, kalau memang demikian, maka Badan Pemeriksa Keuangan juga tidak berhak untuk memeriksa kondisi keuangan swasta/ perusahaan (BUMN). Negara dilarang turut campur dalam urusan ‘dapur’ warga negaranya. Sekali lagi, titik terjauh negara hanya berada pada saat RUPS BUMN. Kata Adrian Sutedi, kalau BPK masih mau ‘ngotot’ masuk dan megobrak-abrik keuangan BUMN, maka kita harus amandemen undang-undang dasar, terutama pasal 23E menjadi “Selain berwenang memeriksa keuangan negara, BPK juga berwenang memeriksa keuangan swasta”. Kacau.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar