Manajemen
Partai Binal
OLEH
SONY GUSTI ANASTA
Jangan
sungkan untuk mengucapkan Happy Milad pada PDI-P, karena tanggal 10 januari
kemarin partai yang mengusung paham Soekarnoisme ini menyambut hari lahir yang
ke-43. Bak mendapat durian runtuh, PDI-P wajar berpesta ria mengingat, menurut
catatan KPU, PDI-P secara politis di daulat menjadi juara umum pemilihan kepala
daerah 9 desember lalu. Dari 264 pemilihan kepala daerah, partai moncong putih
ini berhasil memenangkan 114 calon kepala daerah di seluruh penjuru nusantara,
baik yang maju secara mandiri, mapun
berkoalisi dengan partai sebelah, kendati di Jambi PDI-P belum mampu
memenangkan kadernya.
Kesuksesan
PDI-P seperti carry over dari
kesuksesan tahun sebelumnya, setelah berhasil mempercundangi partai lain,
dengan meraih hampir 21 persen rata-rata suara nasional, PDI-P kembali
memenangi pemilihan Presiden RI untuk jangka waktu 2014-2019. Tak berhenti
sampai disitu PDI-P mencetak hatrick setelah menggaet predikat sebagai juara
umum Pilkada 2015. Tidak berlebihan jika saat ini PDI-P dikatakan sebagai partai
percontohan bagaimana seharusnya partai politik di indonesia berkiblat. Tulisan
ini tidak akan membahas bagaimana PDI-P kedepannya atau mendefiniskan penyebab
kekalahan Edi Purwanto di Pilkada Jambi, namun tulisan ini dibuat sebagai
sumbang pikir bagaimana seharusnya partai politik berlaku di percaturan
perebutan kekuasaan indonesia, tujuannya tidak hanya agar partai lain dapat
menang seperti yang PDI-P lakukan, akan tetapi juga, agar esensi dari
keberadaan parpol dan diskursus demokrasi bisa kita reduksi.
Partai Politik
Partai
politik adalah wahana warga negara untuk bisa aktif terjun dalam membangun
bangsa dan negara. Undang-Undang Dasar Negara sudah rigid mengatakan bahwa
lembaga tinggi negara, DPR, MPR, DPRD, DPD dan Presiden dan Wakil Presiden
beserta Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih oleh rakyat berdasarkan undang-undang.
Undang-undang MD3 , UU Pemilu, UU serta tentang Pilkada memerintahkaan cara
mengisi jabatan diatas adalah lewat partai politik (parpol). Mengapa Parpol?
Karena Parpol merupakan salah satu esensi demokrasi, Parpol adalah simbolitas
kebebasan berekspresi dan berpendapat warga negara. Parpol juga berarti wadah
warga yang akuntabilistik dalam mengembangkan dan mengorbitkan kader-kader
partai secara preofesional, kendati pun beberapa bahkan banyak kader-kader
bertindak tidak profesional dan cenderung bersikap amoral. Hal ini secara
benar-benar kritis dapat dimaklumi mengingat usia demokrasi kita masih sangat
muda. Namun saya khawatir tindakan korup dan amoral ini justru terjadi karena
adanya instruksi Parpol pengusung. Para pejabat dijadikan aset untuk menggeruk
uang negara. Parpol yang selama ini kita dukung dan elu-elu kan, Parpol yang
selama ini kita dikte sebagai penggerak demokrasi justru malah menjadi
penyandung terbesar demokrasi itu sendiri. Saya beranggapan cetak biru (rekam
jejak) Parpol mengenai bagaimana mereka hidup, berperan dalam membangun negara
ditandai oleh 3 faktor ini.
Pendanaan Parpol
Yang
pertama adalah pendanaan parpol, saya selalu mengamati dan mensosialisasikan
pada orang banyak bahwa jangan jadikan politik itu sebagai lapangan kerja,
jangan jadikan politisi itu sebagai pekerjaan. Karena jika politik dijadikan
profesi maka politisi hanya mengejar kesuksesan karir. Hawa demokrasi sekarang,
akan membawa politisi berfikir bahwasanya percepatan karir hanya akan didapat
dari seberapa bisa Parpol bertahan hidup, seberapa banyak jabatan bisa direbut,
dan seberapa banyak uang bisa diselewengkan untuk menyokong keberlanjutan kehidupan
Parpol.
