Selasa, 07 Maret 2017

TI Rilis Global Corruption Barometer: Polisi Menurun, DPR Institusi Paling Korup di Indonesia

Dalam rilis Transparancy International Indonesia, sebesar 78 % masyarakat mendukung bahwa orang biasa dapat berperan dalam melawan korupsi, sebuah optimisme publik yang luar biasa.

OLEH SONY GUSTI ANASTA

Transparancy International (TI) merilis Global Corruption Barometer (GCB), sebuah barometer ukuran korupsi di setiap negara di dunia. Peluncuran riset ini dilakukan bertahap untuk beberapa wilayah di dunia, yakni Eropa dan Amerika, Afrika dan Timur Tengah, serta Negara-negara Asia Fasifik. Untuk Asia Fasifik sendiri, TI Indonesia mendapat giliran terakhir untuk merilis hasil penelitiannya.

GCB sebenarnya dirilis selama 3 tahun sekali, seharusnya setelah 2013, GCM dipresentasikan tahun 2016, namun karena suatu sebab, GCM akhirnya baru disebarkan ke publik pada tahun 2017. Dadang Tri Sasongko, Sekjen TI Indonesia mengungkapkan bahwa partisipasi masyarakat terhadap pencegahan dan pemberantasan korupsi sangat tinggi, namun niat baik masyarakat ini sering diancam lewat kriminalisasi dan penyempitan terhadap ruang ekspresi.

GCB agak sedikit berbeda dari Corruption Perception Index (CPI), GCB menggabungkan metode pengambilan sampel dengan melibatkan persepsi/ pandangan serta pengalaman pribadi responden, misalnya mencari tahu apakah responden pernah melakukan suap ke pejabat pemerintahan, polisi, atau apa yang dilakukan oleh responden ketika ditawari melakukan suap. Wawan Suyatmiko Manajer Riset TI Indonesia berharap GCB dapat memberikan gambaran yang menyeluruh dan komprehensif mengenai persepsi dan pengalaman masyarakat terhadap korupsi di Indonesia.

Wawan menjelaskan terdapat 5 indikator yang digunakan TI Indonesia dalam melaksanakan riset GCB di Indonesia, indikator yang digunakan tersebut adalah tingkat korupsi, kinerja pemerintah, korupsi di lembaga negara, suap layanan publik, masyarakat yang melawan korupsi.

Dari GCB terlihat bahwa persepsi masyarakat terhadap korupsi di Asia Fasifik cenderung naik, sebesar 65 persen masyarakat Asia Fasifik setuju bahwa korupsi meningkat, 22 persen menurun, dan 33 tetap. Lebih sempit, 65 persen dari seluruh masyarakat Indonesia menganggap bahwa korupsi meningkat, hanya 6 persen yang mengatakan menurun, dan sebesar 22 persen masyarakat Indonesia menyatakan angka korupsi tetaplah sama.

Ketika ditanya, lembaga negara mana yang paling korup, sebesar +/- 69 persen Masyarakat Asia Fasifik setuju bahwa institusi kepolisian menjadi lembaga yang paling korup. Sedangkan di Indonesia, data TI Indonesia menunjukkan bahwa sebanyak 54 persen responden berpendapat bahwa DPR merupakan institusi negara Indonesia yang paling korup, dibawah DPR, sebesar 50 persen masyarakat menjatuhkan pilihan bahwa birokrasi merupakan lembaga terkorup nomor 2, kemudian diikuti oleh DPRD sebesar 47 persen, Dirjen Pajak sebesar 45 persen, Polisi 40 persen, Kementerian 32 persen, Pengadilan 32 persen, pengusaha 25, dan tokoh agama sebesar 7 persen.

Jika dibandingkan dengan GCB tahun 2013, penurunan drastis terjadi pada institusi kepolisian, sebelumnya sebesar 91 persen masyarakat Indonesia setuju bahwa Polisi Republik Indonesia merupakan institusi negara yang paling korup, angka itu kemudian diiikuti dengan DPR sebesar 89 persen dan lembaga peradilan 86 persen, birokrasi 79 persen, pengusaha 54 persen, dan tokoh agama sebanyak 31 persen.

Dilihat dari data tersebut, ada banyak kemajuan dalam persepsi masyarakat Indonesia terhadap korupsi. Walaupun 54 persen masyarakat berpendapat DPR adalah lembaga negara yang paling korup, namun setidaknya angka itu mengalami penurunan, begitu pula dengan pengadilan, birokrasi, dan institusi kepolisian, walaupun angka GCB 2017 masih tergolong cukup tinggi, namun terjadi penurunan angka yang cukup signifikan, artinya ada perkembangan terhadap pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Kemudian, ketika ditanya apakah kinerja pemerintah sudah cukup baik dalam memberantas korupsi, sebesar 64 persen masyarakat menganggap bahwa sudah cukup baik, sedangkan 33 persen menganggap kinerja pemerintah masih buruk. Angka tersebut jika dibandingkan dengan GCB tahun 2013, terlihat bahwa kinerja pemerintah dalam memberantas korupsi mengalami peningkatan. Tahun 2013 sebesar 65 persen masyarakat menganggap kinerja pemerintah buruk, hanya 16 persen saja yang memuji upaya pemerintah dalam pemberantasan korupsi.

Dari temuan TI Indonesia, salah satu yang menarik adalah sebesar 32 persen masyarakat Indonesia mengaku pernah melakukan suap, itu artinya 1 dari 3 orang di Indonesia pernah melakukan suap ke pejabat pemerintahan, dan secara gender, sebanyak 52 persen dari pelaku suap tersebut adalah laki-laki dan sisanya perempuan. Dari 32 persen masyarakat yang pernah melakukan suap tersebut, sebanyak 25 persen pernah melakukan suap kepada polisi, angka paling tinggi dari responden yang pernah melakukan suap, angka tersebut kemudian diikuti oleh Dukcapil sebesar 23 persen, rumah sakit dan sekolah masing-masing sebesar 15 persen, institusi air/listrik sebesar 14 persen, dan pengadilan sebesar 6 persen. Dari data tersebut, kita lihat anomali bahwa walaupun institusi kepolisian mengalami penurunan persepsi korupsi yang sangat signifikan, namun sebesar 25 persen dari pelaku suap ternyata menyatakan pernah melakukan suap ke institusi tersebut, angka pengalaman suap paling besar di antara institusi lain yang pernah disuap. Dari fenomena ini, mungkin saja sebenarnya angka korupsi di institusi kepolisian tetap tinggi, namun tidak diketahui oleh publik, jika memang benar demikian, maka perlu bagi pemerintah dan masyarakat sipil untuk mendorong akuntabilitas pelaksanaan anggaran di tubuh kepolisian.

Kemudian, saat ditanya respon masyarakat ketika menerima atau ditawari untuk melakukan suap, mayoritas Indonesia mengatakan menolak untuk melakukan hal tersebut, berbeda dengan masyarakat Asia Pasifik yang akan melapor kepada institusi terkait ketika ditawari untuk melakukan suap. Saat ditanya, mengapa masyarakat Indonesia tidak langsung melaporkan upaya penyuapan, sebesar 38 persen menyatakan takut terhadap konsekuensi, 14 persen tidak tahu kemana harus melapor, 12 persen tidak tahu bagaimana caranya, dan 12 persen tidak ada efeknya.

Namun berita bahagia hadir pada persepsi terhadap keterlibatan masyarakat biasa dalam mendorong perlawanan terhadap korupsi, 78 persen masyarakat Indonesia sepakat bahwa masyarakat biasa dapat berperan dalam melawan korupsi, hal ini menurut Dadang Tri Sasongko merupakan pencapaian yang sangat luar biasa, optimisme Indonesia untuk terbebas dari cengkraman korupsi harus diikuti dengan melibatkan publik dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi, oleh sebab itu segala bentuk kriminalisasi dan segala upaya penyempitan ruang ekspresi harus segera dihapuskan. Wawan menunjukkan bahwa kesimpulan dari hasil riset tersebut adalah bahwa, walaupun tingkat korupsi di Indonesia relative masih tinggi, upaya yang dilakukan pemerintah dan kesadaran masyarakat untuk ikut mendorong dan melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi meningkat.

Wawan menjelaskan, ada 4 rekomendasi yang ditawarkan oleh TI Indonesia kepada pemangku kebijakan. Rekomendasi tersebut adalah, yang pertama, Lembaga legislatif (DPR, DPRD) perlu melakukan upaya lebih keras dalam menegakkan integritas dan nilai-nilai anti korupsi, termasuk juga partai politik, harus terlibat aktif dalam menghadang peluang terjadinya korupsi politik. Yang kedua, reformasi birokrasi oleh pemerintah (Pusat dan Daerah) menjadi ujung tombak bagi penyediaan pelayanan publik yang prima kepada masyarakat. Yang ketiga, negara harus menghadirkan jaminan perlindungan hukum terhadap pelapor/ saksi/ korban, khususnya pada kasus-kasus korupsi yang penting untuk diperhatikan, dan yang keempat, usul inisiatif seperti pembentukan Tim Saber Pungli dapat menjadi inovasi bagi pemerintah dan masyarakat untuk bersama-sama melakukan upaya memberantas korupsi di Indonesia.

Penulis adalah Alumni FH UNJA,
Pengabdi Bantuan Hukum di LBH Jakarta


Senin, 06 Maret 2017

Siti Aisyah, Buruh Migran, dan Hukuman Mati

Suasana keberangkatan buruh migran dari Indonesia, dengan modal pendidikan dan komunikasi yang tidak begitu baik, 80 sampai 95 persen buruh migran bekerja sebagai pekerja rumah tangga.
OLEH SONY GUSTI ANASTA*

Siti Aisyah ditangkap oleh otoritas Malaysia sesaat setelah melakukan dugaan pembunuhan berencana kepada Kim Jong Nam, saudara tiri dari pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong Un. Siti Aisyah beserta 5 orang lainnya ditangkap tidak jauh dari tempat kejadian perkara, mereka disangka melakukan pembunuhan berencana dengan meracuni Jong Nam dengan VX, sebuah senjata pembunuh massal yang pernah dilarang PBB penggunaanya. Tidak tanggung-tanggung, Aisyah bahkan dituntut hukuman pidana mati. Banyak pihak mengatakan Aisyah adalah intel, orang suruhan Korea Utara yang sengaja dikirimkan untuk membunuh Jong Nam. Namun banyak juga yang berdalih bahwa Siti Aisyah adalah korban dari konspirasi Korea Utara, ia sengaja dimanfaatkan mengingat kondisinya sebagai buruh migran yang sangat rentan dan tertindas di negara orang.

Terlepas dari siapakah Siti Aisyah, yang pasti nyawanya sangat berharga, berikut juga dengan nyawa buruh migran di negara lainnya yang saat ini tengah terancam pidana hukuman mati. Terakhir September 2016, tercatat sekitar 487 warga negara Indonesia (WNI) terancam hukuman mati di berbagai negara di luar negeri. Dari jumlah tersebut, 282 di antaranya telah terbebas dari hukuman mati, sedangkan 205 sisanya sedang dalam proses pembelaan, 80 – 90 % diantaranya adalah buruh migran yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga.

Pembelaan terhadap WNI yang terancam hukuman mati di luar negeri menjadi hipokratis, mengingat Indonesia tidak memiliki bargaining position sebagai modal politik untuk melakukan lobi pembebasan Aisyah, agak aneh apabila Indonesia memaksa Malaysia untuk tidak mengenakan hukuman mati terhadap WNI, sedang negara kita sendiri sedang gencar-gencarnya menerapkan hukuman mati kepada warga negara asing.

Tercatat setelah mengeksekusi terpidana hukuman mati di tahun 2016 lalu, Indonesia menyisahkan setidaknya 10 terpidana termasuk Marry Jane yang sedang bersiap menunggu giliran. Dengan fakta demikian, agak sulit bagi Indonesia untuk membebaskan Aisyah dari jeratan hukuman mati, sebelum negara kita berhasil merumuskan hakikat dan manfaat dari nestapa tersebut.

Buruh Migran dan Kerentanan
Siti Aisyah mungkin satu di antara banyak buruh migran lain yang terancam hukuman mati, dalam konteks pidana secara struktural, buruh migran memiliki kondisi yang sangat rentan. Kerentanan tersebut dikarenakan buruh migran hidup di negara orang, tidak memiliki sanak famili yang dapat membantu mereka, rata-rata hidup dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan, beberapa bahkan tidak memiliki surat atau visa (korban perdagangan orang), ditambah lagi jika mereka seorang wanita. Wanita di mana pun ia berada akan menjadi salah satu entitas yang rentan karena budaya patriarkhi masih berkerja hampir di seluruh negara di dunia. Kerentanan yang dialami buruh migran akan membuat mereka gampang dimaanfatkan, untuk alasan bertahan hidup, tidak jarang dari mereka dipekerjakan (dijadikan) sebagai kurir narkoba, objek perdagangan orang, buruh dengan upah murah, atau objek pekerja seks komersial. Oleh sebab itu, kendati mereka melakukan perbuatan yang diduga merupakan tindak pidana, bisa jadi mereka hanyalah korban secara struktural, korban dari sistem yang tidak melindungi buruh migran yang rentan.

Dengan demikian, membela Siti Aisyah dapat kita mulai dengan membela buruh migran lainnya yang terjebak dalam suatu sistem yang menindas, suatu struktur yang tidak melindungi buruh migran secara keseluruhan. Jika memang pada faktanya Siti Aisyah benar-benar tidak mengatahui skenario yang dijalankan kepadanya, maka posisi dan kondisinya sama seperti dengan yang dialami oleh Marry Jane. Marry jane dalah buruh migran wanita asal Filiphina yang sengaja dijebak untuk mengantarkan Narkoba ke Indonesia. Faktanya ia tidak mengetahui bahwa di dalam tas yang dibawanya terselip lebih dari 2 KG narkotika.

Menolak Hukuman Mati
Membela Aisyah berarti membela kemanusiaan, penolakan hukuman mati terhadapnya juga harus diberlakukan kepada warga negara asing yang sedang diancam hukuman mati di Indonesia. Pemerintah mesti sadar bahwa hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang paling dasar, dimana berbagai hak lain dimulai dari hak untuk hidup. Hak tersebut diberikan oleh tuhan kepada setiap manusia, tidak dapat dicabut dalam situasi dan kondisi apapun. Ide demikian terkonfirmasi oleh berbeagai instrumen hukum internasional yang telah diterapkan di berbagai belahan negara di dunia, apalagi hal tersebut secara jelas diatur dalam Konstitusi Republik ini.

Hukuman mati juga bertentangan dengan konsep pemasyarakatan yang kita anut. Dalam prinsip pemasyarakatan, pidana yang dijatuhkan selalu ditujukan untuk menghukum perbuatan bukan pelakunya. Oleh sebab itu secara ideal, lembaga pemasyarakatan selalu berfungsi sebagai wadah untuk memperbaiki tabiat seseorang. Hukum selain memiliki unsur sanksi, juga memiliki unsur reparatoir atau pemulihan kepada orang yang melakukannya, hukum demikian menjadi sarana pembangunan untuk menciptakan manusia yang humanis, dan beradab, hukum seperti ini adalah manfaat hukum yang membahagiakan sebagaimana yang pernah diungkapkan Satjipto Rahardjo. Hukuman mati hanya akan menjadi bentuk rasa balas dendam negara terhadap suatu kejahatan yang telah dilakukan, ia akan menjadi wajah buruk penegakan hukum yang tidak mendidik dan merendahkan harkat serta martabat kemanusiaan.

Perbaiki Sistem Peradilan
Hukuman mati pada akhirnya juga akan mengkhianati tujuan pemeriksaan dalam suatu tindak pidana, ia akan memutus rantai informasi terhadap orang dan bentuk kejahatan lain yang masih bekerja di luar sana. Sebagaimana yang terjadi pada Freedy Budiman misalnya, hukuman mati yang dilakukan padanya ternyata tidak dapat membongkar keterlibatan pejabat tinggi di TNI, POLRI, dan BNN dalam bisnis narkoba sebagaimana yang pernah dicurhatkannya pada Harris Azhar. Sama juga halnya dengan Siti Aisyah, vonis mati yang akan diterimanya nanti tidak akan memberikan penjelasan keterlibatan Pejabat Pemerintahan Jong UN di Korea Utara.

Selain itu, pidana mati juga tidak layak diterapkan mengingat mayoritas badan peradilan yang dimiliki belumlah kredibel, sehingga hukuman mati nantinya akan menyebabkan putusan error in persona. Akibatnya putusan tidak berhasil merepresentasikan kebenaran materiil. Sebagai contoh, tidak tersedianya layanan penerjemahan bahasa tagalog yang baik di tahapan pemeriksaan kepolisian sampai persidangan membuat Marry Jane tidak benar-benar mengerti akan apa yang sudah ditanyakan oleh aparatur penegak hukum. Putusan yang diproduksi dari sistem semacam ini hanya akan membuktikan bahwa pengadilan Indonesia tidak mampu menemukan kebenaran materiil seperti siapakah dan mengapa, serta bagaimana seseorang melakukan tindak pidana, oleh sebab itu putusan dari proses pemeriksaan semacam ini sulit untuk dipertanggungjawabkan.

terpidana hukuman mati juga tidak dapat menjadi justice collaborator yang ikut mengungkap kejahatan yang lebih besar daripada kasusnya sendiri. Dengan model putusan semacam itu, Aparatur Penegak Hukum hanya akan menjadi Pemadam Kebakaran yang hanya memadamkan api satu per satu.

Pembelaan terhadap Siti Aisyah dapat kita mulai dengan menaikkan posisi tawar Indonesia dalam kebijakan moratorium hukuman mati. Akhirnya pembelaan terhadap Siti Aisyah tidak hanya didasarkan untuk membela WNI semata, namun secara luas juga membela rasa kemanusiaan itu sendiri. Bring Back Justice!


* Penulis adalah Pengabdi Bantuan Hukum pada LBH Jakarta

Minggu, 05 Maret 2017

Membumikan Gerakan Bantuan Hukum Struktural di Perguruan Tinggi






OLEH SONY GUSTI ANASTA*

Pengembangan bantuan hukum sudah sejak lama dilakukan, tercatat dalam sejarah, bantuan hukum dilakukan sebagai perwujudan penghormatan terhadap dogma agama untuk membantu orang miskin dan tidak mampu yang sedang terkena permasalahan hukum. Beberapa gereja di zaman romawi membentuk Advokatus Pauvarum atau Poorman Advocates, ia dibayar untuk membela orang miskin dan buta hukum yang tinggal di sekitar gereja. Setelah itu beberapa institusi kerajaan menerapkannya terhadap orang miskin secara keseluruhan, motivasinya beragam, mulai dari alasan kemanusiaan (charity) kedermawanan, ksatriaan, dan lain-lain.

Gelombang perkembangan pemahaman Hak Asasi Manusia (HAM) ikut mempengaruhi perkembangan bantuan hukum di dunia, setelah terbentuk bill of rights hinga Decleration Universal of Human Rights, hakikat pemberian bantuan hukum perlahan-lahan mulai bergeser. Jasa hukum yang diberikan kepada orang miskin bukan lagi diartikan sebagai bentuk kepatuhan terhadap perintah gereja atau semata-mata pelabelan sebagai orang yang dermawan di suatu kota. Pemberian bantuan hukum kepada masyarakat miskin bergeser pada pemenuhan HAM yaitu untuk memberikan kedudukan yang seimbang di antara sesama manusia.

Secara bahasa, bantuan hukum disebut Legal Aid, berbeda dengan legal service yang dalam hubungannya, advokat bekerja secara profesional, ia dibayar dengan adil untuk membela kepentingan klien yang sedang bermasalah secara hukum. Di tengah era globalisasi seperti sekarang ini, investasi menjamur, aktivitas ekonomi meningkat, tak pelak meninggalkan banyak gesekan di antara orang-orang yang melakukannya, permintaan terhadap jasa hukum meningkat, akhirnya menjelang itu, pola pendidikan advokat baik di dunia maupun di indonesia seakan bergeser memenuhi kebutuhan pasar. Misalnya kita dapat lihat, betapa perkenalan di Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) selalu dirangsang lewat harta dan pendapatan yang melimpah. Profesi advocates selalu dikaitkan dengan jenis pekerjaan yang dapat menghasilkan uang yang banyak, kewajiban bagi para advokat baru untuk membela kasus probono atau kasus yang melibatkan orang miskin dianggap sebagai satu diantara pijakan anak tangga sebelum mereka membela korporasi besar dengan uang balas jasa hingga ratusan bahkan miliaran rupiah. Imbasnya para advokat muda tidak benar-benar serius dalam memberikan jasa bantuan hukum kepada mayarakat miskin dan buta hukum, membela masyarakat miskin hanya dijadikan sebagai syarat formalitas dalam jenjang karirnya. Dengan kondisi yang demikian, hakikat dibentuknya Advokatus Pauparum di romawi beratus tahun silam seperti kehilangan makna dan tenggalam digilas zaman.

Selain itu dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat membuat langkah advokat semakin luas dan besar, namun sebenarnya sangat bersifat sentralistik, di satu sisi hal ini merupakakan langkah baik karena, wilayah kerja advokat menjadi lebih luas meliputi seluruh wilayah Indonesia, namun di sisi yang berbeda UU ini justru mematikan potensi advokat yang berada di daerah. Perusahaan-perusahaan daerah yang mendapat permasalahan hukum akan mengadukan kasus yang dihadapinya langsung ke lawfirm yang berada di Jakarta, dengan alasan tingkat profesionalitas dan jam terbang. Hal ini membuat, tidak sedikit advokat daerah berbondong-bondong untuk belajar dan mencari pengalaman di Jakarta, akhirnya sumber daya bantuan hukum di daerah berkurang, tentu saja hal ini berdampak pada akses bantuan hukum orang miskin yang tinggal di daerah, terutama kabupaten dan desa-desa. Tidak mengherankan jika Badan Penyuluhan Hukum Nasional (BPHN) sering mengeluhkan akses bantuan hukum di daerah, terutama kecamatan-kecamatan yang letaknya terpencil.

Pemberian bantuan hukum kepada masyarakat miskin, buta hukum dan tertindas ditujukan tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memberikan acces to justice dan perwujudan asas equality before the law. Telah menjadi rahasia umum, misalnya masyarakat kecil sulit untuk mendapatkan keadilan, hal itu disebabkan karena yang pertama mereka tidak memiliki kemampuan secara ekonomis untuk membeli jasa bantuan hukum secara profesional, yang kedua struktur sosial masyarakat Indonesia masih menempatkan orang miskin dan buta hukum sebagai kasta nomor dua setelah orang kaya dan atau orang yang berada, hal tersebut mengakibatkan perlakuan yang berbeda dari pejabat negara dan masyarakat kelas lainnya. Pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma kepada orang miskin akan memberikan akses terhadap keadilan dan menciptakan relasi kuasa yang seimbang dengan orang yang mampu secara ekonomi (dalam kasus perdata), dan dengan penyidik / jaksa penuntut umum apabila kasusnya pidana.

Ketika mendapat bantuan hukum, seorang tersangka menjadi tahu hak-haknya, sebatas mana kewenangan yang dimiliki oleh Aparaur Penegak Hukum, serta bagaimana cara melaporkannya apabila telah terjadi maladministrasi atau penyalahgunaan kewenangan dalam jabatanya. Atau secara perdata misalnya, seorang petani gurem menjadi tahu status hak atas tanah dan tanamannya, mengerti konsekuensi dan permasalahan perdata yang sedang dihadapinya, ia menjadi mengerti apa dan bagaimana yang harus dibela dan dibuktikan di muka persidangan.

Menurut Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UUBH) terdapat 4 tujuan dan manfaat diselenggarakannya bantuan hukum kepada masyarakat miskin. Pertama, Penyelenggaraan Bantuan Hukum di Indonesia bertujuan agar warga negara mendapat akses terhadap keadilan. Yang kedua, pemenuhan terhadap hak konstitusional warga negara (equaliy before the law). Ketiga, pemberian bantuan hukum yang merata di seluruh Indonesia, dan Keempat untuk mewujudkan peradilan bersih, Jujur adil, dan tidak memihak yang pada akhirnya ikut mendorong perbaikan sistem peradilan (fairtrail).

Bantuan Hukum Masuk Kampus
Yang menarik dari UUBH adalah pemberian bantuan hukum yang sifatnya partisipatif. Ia tidak hanya melibatkan orang-orang yang berasal dari kalangan advokat, namun ikut juga memberikan kesempatan kepada Dosen, Paralegal, hingga Mahasiswa untuk turut serta memberikan bantuan hukum kepada orang miskin yang buta akan hukum.

Hal ini tentu saja menjadi jalan keluar yang harus diapresiasi, karena turut membuka ruang lebih lebar kepada publik untuk ikut serta memberikan bantuan hukum kepada masyarakat. Ide melibatkan dosen dan mahasiswa menjadi sangat relevan mengingat sulitnya akses bantuan hukum di daerah dikarenakan kurangnya sumber daya bantuan hukum dan meningkatnya jumlah kasus yang menimpa masyarakat miskin dan buta hukum di daerah. Selain itu, pemberian bantuan hukum tidak hanya bersifat litigasi atau bersidang di pengadilan saja, namun juga mencakup pembelaan di luar pengadilan atau non litigasi. Bantuan hukum non litigasi menurut UUBH dan aturan pelaksananya terdiri dari konsultasi hukum, gelar perkara, investigasi kasus, pembuatan kertas posisi, pembuatan legal opini, pembuatan dokumen hukum lain, mediasi, negosiasi, pendampingan saat BAP saksi, pendampingan lain di luar pengadilan, penelitian hukum, penyuluhan hukum, serta pemberdayaan kepada masyarakat.

Melibatkan elemen akademik dalam pemberian bantuan hukum juga sejalan dengan tri dharma perguruan tinggi, yaitu Pengajaran dan Pendidikan, Penelitian dan Pengembangan, serta Pengabdian Masyarakat. Perguruan tingggi yang paripurna adalah perguruan tinggi yang menerapkan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat secara keseluruhan dan bersamaan, oleh sebab itu dalam rangka untuk mewujudkan hal tersebut, penting rasanya bagi perguruan tinggi untuk melibatkan elemen akademiknya dalam pemberian bantuan hukum kepada masyarakat miskin untuk menjamin agar akses terhadap keadilan dan asas persamaan kedudukan di depan hukum dapat terwujud.

Selain itu, membuka ruang terhadap elemen akademik di perguruan tinggi untuk memberikan bantuan hukum kepada masyarakat setidaknya memberikan manfaat dan tujuan baik kepada masayarakat luas maupun kepada perguruan tinggi itu sendiri, manfaat tersebut misalnya mudahnya akses bantuan hukum di daerah terutama untuk masyarakat miskin yang berada di sekitar perguruan tinggi, mewujudkan pemberian bantuan hukum yang merata di seluruh wilayah Indonesia, membangun sinergitas antara masyarakat penerima bantuan hukum dengan elemen akademik di perguruan tinggi, mewujudkan pengabdian kepada masyarakat yaitu pemberian bantuan hukum, pemberdayaan kepada dosen dan mahasiswa sehingga menambah ilmu, wawasan serta pengalaman dalam memberikan bantuan hukum baik litigasi maupun nonlitigasi kepada masyarakat yang membutuhkan, membangun citra atau goodwill perguruan yang tinggi yang baik, serta ikut mendorong perbaikan sistem peradilan (fairtrail) karena adanya persamaan kedudukan di depan hukum baik antara sesama para pihak yang berperkara, maupun antara tersangka dengan aparatur penegak hukum.

Bantuan Hukum Struktural
tidak ada yang baku mengenai pengertian dari Bantuan Hukum Struktural (BHS), beda sarjana beda pengertiannya, beda buku beda lagi definisinya. Yang jelas BHS pertama kali diteorisasi dan dipraktikan oleh Adnan Buyung Nasution (ABN) dkk saat mendirikan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, yang awalnya dinamai Yayasan Lembaha Bantuan Hukum se Indonesia. ABN yang sebelumnya berfrofesi sebagai jaksa kemudian mengundurkan diri dan lebih memilih untuk mendirikan suatu lembaga bantuan hukum, rumah perjuangan bagi rakyat miskin dan tertindas baik secara ekonomi, sosial, budaya, hukum dan politik.

Kendati tiada definisi yang pasti, berdasarkan ringkasan dari pendapat yang banyak tersebut, dapatlah kita artikan BHS sebagai “sebuah bantuan hukum yang melibatkan dan memberdayakan masyarakat sebagai pemain utama perjuangan, yang mana tujuan akhirnya terjadinya perubahan terhadap struktur sosial, struktur budaya, struktur politik, struktur hukum dan peraturan perundang-undangan yang timpang, yang melanggengkan kemiskinan, kebodohan, danhasil dari sistem oligarki lainnya.”.

BHS meyakini bahwa kemiskinan, kebodohan, penindasan yang ada di masyarakat, tidak terjadi dengan  sendirinya, namun dicipakan oleh sebuah sistem yang timpang, dan aturan yang tidak mencerminkan keadilan. BHS bekerja dengan mengorbitkan korban dan masyarakat yang tertindas menjadi pahlawan bagi diri mereka sendiri, dengan tujuan jangka pendeknya adalah kemenangan dari kasus tersebut dan tujuan jangka panjangnya yaitu perubahan structural terhadap kebijakan timpang yang membuat pelanggaran serupa banyak terjadi.

Oleh sebab itu dalam BHS, tidaklah cukup jika hanya mengandalkan bantuan hukum litigasi, namun juga harus menempuh strategi advokasi lainnya agar tujuan BHS dapat tercapai. Strategi tersebut antara lain adalah dengan melakukan penguatan ke korban atau masyarakat terdampak itu sendiri (empowering the people) penguatan terhadap korban ini dapat ditambah kuantitasnya dengan cara menggalang kekuatan sekutu. Sekutu maksudnya disini adalah orang-orang atau organisasi dan institusi yang memiliki kepedulian, dan tujuan yang sama dengan masyarakat yang diperdayakan. Gabungan dari masyarakat dan sekutu tadi dinamakan lingkar inti advokasi.

Selanjutnya, lingkar inti advokasi tadi dapat membentuk konsep tanding atas kebijakan atau struktur yang timpang. Untuk menyusun konsep tanding ini pemberi bantuan hukum dapat melakukan berbagai macam diskusi, seminar, bedah buku, penelitian hukum dan sosial, atau sekedar pembuatan kertas posisi. Hasil dari konsep tanding inilah yang kemudian diwujudkan ke dalam suatu rangkaian tindakan advokasi baik litigasi maupun non litigasi.

Rangkaian tindakan advokasi tersebut dapat dilakukan dengan: Pertama, melakukan gugatan ke pengadilan negeri, dan tata usaha negara, pelaporan dan pengawalan kasus pidana di kepolisian hingga pengadilan atau gugatan permohonan informasi publik ke komisi informasi daerah. Kedua, pemberi bantuan hukum dapat mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi untuk merubah aturan dan kebijakan negara yang timpang, yang tidak mencerminkan keadilan dan ikut melanggengkan ketimpangan struktural di masyarakat. Yang ketiga, pengaruhi para pengambil kebijakan dengan cara melakukan negosiasi, mediasi, atau pengaduan kepada institusi pengawas atau badan yang berada di atasnya, misalnya kepada Irwasum, Irwasda, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), dan Propam untuk polisi yang bertindak di luar aturan perundang-undangan, atau mengadukan jaksa nakal ke komisi kejaksaan, dan hakim bermasalah ke Badan Pengawas Mahkamah Agung, serta Komisi Yudisial, mengadukan segala pelanggaran HAM ke Komnasham, mengadukan segala maladministrasi dalam pelayanan publik ke Ombudsman, atau mengadukan pelanggaran ke DPR/ DPRD sebagai badan rakyat yang memiliki fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintahan, serta masih banyak yang lainnya.

Keempat, pemberi bantuan hukum dapat melancarkan tekanan kepada pengambil kebijakan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menginisiasi aksi massa, melibatkan pemberitaan media untuk menguji konsep yang dibangun oleh pembuat kebijakan, mengawasi segala proses penyelesaian perkara tersebut, melakukan upaya lainnya dalam rangka untuk melancarkan tekanan psikologis kepada pengambil kebijakan untuk mempertimbangkan konsep atau ide yang telah dibuat. Yang kelima adalah kampanye, atau penyebarluasan konsep yang dibentuk oleh lingkar inti advokasi kepada masyarakat luas dengan mengandalkan media massa baik cetak maupun daring, yang pada intinya bertujuan untuk menggalang kekuatan massa, merebut ruang publik dengan menguji konsep yang dibuat dengan kebijakan timpang yang dikeluarkan oleh pemerintah. Pada akhirnya kelima strategi advokasi ini bertujuan untuk merubah struktur yang timpang dengan melibatkan masyarakat terdampak sebagai agen perubahan.

Oleh sebab itu ide bantuan hukum struktural yang mana strategi advokasinya terdidi dari 5 rangkaian advokasi termasuk di dalamnya penelitian, diskusi publik, pemberdayaan masyarakat, dan lain-lain sangat dekat  bentuk hingga tujuannya dengan bantuan hukum nonlitigasi sebagaimana yang diatur dalam UUBH. Dan keduanya sangat mirip dengan tugas serta peran tri dharma perguruan yang tinggi yang meliputi Pengajaran, Penelitian dan Pemberdayaan kepada masyarakat.

Menggabungkan bantuan hukum struktural dengan peran Tri Dharma Perguruan Tinggi merupakan langkah tepat untuk mewujudkan kondisi berkedadilan di Indonesia. Kesamaan tujuan dan sebagaian besar metode advokasinya diharapkan dapat membuat keadilan dapat dicapai oleh semua kalangan termasuk kalangan orang miskin buta hukum dan tertindas, kalau tidak, adagium hukum romawi klasik yang mengatakan “hukum tajam ke bawah namun tumpul ke atas” benar adanya.

*Penulis adalah Alumni FH UNJA, Pengabdi Bantuan Hukum LBH Jakarta