Kamis, 25 Januari 2018

KAMMI Untuk Jambi

OLEH SONY GUSTI ANASTA


Musyawarah Daerah Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Daerah Jambi telah selesai dilaksanakan tanggal 25 November 2017, musyawarah kemudian mengamanahkan Saudara Andri Hermana sebagai Ketua KAMMI Wilayah Jambi, dan Indra Jaya sebagai Ketua KAMMI Daerah Jambi, keduanya akan merumput dan berkarya selama 2 tahun ke depan untuk mengembangkan KAMMI sebagai wadah sekaligus wajah perjuangan kerakyatan kemahasiswaan dalam rangka ikut berkontribusi untuk menjayakan Indonesia 2045.

Sebagai organisasi kemahasiswaan islam muda yang berdiri di tahun-tahun awal reformasi, KAMMI telah menghadapai beragam halangan dan rintangan dari berbagai sisi, baik itu internal maupun eksternal. Masalah dan tawaran konsep pengembangan pun datang silih berganti, begitu pula dengan dinamikanya. Sebagai organisasi modern sudah sepatutya KAMMI juga memproduksi regulasi, mekanisme kerja, kader dan kultur manajemen organisasi secara modern yang adaptif, demokratis megikuti zaman. Adaptasi menjadi sebuah keniscayaan bagi KAMMI dalam mengepakkan sayap keorganisasiannya, oleh sebab itu eksklusifitas yang selama ini menyandera kebanyakan kader KAMMI terutama di Jambi mesti segera dikikis. KAMMI kedepannya mesti tampil sebagai organisasi mahasiswa supel, yang memiliki sensitifitas tinggi terhadap perubahan dan pembangunan di berbagai sisi, mengedepankan demokrasi dan kemanusiaan, serta menjadi role model terhadap gaya kepemimpinan secara nasional.

Pemimpin Esensial
Tak dinyanya, lebih dari 15 tahun berdiri, KAMMI berhasil memproduksi kader-kadar terbaik di seluruh Indonesia, baik itu sebagai pimpinan kampus, pegiat dan pendiri berbagai macam gerakan dan organisasi sosial, pimpinan partai politik, entrepreneur di berbagai sektor, serta pimpinan dan calon pimpinan pada organisasi pemerintahan. KAMMI menjadi salah satu oase di tengah hiruk pikuk keumatan dan ke-Indonesiaan yang haus akan kepemimpinan yang berintegritas, berkompeten, inovatif,  komunikatif, dan beretika. Hal itu terjadi karena KAMMI menjadikan Alquran dan Sunah sebagai mata air dari pengejawantahan nilai-nilai dalam pembentukan dan pegembangan organisasi, dan menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai The Main Inspire Actor yang menjadi tolok ukur dalam bersikap, berkehidupan berbangsa dan dalam peningkatan kapasitas kesalehan tiap diri pribadi kader.

Sebagaimana pemimpin terdahulu yang hidup dan mengabdikan diri untuk kemajuan peradaban bangsa, KAMMI Jambi kedepannya juga harus mampu melahirkan tunas-tunas pimpinan esesial. Pemimpin esensial meminjam istilah Herry Tjahjono, Terapis Budaya Perusahaan adalah lawan dari pemimpin sensasional yang tindak-tanduknya kerap berlandaskan kepentingan sesaat, mementingkan citra atau bungkus luar, feriferal, hanya peduli pada personal dan kelompoknya saja. Pemimpin sensasional menjadikan kekuasaan sebagai tujuan utama perjuangan, tidak perduli apakah ia mampu atau tidak, berkompetensi atau tidak, atau apakah kebijakannya sesuai dengan aspirasi dan menguntungkan masyarakat atau justru malah memperkaya dan mengangkat kelompok sendiri.

Berbeda dengan pemimpin esensial, yang lebih mementingkan esensi, isi, inti, sejati. Pemimpin esensial percaya bahwa untuk menjadi pemimpin, bungkus, citra adalah  urusan belakang, yang terpenting adalah kompetensi, integritas dan nilai-nilai baik yang ada di dalam diri. Ia akan menyiapkan diri, melakukan penghayatan nilai dan pemantasan diri berbasis standar-standar kepemimpinan yang berlaku si sebuah sistem sosial kemasyarakatan.

Sebagaimana yang pernah disebutkan oleh Victor Frankl; kekuasaan (yang selama ini menjadi tujuan pemimpin sensasional) merupakan konsekuensi logis dari upaya seseorang untuk menjadi pemimpin esensial. Kekuasaan bukan menjadi tujuan, melainkan sarana untuk menjadi pemimpin esensial. Jika KAMMI pada hari ini mampu melahirkan pemimpin-pemimpin esensial (yang bernuansakan nilai-nilai kemanusiaan, keumatan, dan kebangsaan) maka kekuasaan dan segenap kenikmatan hidup akan datang dengan sendirinya.

Isu Kerakyatan dan Perjuangan Kelas
Kemudian yang harus menjadi perhatian KAMMI Jambi ke depannya adalah bagaimana membangun dan melembagakan pergerakan baik di tingkat nasional maupun daerah dengan mereduksi anasir perjuangan identitas, dan menggantinya menjadi perjuangan kelas yang mengangkat isu-isu kerakyatan. KAMMI Jambi kedepannya mesti mempertimbangkan peralihan titik fokus pada perjuangan agama secara sempit menjadi perjuangan agama secara komprehensif, seperti menaruh perhatian terhadap isu seperti penggusuran, penyerobotan lahan oleh korporasi, oligarki, kemiskinan, ketenagakerjaan, pengelolaan sumber daya alam, korupsi, dan ketimpangan penguasaan tanah yang turut melanggengkan kemiskinan di desa-desa. Bukan berarti KAMMI Jambi harus mengeleminasi isu-isu identitas keagamaan seperti rohingya, palestina, dan pemimpin muslim, namun lebih kepada meletakkan perspektif agama islam sebagai rahmat sebagian alam yang baik secara konsep dan pelaksanaan bernilai komprehensif, dan menyentuh segala persoalan mendasar di republik ini. Sehingga pada sepuluh hingga dua puluh tahun ke depan, seluruh lapisan masyarakat Jambi-Indonesia mendapatkan manfaat substantif dari pengarusutamaan isu-isu kerakyatan yang pernah digiring oleh KAMMI. Kemudian KAMMI Jambi juga harus menjadi jembatan kebangsaan dalam menyambung tali komunikasi dengan gerakan mahasiswa lain, ormas dan bahkan institusi pemerintahan dalam rangka untuk membangun kekuatan massa berbasis masyarakat sipil sebagai watchdog dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, hal ini tentu saja menjadi wacana implemetatif dari kredo gerakan KAMMI sebagai salah satu gerakan ekstraparlementer di Indonesia.

Merawat Kebhinekaan
KAMMI Jambi pada akhirnya juga harus mengambil tempat bersama NU, Muhammadiyah, serta organisasi masyarakat sipil lainnya untuk merawat kebhinekaan, termasuk turut serta mengcounter isu-isu yang mengancam pancasila dan demokrasi yang telah berada dalam suatu tenun kebangsaan. Merawat kebhinekaan kemudian dapat diwujudkan dengan menciptakan suasana pegkaderan yang ramah akan perbedaan, merangsang inovasi dan kreatifitas para anggotanya. KAMMI Jambi jika ada, mesti meghentikan segala bentuk pemutusan nalar para kader-kadernya dalam bentuk pembatasan berfikir, berekspresi, berbicara dan berpendapat,  pemilihan buku-buku yang layak dan tidak layak untuk di baca, mereduksi hak kader untuk melakukan eksplorasi terhadap ilmu dan berbagai macam pemikiran di dunia, termasuk upayanya yang berupaya untuk memperbaiki struktur dan kultur organisasi. Pada intinya KAMMI Jambi harus fleksibel, terbuka, dan tidak alergi terhadap kemajemukan. KAMMI Jambi mesti independen, dan terbebas dari segala moderasi senior baik yang terjadi secara organik-mekanik, maupun yang secara struktural direncanakan oleh jaringan yang berada di dalam tubuh pemerintahan, ormas, dan partai politik.

Pada gilirannya KAMMI akan mendapatkan marwahnya sebagai organisasi modern yang mampu memproduksi pemimpin-pemimpinan esensial di masa depan, serta upayanya dalam turut serta merawat kebhinekaan, melakukan konsolidasi masyarakat sipil untuk mengadvokasi isu-isu kerakyatan yang selama ini kerap dikerjakan oleh organisasi kiri, yang pada akhirnya juga akan memberikan kontribusi kepada masyarakat Jambi pada khusunya, dan Indonesia pada umunya.

Akhir kata, selamat mengabdi untuk Andri Hermana dan Indra Jaya selama dua tahun ke depan, semoga amanah dalam menjalankan tugas keumatan dan tugas kebangsaan yang mulia ini. Allahuakbar!

*Penulis Merupakan Pegiat pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSKH) KAMMI

Listrik Milik Rakyat


OLEH SONY GUSTI ANASTA*


Pemerintah berdasarkan Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 28 tahun 2016 tentang Tarif Tenaga Listrik Yang Disediakan Oleh PT. PLN (Permen Tarif Tenaga Listrik) mencabut subsidi untuk hampir seluruh rumah tangga dengan tegangan listrik 900 VA. Sebelumnya pemerintah mensubsidi rumah tangga dengan tegangan listrik 450 VA dan 900 VA, namun lewat Permen Tarif Tenaga Listrik terbaru ini, pemerintah dan serta merta juga Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat lewat rapatnya bersama Menteri ESDM tertanggal 22 desember 2016 hanya ‘mau’ mensubsidi 23 juta rumah tangga dengan tegangan listrik 450 VA dan 4 juta rumah tangga 900 VA yang berada dalam garis kemiskinan, sedangkan sekitar 18 juta rumah tangga dengan tegangan listrik 900 VA-RTM (Rumah Tangga Mampu) tidak lagi disubsidi.

Kebijakan pemerintah tersebut dinilai benar-benar mencekik rakyat, di saat dollar dan harga bahan pokok melambung naik, pemerintah justru membebankan potensi kerugian keuangan negara kepada rakyat. Terkait dengan kebijakan tersebut setidaknya terdapat 3 alasan bagi kita rakyat Indonesia menolak kebijakan penghapusan subsidi listrik tersebut.

Kewarganegaraan VS Konsumeritas
Yang pertama Permen Tentang Tarif Tenaga Listrik vis a vis dengan Undang-Undang Nomor Nomor 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan menggeser makna warga negara menjadi konsumen. Dalam rezim warga negara, sumber daya alam merupakan kepunyaan rakyat, pemerintah sebagai organisasi sah yang menyelenggarakan kepentingan negara hanya memiliki tugas untuk mengelola agar sumber daya tersebut dapat dimaanfaatkan untuk kepentingan rakyat itu sendiri. Oleh sebab itu, pemenuhan hak akses terhadap listrik murah dan terjangkau dalam rangka mewujudkan kesejahteraan hidup warga negara merupakan tugas dan tanggung jawab negara (lihat pasal 28I ayat (4) UUD 1945). Dengan kata lain, mendapat akses listrik dengan harga terjangkau adalah hak setiap manusia, tidak perduli apakah seorang tersebut itu berada dalam rumah tangga mampu atau tidak, karena listrik merupakan sumber daya yang secara fundamental milik rakyat Indonesia secara kolektif. Sama seperti air, komersialisasi terhadap listrik merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Penarifan air dan juga listrik maksimal hanya sebatas kepada biaya administrasi, distribusi dan pengemasan, lebih dari itu air dan listrik tidak boleh dijual.

Sedangkan dalam rezim konsumen, warga negara diposisikan setara dengan negara dan perusahaan listrik negara, akses terhadap listrik dapat dinikmati jika terdapat hubungan jual-beli antara produsen yang dalam hal ini adalah negara dan PLN dengan konsumen yang dalam hal ini adalah warga masyarakat. Prinsip konsumen dalam UU Ketenagalistrikan dan Permen Tentang Tarif Dasar Listrik membuat negara tidak memiliki tanggung jawab untuk memenuhi hak atas listrik warga negara, dia menyerahkan hubungan tesebut kepada relasi perniagaan yang memiliki prinsip ‘ada uang maka ada barang’. Kewajiban negara untuk memberikan akses terhadap listrik berlaku apabila masyarakatnya membayar kepada pihak swasta/ PLN. Dalam hubungan seperti itu, produsen memiliki otoritas untuk menentukan harga, sebaliknya konsumen juga dapat secara merdeka untuk menentukan ke produsen mana mereka akan membeli. Pergeseran paradigma dari konsep kewarganegaraan ke konsep kosumeritas dalam pengelolaan sumber daya alam membuat jarak antara masyarakat dengan akses terhadap listrik semakin jauh. Menjauhnya akses terhadap listrik tersebut secara tidak langsung mengalienasi rakyat dari sumber daya alam. Rakyat tersingkir dan termarjinalkan dari tanah dan air yang merupakan hak miliknya sendiri.

Hal ini tentu bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” dalam konteks pengelolaan ketenagalistrikan, justru sumber daya hanya ditujukan untuk sebagian orang saja.

Mekanisme Pasar = Kebijakan Kapitalis
Alasan kedua adalah, Permen tentang tarif dasar listrik menyerahkan harga listrik kepada mekanisme pasar, artinya Pemerintah bukan otoritas tunggal dalam melakukan kontrol terhadap harga listik. Pasal 6 ayat (2) Permen bersangkutan mengatakan bahwa “penyesuaian tarif listrik akan ditentukan perbulan (setelah bulan juni 2017) berdasarkan perubahan terhadap (1) Nilai Tukar Mata Uang Dollar Amerika terhadap Rupiah, (2) Indonesia Crude Price, dan (3) Laju Inflasi.”

Penyerahan harga listrik kepada mekanisme pasar merupakan bentuk rasa kekalahan negara terhadap sistem kapitalis, ia kemudian memberikan akses penuh terhadap pasar dan pelaku bisnis untuk menentukan harga dasar listrik. Hilangnya peran negara digantikan dengan dominasi pasar dalam penentuan harga listrik menyebabkan terlanggarnya hak warga negara atas kepastian hukum, dan jaminan kesejahteraan. Padahal Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 mengatakan “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Dan Pasal 33 ayat (4) “bumi, air, dan segala kekayaan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Listrik dan PLN merupakan cabang penting yang menguasai hajat hidup untuk orang banyak, ia merupakan ekses sumber daya alam yang memiliki peran penting terhadap pembangunan ekonomi, infrastruktur, dan pembangunan manusia Indonesia. Oleh sebab itu, dalam konteks perlindungan dan pemenuhan HAM, negara mesti hadir dan menjadi pelindung dan pemenuh hak asasi tersebut, bukan kemudian lari dari tugas serta tanggung jawab dan kemudian menyerahkannya kepada pemilik modal. Membiarkan rakyat miskin, buta pengetahuan, tidak memiliki kuasa apapun berhadapan dengan pasar yang penuh modal, spekulatif, mafia, kepentingan ekonomi yang tinggi dan sekaligus ‘rakus’ bukan merupakan langkah yang tepat untuk negara yang sumber daya alamnya melimpah ruah seperti Indonesia.

Minus Partisipasi Publik
Yang terakhir, pembentukan dan implementasi Permen Tentang Tarif Dasar Listrik tidak memenuhi prinsip keterbukaan yang dikehendaki oleh negara hukum dan demokrasi, dalam penyusunannya pemerintah tidak memberi ruang partisipasi masyarakat, pemerintah juga tidak memosisikan masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, dan sebagai pihak-pihak yang terimbas ketika kebijakan diterapkan, atau pada intinya pemerintah gagal dalam merumuskan kebijakan yang kontekstual dan sejalan dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat. Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan (UU Administrasi Pemerintahan) mengatakan “Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memberikan sosialisasi kepada pihak-pihak yang terlibat mengenai dasar hukum, persyaratan, dokumen, dan fakta yang terkait sebelum menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan yang dapat menimbulkan pembebanan bagi Warga Masyarakat.” Dalam ayat 2 disebutkan, sosialisasi tersebut harus dilakukan seminimal-minimalnya 10 hari sebelum kebijakan tersebut diterapkan.

Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Kovenan Hak Ekosob) yang diratifikasi lewat UU Nomor 11 tahun 2005 dan Kovenan Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi lewat UU Nomor 12 tahun 2005 secara implisit menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi, serta berhak untuk ikut serta berpartisipasi dalam pengambilan keputusan mengenai rencana dan kebijakan yang apabila diterapkan memiliki dampak kepadanya dan lingkungannya. Prinsip partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan ini merupakan langkah penting untuk melihat apakah kebijakan yang akan diterapkan telah memenuhi unsur keadilan di masyarakat terdampak. Dalam pembangunan, prinsip partisipasi masyarakat sangat sering dilanggar, terutama dalam hal pemanfaatan hutan, alih fungsi lahan, penertiban liar, penggusuran paksa, dan lain sebagainya.

Alhasil, kenaikan tarif dasar listrik sebagaimana yang diatur dalam Permen ESDM Nomor 28 Tahun 2016  tentang Tarif Tenaga Listrik yang disediakan oleh PT. PLN merupakan: kebijakan inkonstitusonil karena ia melanggar prinsip pengelolaan sumber daya alam dan prinsip keterbukaan dan penghargaan terhadap partisipasi masyarakat; kebijakan yang melegitimasi pemerintah untuk melakukan pembiaran (by ommision) kepada warga negara untuk berhadapan langsung dengan pasar global dan laju inflasi (kapitalis); serta kebijakan yang berhasil mendelegitimasi dan menurunkan status masyarakat Indonesia dari sebelumnya sebagai warga negara menjadi konsumen perusahaan. Jika boleh usul, seluruh rakyat Indonesia mesti bersatu, ajukan judicial review ke MA, atau kirimkan gugatan warga negara (Citizens Law Suite/ CLS) langsung ke Presiden Republik Indonesia.


*Penulis adalah Pengabdi Bantuan Hukum di LBH Jakarta 2016-2017, serta Alumni Fakultas Hukum Universitas Jambi


Hak Tenaga Kerja Atas THR



OLEH SONY GUSTI ANASTA


Menteri tenaga Kerja Republik Indonesia, Hanif Dhakiri menyerukan agar setiap perusahaan memberikan tunjangan hari raya (THR) keagamaan kepada seluruh tenaga kerja yang berada di Indonesia. Dalam ujaran konstruktif tersebut ia kemudian memerintahkan kepada Dinas Tenaga Kerja baik tingkat provinsi maupun kota atau kabupaten untuk turut serta dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak perkerja atas THR tersebut. Salah satu upaya kementerian dan dinas tenaga kerja dalam mewujudkan hal tersebut adalah dengan membentuk Posko Pengaduan THR 2017 yang telah di buka sejak minggu pertama di bulan juni 2017. Menanggapi hal tersebut, Dinas tenaga Kerja Provinsi Jambi, Kota Jambi,  Kabupaten Tanjung Jabung Barat, dan kabupaten lainnya kemudian segera membuat Posko Pengaduan THR berdasarkan wilayah kerja masing-masing.

Tulisan ini dimaksudkan sebagai sarana informasi kepada tenaga kerja, pengusaha, dan pengambil kebijakan mengenai regulasi baru THR. Lewat tulisan ini, penulis ingin menjelaskan seperti apa, siapa dan bagaimana seseorang berhak mendapatkan THR, serta sebagai wahana kritik konstruktif Kepada Dinas Tenaga Kerja yang menjaga dan mengawasi relasi hubungan industrial di Indonesia. Posko Pengaduan THR, merupakan sebuah kegiatan yang dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja untuk menerima laporan dan serta pengaduan dari tenaga kerja yang ada di Indonesia berkaitan dengan terlambatnya atau tidak dibayarkannya THR pekerja.

Setidaknya terdapat 5 poin penting dalam hal pemberian THR berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 6 Tahun 2016 Tentang THR Bagi Buruh/ pekerja di perusahaan. Yang pertama adalah aturan prinsip, yakni THR diberikan kepada Tenaga Kerja yang telah memiliki masa hubungan kerja lebih dari satu bulan. Jadi untuk setiap pekerja yang telah bekerja 1 bulan atau lebih sebelum tanggal hari raya agamanya, maka ia berhak atas THR. Namun untuk pekerja yang masa kerjanya belum genap 30 hari, maka ia belum berhak untuk mendapatkan THR di tahun itu.

Yang kedua, THR yang dibayarkan kepada pekerja harus dalam bentuk uang dengan kurs rupiah. Jadi pengusaha tidak boleh memberikan THR dalam bentuk uang dengan kurs asing atau barang dan lainnya. Hal ini perlu dipertegas untuk memperingatkan pengusaha nakal yang sering memberikan barang-barang seperti, minuman kaleng kemasan, sembako, baju, alat elektronik atau produk-produk sembako lainnya yang secara ekonomis jauh dibawah nilai THR. Apabila pengusaha ingin memberikan sembako atau barang kepada pekerjanya, hal itu sah-sah saja, asal tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk memberikan THR dalam wujud uang.

Yang ketiga, THR diperuntukkan bagi seluruh pekerja baik pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT/ Pegawai Kontrak), pekerja dengan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT/ Pegawai Tetap) dan buruh harian lepas sekalipun. Buruh harian lepas seperti buruh bangunan, buruh bengkel, buruh tani, atau pegawai toko (tenaga kerja informal) berhak atas THR selama unsur ketenagakerjaannya terpenuhi.

Pekerja Tetap yang di-PHK maksimal 30 hari sebelum hari raya keagamaanya tiba berhak atas THR dari pengusaha. Pekerja Kontrak yang kontraknya berakhir sebelum hari raya keagamaan tiba tidak berhak atas THR, kecuali pengusaha sengaja memutus kontrak secara sepihak sebelum masa kontraknya berakhir maka ia akan tetap berhak atas THR, selain uang penggantian sisa kontrak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 62 Undang-Undang nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Yang keempat, besaran THR untuk pekerja yang telah bekerja lebih dari 12 bulan adalah 1 (satu) bulan upah, sedangkan untuk pekerja yang masa kerjanya belum genap 12 bulan maka penghitungan besaran THR mengikuti rumusan berikut: Masa Kerja (dalam bulan) dikali 1 bulan besaran upah dibagi dengan 12. Sedangkan THR bagi buruh harian lepas dihitung berdasarkan upah rata-rata dalam 12 bulan terakhir. Jika masa kerja buruh harian lepas tersebut belum genap 12 bulan, maka besaran THR dihitung berdasarkan angka rata-rata dari jumlah bulan ia bekerja.

Satu hal yang menurut penulis mengagumkan dalam Permenakertrans THR ini adalah adanya asas keberpihakan Pemerintah kepada buruh, yakni dalam kondisi, rumusan upah yang diatur dalam Permenakertrans THR ini jauh lebih rendah dari rumusan THR sebagaimana yang telah diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, Dan Perjanjian Kerja Bersama, maka penentuan besaran THR akan mengikuti aturan yang paling menguntungkan buruh.

Terakhir, kelima, THR harus sudah dibayarkan pengusaha paling lambat 7 hari sebelum hari raya agama tenaga kerja yang besangkutan. Dalam konteks hari raya idul fitri tahun ini yang akan jatuh pada 25 juni 2017, maka hari terakhir pembayaran THR oleh Pengusaha jatuh pada hari minggu tanggal 18 juni 2017. Apabila pada tangal tersebut, pengusaha tidak kunjung membayarkan THR nya, maka pengusaha tersebut mendapat hukuman berupa denda sebesar 5 persen dari besaran THR  atas keterlambatannya. Dalam hal pengusaha tidak memberikan THR sama sekali, maka Dinas Tenaga Kerja berdasarkan wilayah kerjanya masing-masing dapat memberikan sanksi administrasi kepada pengusaha tersebut. Sanksi administrasi kepada Pengusaha yang tidak memberikan THR menurut pasal 59 ayat (2) PP 78 tahun 2015 tentang Pengupahan adalah (1) Teguran Tertulis; (2) Pembatasan Kegiatan Usaha; (3) Penghentian Sementara Sebagian atau Seluruh Alat Produksi; (4) Pembekuan kegiatan usaha.

Atas upaya pemerintah untuk membuka posko pengaduan THR demi menyerap laporan dan pengaduan dari buruh yang haknya terlanggar, dengan ini Penulis mengapresiasi atas terobosan dan inovasi dari stakeholder ketenagakerjaan baik di Indonesia maupun di Jambi khususnya. Sebagai catatan kedepannya, penulis merasa perlu untuk mengingatkan pemerintah untuk melakukan pendokumentasian praktik terbaik (lesson learned) dari Posko THR ini, seperti adanya pembuatan Satgas khusus, atau cerita sukses dari keberdayaan serikat buruh dalam memperjuangkan THR anggotanya.

Selain itu, Stakeholders juga perlu menambah wahana saluran pengaduan dengan memanfaatkan teknologi dan informasi. Laporan dan pengaduan THR tidak hanya dapat dilakukan dengan datang langsung ke Dinas Tenaga Kerja, namun juga dapat lewat hotline telepon, atau via online seperti google form, email, facebook dan alat media sosial lainnya.

Apabila relasi kuasa antara pengusaha dan buruh terlalu timpang, dalam konteks pemenuhan hak tenaga kerja atas THR, pengawas tenaga kerja dapat menindak, mengawasi, memberikan konfirmasi dan meminta klarifikasi kepada pengusaha dengan merahasiakan identitas para buruh. Dalam case tertentu, merahasiakan identitas buruh adalah opsi baik untuk melindungi keberlangsungan hubungan kerja buruh terhadap resistensi dan refresifitas watak pengusaha kapitalis totaliter.

Selain itu, saya membayangkan seluruh data yang berhasil dihimpun oleh satuan ketenagakerjaan didokumentasasikan dalam sebuah big data yang tersimpan dan terhubung kepada data-data sebelumnya, hal ini perlu dilakukan untuk mengantisipasi pola-pola pelanggaran ketenagakerjaan, dan sebagai bahan mentah dalam penyusunan kebijakan (policy making) ke depannya.

Terakhir upaya pemerintah dalam menanggulangi pelanggaran hak buruh harus dilakukan secara komprehensif dan keseluruhan. Upaya-upaya progresif semacam ini juga harus dilakukan untuk pelanggaran ketenagakerjaan lainnya seperti upah pekerja di bawah UMR, masa kerja PKWT yang melampaui batas, jam kerja yang berlebihan, Pesangon yang tidak dibayarkan, hingga PHK dan pemutusan kontrak secara sepihak.

*Penulis adalah Pengabdi Bantuan Hukum di LBH Jakarta 2016-2017, Alumni Fakultas Hukum Universitas Jambi

Problematika 156a


OLEH SONY GUSTI ANASTA*



Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan vonis dua tahun terhadap terdakwa kasus dugaan penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Auditorium Kementerian Pertanian, Selasa (9/5/2017). Ahok dikenakan pidana berdasarkan Pasal 156a KUHP, menurut majelis hakim, Ahok secara jelas dan tegas melakukan penodaan terhadap umat islam, menimbulkan keresahan dan kegaduhan serta ketidaktertiban di tengah masyarakat.

LBH Jakarta dalam pers rilisnya tertanggal 9 Mei 2017 mengkritik putusan majelis hakim. Kritikan tersebut tidak didasarkan kepada pembelaan kepada Ahok semata namun lebih jauh dari itu, yakni mengkritik penggunaan Pasal 156a KUHP yang sedari dulu telah mengancam kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat, beragama dan berkeyakinan, serta kehidupan berdemokrasi pada umumnya. Bahkan LBH Jakarta telah melakukan Judicial Review terhadap Pasal 156a KUHP pada tahun 2009. Sampai sekarang, LBH Jakarta tetap konsisten membela individu ataupun kelompok yang menjadi ‘korban’ dari  keganasan pasal ini.

Setidaknya ada 7 alasan mengapa putusan majelis hakim yang menerapkan Pasal 156a KUHP bermasalah, Pertama Pasal 156a merupakan Pasal anti demokrasi yang secara jelas melanggar hak seseorang untuk menyatakan pikiran, dan sikap sesuai dengan hati nurani, serta hak atas kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28E Konstitusi, UU HAM, UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, serta ICCPR yang diratifikasi lewat UU 12 tahun 2005.

Yang kedua, Pasal ini kerap menjadi alat politik bagi negara dan pihak mayoritas intoleran untuk mengkriminalisasi hak asasi kelompok minoritas atau individu yang berbeda keyakinan sebagaimana yang menimpa Lia Eden, Abdul Rahman, Ahmad Musadeq, dkk. (Eks Pimpinan Gafatar), Hans Bague Jassin, Arswendo Atmowiloto, Saleh, Ardi Husein, Sumardin Tapaya (sholat bersiul), Yusman Roy (sholat mullti bahasa), Mangapin Sibuea (pimpinan sekte kiamat). Pasal 156a saat ini juga ikut mengancam Habieb Rizieq, dan Megawati yang telah dialporkan menggunakan Pasal anti demokrasi tersebut, dalam kondisi masyarakat yang sedang terbelah saat ini, bukan tidak mungkin produksi kasus yang dilandasi oleh kasus ini akan terus meningkat seiring dengan meruncingnya perbedaan pendapat di masyarakat, iklim perbedaan yang seharusnya ikut memperkaya perspektif bangsa justru menjadi landasan bagi orang yang tidak bertanggung jawab untuk memolisikan orang yang berbeda pendapat dengannya.

Alasan ketiga, Pasal 156a merupakan Pasal yang lahir dari UU 1/PNPS/1965 yang dikeluarkan ketika negara dalam keadaan darurat, pemerintahan tidak berjalan secara normal karena adanya ketegangan antara kelompok muslim dan komunis. Oleh sebab itu, penerapan Pasal 156a tidak relevan lagi dengan era reformasi yang menghendaki adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (demokrasi).

Yang keempat, rumusan Pasal 156a KUHP tidak jelas, ia tidak memenuhi prinsip lex certa dan lex scripta dalam pemenuhan asas legalitas, serta terlampau subjektif untuk diterapkan karena menggantungkan standar kebenaran atau kepatutan pada satu agama, yakni agama mayoritas. Hal ini menjadikan rumusan pasal 156a bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang diatur dalam Pasal 28D ayat (1) sehingga juga mengancam prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi penegakan hukum yang berkeadilan (rule of law) bagi masyarakat.

Alasan kelima, Majelis Hakim dalam putusannya tidak menerapkan Pasal 156a KUHP sebagai delik materiil, uraian mens rea dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim terlalu mengada-ada dan gagal untuk dibuktikan. Majelis Hakim tidak melihat bahwa unsur menciderai umat Islam, menimbulkan kegaduhan serta memecah kerukunan di masyarakat justru disebarkan oleh kelompok-kelompok intoleran yang melaporkan Ahok dan mendorong agar kasus Ahok masuk ke meja hijau. Majelis Hakim justru mebebankan segala bentuk kegaduhan dan gerakan massa yang menimbulkan keresahan di publik selama ini kepada Ahok. Dapat dikatakan, pertimbangan majelis hakim bahwa Ahok menimbulkan kegaduhan dan ketidaktertiban salah orang (eror in persona).

Yang keenam, Majelis Hakim juga abai dalam menerapkan hukum yang kontekstual dan sejalan dengan produk-produk peradilan yang ada sebelumnya, Majelis hakim tidak mengacu kepada Putusan MK No. 84/PUU-X/2012 terkait harus adanya peringatan berupa SKB 3 Menteri dan pengulangan perbuatan setelah terbitnya peringatan tersebut sebelum menerapkan Pasal 156a KUHP dengan sanksi pidana kepada Ahok.

Yang terakhir, penerapan Pasal 156a KUHP selalu didorong oleh tekanan publik. Penafsiran apakah suatu perbuatan bermuatan unsur penodaan terhadap agama tidak  hanya didasari pada kajian terhadap unsur-unsurnya, melainkan mengikuti penafsiran dan tekanan publik yang merupakan berasal dari kelompok mayoritas. Intervensi tersebut pada akhirnya ikut menggiring independensi Majelis Hakim untuk mengambil keputusan yang sesuai dengan tuntutan kelompok intoleran dan mayoritas untuk menyatakan Ahok bersalah. Rule of law dikorbankan serta digantikan dengan rule by mass (mobokrasi). Ini menjelaskan bahwa cita-cita konstitusi kita yang menghendaki independensi hakim dalam setiap peradilan belumlah tercapai, dalam kondisi seperti ini hukum hanya menjadi alat bagi mayoritas untuk menghukum, mengerdilkan, dan menyudutkan minoritas dan kelompok yang berbeda pandangan.

Alhasil Putusan Majelis Hakim PN Jakarta Utara dalam kasus Ahok ini menjadi preseden buruk bagi kelompok minoritas agama dan keyakinan lainnya yang ada di Indonesia, bahkan bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk menyelamatkan demokrasi, Pemerintah dan DPR R.I. mesti meninjau ulang perumusan delik penodaan agama yang saat ini sedang berlangsung dalam pembahasan RUU KUHP di DPR RI dan menghapuskan pasal anti demokrasi tersebut demi menghormati prinsip demokrasi dan tegaknya hak asasi manusia serta kepastian hukum di Indonesia. Wallahualam bisshawab. 

*Pengabdi Bantuan Hukum LBH Jakarta 2016-2017