Minggu, 27 Desember 2015

Memperkuat Eksistensi (Pasal) Santet



Memperkuat Eksistensi (Pasal) Santet

OLEH SONY GUSTI ANASTA


Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) merupakan kitab yang berisi aturan mengenai tindakan-tindakan yang dapat dipidana apabila dilakukan. Di Indonesia KUHP diadopsi dari kerajaan Belanda dimana pada saat itu Belanda pun mendapatkannya dari Code Penal Prancis saat Prancis melebarkan sayap jajahannya ke kerajaan Belanda.

Isu untuk melakukan perubahan terhadap KUHP semakin menjadi sangat relevan bagi bangsa Indonesia mengingat KUHP sekarang sudah berumur lebih dari 200 tahun. Berdasarkan disiplin ilmu hukum yang saya pelajari seharusnya hukum yang baik haruslah hukum yang berjalan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Tentunya jika KUHP telah berumur lebih dari 200 tahun, maka artinya KUHP yang sekarang dipakai sebagai tiang penyangga utama hukum pidana nasional bangsa indonesia tidak lagi dapat memfasilitasi maupun mengakomodir kebutuhan masyarakat.

Wacana untuk melakukan perombakan besar di bidang hukum pidana Indonesia ini, sudah dilaksanakan jauh-jauh hari. Namun terhalang oleh karena adanya perbedaan pandangan yang sangat tajam didalam DPR mengenai beberapa pasal-pasal kontroversial.

Salah satu pasal kontroversial tersebut adalah pasal santet. Keberadaan pasal santet ini memantik perdebatan yang cukup alot dikarenakan adanya keraguan sebagian wakil rakyat terhadap keberadaan santet ini sendiri. Tidak hanya pemerintah, masyarakat diluar pun ikut menyangsikan  tindakan DPR ketika memasukkan pasal santet dalam RUU KUHP.

Fenomena Salah tafsir
Banyak yang mengatakan bahwa santet itu ghaib, sulit untuk dibuktikan, kuno, tidak modern dan kriminalisasinya tidak menjamin asas kepastian hukum. Saya mendengarnya dari komentar beberapa teman saya, bahkan saya pernah mendengar kata-kata tersebut dari salah satu narasumber di tv one. Ya benar, namun kalau kita lihat lebih seksama bukan santet yang menjadi objek dari pasal tersebut, akan tetapi perbuatan menawarkan diri untuk menimbulkan penderitaan baik mental maupun fisik kepada seseorang lewat perantara kekuatan gaib.

Memang sulit bagi logika untuk menerima apakah santet termasuk dalam suatu perbuatan krimininal, ini akan berhubungan langsung dengan cara pandang bangsa indonesia dalam melihat hal gaib. Apalagi sebelum amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, negara ini menganut sistem hukum eropa kontinental (rechstaat) dimana asas legalitas menjadi sorotan utama untuk menjamin adanya kepastian hukum.

Kesalahan Faktual
Prof. Muladi mengatakan bahwa fenomena santet belakangan ini sudah sangat marak. Dalam ilmu hukum pidana sudah ada yang dinamakan fakta lapangan, atau yang disebut Prof. Andi Hamzah sebagai kesalahan faktual. Maksudnya di lapangan sudah banyak orang yang terkena santet, seperti betis yang didalamnya ada paku, perut yang terdapat lilitan kawat, mur, baut dan lain sebagainya, bahkan saya pernah melihat orang yang didalam perutnya ada kalajengking.

Nah, ini adalah fakta dilapangan bahwa diluar banyak orang yang tersiksa bahkan sampai mati dikarenakan penyakit yang tidak dapat dijelaskan secara medis. Tugas negara adalah melindungi warga negara, dan seluruh tumpah darah indonesia dari perbuatan yang menyebabkan hal yang demikian.

Setidaknya walaupun sulit untuk dipercaya, redaksi pasal santet dalam RUU KUHP menurut saya sudah berdiri ditengah-tengah. Ia tidak menghukum orang menyantet, melainkan orang yang menawarkan diri untuk menyantet.

Selain itu, pasal santet berguna unuk mencegah masyarakat tertipu terhadap dukun-dukun santet diluar sana yang beriming-iming dapat membantunya secara gaib. Dan mencegah terjadinya aksi main hakim sendiri bagi masyarakat suatu tempat yang geram terhadap seseorang yang diduga kuat merupakan dukun santet. Karena seperti yang kita ketahui lumayan banyak kasus pembakaran, pengeroyokan terhadap seseorang yang diduga kuat dukun santet dikarenakan masyarakat sudah mulai muak sekaligus khawatir terhadap praktik-praktik perdukunannya. Hal ini menandakan bahwa mayarakat menolak terhadap hal tersebut, namun terpaksa harus mereka lakukan karena negara sebagai unsur penegak hukum tidak mampu menyentuh seseorang tadi dikarenakan alasan legalitas.

Tugas Negara
Mengutip Al-quran surah Al-isra ayat 15, bahwasanya “Allah tidak akan menghukum suatu kaum, sebelum Allah mengutus seorang rasul” maksudnya Allah tidak akan menghukum seseorang sebelum Allah mengirimkan suatu peringatan. Dapat pula diartikan Negara tidak boleh menghukum seseorang jika aturannya tidak ada. Mempunyai makna acontrario bahwasanya segala sesuatu yang tidak dilarang berarti diperbolehkan.

Berarti, jika santet selama ini tidak diatur dalam KUHP, ini menandakan bahwa negara mengizinkan dilakukanya praktik santet. Otomatis dengan keadaan seperti ini negara tidak dapat berbuat banyak ketika korban mulai berjatuhan.

Imam Ghazali pernah mengatakan menjadi tugas negaralah untuk membuat suatu regulasi hukum. Socrates juga pernah bertutur bahwa negara harus mampu melindungi warga negaranya terhadap seluruh ancaman yang dapat memusnahkan harkat dan martabatnya sebagai seorang manusia. Termasuk ancaman yang tak kasat mata.

Minggu, 20 Desember 2015

Negasi Goyang Dribble



Negasi Goyang Dribble

OLEH SONY GUSTI ANASTA


Goyang dribble yang digagas oleh Duo Srigala memperlihatkan penegakan hukum di Indonesia terutama dalam bidang pornografi jauh panggang dari api. Hal ini sekaligus makin mengurangi legitimasi sosial Undang-undang nomor 44 tahun 2008 tentang pornografi. Tumpulnya pedang Undang-undang pornografi seakan menguatkan preseden bahwa Indonesia harus menyerah dari gelombang propaganda mesum dalam rangka untuk menghancurkan masa depan bangsa.

Desakan kaum pebisnis dalam memainkan emosi anak muda, terbukti sukses menuai uang yang tidak sedikit. Pelaku usaha, baik pihak manajemen artis ataupun perusahaan TV swasta dengan semena-mena merilis jasa hiburan yang tidak mendidik, bahkan cenderung merusak mental generasi muda. Aspek hiburan akan serta merta menjadi pembenaran, padahal efek yang ditinggalkan adalah perusakan besar-besaran. Hak untuk menyampaikan ekspresi menjadi benteng untuk melindungi diri, padahal seharusnya kewajiban untuk menangkal pornografi ada dalam tiap sanubari.

KH. Zainuddin MZ pernah menyitir bahwa gambaran masa depan bangsa terlihat dari gambaran pemudanya masa kini. Bagaimana wajah dan kondisi suatu bangsa, bisa dilihat dari bagaimana kondisi dari pemudanya. Jika baik pemudanya hari ini, maka akan baik pula bangsa itu kedepannya. Jika buruk perangai dari pemuda hari ini, maka buruk pula kondisi bangsa tersebut dikemudian hari. Asumsi ini menghantarkan kita pada konklusi bahwa jika ingin merusak suatu bangsa, cukup dengan merusak pemudanya.

Di Indonesia bau anyir perusakan masa depan bangsa sudah mulai terendus. Pemuda kini lebih suka menyaksikan goyang dribble daripada menyaksikan pembahasan anggaran di DPR. Anak muda masa kini, lebih senang terbang melayang lewat isapan lintingan ganja daripada bersosialisasi di masyarakat memperkenalkan potensi di daerah. Setali tiga uang dengan itu fenomena batu akik seakan ikut menenggelamkan kaum muda dalam obrolan yang tidak ada gunanya. Di kampus, tempat kerja, lapangan futsal, atau dalam forum, semua sibuk hilir-mudik berkeringat ngomal-ngomel menceritakan khasiat kecubung asap, badar besi, junjung derajat, atau sekadar memuji keindahan bacan kristal asal sulawesi. Fenomena tersebut sama-sama dianggap sebagai kecohan kepada anak muda untuk lebih mengedepankan emosi pribadi daripada rasa peduli terhadap negeri.

Hilangnya Legitimasi
Ada sebuah anggapan di masyarakat bahwa Undang-undang pornografi telah kehilangan legitimasi. Ada tapi tiada. Mengatur namun selalu terbentur. Para cendikiawan hukum mengalami keganjilan di hatinya. Bagaimana mungkin menerapkan Undang-undang pornografi jika Undang-undang dasar 1945 menjamin hak masyarakat hukum adat, termasuk menjamin koteka yang dikenakannya. Bagaimana mungkin Undang-undang pornografi berkerja sepenuh hati jika nyatanya turis mengancam tidak mau lagi datang ke bali. Aspek ekonomis selalu dikedepankan, sedang moralitas ditinggalkan, Padahal baik ekonomis maupun moralitas adalah unsur esensial yang sama kuatnya. Jika aspek ekonomis merupakan palang pintu pembangunan fisik, maka aspek moralitas adalah jembatan negara dalam pembangunan moral.

Perlukah ketegasan dalam rangka untuk membasmi goyang dribble? Jika jawabannya iya, maka pemerintah mesti membasmi seluruh goyangan serupa yang mengedepankan unsur pornografi. Jika setengah-setengah, pemerintah malah akan dituding tebang pilih dalam penegakan hukum yang pada akhirnya akan melemahkan citra penegak hukum itu sendiri.

Sebenarnya secara tegas, pasal 4 Undang-undang pornografi sudah mengatur larangan dan batasan setiap orang dalam ihwal pornografi.  Pasal 4 ayat (1) “Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak,  menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: a) persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b) kekerasan seksual; c) masturbasi atau onani; d) ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e) alat kelamin; atau f) pornografi anak”

Secara eksplisit pasal diatas sudah cukup untuk menjerat penebar goyang dribble. Fenomena mesum ala goyang dribble dapat dikategorikan sebagai penyediaan yang mempertontonkan jasa ketelanjangan, atau yang mengesankan ketelanjangan, serta mengeksploitasi aktivitas seksual.

Pasal tersebut menyatakan bahwa baik penyedia (manajemen,  dan TV swasta) maupun pelaku eksploitasi langsung (duo srigala) dapat sama-sama terancam sanksi. Kedua pihak yang terlibat dalam usaha perusakan moral bangsa ini sama-sama akan dapat diganjar dengan sanksi pidana maupun sanksi administratif. Dalam undang-undang yang bersangkutan dapat dipahami sanksi administratif tidak akan menghapuskan sanksi pidana.

Jadi apa lagi yang ditunggu pemerintah sekarang? Substansi hukum sudah ada,  struktur hukum juga sudah solid. Apakah masih ada ketakutan bahwa pemerintah tidak bisa berlaku merata untuk segala jenis pelanggaran hukum pornografi? Pasalnya banyak jenis dan modus operandi yang dilakukan, baik mengatas namakan seni dan budaya, maupun hanya sekadar hiburan semata. Sekali aturan dibuat, maka harus dilaksanakan, sekali aturan dilaksanakan, maka seterusnya harus tetap dilaksanakan, karena untuk setiap penegakan hukum yang dilakukan, masyarakat akan dibawa ke iklim yang dikehendaki penguasa, ketika penguasa menghentikan penegakan hukum tersebut, akan terjadi gesekan dimana sebagian warga negara mempermasalahkan penegakan hukum yang diskriminatif. Hal ini sangat berbahaya, selain memicu warga masyarakat untuk main hakim sendiri, dalam waktu yang panjang penegak hukum juga akan mengalami defisit kepercayaan, wibawa runtuh, dan pesona untuk dihormati menjadi luntur.

Jika memang pemberlakuan Undang-undang pornografi masih setengah hati, lebih baik dilakukan uji materi. Hal ini lebih baik ketimbang negara digantung oleh aturan yang tidak jelas. Maju kena, mundur juga kena. Warga negara butuh kepastian hukum untuk mewujudkan ketertiban, termasuk ketertiban dalam rangka penegakan hukum pornografi. Namun jika pemerintah percaya dan memiliki persamaan suhu terhadap kehadiran Undang-undang Pornografi. Maka secepatnya ambil tindakan. Jangan biarkan pemuda Indonesia diracun oleh nafsu semu eksploitasi seksual. Jika pemuda masa kini adalah pemimpin masa depan, maka penegakan hukum pornografi secara tidak langsung akan menyelamatkan pemimpin di masa depan. Wallahualam bisshawab

Narkoba Dan Efektifitas Penegakan Hukum



Narkoba Dan Efektifitas Penegakan Hukum

OLEH SONY GUSTI ANASTA


Membaca berita razia narkoba di pulau pandan pada harian Jambi Ekspres, kamis tanggal 19 september 2013 sangat menyenangkan. Pasalnya tempat yang selama ini ditengarai sebagai tempat nyabu bareng berhasil dinetralisir. Walaupun dikesempatan berbeda, pakar hukum Dr. Sahuri Lasmadi mengatakan bahwa razia yang dilakukan pihak kepolisian tidak efektif, dikarenakan dilakukan secara sporadis, namun dalam pandangan saya sebagai seorang awam menyimpulkan, bahwa dengan adanya razia tersebut memberikan social doctrine (doktrin sosial) kepada masyarakat luas bahwa penumpasan terhadap tindak pidana narkoba mengalami peningkatan. Selain itu hal ini juga akan menambah wibawa polresta jambi sebagai salah satu aparat penegak hukum di Provinsi Jambi.

Tindak pidana narkoba telah menjadi main topic dalam tiga tahun belakangan. Banyak yang sudah menjadi korban barang haram ini. Penegakan hukum yang efektif hingga melahirkan social control dan social engineering terhadap masyarakat adalah satu-satunya jalan yang harus ditempuh.

Dalam hal penegakan hukum, Lawrence Friedman mengemukakan teori penegakkan hukum, dimana menurutnya terdapat tiga faktor yang mempengaruhi efektifitas dalam penegakan hukum; 1) substansi hukum, 2) struktur hukum/ pranata hukum, 3) budaya hukum.

Dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana narkoba, yang pertama-tama harus diperhatikan adalah substansi hukum. Maksudnya adalah perangkat hukum yang ada, mulai dari undang-undang sampai kepada peraturan pemerintah. Secara empiris, harus kita maklumi bersama, substansi hukum yang ada terkait narkoba masih timpang. Misalnya terdapat ambiguitas orientasi dalam konsep pemidanaan, apakah pemidanaan dipandang sebagai sebuah sistem pemasyarakatan, atau lebih condong kepada nestapa sebagai efek jera terhadap orang yang mengkonsumsi narkoba.

Data di Lapas kota jambi menunjukkan bahwa lebih dari 50% nara pidana adalah tersangkut kasus narkoba, baik pemakai maupun pengedar. Jika kita benturkan dengan konsep hak asasi manusia, dimana setiap orang secara penuh berhak atas penghidupan dan segala kegiatan yang melibatkan diri sendiri, maka menurut saya yang dihukum cukup pengedar, sedang pemakai seharusnya dilakukan proses pemasyarakatan jenis lain, yang intinya melakukan rehabilitasi hingga si pemakai dapat dikembalikan kepada masyarakat.

Yang kedua adalah faktor struktur hukum atau pranata hukum. Meliputi; polisi, jaksa, hakim, sipir dan lain-lain. Penegakan hukum juga sangat berpengaruh terhadap faktor yang satu ini. Maksudnya adalah bagaimana aparat penegak hukum dalam melakukan tindakan terhadap pelaku pelanggaran narkoba. Kalau kita lihat, aparat penegak hukum saat ini masih jauh panggang dari yang kita harapkan. Fenomena suap sana, suap sini dianggap sebagai duri dalam daging. Penegak hukum yang diharapkan dapat membantu dalam penumpasan narkoba malah ikut mengkonsumsi barang haram tersebut. Dan yang telah menjadi rahasisa umum juga bagaimana penjelasan terhadap distribusi narkoba kedalam lapas. Jawabannya tentu terpulang kepada penegak hukum itu sendiri. Terlepas apakah terdapat oknum yang bermain, atau lemahnya pengawasan, hal itu menunjukkan stuktur hukum kita masih harus dibenahi.

Yang terakhir adalah budaya hukum. Maksudnya adalah bagaimanakah interaksi antara hukum dan gejala sosial yang ada di masyarakat, apakah masyarakat sebagai elemen sosial mentaati peraturan hukum yang ada, atau malah mengabaikannya. Budaya hukum juga bicara soal bagaimanakah pola pikir masyarakat terhadap aturan normatif yang ada, juga bagaimana intensitas kesadaran hukum didalam masyarakat.

Masyarakat yang bijak adalah masyarakat yang memahami secara massal, bahwa narkoba sebagai ganjalan bagi pemuda-pemudi harapan bangsa, dan perusak masa depan setiap insan. Masyarakat dapat memberikan sanksi sosial terhadap pengedar narkoba, dengan mengucilkannya dari pergaulan. Hal ini juga akan berdampak kepada pencitraan wilayah dimana masyarakat itu tinggal, sehingga pengedar ataupun pemakai akan merasa asing jika berinteraksi dengan narkoba diwilayah tersebut.

Selanjutnya orang tua dapat memberikan pemahaman dasar kepada anak-anaknya terkait dengan bahaya obat-obatan terlarang. Bukankah keluarga adalah satuan populasi terkecil didalam masyarakat. Jika pemahaman yang diberikan orang tua didalam rumah baik, niscaya ketika anak tersebut berinteraksi dengan dunia luar, maka pemahaman tersebutlah yang akan menjaganya dari bahaya narkoba.

Lawrence Friedman melanjutkan ketiga faktor tersebut akan terasa lebih efektif jika dilaksanakan secara komprehensif dan elaboratif. Pencegahan penyalahgunaan narkoba mesti dilakukan dengan instens dan mendalam melibatkan segala pihak guna menyelamatkan manusia Jambi-Indonesia dari mimpi buruk kehilangan masa depan.

Minggu, 13 Desember 2015

Konglomerasi Universitas Jambi


Konglomerasi Universitas Jambi

OLEH SONY GUSTI ANASTA



Lembaga pendidikan macam UNJA yang seharusnya menjadi tempat suci untuk menuntut ilmu mendadak berubah seperti pasar. Dimana orang berduit dapat masuk dan menciptakan aset demi kepentingan ekonomis.

Area Parkir Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan kini ditarif sebesar Rp. 1000 per/ sepeda motor. Jika volume sepeda motor mahasiswa FKIP dalam sehari mencapai 1000 unit motor. Maka pihak penyelenggara meraup keuntungan Rp. 1.000.000 perhari. Maka sekitar Rp 22.000.000 dapat mereka nikmati dalam kurun waktu sebulan. Untuk satu semester usaha ini dapat mencapai angka diatas Rp. 130 juta.

Benarkah usaha tersebut untuk penyediaan fasilitas pelayanan keamanan dan kenyamanan parkir? Atau hal ini hanya sekadar niat prematur Rektor demi terselenggaranya Universitas dengan titel World Class University?

Model SISDIKNAS Kita
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dibangun dalam kerangka berpikir bahwa pendidikan bukanlah barang komoditas. Oleh karenanya dalam sekup perguruan tinggi, pemerintah dalam hal ini melalui universitas baik negeri maupun swasta dilarang berkiblat pada komersialitas pendidikan.

Komersialisasi pendidikan pada ujungnya akan membedakan mana siswa berduit, manapula siswa yang tak punya. Padahal dalam Konstitusi kita, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa setiap orang memiliki kedudukan yang sama didepan hukum. selain itu pendidikan merupakan barang pokok yang wajib dinikmati seluruh warga negara.

Mengamati Surat Keputusan Rektor tentang parkir berbayar ini memantik intuisi pribadi bahwa Universitas Jambi tengah disetir kearah yang lebih modern namun ilegal. Saya yakin sepenuhnya bahwa sebagian atau keseluruhan dana yang dihasilkan dari pelaksanaan parkir berbayar dipergunakan untuk peningkatan kemanan dan kenyamanan mahasiswa. Namun bukan berarti harus mengabaikan prinsip-prinsip edukasi dan hukum yang sudah kita sepakati bersama.

Minus Penegakan Hukum
Saat aksi BEM Universitas Jambi dalam tajuk “Penolakan parkir berbayar FKIP” (12/6), penanggung jawab proyek tersebut, Agus Notonegoro menyampaikan bahwa, diadakannya parkir berbayar adalah salah satu cara dalam rangka untuk menjaga keamanan area parkir. Pasalnya menurut dia hampir setiap bulan ada pengaduan kehilangan sepeda motor, yang paling tinggi terjadi pada tahun 2011, yakni lebih dari 20 motor telah lenyap. Namun belum satu pun pencuri motor itu yang tertangkap.

Menafikkan penegakan hukum, lantas melegalisasi parkir berbayar. Jika memang demikian, maka seharusnya pihak universitas lebih berupaya untuk berkerjasama dengan Polsekta setempat untuk selanjutnya berupaya membuat sistem penindakan yang efektif, untuk membuat jera pelaku. Sehingga penegakkan hukum yang selama ini didamba-dambakan dapat tercapai, bukan lantas berdiam diri dan mengeluarkan keputusan yang tidak populer.

Turbulensi Yuridis
Selain itu jika kita melihat secara seksama, Berdasarkan teori Philipus M. Hadjon, pakar Hukum Administrasi Negara, Keputusan Rektor mengalami cacat kewenangan (error power). Sistem parkir berbayar lebih wibawa jika langsung dikeluarkan oleh dekan FKIP. Saya khawatir jika memang surat keputusan ini ditujukan untuk seluruh fakultas di Universitas Jambi. Bisa jadi untuk pertama FKIP jadi percontohan, selanjutnya secara kolektif akan diterapkan se-Universitas. Hal inilah yang membuat saya tergerak untuk melakukan advokasi dibidang kepenulisan.

Pemberlakuan sistem berbayar bak terapi kejut. Tidak ada pemberitahuan yang sifatnya sosialisasi kepada mahasiswa dan civitas akademika pada umumnya. Padahal menurut peraturan perundang-undangan serta etika birokrasi sudah jelas , sosialisasi adalah ritual yang wajib dilaksanakan. Dari sanalah pejabat tata usaha negara mendapat masukan dan pertimbangan mengenai keputusan yang dibuatnya.

Ibarat manuver VOC ke Indonesia, sistem parkir berbayar dikelola oleh pihak ke-3 atau swasta dengan sistem (BOT). Dengan demikian hal ini memberikan kesempatan luas kepada perusahaan swasta untuk menggali potensi bisnis yang ada di kampus pinang masak, termasuk kantin Aktual FKIP Universitas Jambi yang pajak perharinya mencapai 15%. Lama-kelamaan terjadilah yang namanya Komersialisasi Pendidikan. Kedaulatan negara (universitas) direduksi digantikan dengan dominasi swasta.

Karena dilandasi oleh sosialisasi yang asal jadi, maka bentuk perjanjian dan sistem penerapan tersepakati yang melatarbelakangi keluarnya SK parkir berbayar menjadi buram dan tidak jelas. Sehingga secara konsepsi memunculkan ketidak pastian hukum yang pada akhirnya melahirkan ketidak-tertiban.

Untuk mengkatrol nama Universitas Jambi menuju World Class University, tidak hanya dapat dilakukan dengan mewujudkan pelayanan dan kemanan yang baik. Akan tetapi juga harus memikirkan prinsip-prinsip pendidikan dan tata kelola birokrasi yang baik. Sehingga keputusan yang dikeluarkan tersampaikan secara elegan dan dapat diterima dengan baik.

Mahasiswa sebagai agent of change yang akan menggantikan tampuk pemerintahan esok hari, mestinya diikut sertakan dalam setiap pengambilan keputusan. Paling tidak untuk memberikan pengajaran dan mengurangi gejolak penolakan jika keputusan tersebut diterapkan.