Memperkuat Eksistensi
(Pasal) Santet
OLEH SONY GUSTI ANASTA
Kitab
undang-undang hukum pidana (KUHP) merupakan kitab yang berisi aturan mengenai
tindakan-tindakan yang dapat dipidana apabila dilakukan. Di Indonesia KUHP
diadopsi dari kerajaan Belanda dimana pada saat itu Belanda pun mendapatkannya
dari Code Penal Prancis saat Prancis melebarkan sayap jajahannya ke kerajaan Belanda.
Isu
untuk melakukan perubahan terhadap KUHP semakin menjadi sangat relevan bagi bangsa
Indonesia mengingat KUHP sekarang sudah berumur lebih dari 200 tahun.
Berdasarkan disiplin ilmu hukum yang saya pelajari seharusnya hukum yang baik
haruslah hukum yang berjalan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Tentunya jika
KUHP telah berumur lebih dari 200 tahun, maka artinya KUHP yang sekarang
dipakai sebagai tiang penyangga utama hukum pidana nasional bangsa indonesia
tidak lagi dapat memfasilitasi maupun mengakomodir kebutuhan masyarakat.
Wacana
untuk melakukan perombakan besar di bidang hukum pidana Indonesia ini, sudah
dilaksanakan jauh-jauh hari. Namun terhalang oleh karena adanya perbedaan
pandangan yang sangat tajam didalam DPR mengenai beberapa pasal-pasal
kontroversial.
Salah
satu pasal kontroversial tersebut adalah pasal santet. Keberadaan pasal santet
ini memantik perdebatan yang cukup alot dikarenakan adanya keraguan sebagian
wakil rakyat terhadap keberadaan santet ini sendiri. Tidak hanya pemerintah,
masyarakat diluar pun ikut menyangsikan
tindakan DPR ketika memasukkan pasal santet dalam RUU KUHP.
Fenomena Salah tafsir
Banyak
yang mengatakan bahwa santet itu ghaib, sulit untuk dibuktikan, kuno, tidak
modern dan kriminalisasinya tidak menjamin asas kepastian hukum. Saya
mendengarnya dari komentar beberapa teman saya, bahkan saya pernah mendengar
kata-kata tersebut dari salah satu narasumber di tv one. Ya benar, namun kalau
kita lihat lebih seksama bukan santet yang menjadi objek dari pasal tersebut,
akan tetapi perbuatan menawarkan diri untuk menimbulkan penderitaan baik mental
maupun fisik kepada seseorang lewat perantara kekuatan gaib.
Memang
sulit bagi logika untuk menerima apakah santet termasuk dalam suatu perbuatan
krimininal, ini akan berhubungan langsung dengan cara pandang bangsa indonesia
dalam melihat hal gaib. Apalagi sebelum amandemen Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia, negara ini menganut sistem hukum eropa kontinental
(rechstaat) dimana asas legalitas menjadi sorotan utama untuk menjamin adanya
kepastian hukum.
Kesalahan Faktual
Prof.
Muladi mengatakan bahwa fenomena santet belakangan ini sudah sangat marak.
Dalam ilmu hukum pidana sudah ada yang dinamakan fakta lapangan, atau yang
disebut Prof. Andi Hamzah sebagai kesalahan faktual. Maksudnya di lapangan
sudah banyak orang yang terkena santet, seperti betis yang didalamnya ada paku,
perut yang terdapat lilitan kawat, mur, baut dan lain sebagainya, bahkan saya
pernah melihat orang yang didalam perutnya ada kalajengking.
Nah,
ini adalah fakta dilapangan bahwa diluar banyak orang yang tersiksa bahkan
sampai mati dikarenakan penyakit yang tidak dapat dijelaskan secara medis.
Tugas negara adalah melindungi warga negara, dan seluruh tumpah darah indonesia
dari perbuatan yang menyebabkan hal yang demikian.
Setidaknya
walaupun sulit untuk dipercaya, redaksi pasal santet dalam RUU KUHP menurut
saya sudah berdiri ditengah-tengah. Ia tidak menghukum orang menyantet, melainkan
orang yang menawarkan diri untuk menyantet.
Selain
itu, pasal santet berguna unuk mencegah masyarakat tertipu terhadap dukun-dukun
santet diluar sana yang beriming-iming dapat membantunya secara gaib. Dan
mencegah terjadinya aksi main hakim sendiri bagi masyarakat suatu tempat yang
geram terhadap seseorang yang diduga kuat merupakan dukun santet. Karena
seperti yang kita ketahui lumayan banyak kasus pembakaran, pengeroyokan terhadap
seseorang yang diduga kuat dukun santet dikarenakan masyarakat sudah mulai muak
sekaligus khawatir terhadap praktik-praktik perdukunannya. Hal ini menandakan
bahwa mayarakat menolak terhadap hal tersebut, namun terpaksa harus mereka
lakukan karena negara sebagai unsur penegak hukum tidak mampu menyentuh
seseorang tadi dikarenakan alasan legalitas.
Tugas Negara
Mengutip
Al-quran surah Al-isra ayat 15, bahwasanya
“Allah tidak akan menghukum suatu kaum, sebelum Allah mengutus seorang rasul” maksudnya
Allah tidak akan menghukum seseorang sebelum Allah mengirimkan suatu
peringatan. Dapat pula diartikan Negara tidak boleh menghukum seseorang jika
aturannya tidak ada. Mempunyai makna acontrario bahwasanya segala sesuatu yang
tidak dilarang berarti diperbolehkan.
Berarti,
jika santet selama ini tidak diatur dalam KUHP, ini menandakan bahwa negara
mengizinkan dilakukanya praktik santet. Otomatis dengan keadaan seperti ini
negara tidak dapat berbuat banyak ketika korban mulai berjatuhan.
Imam
Ghazali pernah mengatakan menjadi tugas negaralah untuk membuat suatu regulasi
hukum. Socrates juga pernah bertutur bahwa negara harus mampu melindungi warga
negaranya terhadap seluruh ancaman yang dapat memusnahkan harkat dan martabatnya
sebagai seorang manusia. Termasuk ancaman yang tak kasat mata.