Kita
mungkin akan senantiasa selalu menerka-nerka dari mana Parpol mendapatkan uang
operasionalnya, dibebankan ABPN kah? Sumbangan dari pengurus dan kader partai kah?
Program wirausaha parpolkah? Atau sumbangan eksternal dari masyarakat. Partai
yang baik dari segi pendanaan menurut Rhenald Khasali, Peniliti LIPI, harus
memiliki ketiga kompenen pembiayaan partai di atas. Sebaliknya sumbangan liar
dari luar justru sebenarnya akan merusak citra partai itu sendiri. kaitannya
akan sangat bergantung dengan independensi partai politik tersebut dalam
mengambil keputusan. Apa yang menjadi cita-cita luhurnya dalam membuat
peraturan negara? kemakmuran rakyat kah? atau malah meloloskan aturan pesanan
dari donatur partai.
Kaderisasi Parpol
Yang
kedua adalah kaderisasi Parpol. Tanggung jawab Parpol yang baik dilihat dari
bagaimana mereka memproduksi sumber daya manusia. Tidak asal comot, hanya
karena calon agak terkenal lalu diusung, hanya karena calon berduit, kemudian
dijadikan calon. Partai profesional adalah partai yang menjadikan kompetensi
sebagai pijakan utama dalam mengusung, bukan pamor apalagi harta. Karena mereka
sadar bahwa calon yang diusing kelak akan memimpin negara selama 5 tahun kedepan.
Jika pemahaman seluruh Parpol demikian bukan tidak mungkin, indonesia akan
dipenuhi oleh politisi berbudi luhur sekelas Tan Malaka, Soekarno, Mohammad
Hatta, atau lainnya.
Fenomena
kutu loncat juga sebenarnya merupakan kelemahan dari sistem kaderisasi Parpol,
secara praktis dikatakan Parpol tidak mampu memproduksi kader yang kompeten,
memiliki jiwa kepemimpinan, dan memiliki visi brilian baik untuk rakyat maupun internal partai. Sehingga para
politisi berduit akan bermain peran memanfaatkan lemahnya sistem kaderisasi
parpol bersangkutan. Dengan sentuhan rupiah, maka mutlaklah ia mendapatkan
dukungan dari parpol bersangkutan. imbasnya jelas, calon yang diusung akan
serta merta menjadikan jabatannya sebagai ladang untuk memperkaya diri sendiri
dan partai politik. Bagaimanapun ia akan berfikir politis-bisnis guna membalas
budi partai pengusung dan mengembalikan modal pengorbitan dirinya.
Pemahaman Ideologis
Untuk
menumbuhkan wacana Parpol kuat adalah sangat bergantung dari memberikan
pemahaman ideologis kepada kadernya, bukan pemahaman bisnis. Pemahaman
ideologis dibangun atas dasar untuk memperjuangkan hak rakyat guna memberikan
kesejahteraan rakyat yang selama ini sungguh tak pernah tercicipi oleh masyarakat
lapisan bawah kita. Berbeda dengan pemahaman bisnis dimana politik hanya
dijadikan lahan untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya.
Oleh
sebab itu jika tolok ukur utamanya adalah ideologis, pemilihan calon yang akan
diusung pun, baik DPR, DPRD, maupun calon kepala daerah sampai kepada ketua
partai harus mengutamakan kompetensi, kejujuran, kepmimpinan, kecerdasan, dan
lain sebagainya, bukan memilih calon yang dekat secara biologis, anak, kerabat,
sepupu, keponakan dan lain-sebagainya.
Parpol
adalah pintu masuk para politisi tangguh, karena dalam Pemilu Indonesia,
peserta Pemilu sesungguhnya adalah Parpol bukan orang yang diusung parpol, itu
terbukti dari mekanisme mosi tidak percaya pada eksekutif, ataupun Pergantian
Antar Waktu (recall) di parlemen. Dapat di simpulkan tanpa parpol, orang yang
pintar dengan visi pembangunan menggelegar pun tidak dapat ikut ambil bagian di
pemerintahan. Oleh sebab itu sudah saatnya kita mendewasakan Parpol beserta kadernya,
dari orientasi semu terhadap uang dan jabatan kepada orientasi luhur
menyukseskan negara. Semoga!