Minggu, 29 Januari 2017

Aksi Papua, Demonstrasi Penolakan Terhadap Refresifitas dan GOMPRA berjalan damai dan lancar.




Front Rakyat Indonesia West Papua (FRIWP) dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) melakukan aksi long march dari patung kuda sampai ke depan Istana Negara. Aksi yang diiringi dengan orasi damai tersebut kemudian dilanjutkan hingga ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM) (20/01/2017). Dalam aksinya kali ini, FRIWP dan AMP menyatakan menolak tuduhan makar kepada 4 aktivis  Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang ditangkap di Manado dan Jayapura. Selain itu mereka  juga dengan tegas mendesak agar TNI dan POLRI segera menghentikan segala bentuk sweeping disertai kekerasan yang dilakukan oleh aparat gabungan kepada masyarakat Papua, terutama yang berada di Kabupaten Dogiyai.

Dalam orasinya, perwakilan dari massa aksi, Surya mengatakan bahwa tindakan aparat kepolisian yang menangkap aktifis KNPB di Manado terlalu berlebihan dan terkesan sewenang-wenang. Dia mengatakan bahwa penangkapan tersebut dilakukan tanpa maksud dan alasan yang jelas.

dia ditangkap ketika dia hanya duduk-duduk di dalam sekretariat” tutur surya saat orasi.

Tindakan pihak kepolisian yang sering menggunakan pasal makar kepada para aktifis dan peserta demonstrasi dimaknai massa aksi sebagai mundurnya perkembangan demokrasi di Indonesia. Penggunaan pasal makar yang dilakukan oleh POLRI lebih mengarah kepada bentuk takutnya rezim penguasa terhadap perlawanan dari masyarakat sipil. Pengenaan pasal makar tanpa dasar dan tujuan yang jelas, kepada masyarakat yang sedang menyampaikan pendapat dan pikirannya di depan umum adalah suatu bentuk kriminalisasi dan merupakan pelanggaran berat terhadap pelaksanaan Hak Sipil dan Politik warga negara. Surya menerangkan bahwa, sebuah perbuatan baru dapat dikatakan sebagai makar jika dalam pelaksanaanya melibatkan kekerasan atau senjata.

“kami hanya mengeluarkan pendapat, kami hanya menyampaikan kekejaman aparat dan ketidakadilan di tanah papua, apakah hanya karena kata-kata kami, kemudian membuat pimpinan negara menjadi terbunuh, menjadi terluka?” tutur Surya. Orasi surya disambut gemuruh oleh massa aksi yang mayoritas adalah mahasiswa yang berasal dari Papua tersebut.

Selain Surya, Veronica seorang aktifis pembela Hak Asasi Manusia juga turut mengecam tuduhan makar yang sering dilakukan oleh POLRI kepada aktifis KNPB, dia menilai bahwa tindakan Pemerintah Indonesia jauh lebih kejam dan refresif dibandingkan Pemerintah Kolonial Belanda.

“Coba perhatikan, pejuang kemerdekaan Indonesia dulu tidak pernah dikenai pasal makar oleh Belanda. Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Subandrio, Sjahrir, dan lain-lain, mereka tidak pernah dicap makar oleh Belanda. Bahkan selama masa Presiden Soekarno, hanya ada satu kali pengenaan pasal makar yaitu kepada DI/TII.” Ujar Veronica, dalam orasinya.

Peserta aksi juga dengan keras menolak adanya sweeping tanpa arah yang dilakukan oleh Tim Gabungan Giat Operasi Mantap Praja (GOMPRA). GOMPRA merupakan Tim Gabungan yang beranggotakan aparat TNI dan POLRI yang sengaja dibentuk dan dikirimkan oleh Kepolisian Daerah Papua (POLDA PAPUA) untuk menjaga Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (kamtibnas) di Dogiyai, sebuah kabupaten  baru di Papua, tujuan utamanya adalah untuk menjaga terselenggaranya Pemilihan Kepala Daerah yang aman dan lancar. Namun, massa aksi menilai bahwa tindakan yang telah dilakukan oleh Tim Gabungan GOMPRA ini sangat refresif dan telah melampaui dari tugas yang sudah diberikan kepadanya. Hal itu dikarenakan dalam pelaksanaannya, GOMPRA malah melakukan sweeping tanpa arah, dan melakukan deskriminasi dan kecurigaan berlebihan terhadap masyarakat Papua.

Di Dogiyai, Tim Gabungan GOMPRA melakukan sweeping terhadap alat tajam, seperti silet, cutter, pisau, parang, sabit, kampak, ketapel, dan anak panah, padahal alat tajam tersebut digunakan masyarakat Digoyai untuk  berburu, bertanam, dan berkebun. “hanya dengan itu, kami (masyarakat papua) bisa makan dan bertahan hidup, kenapa malah di sweeping?” ujar perwakilan massa aksi dalam orasinya.

Selain itu, massa aksi juga menolak dengan keras segala bentuk sweeping atribut Papua Merdeka. Mereka menilai, sweeping  TIM GOMPRA dengan menyita dan merampas secara paksa handphone dan laptop  yang di dalamnya berisi gambar Bintang Kejora, lagu-lagu Papua, berita tentang Papua, video tentang Papua, tokoh-tokoh Papua, dan segala macam hal yang berhubungan dengan Papua adalah bentuk kesewenang-wenangan aparat dan merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak atas privasi dan hak atas peradilan yang jujur dan adil (fair trail). Mereka berpendapat bahwa, menyimpan pernak-pernik digital yang berhubungan dengan Papua belum tentu merupakan wujud dari pelaksanaan makar.

Selain itu, menurut mereka, GOMPRA juga sering terjebak pada interogasi berbasis stigma, mereka kerap melakukan tindakan deskriminatif kepada penduduk Papua yang memiliki rambut gimbal. Di Dogiyai dan beberapa wilayah di Papua, orang-orang yang memiliki rambut gimbal dan kumis serta jenggot yang panjang selalu dicurigai, berapa dari mereka ada yang diinterogasi dan ditahan oleh aparat, beberapa yang malang nasibnya, bahkan sempat di hajar, dan dipukuli hingga mengalamai pendaharan.

Setelah hampir 3 jam berorasi di depan Istana Negara, massa melanjutkan aksinya ke KOMNASHAM. Setelah sampai di sana, sesaat sebelum mengadukan tindakan refresif yang dilakukan oleh aparat, massa aksi sempat melakukan orasi di halaman depan kantor lembaga negara yang membela hak asasi manusia tersebut, mereka menuntut agar Natalius Pigai dihadapkan pada massa untuk mendengarkan dan menindaklanjuti segala tindakan refresitas aparat, baik di Papua maupun di Manado. Di ruang pengaduan KOMNASHAM, massa aksi diterima oleh Ibu Sandrayati Moniaga dan Ibu Siti Noor Laila, mereka mengadukan tindakan refresif aparat kepolisian yang menangkap 4 aktifis KNPB di Manado dan Jayapura, serta tindakan sweeping sewenang-wenang oleh Tim Gabungan GOMPRA di Dogiyai.

Seorang massa aksi, mengatakan bahwa dirinya telah bosan mengadukan kasus Papua ke POLRI dan KOMNASHAM, ia kecewa karena permintaan dan tuntutannya terhadap penghapusan ketidakadilan dan refresifitas aparat di Papua tidak juga terwujud. Saking emosionalnya, ia meminta KOMNASHAM mengeluarkan rekomendasi kepada Kapolri untuk mencopot jabatan Kapolres Nabire, “saya ingin agar Kapolres Nabire dicopot dari jabatannya” ujarnya bersemangat.

Setelah mengadukan permasalahannya ke KOMNASHAM, massa aksi kemudian menuju LBH Jakarta. Hari ini demonstrasi aksi massa dalam hal menyampaikan pendapat di muka umum berlangsung damai, aman dan lancar tanpa hambatan.


 Sony Gusti Anasta














Tidak ada komentar:

Posting Komentar