Minggu, 21 Februari 2016

Otensitas Kepemimpinan



Otensitas Kepemimpinan
OLEH SONY GUSTI ANASTA



Dalam serial kartun Avatar, dikatakan bahwa sang avatar adalah tokoh yang kelahirannya hanya terjadi 1000 tahun sekali. Ia merupakan sosok ksatria yang didatangkan untuk mengendalikan kehidupan di bumi, misi utamanya adalah menyelamatkan dunia dari kekejaman raja api Ozai dan mengharmoniskan hubungan antara negara yang ada di dunia.
Dari kartun anak ini dapat dipahami bahwa hanya avatar lah yang dapat menenangkan seisi bumi, gaya kepemimpinannya akan membawa seluruh negara dalam hubungan yang baik penuh perdamaian dan kesejahteraan, jauh dari perang dan kesengsaraan. Dari sini kita diberitahu bahwa pemimpin itu didatangkan, tidak dibentuk atau dilatih. Hal ini seperti senada dengan apa yang dikatakan oleh sejarawan Thomas Carlyle (1840) yang mengatakan bahwa “Sesungguhnya pemimpin besar itu dilahirkan, tidak dibentuk”. Oleh sebab itu kepemimpinan besar itu adalah takdir atau anugrah, bukan sebuah hasil yang diperjuangkan lewat pembelajaran dan pengalaman. Memimpin bukan soal hitung-hitungan strategi, memimpin itu soal naluri atau sense of leading.

50 tahun setelah pernyataan Thomas Carlyle, seorang sosiolog bernama Herbert Spencer (1896) membantahnya; pemimpin itu tidak dilahirkan, akan tetapi dibentuk masyarakatnya. Pemimpin akan membawa kemana masyarakat inginkan, karena sejatinya pemimpin adalah wujud kompromistis rakyat, siapakah orang yang akan dicap sebagai pemimpin dan apa saja yang mesti dilakukan oleh pemimpin. Oleh sebab itu pemimpin selalu mencerminkan masyarakatnya, pemimpin menerima seluruh gundahan dan risauan masyarakat kemudian mencernanya apakah gundahan dan risauan merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat secara kolektif atau tidak.

Gaya Kepemimpinan
Saya sebagai awam lebih condong kepada pendapat Spencer, namun bukan berarti menganggap salah pemikiran Carlyle. Secara trensendensial, pemikiran Carlyle secara tidak langsung meletakkan pemimpin sebagai  seuatu yang diagungkan, dipuja, disembah dan dibenarkan setiap saat. Menyogok, membodohi, melakukan pengkhianatan, atau sekadar kritik pada pemimpin  adalah sikap yang sangat dibenci oleh masyarakat. Pada tahap ini masyakat percaya bahwa hanya pemimpinlah yang dapat melindungi dan membawa mereka pada kesejahteraan, model seperti ini membuat kesan pemimpin menjadi angker, dinabikan, dan dikeramatkan.

Di sisi lain, pemikiran Spencer mengatakan bahwa pemimpin adalah bagian dari rakyat itu sendiri. Pemimpin adalah wakil rakyat, yang menurut pribahasa minangkabau “ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah”. Maksudnya adalah pemimpin adalah orang yang oleh rakyat sengaja ditinggikan seranting, dan sengaja didahulukan selangkah. Pemimpin bukanlah orang yang ditinggikan berpuluh-puluh ranting hingga letaknya di atas dahan atau didahulukan beribu langkah, hingga sangat jauh didepan, hal itu akan membuatnya jauh dari rakyat, dan tidak mengerti permasalahan yang sedang dialami oleh rakyat. Karena terlalu ditinggikan, dan terlalu di dahulukan, kesan pemimpin menjadi angker, dinabikan, disembah, atau dikeramatkan. Ini bisa menimbulkan gaya pemerintahan monarki, jika kualitas pemimpinnya buruk, maka akan berubah menjadi diktatur atau tirani.

Orientasi Kepemimpinan
Pemikiran Carlyle diorientasikan pada kepercayaan mutlak pada sosok pemimpin, menurut pemikiran ini, pemimpin akan memimpin sesuai dengan apa yang dikendakinya, bukan kehendak rakyat. Letak konsentrasinya ada pada sosok pemimpin, bukan pada sistem kepemimpinanya, oleh sebab itu jika personal pemimpinnya buruk, maka buruk pula kepemimpinannya, jika baik kepemimpinannya maka baik pula gaya kepemimpinannya. Model kepemimpinan seperti ini akan bergantung penuh pada cara dan cita-cita pemimpin, jika cara dan cita pemimpin disukai oleh rakyat maka ia akan makin dipuja, namun jika cara dan citanya tidak disukai maka ia akan dijauhi oleh rakyat, oleh sebab itu jenis pemimpin macam ini kerap menggunakan kekerasan dan pemaksaan ideologis kepada masyarakatnya. Semua dilaksanakan demi tercapainya cita negara menurut penafsiran dirinya sendiri. namun dalam konteks manajemen kepemimpinan, gaya seperti ini adalah model kepemimpinan paling efektif asalkan kesan angker dan keyakinan mutlak kepada pemimpin dapat ditransformasikan menjadi kepatuhan masyarakat kepada garis-garis haluan yang ditetapkan oleh pemimpin. Oleh sebab itu tidak seluruhnya dari sistem yang dikemukakan Carlyle salah, pemimpin juga perlu menjaga stabilitas politik masyarakatnya agar tetap berada pada pola yang sudah ditetapkan.

Pola kepemimpinan yang diungkapkan Spencer perlu dijaga oleh sedikit ramuan kepemimpinan yang diungkapkan Carlyle, tujuannya jelas untuk mendapatkan pemimpin yang diinginkan rakyat dan menjaga agar kepemimpinan tersebut mendapatkan dukungan secara moril dan politis agar efektifitas pemerintahan dapat segera terwujud, yang pada akhirnya cita kepemimpinan yang merupakan kolaborasi antara keinginan rakyat dan pandangan calon pemimpin akan semakin cepat terwujud.

Otensitas Kepemimpinan
Demokrasi Indonesia hari ini harus diakui lebih mengedepankan kebebasan dibandingkan tanggung jawab terhadap menggunakan kebebasan, aspirasi rakyat juga dapat berupa bisikan yang menyesatkan. Pemimpin dituntut tegas dan cerdas dalam mengambil keputusan. Saat ini sulit membedakan mana jalan yang baik, mana jalan yang dianggap orang baik, mana jalan yang benar menurut hukum, mana pula jalan yang benar menurut orang hukum. Intinya pemimpin membutuhkan sense of leading, bagaimana memperkerjakan naluri kepemimpinan untuk meracik sebuah keputusan yang baik, apakah harus menegakkan aturan hukum, ataukah mengikuti keputusan partai pengusung. Apakah harus merazia tambang rakyat ilegal ataukah mendiamkan diri menikmati uang konsesi dan suap dibidang perizinan. Membela kepentingan rakyat atau membela kepentingan korporasi.

Dalam psikologi kepemimpinan, pemimpin yang sukses dinilai seberapa konsisten dirinya dalam menerapkan pola gaya dan caranya memimpin. Apakah dalam menyelesaikan permasalahan yang sama dia menerapkan pola penyelesaian yang berbeda. kalau iya, apakah ada motif diluar dirinya yang mempengaruhi dalam mengambil keputusan itu. Hal ini akan menunjukkan otensitas atau sikap keasliannya dalam memimpin (authenticity of leading).

Mengenai otensitas kepemimpinan, Daniel Goleman memakai istilah ‘diri ideal’, yang berarti mekanisme dan proses; yaitu bagaimana kita menginginkan diri kita sendiri, menjadi pribadi seperti apa kah yang kita inginkan, termasuk apa yang kita inginkan dalam hidup dan pekerjaan. Secara filosofis, Martin Heideger menyebut otensitas kepemimpinan sebagai ‘otensitas’ (authenticity), yang bisa diartikan sebagai seorang yang paham akan eksistensi dirinya sendiri. Otensitas diri otentik mengarahkan manusia untuk mengambil tanggung jawab atas diri dan hidupnya sendiri, sehingga untuk itu, dia harus memilih identitasnya sendiri.

Lingkungan mulai dari masyarakat, keluarga, sekolah, teman, organisasi, dan lain-lain sering memaksakan sebuah ‘identitas’ kepada kita, akibatnya kita sering mengikuti apa yang diminta lingkungan terhadap kita. itu sebabnya, kita tidak bisa menjadi pribadi yang otentik. Dalam konteks kepemimpinan, setiap jiwa pemimpin memiliki otensitasnya masing-masing, otensitas itu berupa keaslian pandangan mau kemana suatu negara itu akan dibawa, dan bagaimana ia bayangkan mengelola negara. Tuntutan lingkungan politik, seperti godaan harta dan kedudukan, kursi dan proyek pesanan dari tim sukses, program kerja titipan dari partai pengusung, termasuk intervensi pebisnis atau kekuatan politik lain kerap memaksa pemimpin menanggalkan otensitas dirinya.

Setiap pemimpin tentu punya cita agar pemerintahan yang dipimpinnya bersih dan bebas KKN, maju birokrasi dan sejahtera rakyatnya. Namun, hal itu kembali lagi pada psikologi dirinya, apakah ia akan menyerah dan membiarkan lingkungan mengubahnya, apakah ia akan tegas bersikap dan menunjukkan otensitas dirinya. Wallahualam bishawab. Semoga bermanfaat!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar