Rabu, 25 Januari 2017

Perbuatan Melawan Hukum Joko Sumanteri



A.     Pengertian Umum PMH
B.     Unsur-Unsur PMH
C.     Teori Schultznorm
D.    Teori AANPRAKELIJKHEID
E.      Unsur Kesalahan Dalam PMH
F.      PMH Joko Sutrisno
G.     PMH Penegak Hukum Militer





A.     Pengertian Perbuatan Melawan Hukum

Perbuatan Melawan Hukum adalah suatu perbuatan yang mana baik tindakan secara formil atau akibat dari perbuatan tersebut menerbitkan kerugian pada seseorang atau sesuatu, yang mana baik perbuatan dan akibat tersebut secara otomatis diikuti dengan kewajiban bagi seseorang untuk menerbitkan atau mengganti kerugian yang diderita oleh orang yang dirugikan atas akibat yang sudah dia lakukan. Jadi, dapat dikatakan, karena perbuatan melawan hukum maka timbullah suatu ikatan (verbintenisen) untuk mengganti kerugian yang diderita oleh yang dirugikan.


Akibat dari suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum, walaupun akibat itu tidak dikehendaki oleh yang melakukan perbuatan tersebut, maka siapa yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum tersebut harus mengganti kerugian atas perbuatan tersebut.


Bahwa pengertian dan asas ini diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata, yang berbunyi :

Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut

Utrecht, berpendapat bahwa :
Penafsiran dalam pasal 1365 KUHPerdata dalam yurisprudensi Belanda (yurisprudensi Indonesia mengikuti yurisprudensi Belanda) ada sejarahnya. Dalam abad ke-19 ketika aliran logisme masih kuat, yang menjadi perbuatan melawan hukum hanyalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang saja. Perbuatan yang bertentangan dengan kebiasaan bukanlah perbuatan melawan hukum, jadi sesuai aliran logisme yang berpendapat diluar undang-undang tidak ada hukum. Pada akhr abad ke-19 pendapat aliran logisme ini mendapat tantangan dari berbagai  pihak.  Telah  diketahui  bahwa molengraf-lah  yang mula-mula mengatakan bahwa penafsiran yang sempit itu tidak dapat dipertahankan dan diteruskan.  E. Utrecht. Pengantar Dalam Hukum Indonesia, cet.VI Jakarta : (Balai Pustaka, 1961), hal.294.[1]

Molengraft mengemukakan :
Bahwa pengertian perbuatan melawan hukum seperti yang disebut pada pasal 1365 KUH Perdata, tidak hanya suatu perbuatan yang bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan, melainkan juga meliputi perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan segala sesuatu yang ada diluar undang-undang yang memuat kaedah-kaedah sosial.[2]

B.     Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum

Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1365 KUH Perdata, maka suatu perbuatan melawan hukum haruslah mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

1.      Adanya suatu perbuatan
2.      Perbuatan tersebut melawan hukum
3.      Adanya kesalahan dari pihak pelaku
4.      Adanya kerugian bagi korban
5.      Adanya hubungan kausalitas antara perbuatan dengan kerugian[3]

Berikut penjelasannya bagi masing-masing unsur dari perbuatan melawan hukum tersebut, yaitu sebagai berikut:

1.      Adanya suatu perbuatan
Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh suatu perbuatan dari si pelakunya. Umumnya diterima anggapan bahwa dengan perbuatan disini dimaksudkan, baik berbuat sesuatu (dalam arti aktif) maupun tidak berbuat sesuatu (dalam arti pasif), misalnya tidak berbuat sesuatu, padahal dia mempunyai kewajiban hukum untuk membuatnya, kewajiban mana timbul dari hukum yang berlaku karena ada kewajiban yang timbul dari suatu kontrak)

2.      Perbuatan tersebut melawan hukum.
Perbuatan yang dilakukan seseorang tersebut haruslah bertenatangan dengan hukum, unsur melawan hukum ini diartikan dalam arti yang seluas-luasnya, yakni meliputi hal-hal sebagai berikut;

a.      Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku
b.      Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum
c.       Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan
d.      Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat

3.      Adanya kesalahan dari pihak pelaku.
Adanya unsur kesalahan dari pelaku, kesalahan merupakan perbuatan yang dapat dimintakan tanggung jawabnya jiak memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

a.      Ada unsur kesengajaan.
b.      Ada unsur kelalaian.
c.  Tidak ada alasan pembenar dan pemaaf (rechtvaardigingsgrond), seperti keadaan overmacht, membela diri, tidak waras, dan lain-lain.

4.      Adanya kerugian bagi korban.
Adanya kerugian yang diderita oleh korban, baik kerugian yang sifatnya  materiil, maupun kerugian yang sifatnya immateriil.

5.      Adanya hubungan kausalitas antara perbuatan dan kerugian.
Adanya hubungan sebab akibat, antara perbuatan yang dilakukan dan dengan kerugian yang timbul, misalnya perbuatan yang menghilangkan nyawa orang lain mengakibatkan kerugian kepada ahli waris atau orang yang ditinggalkannya. Adapun kerugian tersebut timbul karena adanya perbuatan, baik yang hubungan sebab akibatnya bersifat  faktual (sine qua non), maupun sebab akibat kira-kira (proximate cause).[4]


C.     Teori Schultznorm

teori schultznorm disebut juga sebagai ajaran relativitas. Pada intinya teori ini mengatakan bahwa seseorang dapat dimintakan tanggung jawabnya karena telah melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana yang diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata, yang mana beban pembuktiannya tidak cukup dengan membuktikan perbuatan tersebut memiliki hubungan kausalitas dengan kerugian yang ditimbulkan, akan tetapi juga melihat apakah norma atau aturan yang dilanggar, memang dibuat untuk melindungi kepentingan korban. Teori ini sangat bergantung pada alasan atau penjelasan dalam pasal yang berkaitan, atau bisa juga berdasarkan memorie van toelichting dari peraturan tersebut.

sebagai contoh: beberapa dokter menggugat PMH seorang dokter gadungan. Memang waktu itu, di belanda ada aturan yang menyatakan dokter yang membuka praktek harus memilki izin atau sertifikasi. Karena dokter gadungan ini tidak memilki izin atau sertifikasi, maka beberapa dokter yang berpraktek di sekitar dia tinggal mengajukan PMH terhadap tindakan dokter gadungan ini, karena dia, penghasilan dari beberapa dokter resmi kemudian drastic berkurang. Dalam putusannya, hoge raad menolak, PMH yang diajukan, karena aturan yang dibuat soal izin praktek dan sertifikasi adalah dibuat untuk melindungi masyarakat menyoal kualitas dari dokter, bukan untuk melindungi kepentingan dokter lainnya.

Di, Indonesia, tidak ada aturan yang mengatakan bahwa apakah ada indikasi terhadap pemberlakuan terhadap pasal ini. Menurut Prof. Prodjodikoro, hakim tidak harus dan/atau bahkan tidak selamanya harus menerapkan teori ini atau tidak. Namun hakim dapat menggunakan teori ini hanya case by case dalam mewadahi unsur keadilan dalam putusannya yang menyangkut dengan perbuatan melawan hukum.[5]


D.    Teori AANPRAKELIJKHEID
Dapat juga disebut sebagai teori tanggung gugat, yaitu teori yang menyatakan tentang beban pertanggung jawaban terhadap suatu perbuatan yang dikategorikan PMH. Tujuan dari teori ini untuk menentukan siapa yang seharusnya menerima gugatan terhadap gugatan PMH. Dalam teori ini, teori tanggung gugat atas PMH yang dilakukan oleh orang lain dapat dibagi kepada 3 kategori sebagai berikut:

1.   Teori tanggung jawab atasan.
2.  Teori tanggung jawab pengganti yang bukan atasan atas orang-orang dalam tanggungan.
3. Teori tanggung jawab pengganti dari barang-barang yang berada di bawah tanggungannya.

Secara yuridis, KUHPerdata memerinci beberapa pihak yang harus menerima tanggung gugat dari PMH yang dilakukan oleh pihak lain, yaitu sebagai berikut:

1.  Orang tua atau wali terhadap anak-anak dibawah tanggungan atau perwaliannya (1367 BW)
2.      Majikan atas pekerjanya (1367 BW)
3.      Guru-guru atas muridnya (1367 BW)
4.      Kepala tukang atas tukangnya (1367 BW)
5.      Pemilik binatang atas binatangnya (1368 BW)
6.      Pemakai binatang atas binatang yang dipakainya (1368 BW)
7.      Pemilik gedung atas ambruknya gedung (1369 BW)

Untuk kategori di luar apa yang sudah disampaikan di atas, konsep tanggung gugat juga berlaku secara umum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1367 ayat (1) BW:

“Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, namun juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barag-barang yang berada di bawah pengawasannya”[6]

E.      Kesalahan dalam PMH

Adapun unsur kesalahan dalam PMH adalah unsur kesengajaan dan unsur kelalaian, oleh sebab itu tidak ada terhadap PMH yang dilakuakan, tidak ada alasan pembenar dan pemaaf:

Kesengajaan dalam PMH
Unsur kesengajaan menurut Munir Fuady adalah sebagai berikut:
1.      Adanya kesadaran (state of mind) untuk melakukan
2.      Adanya konsekuensi dari perbuatan. Jadi bukan hanya perbuatannya saja.
3.      Kesadaran untuk melakukan, bukan hanya untuk menimbulkan konsekuensi, melainkan juga adanya kepercayaan bahwa dengan tindakan tersebut pasti dapat menimbulkan konsekuensi tersebut.[7]

Kelalaian dalam PMH
Unsur kelalaian menurut Munir Fuady adalah sebagai berikut:
a.      Adanya suatu perbuatan atau mengabaikan sesuatu yang semestinya dilakukan
b.      Adanya suatu kewajiban kehati-hatian (duty of care)
c.       Tidak dijalankan kewajiban kehatian-kehatian tersebut
d.      Adanya kerugian bagi orag lain
e.      Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan atau tidak melakukan perbuatan dengan kerugian yang timbul[8]

F.      PMH Joko Sutrisno

PMH terhadap perbuatan joko sutrisno seorang anggota Polri yang berpangkat Lettu Pol. Joko Sutrisno, pada tahun 1993 melakukan kelalaian mengemudikan sebuah Mobil Sedan, Honda Accord hingga menyebabkan kecelakaan, menabrak seorang anak kecil, anak dari Indra Azwan yang bernama Rifki Andhika. Atas itu, Indra Azwan mengalami kerugian materiil dan immateriil, materiil berupa hilangnya nyawa Rifki Andhika, biaya-biaya yang dibutuhkan untuk mewujudan keadilan tersebut, dan immateriil berupa kesedihan yang mendalam, dan pengharapan yang sia-sia dan hampir pupus selama lebih dari 24 tahun memperjuangkan keadilan bagi tersangka penabrak lari anak kandungnya.


Adapun unsur terhadap meninggalnya Rifki Muhammd adalah sebagai berikut:

1.      Adanya perbuatan: adanya perbuatan Joko Sutrisno yang mengemudikan mobil sedan pada tanggal 8 Febuari 1993, yang kemudian menabrak Rifki Andhika, kemudian langsung melarikan diri, akibat perbuatannya, Rifki Andhika mengalami pendaharaan di bagian kepala dan sejumlah badan, dan meninggal dunia di jalan perjalanan menuju rumah sakit Saiful Anwar Malang.
2.      Perbuatan tersebut melawan hukum: adapun perbuatan yang dilakukan Joko Sumantri tersebut melawan hukum, terutama Hak untuk hidup dari Rifki Andhika dan ketentuan dalam pasal 359 KUHP (karena kesalahan dan kealpaan menyebabkan orang meninggal dunia)
3.      Kesalahan dalam perbuatan: adanya kesalahan berupa kelalaian yang dilakukan Joko Sutrisno dengan tidak berhati-hati. Tidak cermat, dan waspada mengemudikan mobilnya hingga menabrak Rifki Andhika yang sedang ingin menyebrang jalan, dan karenananya mengakibatkan Rifki Andhika meninggal dunia
4.      Adanya kerugian: kerugian yang ditimbulkan adalah hilangnya nyawa Rifki Muhammad, dan hilangnya anak, penghibur, harapan masa depan bagi Indra Azwan.
5.      Adanya hubungan kausalitas antara kerugian dan kesalahan yang dilakukan: Kesalahan berupa kelalaian yang dilakukan oleh Joko Sumantri berupa tabrak lari hingga menyebabkan Rifki Muhamad meninggal berakibat langsung terhadap Meninggalnya atau perginya Rifki Muhammad. Akibat dari perginya Rifki Muhammad tersebut, ahli waris merasa  dirugikan, berupa tidak adanya buah hati yang senantiasa menemani dan membahagiakan ahlinya.


Bahwa dengan demikian, perbuatan yang dilakukan oleh Joko Sumantri dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan melawan hukum, dimana perbuatan melawan hukum yang dilakukan Joko Sumantri ini meninggalkan kesedihan yang mendalam bagi ahli waris, ahli waris kehilangan satu di antara penyemangat dan pembahagia hidup. Apalagi ditambah dengan tidak jelasnya alur penyelesaian perkara ini menyebabkan ahli waris merasa kehilangan hak atas akses terhadap keadilan. Berdasarkan pasal 1967 BW, daluarsa gugatan PMH terhadap Joko Sumantri adalah 30 tahun semenjak terjadinya kecelakaan.


G.     PMH Penegak Hukum Militer 

Pertama penting untuk diketahui, bahwa paska dikeluarkannya  undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, setiap tindak pidana yang dilakukan oleh anggota POLRI berada pada lapangan peradilan umum. namun sebelum itu, anggotra polri yang melakukan tindak pidana tunduk pada  peradilan militer, sebagaimana yang diatur dalam UU PNPS 3 tahun 1965. Oleh dikarenakan lakalantas yang menimpa Rifki Andhika terjadi pada tahun 1993 yakni sebelum UU POLRI dikeluarkan dan dwi fungsi ABRI masih berlaku, maka peradilan yang berwenang memeriksa dan memutus Joko Sumanteri adalah peradilan militer, hal ini diatur dalam pasal 1 ayat (2) KUHP mengenai ketentuan umum tindak pidana, walaupun proses penuntutan kasusnya dilakukan  saat undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang kepolisian republik indonesia telah diberlakukan.

Bahwa berkaitan dengan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Joko Sumantri, penyelesaian perkara berupa penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus ini ternyata berlarut-larut dan tidak mencerminkan asas kepastian hukum dan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Karena penyelesaian kasus yang lama dan berlarut-larut maka membuat hak negara untuk menuntut tersangka menjadi hapus/hilang. Adanya dugaan undue delay untuk membuat kasus daluarsa membuat Joko Sumantri bebas dari jeratan pidana. terbebasnya Joko Sumanteri dari jeratan pidana, membuat hak korban unutk mendapatkan keadilan menjadi hilang.

Sebelum kita uraikan unsur-unsur dari PMH yang dilakukan oleh oknum dari penegak hukum di militer, penting untuk kita ketahui bahwa gugurnya hak negara untuk menuntut sebuah perkara pidana karena daluarsa untuk tindak pidana yang diancam lebih dari 5 tahun adalah 12 tahun dari terjadinya tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 78 ayat (1) butir 3 KUHP.

Jadi, jika terjadinya tindak pidana dilakukan pada 8 Febuari 1993, maka hapusnya menuntut negara terjadi di atas tanggal 8 febuari 2005, maka berdasarkan pemeriksaan berkas yang sudah dilakukan, ada 2 peristiwa yang kemungkinan telah terjadinya perbuatan undue delay untuk membuat kasus daluarsa, yakni:

1.      13 September 1993 – hingga 16 agustus 2004 = Undue Delay sekitar 10 tahun, 11 bulan (untuk selanjutnya disebut periode undue delay pertama).
2.      Undue Delay 16 agustus 2004 – 9 Febuari 2005 = Sejak penyidikan ulang pada tanggal 16 agustus 2004, masih terdapat sekitar 6 bulan bagi oditurat militer untuk melakukan penuntutan. (untuk selanjutnya disebut periode undue delay kedua)

Penghitungan diatas cukup penting untuk memetakan kepada siapa saja nantinya gugatan PMH akan dialamatkan agar nantinya gugatan tidak dinyatakan kurang pihak (plurius litis consortium), dan salah orang/alamat (error in persona).

Pada periode undue delay pertama, menurut berkas yang ada, Denpom V/III malang telah melimpahkan berkas perkara ke  Polda jatim selaku Papera, dan Oditurat Militer III-12 selaku penuntut. Setelah pelimpahan berkas tersebut, penyelidikan kasus terhenti sampai tahun 2004.

Pada periode undue delay kedua, menurut berkas yang ada, adanya proses pemeriksaan yang memakan waktu sekitar 2 bulan oleh Denpom Malang, dan pemeriksaan berkas oleh kepala oditurat militer sebanyak 1,5 bulan, dan 2,5 bulan menjelang 8 febuari 2016 (daluarsanya penuntutan) oleh Kapolda Jatim.

Berdasarkan keterangan di atas, adapun unsur-unsur dari PMH yang diduga dilakukan oleh oknum Denpom V/III Malang, Kapolda Jatim, dan Oditurat Militer III-12 adalah sebagai berikut:

1.     Adanya perbuatan: yaitu perbuatan yang menyebabkan terjadinya penundaan berlarut dalam penyelidikan dan penyidikan kasus dimana Joko Sumantri sebagai tersangka;

2. Perbuatan tersebut melawan hukum: adapun perbuatan tersebut melawan hukum, yakni berupa pelanggaran terhadap aturan tekhnis administrasi penyelidikan tindak pidana yang melibatkan militer, dan pelanggaran terhadap asas yang diatur dalam Undang-Undang kekuasaan kehakiman mengenai asas peradilan yang bersih, jujur, dan tidak memihak, serta asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

3. Kesalahan dalam perbuatan: terkait dengan kesalahan yang dilakukan oleh oknum penyidik, maka dapat diduga terjadi salah satu di antara kesalahan, yakni:

(1)   Adanya kemungkinan kesengajaan untuk menunda penyelesaian kasus
(2)   Adanya kemungkinan kelalaian terhadap pemeriksaan dan distribusi berkas kasus

Untuk ini, perlu dilakukan penelitian atau setidaknya investigasi lebih lanjut apakah, kesalahan yang dilakukan, baik dalam periode undue delay pertama, maupun periode undue delay kedua merupakan kesengajaan atau kelalaian.

Dalam hal, jika pada saat investigasi terbukti bahwa terdapat kesengajaan yang dilakukan oleh oknum penegak hukum militer, maka unsur kesalahan dari PMH otomatis terpenuhi.

Dalam hal, jika telah terjadi kelalaian yang dilakukan oleh oknum penegak hukum militer, maka sebagai tolok ukur, harus dicari peraturan yang tepat mengenai mekanisme tekhnis penyelidikan dan penyidikan di pengadilan militer. Hal ini merupakan kewajiban untuk membuktikan sebagai upaya terhadap pemenuhan unsur dalam PMH, terutama unsur Perbuatan tersebut melawan hukum dan kesalahan karena kelalaian dalam PMH:

Terkait dengan hal tersebut, menurut Munir Fuady, yang dimaksud perbuatan tersebut melawan hukum adalah sebagai berikut:

a.      Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku
b.      Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum
c.       Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan
d.      Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat[9]

Selain itu, masih menurut munir fuady, unsur dari kesalahan karena kelalaian adalah sebagai berikut:

a.      Adanya suatu perbuatan atau mengabaikan sesuatu yang semestinya dilakukan
b.      Adanya suatu kewajiban kehati-hatian (duty of care)
c.       Tidak dijalankan kewajiban kehatian-kehatian tersebut[10]

Perbuatan melawan hukum dari oknum penegak hukum militer dapat dibuktikan PMHnya terutama dalam unsur Perbuatan yang dilakukannya melawan hukum dan adanya unsur kesalahan karena kelalaian jika hanya terdapat aturan hukum tekhnis mengenai mekanisme dan waktu estimasi yang ditetapkan dalam undang-undang atau peraturan pemerintah lainnya.

Adapun berhubung kejadian kecelakaan lalu lintas terjadi pada tahun 1993, dan mengingat undang-undang peradilan militer baru berlaku dari tanggal 10 februari 1997, maka terkait dengan dasar hukum yang berlaku dalam penyelidikan dan penyidikan dalam hukum acara pidana militer terkhusus untuk kasus yang menimpa Rifkhi Andhika, maka peraturan terkait dengan itu adalah sebagai berikut:

a)      8 Febuari 1993 – 10 febuari 1997 berlaku hukum acara pidana militer, yaitu Undang-Undang dan segala peraturan terkait yang keluar sebelum undang-undang 31 tahun 1997.
b)     10 Febuari 1997 – 8 febuari 2005 yaitu waktu dimana habis masa kadaluarsa. Yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Pengadilan Militer.

a.d.a) Dalam lintas sejarah, terkait dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang peradilan militer, telah terbit beberapa aturan mengenai hukum acara,  di tubuh pengadilan militer. Pengaturan mengani hal ini dimulai dari terbitnya undang-undang darurat nomor 17 tahun 1950 tentang Hukum Acara Pidana Tentang Pengadilan Tentara. Mengingat undang-undang ini berlaku pada periode Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat, maka undang-undang ini berlaku dengan ditetapkannya undang-undang nomor 6 tahun 1950 tentang pengesahan UU darurat nomor 17 tahun 1950 sebagai undang-undang federal. Isinya tidak banyak hanya menjelaskan struktur penegak hukum, dan pemberlakuan HIR sebagai hukum acara.

Setelah itu, pada tahun 1965, keluarlah UU Nomor 3 PNPS tahun 1965 tentang Memperlakukan Hukum Pidana Tentara, Hukum Acara Pidana Tentara Dan Hukum Disiplin Tentara Bagi Anggota-Anggota Angkatan Kepolisian. Peraturan ini merupakan wujud prinsip koneksitas yang memaksa anggota polisi yang melakukan tindak pidana, diproses berdasarkan undang-undang ini. Selain itu, aturan ini juga memiliki aturan turunan terutama Kepres Nomor 53 tahun 1972 tentang Pengendalian Dan Pengawasan Atas Penggunaan Wewenang Penjerahan Perkara, Pemeriksaan Pendahuluan Dan Penuntutan Dilingkungan Angkatan Bersendjata Republik Indonesia.

Namun tidak satupun dari undang-undang tersebut, ataupun dari aturan pelaksana undang-undang tersebut menyebutkan mengenai jangka waktu pemeriksaan mengenai suatu tindak pidana,  yang diatur dalam peraturan terkait adalah perluasan yuridiksi peradilan militer atau peradilan ketentaraan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh militer, serta susunan pengadilan dan kejaksaan, dan pemberlakuan HIR sebagai hukum acara pidana militer.

Setelah ketentuan dalam undang-undang tesebut berjalan, pada tahun 1981 keluarlah undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP, undang-undang ini menjadi aturan yang sifatnya generalis terhadap segala hukum acara yang ada yakni HIR. Hal ini diatur secara jelas dalam Penjelasan umum undang-undang nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang pada intinya mengatakan sebagai berikut:

Undang-undang Nomor 6 Tahun 1950 tentang Menetapkan Undang-undang Darurat tentang Hukum Acara Pidana Pada Pengadilan Tentara sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Drt Tahun 1958 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1950 tentang Hukum Acara Pidana Pada Pengadilan Ketentaraan yang menyatakan bahwa hukum acara pidana pada peradilan ketentaraan berlaku sebagai pedoman het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) dengan perubahan dalam Undang-undang tersebut; sedangkan yang mengatur pemeriksaan pada Mahkamah Tentara Agung dan Pengadilan Tentara Tinggi dalam tingkat kedua berpedoman pada titel 15 Strafvordering. Dengan dicabutnya HIR oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dalam praktek peradilan, Mahkamah Militer menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai pedoman.

Oleh sebab itu, pasca dikeluarkannya undang-undang nomor 8 tahun 1981, maka pengaturan hukum acara pidana untuk seluruh tindak pidana yang terjadi setelah tanggal 31 desember 1981 diatur dalam KUHAP. Dan dalam penjelasan umum KUHAP tersebut juga mengatakan bahwa pemberlakuan undang-undang ini menghapuskan atau membuat tidak berlakunya HIR. Oleh sebab itu, untuk pengaturan hukum acara yang memang dari berlakunya UU Nomor 17 tahun 1950 sampai dengan UU nomor 3 PNPS 1965 menggunakan HIR kehilangan dasar hukum acara.

Selain itu, tidak ditemukan adanya mekanisme pengawasan dalam peradilan militer yang diwujudkan dalam pengaturan jangka waktu dalam tiap tahapan pemeriksaan sampai dengan diberlakukannya undang-undang nomor 31 tahun 1997 tentang peradilan militer. Paling tidak ukuran pengawasan dan jangka waktu pemeriksaan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anggota polisi ataupun militer diatur dalam konsep umum peradilan yang diatur dalam UU Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman:

1.      “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.” (pasal 4 ayat (2) UU Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok keuasaan kehakiman))

Dalam penjelasannya dikatakan bahwa  “Peradilan harus memenuhi harapan dari para pencari keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang cepat, tepat, adil dan biaya ringan. Tidak diperlukan pemeriksaan dan acara yang berbelit-belit yang dapat menyebabkan proses sampai bertahun-tahun, bahkan kadang-kadang harus dilanjutkan oleh para ahli-waris pencari keadilan. Biaya ringan artinya biaya yang serendah mungkin sehingga dapat terpikul oleh rakyat. Ini semua dengan tanpa mengorbankan ketelitian untuk mencari kebenaran dan keadilan.”

2.      Selain itu, penundaan berlarut pada periode undue delay pertama mengindikasikan bahwa proses pradilan militer terhadap perbuatan yang dilakukan oleh Joko Sumanteri diduga dicampuri oleh pihak-pihak di luar pengadilan, yang tidak ingin proses pencapaian keadilan yang dihenedaki oleh korban tercapai. Hal ini bertentangan dengan pasal 4 ayat (3) UU pokok-pokok kekuasaan kehakiman;

Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh fihak-fihak lain diluar Kekuasaan Kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam Undang-undang Dasar.”

a.d.b) bahwa setelah dikeluarkannya undang-undang 31 tahun 1997 tentang peradilan militer, maka proses dan mekanisme serta jangka waktu dalam pemeriksaan perkara di pengadilan militer di atur dalam undang-undang tersebut. Walaupun berkaitan dengan jangka waktu di dalam tiap tahapan pemeriksaan di pengadilan militer tidak sepenuhnya mengatur secara rinci, namun dapat diklasifikasikan tahapan dan waktu di pengadilan militer adalah sebagai berikut:

No
Tahapan
Jangka Waktu
1.
Memproses laporan atau pengaduan (pasal 99 ayat 1)
Tidak diatur
2.
Penyerahan berkas perkara dari Polisi Militer ke ANKUM, Perwira Penyerah Perkara, dan aslinya ke oditurat militer (pasal 101 ayat 1)
Tidak diatur
3.
Pemanggilan saksi atau tersangka untuk penyidikan (pasal 103 ayat 1)
Tenggat waktu yang wajar x 2
4.
Penangkapan oleh penyidik (pasal 76 ayat 3)
1 hari
5.
Penahanan oleh ANKUM (pasal 78 ayat 1)
20 hari
6.
Penahanan oleh Perwira Penyerah Perkara (pasal 78 ayat 2)
30 hari dan dapat diperpanjang, Max.180 hari
7.
Penyerahan Perkara kepada oditur selaku penuntut umum oleh penyidik lewat Perwira Penyerah Perkara (pasal 124 ayat 1)
Tidak diatur
8.
Permintaan oleh Oditur kepada Penyidik untuk melengkapi berkas perkara dalam hal berkas perkara kurang lengkap (pasal 124 ayat 2)
Tidak diatur
9.
Oditur melakukan penyidikan tambahan atau mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk penyidikan, dalam hasil penyidikan tidak cukup. (pasal 124 ayat 3)
Tidak diatur
10.
Jawab menjawab antara Oditur dan Perwira Penyerah Perkara mengenai hukuman acara pengadilan militer (pasal 127-129)
Tidak diatur
11.
Penyerahan Berkas Perkara dari Oditur ke Pengadilan Militer/ atau Pengadilan Militer Tinggi (pasal 130 ayat 1)
Tidak diatur
12.
Perbaikan surat dakwaan oleh oditur (pasal 131 ayat 1)
7 hari
13.
Penetepan Ketua Pengadilan militer/ pengadilan militer tinggi mengenai penolakan penyelesaian perkara berdasarkan kewenangan (pasal 133 ayat 1)
7 hari
14.
Keberatan oditur terhadap penetapan ketua pengadilan militer, atau pengadilan militer tinggi (pasal 134 ayat 1)
7 hari
15.
Pengadilan militer/ pengadilan militer tinggi meneruskan keberatan oditur kepada Pengadilan Militer Utama (pasal 134 ayat 4)
7 hari
16.
Penetapan berupa penolakan atau pengabulan oleh Pengadilan militer tinggi/ pengadilan militer utama terhadap keberatan yang dilakukan oleh oditur (pasal 135 ayat 1)
14 hari
17.
Penahanan oleh Pengadilan militer/ Pengadilan militer tinggi untuk menunggu pemeriksaan dan proses penuntutan di pengadilan (pasal 137 ayat 1 b)
30 hari
18.
Perpanjangan penahanan oleh Pengadilan militer/ Pengadilan militer tinggi untuk menunggu pemeriksaan dan proses penuntutan di pengadilan (pasal 137 ayat 2)
60 hari
19.
Perpanjangan penahanan oleh Pengadilan militer/ pengadilan militer tinggi apabila terdapat pemeriksaan lanjutan terhadap tindak pidana yang diancam lebih dari 9 tahun atau lebih (pasal 138 ayat 2)
30 hari + 30 hari
20.
Pemanggilan menghadap pengadilan (pasal 139 ayat 2)
3 hari sebelum hari sidang.
Pemeriksaan di Pengadilan

Bahwa jumlah waktu yang dibutuhkan dalam pemeriksaan dari penyelidikan hingga penuntutan dan putusan tidak dapat ditaksir, karena banyak tahapan baik dalam penyelidikan, penyerahan perkara, penuntutuan dan pelaksanaan putusan dalam pengadilan militer tidak memiliki jangka waktu.

Dalam konteks pemeriksaan yang berlarut terhadap kasus joko sumanteri, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1.      Dalam Peridoe undue delay yang pertama tidak ada aturan baku yang mengatur mengenai jangka waktu dalam tiap tahapan pemeriksaan baik di tingkat penyidik polisi militer dan oditurat militer, maupun di pengadilan militer itu sendiri. Jangka waktu penyidikan tidak dapat merujuk kepada KUHAP, selain karena tahapannya berbeda, dan terdapat perbedaan definisi antara penyidik di KUHAP dan penyidik dalam UU pengadilan milliter. Namun penentuan apakah telah terjadi undue delay pada periode pertama, hal ini dapat berdasarkan pada asas pengadilan sederhana, cepat, dan biaya ringan, dan asas-asas umum pemerintahan yang baik, serta ukuran batas kewajaran berdasarkan kasus yang sedang diperiksa, sehingga tidak merugikan kepentingan umum/publik.

Selain itu untuk menentukan siapakah yang bersalah dan terbukti melakukan undue delay dapat ditracking ketika adanya pernyataan Denpom III/V malang yang menyatakan telah melimpahkan berkas perkara ke oditurat dan polisi daerah jawa timur. Apabila hasil dari pelimpahan perkara tersebut, Denpom III/V malang dapat menunjukkan tanda terima pelimpahan berkas perkara, maka tanggung jawab berada pada oditurat militer dan Polda Jawa Timur, namun apabila tidak, maka tanggung jawab berada pada Denpom III/V malang.

Adapun dikarenakan tidak ada aturan tekhnis mengenai jangka waktu dan mekanisme pelimpahan berkas yang jelas diantara penegak hukum militer, sebagai perwujudan terhadap asas kepastian hukum dan dan good governance, maka untuk dasar hukum terkait dengan dugaan undue delay pada periode pertama adalah sebagai berikut:

a.      pasal 4 ayat (2) yang menyatakan “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan”

b.       pasal 4 ayat (3) yang menyatakan Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh fihak-fihak lain diluar Kekuasaan Kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam Undang-undang Dasar.”


2.      Dalam periode undue delay yang kedua, yang mana baru dimulai pada bulan agustus 2004 dan berakhir pada febuari 2005, maka dari kronologis yang didapat dari indra azwan dimana terdapat proses pemeriksaan yang agak lama, dan kesalahan penuntutan yang mulanya dialamatkan kepada pengadilan militer, namun karena Joko sumanteri sudah naik pangkat sehingga, yang berwenang adalah pengadilan militer tinggi, maka berkas perkara dikembalikan kepada oditurat militer dan selanjutnya diproses ke pengadilan militer tinggi.

Dalam hal ini, berdasarkan tabel jangka waktu dan pemeriksaan dalam hukum pengadilan militer, yang mana, waktu selama 6 bulan menjelang daluarsanya penuntutan oleh pengadilan militer, adalah berada dalam tahap penyelidikan dan pra penuntutan oleh oditurat militer. Bahwa pada tahap pemeriksaan tersebut, dikarenakan jangka waktu tidak diatur maka unsur kesalahan berupa kelalaian dari aparat penegak hukum militer tida k  dapat diukur.

Bahwa kerugian yang yang diderita Indra Azwan berupa tidak tercapainya keadilan dalam bentuk dipenjarakannya Joko Sumanteri, dan terselenggaranya peradilan militer yang bersih, jujur,  cepat, dan transparan tidak hanya sekedar kesalahan dari penegak hukum militer, namun juga terjadi karena kesalahan pembuat undang-undang yang tidak mencantumkan jangka waktu sehingga tidak ada kepastian hukum.


4.      Adanya kerugian yang ditimbulkan: untuk kerugian yang ditimbulkan dikaranakan adanya dugaan undue delay  yang dilakukan, ada dua entitas yang dirugikan, yaitu:

(1)   Pihak korban dan ahli waris: adapun kerugian yang diderita oleh korban adalah hilangnya hak korban untuk menuntut keadilan berupa dipenjarakannya Joko Sumantri.
(2)   Negara selaku oditurat atau penuntut umum: hilangnya hak oditurat untuk menuntut. Hilangnya hak negara untuk menghukum pelaku.

Persoalan kerugian yang dialami oleh pihak korban, harus dirinci, keadilan seperti apakah yang ahli waris inginkan, mengingat Joko Sumantri sudah dikenakan sanksi etik. Dalam surat yang POLDA Jawa timur keluarkan bahwa, walaupun Joko Sumantri sudah dihukum secara etik, Ahli Waris korban, Indra Azwan tetap bersih keukuh tidak bisa memaafkan Joko.

Dalam hal, Indra Azwan menginginkan agar Joko dipenjara maka jika  memang telah terjadi kesalahan yang mengakibatkan undue delay, maka sebenarnya hak untuk menuntut, hak akses terhadap keadilan pun ada pada oditurat selaku penuntut umum negara.

Dalam konteks hukum pidana sebagaimana yang tersirat dalam KUHAP, terdapat pemahaman bahwa hukum pidana berada pada lapangan hukum publik, dan beban pembuktian, hak dan kewajiban menuntut pun ada pada negara bukan pada korban, Dengan logika yang semacam ini, maka akses untuk menuntut keadilan terhadap lamanya proses penyelidikan dan penyidikan ada pada negara dan dilakukan oleh oditurat militer.

Adapun untuk hak yang dimiliki korban hanya diatur dalam 1 pasal, yakni pasal 98 KUHP yang mengatur hak untuk mendapat ganti rugi yang digabungkan dengan tuntutan perkara. Persoalan apakah adanya hak korban untuk melakukan upaya hukum litigasi pidana, dalam rangka untuk menghukum pelaku berdasarkan keinginanya sendiri tidak ada diatur dalam KUHP.

Namun mengenai hak korban untuk menuntut keadilan sebenarnya diatur dalam prinsip dan beberapa aturan hukum internasional seperti;

(1)   Ketidak-seimbangan antara perlindungan korban kejahatan dengan pelaku kejahatan pada dasarnya merupakan salah satu pengingkaran dari asas setiap warga negara yang bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945, sebagai landasan konstitusional (menurut Ari Brotodihardjo)

(2)   Dalam Kongres PBB VII/1985 di Milan (tentang “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders”) dikemukakan, bahwa hak-hak korban seyogianya terlihat sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana.

(3)   Pengertian “korban” berdasarkan ketentuan angka 1 “Declaration of basic principles of justice for victims of crime and abuse of power” pada tanggal 6 September 1985 dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Deklarasi Nomor A/Res/40/34 Tahun 1985 ditegaskan, bahwa:


"Korban" berarti orang yang secara individu atau kolektif, telah menderita kerugian, termasuk cedera fisik atau mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau substansial hak dasar mereka, melalui tindakan atau kelalaian yang melanggar hukum pidana operasi dalam negara-negara anggota, termasuk hukum-hukum yang melarang adanya kewenangan yang melampui batas.


Selain itu, bila berbicara soal kerugian, apakah aturan mengenai jangka waktu pemeriksaan dalam hukum acara militer dibuat untuk memberikan kepastian hukum kepada oditurat, atau korban. jika memang dalam Memorie Van Tulechting atau dalam penjelasan atau dalam naskah akademik undang-undang tersebut, aturan mengenai jangka waktu dibuat dalam rangka untuk menjamin kepastian hukum dan sebagai perwujudan agar tercapainya peradilan yang profesional, cepat, sederhana, dan biaya ringan, serta melindungi kepentingan dari korban dan penuntut umum (oditur) maka perbuatan tersebut dapat lah dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum karena telah memenuhi unsur “Adanya Kerugian” berdasarkan analisis dengan batu uji teori schuldnorm (atau norma perlindungan)

5.      Adanya hubungan kausalitas antara kerugian dan kesalahan yang dilakukan:: adanya kerugian yang ditimbulkan berupa hilangnya hak korban atau ahli waris untuk menuntut keadilan berupa dipenjarakannya Joko Sumantri, dan hilangnya Hak Negara dalam hal ini oditurat militer untuk menuntut, jelas merupakan bentuk kerugian yang timbul akibat kelalaian yang dilakukan oleh oknum Denpom V/III malang, Oditurat Militer III-12, atau Polda Jawa Timur.

H.    Daftar Pustaka

Fuady, Munir. Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer. Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2013.







[1] http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-perbuatan-melawan-hukum.html
[2] Ibid.
[3] Munir Fuady. Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer. Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2013, hal.10
[4] Ibid., hal. 10-14
[5]  Ibid., hal.14-16
[6]  Ibid., hal. 16-19
[7] Ibid., hal. 47
[8] Ibid., hal. 73
[9] Ibid., hal.11.
[10] Ibid., hal. 73

Tidak ada komentar:

Posting Komentar