Otensitas
Kepemimpinan
OLEH SONY GUSTI ANASTA
Dalam
serial kartun Avatar, dikatakan bahwa sang avatar adalah tokoh yang
kelahirannya hanya terjadi 1000 tahun sekali. Ia merupakan sosok ksatria yang
didatangkan untuk mengendalikan kehidupan di bumi, misi utamanya adalah
menyelamatkan dunia dari kekejaman raja api Ozai dan mengharmoniskan hubungan
antara negara yang ada di dunia.
Dari
kartun anak ini dapat dipahami bahwa hanya avatar lah yang dapat menenangkan
seisi bumi, gaya kepemimpinannya akan membawa seluruh negara dalam hubungan
yang baik penuh perdamaian dan kesejahteraan, jauh dari perang dan
kesengsaraan. Dari sini kita diberitahu bahwa pemimpin itu didatangkan, tidak
dibentuk atau dilatih. Hal ini seperti senada dengan apa yang dikatakan oleh
sejarawan Thomas Carlyle (1840) yang mengatakan bahwa “Sesungguhnya pemimpin
besar itu dilahirkan, tidak dibentuk”. Oleh sebab itu kepemimpinan besar itu
adalah takdir atau anugrah, bukan sebuah hasil yang diperjuangkan lewat
pembelajaran dan pengalaman. Memimpin bukan soal hitung-hitungan strategi,
memimpin itu soal naluri atau sense of
leading.
50
tahun setelah pernyataan Thomas Carlyle, seorang sosiolog bernama Herbert
Spencer (1896) membantahnya; pemimpin itu tidak dilahirkan, akan tetapi
dibentuk masyarakatnya. Pemimpin akan membawa kemana masyarakat inginkan,
karena sejatinya pemimpin adalah wujud kompromistis rakyat, siapakah orang yang
akan dicap sebagai pemimpin dan apa saja yang mesti dilakukan oleh pemimpin.
Oleh sebab itu pemimpin selalu mencerminkan masyarakatnya, pemimpin menerima
seluruh gundahan dan risauan masyarakat kemudian mencernanya apakah gundahan
dan risauan merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat secara kolektif
atau tidak.
Gaya Kepemimpinan
Saya
sebagai awam lebih condong kepada pendapat Spencer, namun bukan berarti
menganggap salah pemikiran Carlyle. Secara trensendensial, pemikiran Carlyle
secara tidak langsung meletakkan pemimpin sebagai seuatu yang diagungkan, dipuja, disembah dan
dibenarkan setiap saat. Menyogok, membodohi, melakukan pengkhianatan, atau
sekadar kritik pada pemimpin adalah
sikap yang sangat dibenci oleh masyarakat. Pada tahap ini masyakat percaya
bahwa hanya pemimpinlah yang dapat melindungi dan membawa mereka pada
kesejahteraan, model seperti ini membuat kesan pemimpin menjadi angker, dinabikan,
dan dikeramatkan.
Di sisi
lain, pemikiran Spencer mengatakan bahwa pemimpin adalah bagian dari rakyat itu
sendiri. Pemimpin adalah wakil rakyat, yang menurut pribahasa minangkabau
“ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah”. Maksudnya adalah pemimpin
adalah orang yang oleh rakyat sengaja ditinggikan seranting, dan sengaja
didahulukan selangkah. Pemimpin bukanlah orang yang ditinggikan berpuluh-puluh
ranting hingga letaknya di atas dahan atau didahulukan beribu langkah, hingga
sangat jauh didepan, hal itu akan membuatnya jauh dari rakyat, dan tidak
mengerti permasalahan yang sedang dialami oleh rakyat. Karena terlalu
ditinggikan, dan terlalu di dahulukan, kesan pemimpin menjadi angker,
dinabikan, disembah, atau dikeramatkan. Ini bisa menimbulkan gaya pemerintahan
monarki, jika kualitas pemimpinnya buruk, maka akan berubah menjadi diktatur
atau tirani.
Orientasi Kepemimpinan
Pemikiran
Carlyle diorientasikan pada kepercayaan mutlak pada sosok pemimpin, menurut
pemikiran ini, pemimpin akan memimpin sesuai dengan apa yang dikendakinya,
bukan kehendak rakyat. Letak konsentrasinya ada pada sosok pemimpin, bukan pada
sistem kepemimpinanya, oleh sebab itu jika personal pemimpinnya buruk, maka
buruk pula kepemimpinannya, jika baik kepemimpinannya maka baik pula gaya
kepemimpinannya. Model kepemimpinan seperti ini akan bergantung penuh pada cara
dan cita-cita pemimpin, jika cara dan cita pemimpin disukai oleh rakyat maka ia
akan makin dipuja, namun jika cara dan citanya tidak disukai maka ia akan
dijauhi oleh rakyat, oleh sebab itu jenis pemimpin macam ini kerap menggunakan
kekerasan dan pemaksaan ideologis kepada masyarakatnya. Semua dilaksanakan demi
tercapainya cita negara menurut penafsiran dirinya sendiri. namun dalam konteks
manajemen kepemimpinan, gaya seperti ini adalah model kepemimpinan paling
efektif asalkan kesan angker dan keyakinan mutlak kepada pemimpin dapat
ditransformasikan menjadi kepatuhan masyarakat kepada garis-garis haluan yang
ditetapkan oleh pemimpin. Oleh sebab itu tidak seluruhnya dari sistem yang
dikemukakan Carlyle salah, pemimpin juga perlu menjaga stabilitas politik
masyarakatnya agar tetap berada pada pola yang sudah ditetapkan.
Pola
kepemimpinan yang diungkapkan Spencer perlu dijaga oleh sedikit ramuan
kepemimpinan yang diungkapkan Carlyle, tujuannya jelas untuk mendapatkan
pemimpin yang diinginkan rakyat dan menjaga agar kepemimpinan tersebut
mendapatkan dukungan secara moril dan politis agar efektifitas pemerintahan
dapat segera terwujud, yang pada akhirnya cita kepemimpinan yang merupakan
kolaborasi antara keinginan rakyat dan pandangan calon pemimpin akan semakin
cepat terwujud.
Otensitas Kepemimpinan
Demokrasi
Indonesia hari ini harus diakui lebih mengedepankan kebebasan dibandingkan
tanggung jawab terhadap menggunakan kebebasan, aspirasi rakyat juga dapat
berupa bisikan yang menyesatkan. Pemimpin dituntut tegas dan cerdas dalam
mengambil keputusan. Saat ini sulit membedakan mana jalan yang baik, mana jalan
yang dianggap orang baik, mana jalan yang benar menurut hukum, mana pula jalan
yang benar menurut orang hukum. Intinya pemimpin membutuhkan sense of leading, bagaimana
memperkerjakan naluri kepemimpinan untuk meracik sebuah keputusan yang baik,
apakah harus menegakkan aturan hukum, ataukah mengikuti keputusan partai
pengusung. Apakah harus merazia tambang rakyat ilegal ataukah mendiamkan diri
menikmati uang konsesi dan suap dibidang perizinan. Membela kepentingan rakyat
atau membela kepentingan korporasi.
Dalam
psikologi kepemimpinan, pemimpin yang sukses dinilai seberapa konsisten dirinya
dalam menerapkan pola gaya dan caranya memimpin. Apakah dalam menyelesaikan
permasalahan yang sama dia menerapkan pola penyelesaian yang berbeda. kalau
iya, apakah ada motif diluar dirinya yang mempengaruhi dalam mengambil
keputusan itu. Hal ini akan menunjukkan otensitas atau sikap keasliannya dalam
memimpin (authenticity of leading).
Mengenai
otensitas kepemimpinan, Daniel Goleman memakai istilah ‘diri ideal’, yang berarti
mekanisme dan proses; yaitu bagaimana kita menginginkan diri kita sendiri,
menjadi pribadi seperti apa kah yang kita inginkan, termasuk apa yang kita
inginkan dalam hidup dan pekerjaan. Secara filosofis, Martin Heideger menyebut
otensitas kepemimpinan sebagai ‘otensitas’ (authenticity),
yang bisa diartikan sebagai seorang yang paham akan eksistensi dirinya
sendiri. Otensitas diri otentik mengarahkan manusia untuk mengambil tanggung
jawab atas diri dan hidupnya sendiri, sehingga untuk itu, dia harus memilih
identitasnya sendiri.
Lingkungan
mulai dari masyarakat, keluarga, sekolah, teman, organisasi, dan lain-lain sering
memaksakan sebuah ‘identitas’ kepada kita, akibatnya kita sering mengikuti apa
yang diminta lingkungan terhadap kita. itu sebabnya, kita tidak bisa menjadi
pribadi yang otentik. Dalam konteks kepemimpinan, setiap jiwa pemimpin memiliki
otensitasnya masing-masing, otensitas itu berupa keaslian pandangan mau kemana
suatu negara itu akan dibawa, dan bagaimana ia bayangkan mengelola negara.
Tuntutan lingkungan politik, seperti godaan harta dan kedudukan, kursi dan
proyek pesanan dari tim sukses, program kerja titipan dari partai pengusung,
termasuk intervensi pebisnis atau kekuatan politik lain kerap memaksa pemimpin
menanggalkan otensitas dirinya.
Setiap
pemimpin tentu punya cita agar pemerintahan yang dipimpinnya bersih dan bebas
KKN, maju birokrasi dan sejahtera rakyatnya. Namun, hal itu kembali lagi pada
psikologi dirinya, apakah ia akan menyerah dan membiarkan lingkungan
mengubahnya, apakah ia akan tegas bersikap dan menunjukkan otensitas dirinya. Wallahualam
bishawab. Semoga bermanfaat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar