Front Rakyat Indonesia West Papua (FRIWP) dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) melakukan aksi long march dari patung kuda sampai ke depan Istana Negara. Aksi yang diiringi dengan orasi damai tersebut kemudian dilanjutkan hingga ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM) (20/01/2017). Dalam aksinya kali ini, FRIWP dan AMP menyatakan menolak tuduhan makar kepada 4 aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang ditangkap di Manado dan Jayapura. Selain itu mereka juga dengan tegas mendesak agar TNI dan POLRI segera menghentikan segala bentuk sweeping disertai kekerasan yang dilakukan oleh aparat gabungan kepada masyarakat Papua, terutama yang berada di Kabupaten Dogiyai.
Dalam orasinya, perwakilan dari massa aksi,
Surya mengatakan bahwa tindakan aparat kepolisian yang menangkap aktifis KNPB
di Manado terlalu berlebihan dan terkesan sewenang-wenang. Dia mengatakan bahwa
penangkapan tersebut dilakukan tanpa maksud dan alasan yang jelas.
“dia
ditangkap ketika dia hanya duduk-duduk di dalam sekretariat” tutur surya
saat orasi.
Tindakan pihak kepolisian yang sering
menggunakan pasal makar kepada para aktifis dan peserta demonstrasi dimaknai
massa aksi sebagai mundurnya perkembangan demokrasi di Indonesia. Penggunaan
pasal makar yang dilakukan oleh POLRI lebih mengarah kepada bentuk takutnya
rezim penguasa terhadap perlawanan dari masyarakat sipil. Pengenaan pasal makar
tanpa dasar dan tujuan yang jelas, kepada masyarakat yang sedang menyampaikan
pendapat dan pikirannya di depan umum adalah suatu bentuk kriminalisasi dan merupakan
pelanggaran berat terhadap pelaksanaan Hak Sipil dan Politik warga negara.
Surya menerangkan bahwa, sebuah perbuatan baru dapat dikatakan sebagai makar
jika dalam pelaksanaanya melibatkan kekerasan atau senjata.
“kami hanya mengeluarkan
pendapat, kami hanya menyampaikan kekejaman aparat dan ketidakadilan di tanah
papua, apakah hanya karena kata-kata kami, kemudian membuat pimpinan negara
menjadi terbunuh, menjadi terluka?” tutur Surya. Orasi surya disambut gemuruh oleh
massa aksi yang mayoritas adalah mahasiswa yang berasal dari Papua tersebut.
Selain Surya, Veronica seorang aktifis pembela
Hak Asasi Manusia juga turut mengecam tuduhan makar yang sering dilakukan oleh
POLRI kepada aktifis KNPB, dia menilai bahwa tindakan Pemerintah Indonesia jauh
lebih kejam dan refresif dibandingkan Pemerintah Kolonial Belanda.
“Coba perhatikan,
pejuang kemerdekaan Indonesia dulu tidak pernah dikenai pasal makar oleh
Belanda. Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Subandrio, Sjahrir, dan lain-lain, mereka
tidak pernah dicap makar oleh Belanda. Bahkan selama masa Presiden Soekarno,
hanya ada satu kali pengenaan pasal makar yaitu kepada DI/TII.” Ujar Veronica, dalam orasinya.
Peserta aksi juga dengan keras menolak adanya sweeping tanpa arah yang dilakukan oleh
Tim Gabungan Giat Operasi Mantap Praja (GOMPRA). GOMPRA merupakan Tim Gabungan
yang beranggotakan aparat TNI dan POLRI yang sengaja dibentuk dan dikirimkan
oleh Kepolisian Daerah Papua (POLDA PAPUA) untuk menjaga Keamanan dan
Ketertiban Masyarakat (kamtibnas) di Dogiyai, sebuah kabupaten baru di Papua, tujuan utamanya adalah untuk
menjaga terselenggaranya Pemilihan Kepala Daerah yang aman dan lancar. Namun,
massa aksi menilai bahwa tindakan yang telah dilakukan oleh Tim Gabungan GOMPRA
ini sangat refresif dan telah melampaui dari tugas yang sudah diberikan kepadanya.
Hal itu dikarenakan dalam pelaksanaannya, GOMPRA malah melakukan sweeping tanpa arah, dan melakukan
deskriminasi dan kecurigaan berlebihan terhadap masyarakat Papua.
Di Dogiyai, Tim Gabungan GOMPRA melakukan sweeping terhadap alat tajam, seperti
silet, cutter, pisau, parang, sabit, kampak, ketapel, dan anak panah, padahal
alat tajam tersebut digunakan masyarakat Digoyai untuk berburu, bertanam, dan berkebun. “hanya dengan
itu, kami (masyarakat papua) bisa makan dan bertahan hidup, kenapa malah di sweeping?” ujar perwakilan massa aksi
dalam orasinya.
Selain itu, massa aksi juga menolak dengan
keras segala bentuk sweeping atribut
Papua Merdeka. Mereka menilai, sweeping TIM GOMPRA dengan menyita dan merampas secara
paksa handphone dan laptop yang di
dalamnya berisi gambar Bintang Kejora, lagu-lagu Papua, berita tentang Papua,
video tentang Papua, tokoh-tokoh Papua, dan segala macam hal yang berhubungan
dengan Papua adalah bentuk kesewenang-wenangan aparat dan merupakan bentuk
pelanggaran terhadap hak atas privasi dan hak atas peradilan yang jujur dan
adil (fair trail). Mereka berpendapat
bahwa, menyimpan pernak-pernik digital yang berhubungan dengan Papua belum
tentu merupakan wujud dari pelaksanaan makar.
Selain itu, menurut mereka, GOMPRA juga sering
terjebak pada interogasi berbasis stigma, mereka kerap melakukan tindakan
deskriminatif kepada penduduk Papua yang memiliki rambut gimbal. Di Dogiyai dan
beberapa wilayah di Papua, orang-orang yang memiliki rambut gimbal dan kumis
serta jenggot yang panjang selalu dicurigai, berapa dari mereka ada yang
diinterogasi dan ditahan oleh aparat, beberapa yang malang nasibnya, bahkan sempat
di hajar, dan dipukuli hingga mengalamai pendaharan.
Setelah hampir 3 jam berorasi di depan Istana
Negara, massa melanjutkan aksinya ke KOMNASHAM. Setelah sampai di sana, sesaat
sebelum mengadukan tindakan refresif yang dilakukan oleh aparat, massa aksi
sempat melakukan orasi di halaman depan kantor lembaga negara yang membela hak
asasi manusia tersebut, mereka menuntut agar Natalius Pigai dihadapkan pada
massa untuk mendengarkan dan menindaklanjuti segala tindakan refresitas aparat,
baik di Papua maupun di Manado. Di ruang pengaduan KOMNASHAM, massa aksi
diterima oleh Ibu Sandrayati Moniaga dan Ibu Siti Noor Laila, mereka mengadukan
tindakan refresif aparat kepolisian yang menangkap 4 aktifis KNPB di Manado dan
Jayapura, serta tindakan sweeping
sewenang-wenang oleh Tim Gabungan GOMPRA di Dogiyai.
Seorang massa aksi, mengatakan bahwa dirinya
telah bosan mengadukan kasus Papua ke POLRI dan KOMNASHAM, ia kecewa karena
permintaan dan tuntutannya terhadap penghapusan ketidakadilan dan refresifitas
aparat di Papua tidak juga terwujud. Saking emosionalnya, ia meminta KOMNASHAM
mengeluarkan rekomendasi kepada Kapolri untuk mencopot jabatan Kapolres Nabire,
“saya ingin agar Kapolres Nabire dicopot dari jabatannya” ujarnya bersemangat.
Setelah mengadukan permasalahannya ke
KOMNASHAM, massa aksi kemudian menuju LBH Jakarta. Hari ini demonstrasi aksi
massa dalam hal menyampaikan pendapat di muka umum berlangsung damai, aman dan
lancar tanpa hambatan.
Sony Gusti Anasta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar