Minggu, 13 Desember 2015

Konglomerasi Universitas Jambi


Konglomerasi Universitas Jambi

OLEH SONY GUSTI ANASTA



Lembaga pendidikan macam UNJA yang seharusnya menjadi tempat suci untuk menuntut ilmu mendadak berubah seperti pasar. Dimana orang berduit dapat masuk dan menciptakan aset demi kepentingan ekonomis.

Area Parkir Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan kini ditarif sebesar Rp. 1000 per/ sepeda motor. Jika volume sepeda motor mahasiswa FKIP dalam sehari mencapai 1000 unit motor. Maka pihak penyelenggara meraup keuntungan Rp. 1.000.000 perhari. Maka sekitar Rp 22.000.000 dapat mereka nikmati dalam kurun waktu sebulan. Untuk satu semester usaha ini dapat mencapai angka diatas Rp. 130 juta.

Benarkah usaha tersebut untuk penyediaan fasilitas pelayanan keamanan dan kenyamanan parkir? Atau hal ini hanya sekadar niat prematur Rektor demi terselenggaranya Universitas dengan titel World Class University?

Model SISDIKNAS Kita
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dibangun dalam kerangka berpikir bahwa pendidikan bukanlah barang komoditas. Oleh karenanya dalam sekup perguruan tinggi, pemerintah dalam hal ini melalui universitas baik negeri maupun swasta dilarang berkiblat pada komersialitas pendidikan.

Komersialisasi pendidikan pada ujungnya akan membedakan mana siswa berduit, manapula siswa yang tak punya. Padahal dalam Konstitusi kita, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa setiap orang memiliki kedudukan yang sama didepan hukum. selain itu pendidikan merupakan barang pokok yang wajib dinikmati seluruh warga negara.

Mengamati Surat Keputusan Rektor tentang parkir berbayar ini memantik intuisi pribadi bahwa Universitas Jambi tengah disetir kearah yang lebih modern namun ilegal. Saya yakin sepenuhnya bahwa sebagian atau keseluruhan dana yang dihasilkan dari pelaksanaan parkir berbayar dipergunakan untuk peningkatan kemanan dan kenyamanan mahasiswa. Namun bukan berarti harus mengabaikan prinsip-prinsip edukasi dan hukum yang sudah kita sepakati bersama.

Minus Penegakan Hukum
Saat aksi BEM Universitas Jambi dalam tajuk “Penolakan parkir berbayar FKIP” (12/6), penanggung jawab proyek tersebut, Agus Notonegoro menyampaikan bahwa, diadakannya parkir berbayar adalah salah satu cara dalam rangka untuk menjaga keamanan area parkir. Pasalnya menurut dia hampir setiap bulan ada pengaduan kehilangan sepeda motor, yang paling tinggi terjadi pada tahun 2011, yakni lebih dari 20 motor telah lenyap. Namun belum satu pun pencuri motor itu yang tertangkap.

Menafikkan penegakan hukum, lantas melegalisasi parkir berbayar. Jika memang demikian, maka seharusnya pihak universitas lebih berupaya untuk berkerjasama dengan Polsekta setempat untuk selanjutnya berupaya membuat sistem penindakan yang efektif, untuk membuat jera pelaku. Sehingga penegakkan hukum yang selama ini didamba-dambakan dapat tercapai, bukan lantas berdiam diri dan mengeluarkan keputusan yang tidak populer.

Turbulensi Yuridis
Selain itu jika kita melihat secara seksama, Berdasarkan teori Philipus M. Hadjon, pakar Hukum Administrasi Negara, Keputusan Rektor mengalami cacat kewenangan (error power). Sistem parkir berbayar lebih wibawa jika langsung dikeluarkan oleh dekan FKIP. Saya khawatir jika memang surat keputusan ini ditujukan untuk seluruh fakultas di Universitas Jambi. Bisa jadi untuk pertama FKIP jadi percontohan, selanjutnya secara kolektif akan diterapkan se-Universitas. Hal inilah yang membuat saya tergerak untuk melakukan advokasi dibidang kepenulisan.

Pemberlakuan sistem berbayar bak terapi kejut. Tidak ada pemberitahuan yang sifatnya sosialisasi kepada mahasiswa dan civitas akademika pada umumnya. Padahal menurut peraturan perundang-undangan serta etika birokrasi sudah jelas , sosialisasi adalah ritual yang wajib dilaksanakan. Dari sanalah pejabat tata usaha negara mendapat masukan dan pertimbangan mengenai keputusan yang dibuatnya.

Ibarat manuver VOC ke Indonesia, sistem parkir berbayar dikelola oleh pihak ke-3 atau swasta dengan sistem (BOT). Dengan demikian hal ini memberikan kesempatan luas kepada perusahaan swasta untuk menggali potensi bisnis yang ada di kampus pinang masak, termasuk kantin Aktual FKIP Universitas Jambi yang pajak perharinya mencapai 15%. Lama-kelamaan terjadilah yang namanya Komersialisasi Pendidikan. Kedaulatan negara (universitas) direduksi digantikan dengan dominasi swasta.

Karena dilandasi oleh sosialisasi yang asal jadi, maka bentuk perjanjian dan sistem penerapan tersepakati yang melatarbelakangi keluarnya SK parkir berbayar menjadi buram dan tidak jelas. Sehingga secara konsepsi memunculkan ketidak pastian hukum yang pada akhirnya melahirkan ketidak-tertiban.

Untuk mengkatrol nama Universitas Jambi menuju World Class University, tidak hanya dapat dilakukan dengan mewujudkan pelayanan dan kemanan yang baik. Akan tetapi juga harus memikirkan prinsip-prinsip pendidikan dan tata kelola birokrasi yang baik. Sehingga keputusan yang dikeluarkan tersampaikan secara elegan dan dapat diterima dengan baik.

Mahasiswa sebagai agent of change yang akan menggantikan tampuk pemerintahan esok hari, mestinya diikut sertakan dalam setiap pengambilan keputusan. Paling tidak untuk memberikan pengajaran dan mengurangi gejolak penolakan jika keputusan tersebut diterapkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar