Konglomerasi Universitas
Jambi
OLEH SONY GUSTI ANASTA
Lembaga pendidikan macam UNJA yang
seharusnya menjadi tempat suci untuk menuntut ilmu mendadak berubah seperti
pasar. Dimana orang berduit dapat masuk dan menciptakan aset demi kepentingan ekonomis.
Area Parkir Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan kini ditarif sebesar Rp. 1000 per/ sepeda motor. Jika volume sepeda
motor mahasiswa FKIP dalam sehari mencapai 1000 unit motor. Maka pihak
penyelenggara meraup keuntungan Rp. 1.000.000 perhari. Maka sekitar Rp
22.000.000 dapat mereka nikmati dalam kurun waktu sebulan. Untuk satu semester
usaha ini dapat mencapai angka diatas Rp. 130 juta.
Benarkah usaha tersebut untuk
penyediaan fasilitas pelayanan keamanan dan kenyamanan parkir? Atau hal ini hanya
sekadar niat prematur Rektor demi terselenggaranya Universitas dengan titel World Class University?
Model
SISDIKNAS Kita
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional dibangun dalam kerangka berpikir bahwa pendidikan
bukanlah barang komoditas. Oleh karenanya dalam sekup perguruan tinggi, pemerintah
dalam hal ini melalui universitas baik negeri maupun swasta dilarang berkiblat
pada komersialitas pendidikan.
Komersialisasi pendidikan pada ujungnya
akan membedakan mana siswa berduit, manapula siswa yang tak punya. Padahal
dalam Konstitusi kita, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
mengamanatkan bahwa setiap orang memiliki kedudukan yang sama didepan hukum.
selain itu pendidikan merupakan barang pokok yang wajib dinikmati seluruh warga
negara.
Mengamati Surat Keputusan Rektor
tentang parkir berbayar ini memantik intuisi pribadi bahwa Universitas Jambi
tengah disetir kearah yang lebih modern namun ilegal. Saya yakin sepenuhnya
bahwa sebagian atau keseluruhan dana yang dihasilkan dari pelaksanaan parkir
berbayar dipergunakan untuk peningkatan kemanan dan kenyamanan mahasiswa. Namun
bukan berarti harus mengabaikan prinsip-prinsip edukasi dan hukum yang sudah
kita sepakati bersama.
Minus
Penegakan Hukum
Saat aksi BEM Universitas Jambi dalam
tajuk “Penolakan parkir berbayar FKIP” (12/6), penanggung jawab proyek tersebut,
Agus Notonegoro menyampaikan bahwa, diadakannya parkir berbayar adalah salah
satu cara dalam rangka untuk menjaga keamanan area parkir. Pasalnya menurut dia
hampir setiap bulan ada pengaduan kehilangan sepeda motor, yang paling tinggi terjadi
pada tahun 2011, yakni lebih dari 20 motor telah lenyap. Namun belum satu pun
pencuri motor itu yang tertangkap.
Menafikkan penegakan hukum, lantas
melegalisasi parkir berbayar. Jika memang demikian, maka seharusnya pihak
universitas lebih berupaya untuk berkerjasama dengan Polsekta setempat untuk
selanjutnya berupaya membuat sistem penindakan yang efektif, untuk membuat jera
pelaku. Sehingga penegakkan hukum yang selama ini didamba-dambakan dapat
tercapai, bukan lantas berdiam diri dan mengeluarkan keputusan yang tidak
populer.
Turbulensi
Yuridis
Selain itu jika kita melihat secara
seksama, Berdasarkan teori Philipus M. Hadjon, pakar Hukum Administrasi Negara,
Keputusan Rektor mengalami cacat kewenangan (error power). Sistem parkir
berbayar lebih wibawa jika langsung dikeluarkan oleh dekan FKIP. Saya khawatir
jika memang surat keputusan ini ditujukan untuk seluruh fakultas di Universitas
Jambi. Bisa jadi untuk pertama FKIP jadi percontohan, selanjutnya secara
kolektif akan diterapkan se-Universitas. Hal inilah yang membuat saya tergerak
untuk melakukan advokasi dibidang kepenulisan.
Pemberlakuan sistem berbayar bak terapi
kejut. Tidak ada pemberitahuan yang sifatnya sosialisasi kepada mahasiswa dan
civitas akademika pada umumnya. Padahal menurut peraturan perundang-undangan
serta etika birokrasi sudah jelas , sosialisasi adalah ritual yang wajib
dilaksanakan. Dari sanalah pejabat tata usaha negara mendapat masukan dan
pertimbangan mengenai keputusan yang dibuatnya.
Ibarat manuver VOC ke Indonesia, sistem
parkir berbayar dikelola oleh pihak ke-3 atau swasta dengan sistem (BOT).
Dengan demikian hal ini memberikan kesempatan luas kepada perusahaan swasta
untuk menggali potensi bisnis yang ada di kampus pinang masak, termasuk kantin
Aktual FKIP Universitas Jambi yang pajak perharinya mencapai 15%. Lama-kelamaan
terjadilah yang namanya Komersialisasi Pendidikan. Kedaulatan negara
(universitas) direduksi digantikan dengan dominasi swasta.
Karena dilandasi oleh sosialisasi yang
asal jadi, maka bentuk perjanjian dan sistem penerapan tersepakati yang
melatarbelakangi keluarnya SK parkir berbayar menjadi buram dan tidak jelas.
Sehingga secara konsepsi memunculkan ketidak pastian hukum yang pada akhirnya
melahirkan ketidak-tertiban.
Untuk mengkatrol nama Universitas Jambi
menuju World Class University, tidak
hanya dapat dilakukan dengan mewujudkan pelayanan dan kemanan yang baik. Akan
tetapi juga harus memikirkan prinsip-prinsip pendidikan dan tata kelola
birokrasi yang baik. Sehingga keputusan yang dikeluarkan tersampaikan secara
elegan dan dapat diterima dengan baik.
Mahasiswa sebagai agent of change yang akan menggantikan tampuk pemerintahan esok
hari, mestinya diikut sertakan dalam setiap pengambilan keputusan. Paling tidak
untuk memberikan pengajaran dan mengurangi gejolak penolakan jika keputusan
tersebut diterapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar