Minggu, 29 Januari 2017

KSP: Kasus Indra Azwan Bisa Jadi Pintu Masuk Perbaikan Kebijakan.


Indra Azwan didampingi oleh LBH Jakarta kembali mendatangi kompleks kantor Kementerian Sekretariat Negara untuk kesekian kalinya. Kali ini Indra Azwan bertemu dengan Perwakilan Deputi V  Kantor Staff Kepresidenan, Bapak Tio dan Bapak  Nanda (6/2/2017). Pertemuannya dengan KSP kali ini adalah dalam rangka untuk mengadukan tindakan undue delay yang dilakukan oleh oknum penyidik atau petugas pengadilan militer tekait dengan kasus Joko Sumanteri, seorang anggota Polri tersangka kasus tabrak lari yang menewaskan anak Indra Azwan, Rifhki Andhika di awal tahun 1993.

Dalam audiensi tersebut, Indra melayangkan 3 (tiga) permintaannya ke Staff Kepresidenan. Yang pertama ia meminta kepada presiden untuk segera menyelesaikan kasus ini, Presiden harus mengawal setiap upaya yang dilakukan untuk mengungkap segala fakta-fakta yang terjadi di lapangan, memberikan tindakan tegas terhadap fakta tersebut untuk mewujudkan keadilan bagi Indra Azwan. Yang kedua dia ingin melaporkan kepada Presiden Joko Widodo untuk meminta pertanggungjawaban Badrodin Haiti yang waktu itu masih menjabat sebagai Kapolda Jawa Timur, terkait dengan laporannya ke presiden yang menurut Indra Azwan penuh dengan kebohongan, rekayasa, dan permainan. Yang ketiga Indra Azwan ingin menyampaikan amanah dari Eks. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) kepada Presiden Joko Widodo terkait dengan situasi dan kondisi di pedalaman Aceh saat ini, terutama di wilayah-wilayah yang menjadi basis dari GAM itu sendiri. Indra Azwan mendapatkan amanah tersebut ketika ia memulai aksi jalan kaki mengelilingi Indonesia.

Kasus yang menimpa Indra Azwan bermula saat terjadinya kecelakaan tabrak lari yang dilakukan oleh Joko Sumanteri kepada Rifhki Andika pada awal tahun 1993 hingga menyebabkan si korban meninggal dunia. Indra Azwan sebagai orang tua dari Rifhki Andhika kemudian mengadukan kejadian tersebut ke Denpom III/V Malang. Oleh Denpom III/V Malang, sempat dilakukan penyelidikan kepada tersangka Joko Sumanteri, namun secara tiba-tiba pemeriksaan terhadap kasus ini berhenti di tengah jalan hingga tahun 2004. Pemeriksaan ulang baru dilakukan kembali di bulan agustus tahun 2004 dan baru pertama kali disidangkan pada tahun 2006. Hal ini menjadi semakin aneh ketika sidang kedua terhadap Joko Sumanteri baru kembali diadakan pada tahun 2008.

Dalam putusannya, majelis hakim menganggap bahwa hak menuntut oleh negara daluarsa. Upaya hukum kemudian dilakukan hingga tingkat Mahkamah Agung, namun amar putusan tetap tidak berubah, seluruh putusan pengadilan mengatakan bahwa hak menuntut negara telah hapus.

Kasus ini dinilai Pengacara Publik LBH Jakarta, Arif Maulana sangat menarik, karena dalam penyelidikannya, ikut melibatkan pemangku kekuasaan, seperti Badrodin Haiti, dan Gatot Nurmantyo. Dalam level pemeriksaannya, Wakil menteri Hukum dan Ham waktu itu, Deny Indrayana sampai membentuk Satuan Tugas Anti Mafia Hukum (SATGAS Anti Mafia Hukum) untuk menelusuri fakta terkait dengan penundaan berlarut ini, namun hasilnya tidak memuaskan dan belum bisa memberikan keadilan bagi pihak Indra Azwan. Indra Azwan ingat betul ketika bedah kasus di Universitas Brawijaya, Malang, Triatmojo dari TIM SATGAS Anti Mafia Hukum mengatakan bahwa Joko Sumanteri telah dijadikan ATM Berjalan oleh oknum penyidik, hal itu dilakukan untuk menunda, mengulur-ulur waktu agar berkas perkara Joko Sumanteri tidak segera naik ke pengadilan.

Dalam perjalanan kasusnya, Indra Azwan bersama Badrodin Haiti yang waktu itu masih berstatus Kapolda Jawa Timur, Gatot Nurmantyo yang waktu itu masih menjabat sebagai Panglima Kodam, dan Joko Sumanteri tersangka tabrak lari anaknya pernah dikonfrontir. Mereka akhirnya membuat sebuah kesepakatan tertulis yang isinya pihak penyidik meminta waktu 6 bulan untuk menyelidiki penyebab terjadinya kadaluarsa. Namun sampai sekarang, Indra Azwan tidak pernah diberi kabar berkaitan dengan hasil penyelidikan tersebut.

Indra Azwan mengatakan bahwa selama pemeriksaan kasus  yang dimulai pada tahun 1993 hingga tahun 2017 tidak pernah sekalipun Joko Sumanteri datang untuk meminta maaf, atau sekedar silahturahmi. Joko Sumanteri hanya pernah datang dengan didampingi 2 (dua) pengawal sembari membawa perjanjian tertulis dan meminta Indra Azwan untuk menandatanganinya. Seperti yang dikatakan di atas, Indra juga hendak mengadukan kepada Presiden terkait dengan kebohongan yang dilakukan oleh Badrodin Haiti, dia mengaku telah menyiapkan segala bukti tertulisnya. “Selama ini laporan Badrodin Haiti kepada Presiden itu bohong semua, jikalau presiden saja berani ia bohongi, apalagi rakyat” ujar Indra Azwan di KSP.”

 Salah satu kebohongan lain yang merugikan indra azwan menurutnya adalah ketika Panggilan untuk menghadap ke Pengadilan militer tidak pernah digubris oleh Joko Sumanteri, relass sidang tersebut pernah berbalaskan langsung dari Kapolres Blitar yang mengatakan bahwa Joko Sumanteri sudah tidak berdinas di Polres Blitar lagi, padahal faktanya berdasarkan daftar riwayat hidup, Joko Sumanteri, pada tahun tersebut, Joko Sumanteri masih dinas di Polres Blitar.

Selain itu, Indra Azwan juga telah mengadukan kasusnya baik ke Ombudsman, maupun Komnasham, namun sama seperti lembaga negara lainnya, hal itu tidak memberikan kepuasan batin serta keadilan kepada Indra Azwan. Dia mengaku sudah capek dengan segala kebohongan dan rekayasa yang dilakukan oleh pejabat negara, ia menanyakan secara terus menerus mengapa hukum selalu berlaku tegas untuk orang miskin, namun menjadi sulit sekali diterapkan kepada orang yang berada di atas. “mengapa sangat sulit bagi orang miskin untuk mendapatkan keadilan di negeri ini“ Tanya Indra.

Arif Maulana, Pengacara Publik LBH Jakarta menjelaskan bahwa, penyebab terjadinya daluarsa terhadap kasus Joko Sumanteri adalah undue delay atau yang dalam bahasa sehari-sehari sering dinamai Penundaan Berlarut. Undue Delay merupakan pelanggaran terhadap asas peradilan yang bersih, jujur, dan adil, tujuannya adalah agar kasus mengambang, menggantung, atau tidak naik ke Pengadilan. Arif menjelaskan kasus Indra Azwan bukan merupakan kasus satu-satunya, LBH Jakarta sendiri pada tahun 2016 setidaknya menangani sekitar 11 kasus dugaan Undue Delay dalam pemeriksaan di Pra Penuntutan.

Terkait dengan pemeriksaan di pra penuntutan, Arif menjelaskan bahwa pada penelitian yang dilakukan oleh LBH Jakarta dan MaPPI FH UI yang berjudul “Pra Penuntutan Sekarang, Ratusan Ribu Perkara Disimpan, Puluhan Ribu Perkara Hilang: Penelitian Pelaksanaan Mekanisme Pra Penuntutan di Indonesia Sepanjang Tahun 2012-2016” menjelaskan bahwa sekitar 255.618 berkas perkara tanpa SPDP, dan 44.273 berkas perkara hilang di pra penuntutan. Kelemahan manajemen di Pra Penuntutan salah satu soal jangka waktulah yang sebenarnya menjadi  penyebab struktural dari ribuan kasus penundaan berlarut ini, termasuk kasus yang menimpa Indra Azwan. Selain itu, Arif mengatakan bahwa angka itu baru terjadi di wilayah sipil, tidak tahu bagaimana dengan Peradilan militer  “Hal tersebut baru terjadi di wilayah sipil, tidak tahu kalau di peradilan militer bagaimana” ujar Arif.

Selain itu, di sisi yang bersamaan, Hal tersebut dikonfirmasi Bapak Tio dari Deputi V Kantor Staff Kepresidenan, menurutnya kasus ini adalah kasus serius.

“memang benar sangat banyak kasus penundaan berlarut semacam ini, namun sedikit sekali orang yang berani melawan memperjuangkan keadilan secara konsisten sebagaimana yang dilakukan oleh Indra Azwan, semangat dan perjuangan mereka yang mengalamai ketidakadilan, hari ini diwakilkan oleh Indra Azwan” ujar Tio.

Dia mengatakan jika memungkinkan, kasus Indra Azwan akan menjadi pintu masuk perubahan kebijakan.

“Kasus Indra Azwan, jika memungkinkan nanti akan menjadi pintu masuk bagi kasus-kasus lain yang serupa, semoga ini bisa merubah kebijakan, apalagi program Perbaikan Proses dalam Penyidikan merupakan salah satu agenda dalam Paket Kebijakan Hukum Pemerintahan di tahun 2017”

Selain itu, Pengacara Publik LBH Jakarta, Ayu Eza tiara juga mengeluhkan terkait dengan manajemen distribusi surat di Setneg, ia mengatakan bahwa surat permohonan audiensi kepada Presiden Joko Widodo yang pernah dikirimkannya malah dialihkan ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia dengan alasan petugasnya bahwa “Presiden Pasti Sibuk”.

Ayu menjelaskan bahwa kasus semacam ini tidak hanya terjadi sekali atau dua kali, dulu pada jaman pemerintahan Presiden SBY, Indra Azwan pernah mengirimkan surat pengaduan sekitar 7 kali, namun saat ia bertemu dengan Presiden, SBY mengaku bahwa surat tersebut tidak pernah sampai ke dirinya. Ayu melanjutkan bahwa kondisi presiden sedang sibuk adalah urusan yang berbeda. “berkaitan dengan Presiden sedang sibuk adalah urusan yang berbeda, namun memang surat ini tidak pernah disampaikan” ucap Ayu.

Arif menutup audiensi siang itu dengan meminta kepda KSP untuk serius menindaklanjuti pengaduan Indra Azwan, KSP dapat menelesuri kembali kasus ini dengan mentracking putusan etik Joko Sumanteri dan petugas lainnya, serta melakukan pengecekan terhadap distribusi pelimpahan perkara antar penyidik, polisi militer dan oditur militer.

Sony Gusti Anasta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar