Minggu, 20 Desember 2015

Negasi Goyang Dribble



Negasi Goyang Dribble

OLEH SONY GUSTI ANASTA


Goyang dribble yang digagas oleh Duo Srigala memperlihatkan penegakan hukum di Indonesia terutama dalam bidang pornografi jauh panggang dari api. Hal ini sekaligus makin mengurangi legitimasi sosial Undang-undang nomor 44 tahun 2008 tentang pornografi. Tumpulnya pedang Undang-undang pornografi seakan menguatkan preseden bahwa Indonesia harus menyerah dari gelombang propaganda mesum dalam rangka untuk menghancurkan masa depan bangsa.

Desakan kaum pebisnis dalam memainkan emosi anak muda, terbukti sukses menuai uang yang tidak sedikit. Pelaku usaha, baik pihak manajemen artis ataupun perusahaan TV swasta dengan semena-mena merilis jasa hiburan yang tidak mendidik, bahkan cenderung merusak mental generasi muda. Aspek hiburan akan serta merta menjadi pembenaran, padahal efek yang ditinggalkan adalah perusakan besar-besaran. Hak untuk menyampaikan ekspresi menjadi benteng untuk melindungi diri, padahal seharusnya kewajiban untuk menangkal pornografi ada dalam tiap sanubari.

KH. Zainuddin MZ pernah menyitir bahwa gambaran masa depan bangsa terlihat dari gambaran pemudanya masa kini. Bagaimana wajah dan kondisi suatu bangsa, bisa dilihat dari bagaimana kondisi dari pemudanya. Jika baik pemudanya hari ini, maka akan baik pula bangsa itu kedepannya. Jika buruk perangai dari pemuda hari ini, maka buruk pula kondisi bangsa tersebut dikemudian hari. Asumsi ini menghantarkan kita pada konklusi bahwa jika ingin merusak suatu bangsa, cukup dengan merusak pemudanya.

Di Indonesia bau anyir perusakan masa depan bangsa sudah mulai terendus. Pemuda kini lebih suka menyaksikan goyang dribble daripada menyaksikan pembahasan anggaran di DPR. Anak muda masa kini, lebih senang terbang melayang lewat isapan lintingan ganja daripada bersosialisasi di masyarakat memperkenalkan potensi di daerah. Setali tiga uang dengan itu fenomena batu akik seakan ikut menenggelamkan kaum muda dalam obrolan yang tidak ada gunanya. Di kampus, tempat kerja, lapangan futsal, atau dalam forum, semua sibuk hilir-mudik berkeringat ngomal-ngomel menceritakan khasiat kecubung asap, badar besi, junjung derajat, atau sekadar memuji keindahan bacan kristal asal sulawesi. Fenomena tersebut sama-sama dianggap sebagai kecohan kepada anak muda untuk lebih mengedepankan emosi pribadi daripada rasa peduli terhadap negeri.

Hilangnya Legitimasi
Ada sebuah anggapan di masyarakat bahwa Undang-undang pornografi telah kehilangan legitimasi. Ada tapi tiada. Mengatur namun selalu terbentur. Para cendikiawan hukum mengalami keganjilan di hatinya. Bagaimana mungkin menerapkan Undang-undang pornografi jika Undang-undang dasar 1945 menjamin hak masyarakat hukum adat, termasuk menjamin koteka yang dikenakannya. Bagaimana mungkin Undang-undang pornografi berkerja sepenuh hati jika nyatanya turis mengancam tidak mau lagi datang ke bali. Aspek ekonomis selalu dikedepankan, sedang moralitas ditinggalkan, Padahal baik ekonomis maupun moralitas adalah unsur esensial yang sama kuatnya. Jika aspek ekonomis merupakan palang pintu pembangunan fisik, maka aspek moralitas adalah jembatan negara dalam pembangunan moral.

Perlukah ketegasan dalam rangka untuk membasmi goyang dribble? Jika jawabannya iya, maka pemerintah mesti membasmi seluruh goyangan serupa yang mengedepankan unsur pornografi. Jika setengah-setengah, pemerintah malah akan dituding tebang pilih dalam penegakan hukum yang pada akhirnya akan melemahkan citra penegak hukum itu sendiri.

Sebenarnya secara tegas, pasal 4 Undang-undang pornografi sudah mengatur larangan dan batasan setiap orang dalam ihwal pornografi.  Pasal 4 ayat (1) “Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak,  menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: a) persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b) kekerasan seksual; c) masturbasi atau onani; d) ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e) alat kelamin; atau f) pornografi anak”

Secara eksplisit pasal diatas sudah cukup untuk menjerat penebar goyang dribble. Fenomena mesum ala goyang dribble dapat dikategorikan sebagai penyediaan yang mempertontonkan jasa ketelanjangan, atau yang mengesankan ketelanjangan, serta mengeksploitasi aktivitas seksual.

Pasal tersebut menyatakan bahwa baik penyedia (manajemen,  dan TV swasta) maupun pelaku eksploitasi langsung (duo srigala) dapat sama-sama terancam sanksi. Kedua pihak yang terlibat dalam usaha perusakan moral bangsa ini sama-sama akan dapat diganjar dengan sanksi pidana maupun sanksi administratif. Dalam undang-undang yang bersangkutan dapat dipahami sanksi administratif tidak akan menghapuskan sanksi pidana.

Jadi apa lagi yang ditunggu pemerintah sekarang? Substansi hukum sudah ada,  struktur hukum juga sudah solid. Apakah masih ada ketakutan bahwa pemerintah tidak bisa berlaku merata untuk segala jenis pelanggaran hukum pornografi? Pasalnya banyak jenis dan modus operandi yang dilakukan, baik mengatas namakan seni dan budaya, maupun hanya sekadar hiburan semata. Sekali aturan dibuat, maka harus dilaksanakan, sekali aturan dilaksanakan, maka seterusnya harus tetap dilaksanakan, karena untuk setiap penegakan hukum yang dilakukan, masyarakat akan dibawa ke iklim yang dikehendaki penguasa, ketika penguasa menghentikan penegakan hukum tersebut, akan terjadi gesekan dimana sebagian warga negara mempermasalahkan penegakan hukum yang diskriminatif. Hal ini sangat berbahaya, selain memicu warga masyarakat untuk main hakim sendiri, dalam waktu yang panjang penegak hukum juga akan mengalami defisit kepercayaan, wibawa runtuh, dan pesona untuk dihormati menjadi luntur.

Jika memang pemberlakuan Undang-undang pornografi masih setengah hati, lebih baik dilakukan uji materi. Hal ini lebih baik ketimbang negara digantung oleh aturan yang tidak jelas. Maju kena, mundur juga kena. Warga negara butuh kepastian hukum untuk mewujudkan ketertiban, termasuk ketertiban dalam rangka penegakan hukum pornografi. Namun jika pemerintah percaya dan memiliki persamaan suhu terhadap kehadiran Undang-undang Pornografi. Maka secepatnya ambil tindakan. Jangan biarkan pemuda Indonesia diracun oleh nafsu semu eksploitasi seksual. Jika pemuda masa kini adalah pemimpin masa depan, maka penegakan hukum pornografi secara tidak langsung akan menyelamatkan pemimpin di masa depan. Wallahualam bisshawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar