Indra Azwan didampingi oleh LBH Jakarta kembali
mendatangi kompleks kantor Kementerian Sekretariat Negara untuk kesekian
kalinya. Kali ini Indra Azwan bertemu dengan Perwakilan Deputi V Kantor Staff Kepresidenan, Bapak Tio dan
Bapak Nanda (6/2/2017). Pertemuannya
dengan KSP kali ini adalah dalam rangka untuk mengadukan tindakan undue delay yang dilakukan oleh oknum
penyidik atau petugas pengadilan militer tekait dengan kasus Joko Sumanteri,
seorang anggota Polri tersangka kasus tabrak lari yang menewaskan anak Indra
Azwan, Rifhki Andhika di awal tahun 1993.
Dalam audiensi tersebut, Indra melayangkan 3 (tiga)
permintaannya ke Staff Kepresidenan. Yang pertama ia meminta kepada presiden
untuk segera menyelesaikan kasus ini, Presiden harus mengawal setiap upaya yang
dilakukan untuk mengungkap segala fakta-fakta yang terjadi di lapangan, memberikan
tindakan tegas terhadap fakta tersebut untuk mewujudkan keadilan bagi Indra
Azwan. Yang kedua dia ingin melaporkan kepada Presiden Joko Widodo untuk
meminta pertanggungjawaban Badrodin Haiti yang waktu itu masih menjabat sebagai
Kapolda Jawa Timur, terkait dengan laporannya ke presiden yang menurut Indra
Azwan penuh dengan kebohongan, rekayasa, dan permainan. Yang ketiga Indra Azwan
ingin menyampaikan amanah dari Eks. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) kepada Presiden
Joko Widodo terkait dengan situasi dan kondisi di pedalaman Aceh saat ini,
terutama di wilayah-wilayah yang menjadi basis dari GAM itu sendiri. Indra
Azwan mendapatkan amanah tersebut ketika ia memulai aksi jalan kaki
mengelilingi Indonesia.
Kasus yang menimpa Indra Azwan bermula saat terjadinya
kecelakaan tabrak lari yang dilakukan oleh Joko Sumanteri kepada Rifhki Andika
pada awal tahun 1993 hingga menyebabkan si korban meninggal dunia. Indra Azwan
sebagai orang tua dari Rifhki Andhika kemudian mengadukan kejadian tersebut ke
Denpom III/V Malang. Oleh Denpom III/V Malang, sempat dilakukan penyelidikan
kepada tersangka Joko Sumanteri, namun secara tiba-tiba pemeriksaan terhadap
kasus ini berhenti di tengah jalan hingga tahun 2004. Pemeriksaan ulang baru
dilakukan kembali di bulan agustus tahun 2004 dan baru pertama kali disidangkan
pada tahun 2006. Hal ini menjadi semakin aneh ketika sidang kedua terhadap Joko
Sumanteri baru kembali diadakan pada tahun 2008.
Dalam putusannya, majelis hakim menganggap bahwa hak
menuntut oleh negara daluarsa. Upaya hukum kemudian dilakukan hingga tingkat
Mahkamah Agung, namun amar putusan tetap tidak berubah, seluruh putusan
pengadilan mengatakan bahwa hak menuntut negara telah hapus.
Kasus ini dinilai Pengacara Publik LBH Jakarta, Arif
Maulana sangat menarik, karena dalam penyelidikannya, ikut melibatkan pemangku
kekuasaan, seperti Badrodin Haiti, dan Gatot Nurmantyo. Dalam level
pemeriksaannya, Wakil menteri Hukum dan Ham waktu itu, Deny Indrayana sampai
membentuk Satuan Tugas Anti Mafia Hukum (SATGAS Anti Mafia Hukum) untuk
menelusuri fakta terkait dengan penundaan berlarut ini, namun hasilnya tidak
memuaskan dan belum bisa memberikan keadilan bagi pihak Indra Azwan. Indra
Azwan ingat betul ketika bedah kasus di Universitas Brawijaya, Malang,
Triatmojo dari TIM SATGAS Anti Mafia Hukum mengatakan bahwa Joko Sumanteri
telah dijadikan ATM Berjalan oleh oknum penyidik, hal itu dilakukan untuk
menunda, mengulur-ulur waktu agar berkas perkara Joko Sumanteri tidak segera
naik ke pengadilan.
Dalam perjalanan kasusnya, Indra Azwan bersama
Badrodin Haiti yang waktu itu masih berstatus Kapolda Jawa Timur, Gatot
Nurmantyo yang waktu itu masih menjabat sebagai Panglima Kodam, dan Joko
Sumanteri tersangka tabrak lari anaknya pernah dikonfrontir. Mereka akhirnya membuat
sebuah kesepakatan tertulis yang isinya pihak penyidik meminta waktu 6 bulan
untuk menyelidiki penyebab terjadinya kadaluarsa. Namun sampai sekarang, Indra
Azwan tidak pernah diberi kabar berkaitan dengan hasil penyelidikan tersebut.
Indra Azwan mengatakan bahwa selama pemeriksaan
kasus yang dimulai pada tahun 1993
hingga tahun 2017 tidak pernah sekalipun Joko Sumanteri datang untuk meminta
maaf, atau sekedar silahturahmi. Joko Sumanteri hanya pernah datang dengan
didampingi 2 (dua) pengawal sembari membawa perjanjian tertulis dan meminta
Indra Azwan untuk menandatanganinya. Seperti yang dikatakan di atas, Indra juga
hendak mengadukan kepada Presiden terkait dengan kebohongan yang dilakukan oleh
Badrodin Haiti, dia mengaku telah menyiapkan segala bukti tertulisnya. “Selama ini laporan Badrodin Haiti kepada
Presiden itu bohong semua, jikalau presiden saja berani ia bohongi, apalagi
rakyat” ujar Indra Azwan di KSP.”
Salah satu
kebohongan lain yang merugikan indra azwan menurutnya adalah ketika Panggilan
untuk menghadap ke Pengadilan militer tidak pernah digubris oleh Joko
Sumanteri, relass sidang tersebut
pernah berbalaskan langsung dari Kapolres Blitar yang mengatakan bahwa Joko
Sumanteri sudah tidak berdinas di Polres Blitar lagi, padahal faktanya
berdasarkan daftar riwayat hidup, Joko Sumanteri, pada tahun tersebut, Joko
Sumanteri masih dinas di Polres Blitar.
Selain itu, Indra Azwan juga telah mengadukan kasusnya
baik ke Ombudsman, maupun Komnasham, namun sama seperti lembaga negara lainnya,
hal itu tidak memberikan kepuasan batin serta keadilan kepada Indra Azwan. Dia
mengaku sudah capek dengan segala kebohongan dan rekayasa yang dilakukan oleh
pejabat negara, ia menanyakan secara terus menerus mengapa hukum selalu berlaku
tegas untuk orang miskin, namun menjadi sulit sekali diterapkan kepada orang
yang berada di atas. “mengapa sangat
sulit bagi orang miskin untuk mendapatkan keadilan di negeri ini“ Tanya
Indra.
Arif Maulana, Pengacara Publik LBH Jakarta menjelaskan
bahwa, penyebab terjadinya daluarsa terhadap kasus Joko Sumanteri adalah undue delay atau yang dalam bahasa
sehari-sehari sering dinamai Penundaan Berlarut. Undue Delay merupakan pelanggaran terhadap asas peradilan yang
bersih, jujur, dan adil, tujuannya adalah agar kasus mengambang, menggantung,
atau tidak naik ke Pengadilan. Arif menjelaskan kasus Indra Azwan bukan
merupakan kasus satu-satunya, LBH Jakarta sendiri pada tahun 2016 setidaknya
menangani sekitar 11 kasus dugaan Undue
Delay dalam pemeriksaan di Pra Penuntutan.
Terkait dengan pemeriksaan di pra penuntutan, Arif
menjelaskan bahwa pada penelitian yang dilakukan oleh LBH Jakarta dan MaPPI FH
UI yang berjudul “Pra Penuntutan
Sekarang, Ratusan Ribu Perkara Disimpan, Puluhan Ribu Perkara Hilang:
Penelitian Pelaksanaan Mekanisme Pra Penuntutan di Indonesia Sepanjang Tahun
2012-2016” menjelaskan bahwa sekitar 255.618 berkas perkara tanpa SPDP, dan
44.273 berkas perkara hilang di pra penuntutan. Kelemahan manajemen di Pra
Penuntutan salah satu soal jangka waktulah yang sebenarnya menjadi penyebab struktural dari ribuan kasus
penundaan berlarut ini, termasuk kasus yang menimpa Indra Azwan. Selain itu,
Arif mengatakan bahwa angka itu baru terjadi di wilayah sipil, tidak tahu
bagaimana dengan Peradilan militer “Hal
tersebut baru terjadi di wilayah sipil, tidak tahu kalau di peradilan militer
bagaimana” ujar Arif.
Selain itu, di sisi yang bersamaan, Hal tersebut dikonfirmasi
Bapak Tio dari Deputi V Kantor Staff Kepresidenan, menurutnya kasus ini adalah
kasus serius.
“memang
benar sangat banyak kasus penundaan berlarut semacam ini, namun sedikit sekali
orang yang berani melawan memperjuangkan keadilan secara konsisten sebagaimana
yang dilakukan oleh Indra Azwan, semangat dan perjuangan mereka yang mengalamai
ketidakadilan, hari ini diwakilkan oleh Indra Azwan” ujar Tio.
Dia mengatakan jika memungkinkan, kasus Indra Azwan
akan menjadi pintu masuk perubahan kebijakan.
“Kasus
Indra Azwan, jika memungkinkan nanti akan menjadi pintu masuk bagi kasus-kasus
lain yang serupa, semoga ini bisa merubah kebijakan, apalagi program Perbaikan
Proses dalam Penyidikan merupakan salah satu agenda dalam Paket Kebijakan Hukum
Pemerintahan di tahun 2017”
Selain itu, Pengacara Publik LBH Jakarta, Ayu Eza
tiara juga mengeluhkan terkait dengan manajemen distribusi surat di Setneg, ia
mengatakan bahwa surat permohonan audiensi kepada Presiden Joko Widodo yang
pernah dikirimkannya malah dialihkan ke Markas Besar Kepolisian Republik
Indonesia dengan alasan petugasnya bahwa “Presiden
Pasti Sibuk”.
Ayu menjelaskan bahwa kasus semacam ini tidak hanya
terjadi sekali atau dua kali, dulu pada jaman pemerintahan Presiden SBY, Indra
Azwan pernah mengirimkan surat pengaduan sekitar 7 kali, namun saat ia bertemu
dengan Presiden, SBY mengaku bahwa surat tersebut tidak pernah sampai ke
dirinya. Ayu melanjutkan bahwa kondisi presiden sedang sibuk adalah urusan yang
berbeda. “berkaitan dengan Presiden sedang sibuk adalah urusan yang berbeda,
namun memang surat ini tidak pernah disampaikan” ucap Ayu.
Arif menutup audiensi siang itu dengan meminta kepda
KSP untuk serius menindaklanjuti pengaduan Indra Azwan, KSP dapat menelesuri
kembali kasus ini dengan mentracking
putusan etik Joko Sumanteri dan petugas lainnya, serta melakukan pengecekan
terhadap distribusi pelimpahan perkara antar penyidik, polisi militer dan
oditur militer.
Sony Gusti Anasta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar