Minggu, 28 Februari 2016

Manajemen Partai Binal



Manajemen Partai Binal

OLEH SONY GUSTI ANASTA


Jangan sungkan untuk mengucapkan Happy Milad pada PDI-P, karena tanggal 10 januari kemarin partai yang mengusung paham Soekarnoisme ini menyambut hari lahir yang ke-43. Bak mendapat durian runtuh, PDI-P wajar berpesta ria mengingat, menurut catatan KPU, PDI-P secara politis di daulat menjadi juara umum pemilihan kepala daerah 9 desember lalu. Dari 264 pemilihan kepala daerah, partai moncong putih ini berhasil memenangkan 114 calon kepala daerah di seluruh penjuru nusantara, baik yang  maju secara mandiri, mapun berkoalisi dengan partai sebelah, kendati di Jambi PDI-P belum mampu memenangkan kadernya.

Kesuksesan PDI-P seperti carry over dari kesuksesan tahun sebelumnya, setelah berhasil mempercundangi partai lain, dengan meraih hampir 21 persen rata-rata suara nasional, PDI-P kembali memenangi pemilihan Presiden RI untuk jangka waktu 2014-2019. Tak berhenti sampai disitu PDI-P mencetak hatrick setelah menggaet predikat sebagai juara umum Pilkada 2015. Tidak berlebihan jika saat ini PDI-P dikatakan sebagai partai percontohan bagaimana seharusnya partai politik di indonesia berkiblat. Tulisan ini tidak akan membahas bagaimana PDI-P kedepannya atau mendefiniskan penyebab kekalahan Edi Purwanto di Pilkada Jambi, namun tulisan ini dibuat sebagai sumbang pikir bagaimana seharusnya partai politik berlaku di percaturan perebutan kekuasaan indonesia, tujuannya tidak hanya agar partai lain dapat menang seperti yang PDI-P lakukan, akan tetapi juga, agar esensi dari keberadaan parpol dan diskursus demokrasi bisa kita reduksi.

Partai Politik
Partai politik adalah wahana warga negara untuk bisa aktif terjun dalam membangun bangsa dan negara. Undang-Undang Dasar Negara sudah rigid mengatakan bahwa lembaga tinggi negara, DPR, MPR, DPRD, DPD dan Presiden dan Wakil Presiden beserta Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih oleh rakyat berdasarkan undang-undang. Undang-undang MD3 , UU Pemilu, UU serta tentang Pilkada memerintahkaan cara mengisi jabatan diatas adalah lewat partai politik (parpol). Mengapa Parpol? Karena Parpol merupakan salah satu esensi demokrasi, Parpol adalah simbolitas kebebasan berekspresi dan berpendapat warga negara. Parpol juga berarti wadah warga yang akuntabilistik dalam mengembangkan dan mengorbitkan kader-kader partai secara preofesional, kendati pun beberapa bahkan banyak kader-kader bertindak tidak profesional dan cenderung bersikap amoral. Hal ini secara benar-benar kritis dapat dimaklumi mengingat usia demokrasi kita masih sangat muda. Namun saya khawatir tindakan korup dan amoral ini justru terjadi karena adanya instruksi Parpol pengusung. Para pejabat dijadikan aset untuk menggeruk uang negara. Parpol yang selama ini kita dukung dan elu-elu kan, Parpol yang selama ini kita dikte sebagai penggerak demokrasi justru malah menjadi penyandung terbesar demokrasi itu sendiri. Saya beranggapan cetak biru (rekam jejak) Parpol mengenai bagaimana mereka hidup, berperan dalam membangun negara ditandai oleh 3 faktor ini.

Pendanaan Parpol
Yang pertama adalah pendanaan parpol, saya selalu mengamati dan mensosialisasikan pada orang banyak bahwa jangan jadikan politik itu sebagai lapangan kerja, jangan jadikan politisi itu sebagai pekerjaan. Karena jika politik dijadikan profesi maka politisi hanya mengejar kesuksesan karir. Hawa demokrasi sekarang, akan membawa politisi berfikir bahwasanya percepatan karir hanya akan didapat dari seberapa bisa Parpol bertahan hidup, seberapa banyak jabatan bisa direbut, dan seberapa banyak uang bisa diselewengkan untuk menyokong keberlanjutan kehidupan Parpol.
Kita mungkin akan senantiasa selalu menerka-nerka dari mana Parpol mendapatkan uang operasionalnya, dibebankan ABPN kah?  Sumbangan dari pengurus dan kader partai kah? Program wirausaha parpolkah? Atau sumbangan eksternal dari masyarakat. Partai yang baik dari segi pendanaan menurut Rhenald Khasali, Peniliti LIPI, harus memiliki ketiga kompenen pembiayaan partai di atas. Sebaliknya sumbangan liar dari luar justru sebenarnya akan merusak citra partai itu sendiri. kaitannya akan sangat bergantung dengan independensi partai politik tersebut dalam mengambil keputusan. Apa yang menjadi cita-cita luhurnya dalam membuat peraturan negara? kemakmuran rakyat kah? atau malah meloloskan aturan pesanan dari donatur partai.

Kaderisasi Parpol
Yang kedua adalah kaderisasi Parpol. Tanggung jawab Parpol yang baik dilihat dari bagaimana mereka memproduksi sumber daya manusia. Tidak asal comot, hanya karena calon agak terkenal lalu diusung, hanya karena calon berduit, kemudian dijadikan calon. Partai profesional adalah partai yang menjadikan kompetensi sebagai pijakan utama dalam mengusung, bukan pamor apalagi harta. Karena mereka sadar bahwa calon yang diusing kelak akan memimpin negara selama 5 tahun kedepan. Jika pemahaman seluruh Parpol demikian bukan tidak mungkin, indonesia akan dipenuhi oleh politisi berbudi luhur sekelas Tan Malaka, Soekarno, Mohammad Hatta, atau lainnya.

Fenomena kutu loncat juga sebenarnya merupakan kelemahan dari sistem kaderisasi Parpol, secara praktis dikatakan Parpol tidak mampu memproduksi kader yang kompeten, memiliki jiwa kepemimpinan, dan memiliki visi brilian baik untuk rakyat maupun internal partai. Sehingga para politisi berduit akan bermain peran memanfaatkan lemahnya sistem kaderisasi parpol bersangkutan. Dengan sentuhan rupiah, maka mutlaklah ia mendapatkan dukungan dari parpol bersangkutan. imbasnya jelas, calon yang diusung akan serta merta menjadikan jabatannya sebagai ladang untuk memperkaya diri sendiri dan partai politik. Bagaimanapun ia akan berfikir politis-bisnis guna membalas budi partai pengusung dan mengembalikan modal pengorbitan dirinya.

Pemahaman Ideologis
Untuk menumbuhkan wacana Parpol kuat adalah sangat bergantung dari memberikan pemahaman ideologis kepada kadernya, bukan pemahaman bisnis. Pemahaman ideologis dibangun atas dasar untuk memperjuangkan hak rakyat guna memberikan kesejahteraan rakyat yang selama ini sungguh tak pernah tercicipi oleh masyarakat lapisan bawah kita. Berbeda dengan pemahaman bisnis dimana politik hanya dijadikan lahan untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya.

Oleh sebab itu jika tolok ukur utamanya adalah ideologis, pemilihan calon yang akan diusung pun, baik DPR, DPRD, maupun calon kepala daerah sampai kepada ketua partai harus mengutamakan kompetensi, kejujuran, kepmimpinan, kecerdasan, dan lain sebagainya, bukan memilih calon yang dekat secara biologis, anak, kerabat, sepupu, keponakan dan lain-sebagainya.

Parpol adalah pintu masuk para politisi tangguh, karena dalam Pemilu Indonesia, peserta Pemilu sesungguhnya adalah Parpol bukan orang yang diusung parpol, itu terbukti dari mekanisme mosi tidak percaya pada eksekutif, ataupun Pergantian Antar Waktu (recall) di parlemen. Dapat di simpulkan tanpa parpol, orang yang pintar dengan visi pembangunan menggelegar pun tidak dapat ikut ambil bagian di pemerintahan. Oleh sebab itu sudah saatnya kita mendewasakan Parpol beserta kadernya, dari orientasi semu terhadap uang dan jabatan kepada orientasi luhur menyukseskan negara. Semoga!




 

Minggu, 21 Februari 2016

Otensitas Kepemimpinan



Otensitas Kepemimpinan
OLEH SONY GUSTI ANASTA



Dalam serial kartun Avatar, dikatakan bahwa sang avatar adalah tokoh yang kelahirannya hanya terjadi 1000 tahun sekali. Ia merupakan sosok ksatria yang didatangkan untuk mengendalikan kehidupan di bumi, misi utamanya adalah menyelamatkan dunia dari kekejaman raja api Ozai dan mengharmoniskan hubungan antara negara yang ada di dunia.
Dari kartun anak ini dapat dipahami bahwa hanya avatar lah yang dapat menenangkan seisi bumi, gaya kepemimpinannya akan membawa seluruh negara dalam hubungan yang baik penuh perdamaian dan kesejahteraan, jauh dari perang dan kesengsaraan. Dari sini kita diberitahu bahwa pemimpin itu didatangkan, tidak dibentuk atau dilatih. Hal ini seperti senada dengan apa yang dikatakan oleh sejarawan Thomas Carlyle (1840) yang mengatakan bahwa “Sesungguhnya pemimpin besar itu dilahirkan, tidak dibentuk”. Oleh sebab itu kepemimpinan besar itu adalah takdir atau anugrah, bukan sebuah hasil yang diperjuangkan lewat pembelajaran dan pengalaman. Memimpin bukan soal hitung-hitungan strategi, memimpin itu soal naluri atau sense of leading.

50 tahun setelah pernyataan Thomas Carlyle, seorang sosiolog bernama Herbert Spencer (1896) membantahnya; pemimpin itu tidak dilahirkan, akan tetapi dibentuk masyarakatnya. Pemimpin akan membawa kemana masyarakat inginkan, karena sejatinya pemimpin adalah wujud kompromistis rakyat, siapakah orang yang akan dicap sebagai pemimpin dan apa saja yang mesti dilakukan oleh pemimpin. Oleh sebab itu pemimpin selalu mencerminkan masyarakatnya, pemimpin menerima seluruh gundahan dan risauan masyarakat kemudian mencernanya apakah gundahan dan risauan merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat secara kolektif atau tidak.

Gaya Kepemimpinan
Saya sebagai awam lebih condong kepada pendapat Spencer, namun bukan berarti menganggap salah pemikiran Carlyle. Secara trensendensial, pemikiran Carlyle secara tidak langsung meletakkan pemimpin sebagai  seuatu yang diagungkan, dipuja, disembah dan dibenarkan setiap saat. Menyogok, membodohi, melakukan pengkhianatan, atau sekadar kritik pada pemimpin  adalah sikap yang sangat dibenci oleh masyarakat. Pada tahap ini masyakat percaya bahwa hanya pemimpinlah yang dapat melindungi dan membawa mereka pada kesejahteraan, model seperti ini membuat kesan pemimpin menjadi angker, dinabikan, dan dikeramatkan.

Di sisi lain, pemikiran Spencer mengatakan bahwa pemimpin adalah bagian dari rakyat itu sendiri. Pemimpin adalah wakil rakyat, yang menurut pribahasa minangkabau “ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah”. Maksudnya adalah pemimpin adalah orang yang oleh rakyat sengaja ditinggikan seranting, dan sengaja didahulukan selangkah. Pemimpin bukanlah orang yang ditinggikan berpuluh-puluh ranting hingga letaknya di atas dahan atau didahulukan beribu langkah, hingga sangat jauh didepan, hal itu akan membuatnya jauh dari rakyat, dan tidak mengerti permasalahan yang sedang dialami oleh rakyat. Karena terlalu ditinggikan, dan terlalu di dahulukan, kesan pemimpin menjadi angker, dinabikan, disembah, atau dikeramatkan. Ini bisa menimbulkan gaya pemerintahan monarki, jika kualitas pemimpinnya buruk, maka akan berubah menjadi diktatur atau tirani.

Orientasi Kepemimpinan
Pemikiran Carlyle diorientasikan pada kepercayaan mutlak pada sosok pemimpin, menurut pemikiran ini, pemimpin akan memimpin sesuai dengan apa yang dikendakinya, bukan kehendak rakyat. Letak konsentrasinya ada pada sosok pemimpin, bukan pada sistem kepemimpinanya, oleh sebab itu jika personal pemimpinnya buruk, maka buruk pula kepemimpinannya, jika baik kepemimpinannya maka baik pula gaya kepemimpinannya. Model kepemimpinan seperti ini akan bergantung penuh pada cara dan cita-cita pemimpin, jika cara dan cita pemimpin disukai oleh rakyat maka ia akan makin dipuja, namun jika cara dan citanya tidak disukai maka ia akan dijauhi oleh rakyat, oleh sebab itu jenis pemimpin macam ini kerap menggunakan kekerasan dan pemaksaan ideologis kepada masyarakatnya. Semua dilaksanakan demi tercapainya cita negara menurut penafsiran dirinya sendiri. namun dalam konteks manajemen kepemimpinan, gaya seperti ini adalah model kepemimpinan paling efektif asalkan kesan angker dan keyakinan mutlak kepada pemimpin dapat ditransformasikan menjadi kepatuhan masyarakat kepada garis-garis haluan yang ditetapkan oleh pemimpin. Oleh sebab itu tidak seluruhnya dari sistem yang dikemukakan Carlyle salah, pemimpin juga perlu menjaga stabilitas politik masyarakatnya agar tetap berada pada pola yang sudah ditetapkan.

Pola kepemimpinan yang diungkapkan Spencer perlu dijaga oleh sedikit ramuan kepemimpinan yang diungkapkan Carlyle, tujuannya jelas untuk mendapatkan pemimpin yang diinginkan rakyat dan menjaga agar kepemimpinan tersebut mendapatkan dukungan secara moril dan politis agar efektifitas pemerintahan dapat segera terwujud, yang pada akhirnya cita kepemimpinan yang merupakan kolaborasi antara keinginan rakyat dan pandangan calon pemimpin akan semakin cepat terwujud.

Otensitas Kepemimpinan
Demokrasi Indonesia hari ini harus diakui lebih mengedepankan kebebasan dibandingkan tanggung jawab terhadap menggunakan kebebasan, aspirasi rakyat juga dapat berupa bisikan yang menyesatkan. Pemimpin dituntut tegas dan cerdas dalam mengambil keputusan. Saat ini sulit membedakan mana jalan yang baik, mana jalan yang dianggap orang baik, mana jalan yang benar menurut hukum, mana pula jalan yang benar menurut orang hukum. Intinya pemimpin membutuhkan sense of leading, bagaimana memperkerjakan naluri kepemimpinan untuk meracik sebuah keputusan yang baik, apakah harus menegakkan aturan hukum, ataukah mengikuti keputusan partai pengusung. Apakah harus merazia tambang rakyat ilegal ataukah mendiamkan diri menikmati uang konsesi dan suap dibidang perizinan. Membela kepentingan rakyat atau membela kepentingan korporasi.

Dalam psikologi kepemimpinan, pemimpin yang sukses dinilai seberapa konsisten dirinya dalam menerapkan pola gaya dan caranya memimpin. Apakah dalam menyelesaikan permasalahan yang sama dia menerapkan pola penyelesaian yang berbeda. kalau iya, apakah ada motif diluar dirinya yang mempengaruhi dalam mengambil keputusan itu. Hal ini akan menunjukkan otensitas atau sikap keasliannya dalam memimpin (authenticity of leading).

Mengenai otensitas kepemimpinan, Daniel Goleman memakai istilah ‘diri ideal’, yang berarti mekanisme dan proses; yaitu bagaimana kita menginginkan diri kita sendiri, menjadi pribadi seperti apa kah yang kita inginkan, termasuk apa yang kita inginkan dalam hidup dan pekerjaan. Secara filosofis, Martin Heideger menyebut otensitas kepemimpinan sebagai ‘otensitas’ (authenticity), yang bisa diartikan sebagai seorang yang paham akan eksistensi dirinya sendiri. Otensitas diri otentik mengarahkan manusia untuk mengambil tanggung jawab atas diri dan hidupnya sendiri, sehingga untuk itu, dia harus memilih identitasnya sendiri.

Lingkungan mulai dari masyarakat, keluarga, sekolah, teman, organisasi, dan lain-lain sering memaksakan sebuah ‘identitas’ kepada kita, akibatnya kita sering mengikuti apa yang diminta lingkungan terhadap kita. itu sebabnya, kita tidak bisa menjadi pribadi yang otentik. Dalam konteks kepemimpinan, setiap jiwa pemimpin memiliki otensitasnya masing-masing, otensitas itu berupa keaslian pandangan mau kemana suatu negara itu akan dibawa, dan bagaimana ia bayangkan mengelola negara. Tuntutan lingkungan politik, seperti godaan harta dan kedudukan, kursi dan proyek pesanan dari tim sukses, program kerja titipan dari partai pengusung, termasuk intervensi pebisnis atau kekuatan politik lain kerap memaksa pemimpin menanggalkan otensitas dirinya.

Setiap pemimpin tentu punya cita agar pemerintahan yang dipimpinnya bersih dan bebas KKN, maju birokrasi dan sejahtera rakyatnya. Namun, hal itu kembali lagi pada psikologi dirinya, apakah ia akan menyerah dan membiarkan lingkungan mengubahnya, apakah ia akan tegas bersikap dan menunjukkan otensitas dirinya. Wallahualam bishawab. Semoga bermanfaat!

Kamis, 18 Februari 2016

Polemik Investasi BUMN



Polemik Investasi BUMN

OLEH SONY GUSTI ANASTA


Dewasa ini, problematika mengenai status keuangan ditubuh BUMN mencuat kembali. Disatu sisi, beberapa pihak mengatakan bahwa keuangan BUMN merupakan keuangan negara yang dipisahkan. disisi yang berbeda BUMN merupakan badan hukum yang berstatus PT, yang mana keuangan BUMN adalah keuangan perusahaan. itu artinya jika suatu BUMN mengalami jatuh pailit, maka negara tidak bertanggung jawab secara utuh untuk menutupi hutang dari BUMN yang bersangkutan. Dan ketika terjadi suatu tindak pidana korupsi, maka dalam artian yang paling sempit, bukan berarti hal itu merugikan keuangan negara.

Konflik Yuridis
Dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatur bahwa keuangan BUMN merupakan bagian dari keuangan negara. pengaturan hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 2 huruf (g) yang menentukan keuangan negara yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah. Atau didalam pasal 2 huruf (i) yang menyebutkan bahwa keuangan negara meliputi kekayaan pihak lain yang diperoleh menggunakan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah.

Selanjutnya didalam pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara mengatur bahwa ‘perbendaharaan negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan. Seperti sejalan dengan konteks keuangan negara, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjelaskan kalau keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan  atau yang tidak dipisahkan.

Dari definisi diatas sudah jelas undang-undang dalam rezim keuangan negara menabur pengertian bahwa Kekayaan BUMN merupakan keuangan negara. itu artinya kerugian yang terjadi pada tubuh BUMN juga merupakan kerugian Negara. Namun, di lain sisi, pasal 4 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN secara eksplisit mengatur bahwa modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Selain itu dalam pasal 7 undang-undang yang sama menyebutkan  bahwasanya pengaturan BUMN berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip perseroan terbatas sebagaimana yang diatur dalam undang-undang perseroan terbatas, yakni Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007.

Dari cuplikan pasal diatas dapat dikatakan bahwa status keuangan BUMN masih belum cukup jelas, sehingga memberikan ketidak-pastian hukum kepada masyarakat dan aparat penegak hukum. Terutama dalam lapangan hukum pidana, tepatnya dalam tindak pidana korupsi, dimana definisi dari kerugian keuangan negara bias dan kerap ditarik-ulur oleh pihak berkepentingan.

Doktrin ‘Comunnis Opinnion’
Sesuatu yang mesti dipahami bersama mengenai polemik ini adalah bahwa ketika keuangan negara sudah dipisahkan maka sejatinya keuangan negara yang dijadikan modal bagi BUMN berubah menjadi saham, oleh karena itu keuangan BUMN sepenuhnya adalah keuangan perusahaan, bukan keuangan negara lagi. andil negara dalam melakukan intervensi terhadap direksi atau pimpinan BUMN hanya pada saat RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham).

Hal diatas merupakan penjabaran tekhnis dari teori comunnis opinnion doctrine dalam hukum perseroan terbatas, yang berarti ‘suatu kekayaan-termasuk keuangan badan hukum, adalah terpisah dari kekayaan pengurus dan pemiliknya atau pemegang saham’.

Tidak fair jika pemerintah meng-claim bahwa kekayaan BUMN adalah kekayaan negara, namun disisi lain negara lepas tangan terhadap keputusan blunder dari direksi yang merugikan BUMN (negara). Alih-alih bertanggung jawab, negara lewat KPK, malah menuntut direksi dengan dakwaan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara.

Disisi lain hal ini juga akan membuka peluang permainan busuk dari mafia hukum dan peradilan, sehingga berpotensi merugikan keuangan negara lebih banyak lagi. Contohnya jika suatu BUMN dinyatakan pailit, dengan kondisi undang-undang kita yang pincang, maka negara mau tak mau mesti menanggung segala kerugian BUMN dan wajib membayar hutang pada mitra bisnisnya. Seperti yang terjadi pada beberapa perusahaan negara kita, satu diantaranya Merpati Airlines.

Uang Publik vs Uang Privat
Dalam literasi keuangan negara, memasukkan keuangan BUMN kedalam keuangan negara, pada dasarnya bertentangan dengan doktrin “uang publik” dan “uang privat”. Konsep mengenai “uang publik” dan “uang privat” dapat ditemukan diberbagai peraturan perundang-undangan kita. Salah satunya adalah Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah.

Dalam PERPRES tersebut, terhadap instansi yang baik seluruh atau sebagian modalnya didanai negara dengan APBN/ APBD wajib berpegang teguh kepada PERPRES tersebut. Namun untuk institusi yang dana atan sebagian modalnya berasal dari keuangan negara namun telah dipisahkan, menurut PERPRES harus mengikuti  keputusan yang telah dibuat oleh dewan direksi institusi/ perusahaan yang bersangkutan. Lantas, jika instansi atau perusahaan tersebut adalah Perusahaan Negara atau Perusahaan Daerah, ketika melakukan pengadaan barang kebutuhan pabrik, atau menyewa jasa pihak lainnya harus memakai PERPRES 54 tahun 2010 kah? Lantaran sebagian modalnya dibiayai oleh negara, atau berpijak kepada keputusan internal dari direksi yang berwenang dikarenakan uang negara sudah dipisahkan? Tentunya hal ini masih menimbulkan ambiguitas.

Manajemen Tidak Sama
Hikmahanto Juwana, guru besar Universitas Indonesia pernah menyampaikan, mengelola keuangan BUMN tidaklah sama dengan mengola keuangan negara. Dalam mengelola uang, pemerintah sebagai penyelenggara pemerintahan bukanlah entitas yang mencari untung dan dapat diterpa kerugian karena keputusan bisnis.

Hal ini berbeda dengan posisi BUMN. Dalam mengelola perusahaan selain dipatok untuk benar-benar memanfaatkan sumber daya alam, berikut sumber daya pasar di Indonesia, BUMN juga dirangsang untuk menimba keuntungan yang sebesar-besarnya. Akan tetapi, BUMN dapat pula terjatuh merugi karena kesalahan keputusan bisnis (business decission), atau wanprestasi dan perbuatan melawan hukum (onrechmatigheid) dari mitranya.

Secara ilmu tentu kita dapat memahami bersama, jika hal tersebut terjadi maka mesti diselesaikan secara keperdataan. Namun jika kesalahan terjadi dikarenakan kelalaian dari direksi, pengurus atau karyawan maka diselesaikan lewat jalur administratif. Namun, meminjam perkataan Prof. Hikmahanto Juwana, adalah aneh jika dalam kerugian BUMN dikarenakan kelalaian dari direksi dalam membaca situsi dan peluang bisnis, harus dijerat dengan undang-undang Tipikor. Hal ini menurut saya bukanlah merupakan langkah ajeg dalam situasi persaingan pasar yang semakin tajam. bisa-bisa hal ini akan membuat ciut nyali direksi BUMN dalam mengambil keputusan, karena dibayang-bayangi oleh tuntutan korupsi. Hal ini kontradiksi dengan pernyataan menteri BUMN RI 2009-2014 Dahlan Iskan, yang mengatakan siap berjuang membawa BUMN bersaing sehat melawan konglomerasi swasta yang saat ini ber-aset lebih dari Rp. 3000 Triliun.

Selaraskan Norma!
Meski Fatwa Mahkamah Agung nomor WKMA/Yud/20/VIII/2006 tentang pernyataan kekayaan negara dipisahkan dengan kekayaan BUMN sudah diterbitkan, bukan berarti masalah selesai sampai disini. Fatwa MA hanya berlaku dilapangan yudikatif saja. Namun sektor eksekutif, yang langsung bersentuhan dengan tekhnis permasalahan, ataupun sektor kejaksaan dan KPK yang akan mengusut kemungkinan terjadinya Tipikor, belumlah mendapat perhatian yang berarti.

Intinya kita mesti selaraskan norma dan hadirkan kepastian hukum dalam setiap denyut pasal perundang-undangan yang berhubungan dengan keuangan negara. pasal 1 huruf (g) undang-undang kekayaan negara, pasal 1 ayat (1) undang-undang perbendaharaan negara, dan beberapa pasal lain yang ‘salah gaul’  mesti direvisi.

Terakhir, kalau memang demikian, maka Badan Pemeriksa Keuangan juga tidak berhak untuk memeriksa kondisi keuangan swasta/ perusahaan (BUMN). Negara dilarang turut campur dalam urusan ‘dapur’ warga negaranya. Sekali lagi, titik terjauh negara hanya berada pada saat RUPS BUMN. Kata Adrian Sutedi, kalau BPK masih mau ‘ngotot’ masuk dan megobrak-abrik keuangan BUMN, maka kita harus amandemen undang-undang dasar, terutama pasal 23E menjadi “Selain berwenang memeriksa keuangan negara, BPK juga berwenang memeriksa keuangan swasta”. Kacau.



Minggu, 14 Februari 2016

Otokritik Hitzbut Tahrir Indonesia



Otokritik Hitzbut Tahrir Indonesia
OLEH SONY GUSTI ANASTA


Gerakan islam transnasional, seperti HTI (hitzbut tahrir indonesia), Ikhwanul Muslimin, termasuk ISIS di Indonesia mentasbihkan bahwa Indonesia ramah sekali terhadap perbedaan. Perbedaan agama tidak hanya diserap dari dalam negeri, namun juga menerima tafsiran islam dari berbagai belahan dunia. terlepas apakah ideologi dan tujuan gerakan tersebut benar secara akidah dan syariah.

Mengenai HTI, beberapa hari lalu penulis mendapatkan sebuah flyer tentang ajakan HTI untuk menegakkan negara khilafah di nusantara, dalam tulisan tersebut seruan menegakkan islam sangat kencang bahkan dalam beberapa kalimat terkesan agak sedikit memaksa.

HTI berpendapat bahwa hak dan kewenangan untuk membuat hukum adalah hanya milik Allah SWT, HTI menafsirkan Q.S Yusuf:40 dengan arti “Keputusan Membuat Hukum itu adalah kepunyaan Allah, Dia telah memerintahkan kamu untuk tidak menyembah selain dia” disini HTI tidak mengutip secara utuh penggalan ayat bersangkutan, karena sebenarnya arti yang penulis dapat adalah “Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah, dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain dia” ayat ini dimaksudkan sebagai ajakan ketauhidan, dan menunjukkan keesaan Allah, tidak ada satu kata pun yang menggambarkan bahwa ayat diatas berkaitan dengan kewenangan otonom Allah dalam membuat hukum.

HTI juga dengan tegas menyatakan menolak demokrasi, padahal mereka lupa bahwa gaji yang mereka dapat serta penghasilan yang mereka ambil merupakan hasil dari sistem ekonomi yang diperjuangkan dengan demokrasi. Baju, celana, bensin, beras, dan telur adalah barang-barang yang tersedia karena keputusan politik yang dibangun atas nama demokrasi.

Penulis begitu mempertanyakan pendapat HTI yang mengatakan bahwa semua hukum selain hukum islam adalah kafir. Sejatinya manusia adalah makhluk yang sempurna, Allah menjelaskan secara tegas dalam Q.S At-tin:4 “Sesungguhnya kami telah menciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya” dan Q.S Al-Baqarah:30 “Sesungguhnya aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi” maksudnya bahwa Allah telah menciptakan ras manusia dengan bentuk yang sebaik-baiknya, untuk itu dijadikan manusia sebagai khalifah dimuka bumi, manusia akan menjadi pemimpin dan membuat keputusan (hukum) di permukaan bumi, tentunya terbatas oleh Al-quran dan Hadis.

Hal ini diperkuat dengan firman Allah dalam Q.S An-nisa:58 “Susungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya menetapkan dengan adil”.

HTI memandang bahwa khilafah harga mati yang harus diperjuangkan. Mereka melihat bahwa Islam Formil jauh lebih penting daripada Islam Materil, HTI beranggapan bahwa perangkat organisasi negara harus khilafah, dimana seluruh negara islam harus berada pada satu naungan payung politik global, padahal tafsir megenai khilafah sendiri masih menimbulkan ambiguitas, banyak ahli tafsir nusantara beranggapan bahwa khilafah itu ketika seluruh asas kehiduan masyarakat, hukum, ekonomi dan lain-lain mencerminkan nilai islam, tanpa memperdulikan entitas organisasi yang membuatnya.

Indonesia adalah negara hukum secara tegas diatur dalam pasal 1 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia, oleh sebab itu segala penafsiran harus berdasarkan atas hukum, dan segala tindakan haruslah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedari dulu HTI selalu sesumbar mengatakan “tegakkan khilafah” tanpa mendetilkan bagaimana cara menegakkannya.

Sistem politik Indonesia dibangun atas nama rakyat, oleh sebab itu pemegang tampuk kekuasaan tertinggi adalah rakyat itu sendiri (Demokrasi). Rakyat lewat DPR telah menyatakan bahwa satu-satunya cara legal untuk merubah aturan hukum menurut konstitusi adalah dengan mengikuti pemilihan umum, memegang kendali, dan merubah aturan. HTI takkan mampu mewujudkan khilafah hanya dengan berdiri di jalan menyuarakan syariah dan khilafah, atau sekadar menebar flyer kesana dan kemari. Perlu langkah strategis agar tujuan HTI dapat tercapai.

Indonesia sudah bulat dengan pancasila sebagai ideologinya, berbeda-beda tetapi tetap satu jua merupakan lem perekat untuk menyatukan segala perspektif yang ada di nusantara, HTI mesti menyadari bahwa dengan kondisi konstitusi dan Pancasila seperti saat sekarang ini, sangat mustahil untuk mendirikan negara khilafah tanpa mengikuti prosedur yang telah ditetapkan, salah langkah HTI bisa dicap sebagai organisasi teroris yang bertujuan untuk menggantikan ideologi pancasila, seperti halnya yang dilakukan PKI, dan DI/TII berpuluh tahun silam.

Kalau penulis boleh usul, HTI silahkan ambil bagian dalam demokrasi, ikut pemilu dan merubah aturan hukum. Jangan hanya berkicau tanpa gerakan sistematis, jangan menyalahkan demokrasi jika kita bernafas pun dari oksigen pohon yang ditanam dengan dana hasil politik demokrasi. Frusta Legis Auxilium Quareit Qui in Legein Comitted yang artinya adalah sia-sia bagi seseorang yang menetang hukum, tapi dia sendiri meminta bantuan hukum (menikmati hukum). Jangan melihat siapa yang mengatakan, tapi lihat apa yang dikatakan. Sebaik-baik manusia adalah mereka yang mau mendengarkan perkataan dan mengikuti yang baik-baik. Wallahualam bishawab.