D. Teori AANPRAKELIJKHEID
E. Unsur Kesalahan Dalam PMH
G. PMH Penegak Hukum Militer
A. Pengertian Perbuatan
Melawan Hukum
Perbuatan Melawan Hukum adalah suatu perbuatan yang mana baik
tindakan secara formil atau akibat dari perbuatan tersebut menerbitkan kerugian
pada seseorang atau sesuatu, yang mana baik perbuatan dan akibat tersebut
secara otomatis diikuti dengan kewajiban bagi seseorang untuk menerbitkan atau
mengganti kerugian yang diderita oleh orang yang dirugikan atas akibat yang
sudah dia lakukan. Jadi, dapat dikatakan, karena perbuatan melawan hukum maka timbullah
suatu ikatan (verbintenisen) untuk mengganti kerugian yang diderita oleh yang
dirugikan.
Akibat dari suatu perbuatan yang bertentangan dengan
hukum, walaupun akibat itu tidak dikehendaki oleh yang melakukan perbuatan
tersebut, maka siapa yang
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum tersebut harus mengganti kerugian atas
perbuatan tersebut.
Bahwa pengertian dan
asas ini diatur dalam
pasal 1365 KUH Perdata, yang berbunyi :
“Tiap
perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut”
Utrecht, berpendapat bahwa :
Penafsiran dalam pasal 1365 KUHPerdata dalam
yurisprudensi Belanda (yurisprudensi Indonesia mengikuti yurisprudensi Belanda)
ada sejarahnya. Dalam abad ke-19 ketika aliran logisme masih kuat, yang menjadi
perbuatan melawan hukum hanyalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan
undang-undang saja. Perbuatan yang bertentangan dengan kebiasaan bukanlah
perbuatan melawan hukum, jadi sesuai aliran logisme yang berpendapat diluar
undang-undang tidak ada hukum. Pada akhr abad ke-19 pendapat aliran logisme ini
mendapat tantangan dari berbagai pihak. Telah diketahui
bahwa molengraf-lah yang mula-mula mengatakan bahwa penafsiran yang
sempit itu tidak dapat dipertahankan dan diteruskan. E. Utrecht.
Pengantar Dalam Hukum Indonesia, cet.VI Jakarta : (Balai Pustaka, 1961),
hal.294.
Molengraft mengemukakan :
Bahwa pengertian perbuatan melawan hukum seperti yang
disebut pada pasal 1365 KUH Perdata, tidak hanya suatu perbuatan yang
bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan, melainkan juga meliputi
perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan segala sesuatu yang ada diluar
undang-undang yang memuat kaedah-kaedah sosial.
B. Unsur-Unsur
Perbuatan Melawan Hukum
Sesuai dengan ketentuan dalam
pasal 1365 KUH Perdata, maka suatu perbuatan melawan hukum haruslah mengandung
unsur-unsur sebagai berikut:
1. Adanya suatu perbuatan
2. Perbuatan tersebut melawan
hukum
3. Adanya kesalahan dari pihak
pelaku
4. Adanya kerugian bagi korban
5. Adanya hubungan kausalitas
antara perbuatan dengan kerugian
Berikut penjelasannya bagi masing-masing unsur dari
perbuatan melawan hukum tersebut, yaitu sebagai berikut:
1.
Adanya suatu
perbuatan
Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh suatu
perbuatan dari si pelakunya. Umumnya diterima anggapan bahwa dengan perbuatan
disini dimaksudkan, baik berbuat sesuatu (dalam arti aktif) maupun tidak
berbuat sesuatu (dalam arti pasif), misalnya tidak berbuat sesuatu, padahal dia
mempunyai kewajiban hukum untuk membuatnya, kewajiban mana timbul dari hukum
yang berlaku karena ada kewajiban yang timbul dari suatu kontrak)
2.
Perbuatan tersebut
melawan hukum.
Perbuatan yang dilakukan seseorang tersebut haruslah
bertenatangan dengan hukum, unsur melawan hukum ini diartikan dalam arti yang
seluas-luasnya, yakni meliputi hal-hal sebagai berikut;
a.
Perbuatan yang
melanggar undang-undang yang berlaku
b.
Yang melanggar hak
orang lain yang dijamin oleh hukum
c.
Perbuatan yang
bertentangan dengan kesusilaan
d.
Perbuatan yang
bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat
3.
Adanya kesalahan
dari pihak pelaku.
Adanya unsur kesalahan dari pelaku, kesalahan
merupakan perbuatan yang dapat dimintakan tanggung jawabnya jiak memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut:
a.
Ada unsur
kesengajaan.
b.
Ada unsur
kelalaian.
c. Tidak ada alasan
pembenar dan pemaaf (rechtvaardigingsgrond), seperti keadaan overmacht, membela
diri, tidak waras, dan lain-lain.
4.
Adanya kerugian
bagi korban.
Adanya kerugian yang diderita oleh korban, baik
kerugian yang sifatnya materiil, maupun
kerugian yang sifatnya immateriil.
5.
Adanya hubungan
kausalitas antara perbuatan dan kerugian.
Adanya hubungan sebab akibat, antara perbuatan yang
dilakukan dan dengan kerugian yang timbul, misalnya perbuatan yang menghilangkan
nyawa orang lain mengakibatkan kerugian kepada ahli waris atau orang yang
ditinggalkannya. Adapun kerugian tersebut timbul karena adanya perbuatan, baik
yang hubungan sebab akibatnya bersifat
faktual (sine qua non), maupun sebab akibat kira-kira (proximate cause).
C. Teori Schultznorm
teori schultznorm disebut juga sebagai ajaran
relativitas. Pada intinya teori ini mengatakan bahwa seseorang dapat dimintakan
tanggung jawabnya karena telah melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana
yang diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata, yang mana beban pembuktiannya tidak
cukup dengan membuktikan perbuatan tersebut memiliki hubungan kausalitas dengan
kerugian yang ditimbulkan, akan tetapi juga melihat apakah norma atau aturan
yang dilanggar, memang dibuat untuk melindungi kepentingan korban. Teori ini
sangat bergantung pada alasan atau penjelasan dalam pasal yang berkaitan, atau
bisa juga berdasarkan memorie van toelichting dari peraturan tersebut.
sebagai contoh: beberapa dokter menggugat PMH seorang
dokter gadungan. Memang waktu itu, di belanda ada aturan yang menyatakan dokter
yang membuka praktek harus memilki izin atau sertifikasi. Karena dokter
gadungan ini tidak memilki izin atau sertifikasi, maka beberapa dokter yang
berpraktek di sekitar dia tinggal mengajukan PMH terhadap tindakan dokter
gadungan ini, karena dia, penghasilan dari beberapa dokter resmi kemudian
drastic berkurang. Dalam putusannya, hoge raad menolak, PMH yang diajukan,
karena aturan yang dibuat soal izin praktek dan sertifikasi adalah dibuat untuk
melindungi masyarakat menyoal kualitas dari dokter, bukan untuk melindungi
kepentingan dokter lainnya.
Di, Indonesia, tidak ada aturan yang mengatakan bahwa
apakah ada indikasi terhadap pemberlakuan terhadap pasal ini. Menurut Prof.
Prodjodikoro, hakim tidak harus dan/atau bahkan tidak selamanya harus
menerapkan teori ini atau tidak. Namun hakim dapat menggunakan teori ini hanya
case by case dalam mewadahi unsur keadilan dalam putusannya yang menyangkut
dengan perbuatan melawan hukum.
D. Teori AANPRAKELIJKHEID
Dapat juga disebut sebagai teori tanggung gugat, yaitu
teori yang menyatakan tentang beban pertanggung jawaban terhadap suatu
perbuatan yang dikategorikan PMH. Tujuan dari teori ini untuk menentukan siapa
yang seharusnya menerima gugatan terhadap gugatan PMH. Dalam teori ini, teori
tanggung gugat atas PMH yang dilakukan oleh orang lain dapat dibagi kepada 3
kategori sebagai berikut:
1. Teori tanggung
jawab atasan.
2. Teori tanggung
jawab pengganti yang bukan atasan atas orang-orang dalam tanggungan.
3. Teori tanggung
jawab pengganti dari barang-barang yang berada di bawah tanggungannya.
Secara yuridis, KUHPerdata memerinci beberapa pihak
yang harus menerima tanggung gugat dari PMH yang dilakukan oleh pihak lain,
yaitu sebagai berikut:
1. Orang tua atau
wali terhadap anak-anak dibawah tanggungan atau perwaliannya (1367 BW)
2.
Majikan atas
pekerjanya (1367 BW)
3.
Guru-guru atas
muridnya (1367 BW)
4.
Kepala tukang atas
tukangnya (1367 BW)
5.
Pemilik binatang
atas binatangnya (1368 BW)
6.
Pemakai binatang
atas binatang yang dipakainya (1368 BW)
7.
Pemilik gedung
atas ambruknya gedung (1369 BW)
Untuk kategori di luar apa yang sudah disampaikan di
atas, konsep tanggung gugat juga berlaku secara umum, sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 1367 ayat (1) BW:
“Seorang tidak
saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri,
namun juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi
tanggungannya atau disebabkan oleh barag-barang yang berada di bawah
pengawasannya”
E. Kesalahan dalam
PMH
Adapun unsur kesalahan dalam PMH adalah unsur
kesengajaan dan unsur kelalaian, oleh sebab itu tidak ada terhadap PMH yang
dilakuakan, tidak ada alasan pembenar dan pemaaf:
Kesengajaan dalam
PMH
Unsur kesengajaan menurut Munir Fuady adalah sebagai
berikut:
1.
Adanya kesadaran
(state of mind) untuk melakukan
2.
Adanya konsekuensi
dari perbuatan. Jadi bukan hanya perbuatannya saja.
3.
Kesadaran untuk
melakukan, bukan hanya untuk menimbulkan konsekuensi, melainkan juga adanya
kepercayaan bahwa dengan tindakan tersebut pasti dapat menimbulkan konsekuensi
tersebut.
Kelalaian dalam
PMH
Unsur kelalaian menurut Munir Fuady adalah sebagai
berikut:
a.
Adanya suatu
perbuatan atau mengabaikan sesuatu yang semestinya dilakukan
b.
Adanya suatu
kewajiban kehati-hatian (duty of care)
c.
Tidak dijalankan
kewajiban kehatian-kehatian tersebut
d.
Adanya kerugian
bagi orag lain
e.
Adanya hubungan
sebab akibat antara perbuatan atau tidak melakukan perbuatan dengan kerugian
yang timbul
F. PMH Joko Sutrisno
PMH terhadap
perbuatan joko sutrisno seorang anggota Polri yang berpangkat Lettu Pol. Joko
Sutrisno, pada tahun 1993 melakukan kelalaian mengemudikan sebuah Mobil Sedan,
Honda Accord hingga menyebabkan kecelakaan, menabrak seorang anak kecil, anak
dari Indra Azwan yang bernama Rifki Andhika. Atas itu, Indra Azwan mengalami
kerugian materiil dan immateriil, materiil berupa hilangnya nyawa Rifki
Andhika, biaya-biaya yang dibutuhkan untuk mewujudan keadilan tersebut, dan
immateriil berupa kesedihan yang mendalam, dan pengharapan yang sia-sia dan
hampir pupus selama lebih dari 24 tahun memperjuangkan keadilan bagi tersangka
penabrak lari anak kandungnya.
Adapun unsur
terhadap meninggalnya Rifki Muhammd adalah sebagai berikut:
1.
Adanya perbuatan: adanya
perbuatan Joko Sutrisno yang mengemudikan mobil sedan pada tanggal 8 Febuari
1993, yang kemudian menabrak Rifki Andhika, kemudian langsung melarikan diri,
akibat perbuatannya, Rifki Andhika mengalami pendaharaan di bagian kepala dan
sejumlah badan, dan meninggal dunia di jalan perjalanan menuju rumah sakit
Saiful Anwar Malang.
2.
Perbuatan tersebut
melawan hukum: adapun perbuatan yang dilakukan Joko Sumantri tersebut melawan
hukum, terutama Hak untuk hidup dari Rifki Andhika dan ketentuan dalam pasal 359
KUHP (karena kesalahan dan kealpaan menyebabkan orang meninggal dunia)
3.
Kesalahan dalam
perbuatan: adanya kesalahan berupa kelalaian yang dilakukan Joko Sutrisno
dengan tidak berhati-hati. Tidak cermat, dan waspada mengemudikan mobilnya
hingga menabrak Rifki Andhika yang sedang ingin menyebrang jalan, dan
karenananya mengakibatkan Rifki Andhika meninggal dunia
4.
Adanya kerugian:
kerugian yang ditimbulkan adalah hilangnya nyawa Rifki Muhammad, dan hilangnya
anak, penghibur, harapan masa depan bagi Indra Azwan.
5.
Adanya hubungan
kausalitas antara kerugian dan kesalahan yang dilakukan: Kesalahan berupa
kelalaian yang dilakukan oleh Joko Sumantri berupa tabrak lari hingga
menyebabkan Rifki Muhamad meninggal berakibat langsung terhadap Meninggalnya
atau perginya Rifki Muhammad. Akibat dari perginya Rifki Muhammad tersebut,
ahli waris merasa dirugikan, berupa
tidak adanya buah hati yang senantiasa menemani dan membahagiakan ahlinya.
Bahwa dengan
demikian, perbuatan yang dilakukan oleh Joko Sumantri dapat dikategorikan
sebagai suatu perbuatan melawan hukum, dimana perbuatan melawan hukum yang
dilakukan Joko Sumantri ini meninggalkan kesedihan yang mendalam bagi ahli
waris, ahli waris kehilangan satu di antara penyemangat dan pembahagia hidup.
Apalagi ditambah dengan tidak jelasnya alur penyelesaian perkara ini
menyebabkan ahli waris merasa kehilangan hak atas akses terhadap keadilan.
Berdasarkan pasal 1967 BW, daluarsa gugatan PMH terhadap Joko Sumantri adalah
30 tahun semenjak terjadinya kecelakaan.
G. PMH Penegak Hukum
Militer
Pertama penting
untuk diketahui, bahwa paska dikeluarkannya undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang
Kepolisian Republik Indonesia, setiap tindak pidana yang dilakukan oleh anggota
POLRI berada pada lapangan peradilan umum. namun sebelum itu, anggotra polri
yang melakukan tindak pidana tunduk pada peradilan militer, sebagaimana yang diatur
dalam UU PNPS 3 tahun 1965. Oleh dikarenakan lakalantas yang menimpa Rifki
Andhika terjadi pada tahun 1993 yakni sebelum UU POLRI dikeluarkan dan dwi
fungsi ABRI masih berlaku, maka peradilan yang berwenang memeriksa dan memutus Joko
Sumanteri adalah peradilan militer, hal ini diatur dalam pasal 1 ayat (2) KUHP mengenai
ketentuan umum tindak pidana, walaupun proses penuntutan kasusnya dilakukan saat undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang
kepolisian republik indonesia telah diberlakukan.
Bahwa berkaitan
dengan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Joko Sumantri, penyelesaian
perkara berupa penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus ini ternyata
berlarut-larut dan tidak mencerminkan asas kepastian hukum dan asas peradilan
sederhana, cepat, dan biaya ringan. Karena penyelesaian kasus yang lama dan
berlarut-larut maka membuat hak negara untuk menuntut tersangka menjadi
hapus/hilang. Adanya dugaan undue delay
untuk membuat kasus daluarsa membuat Joko Sumantri bebas dari jeratan pidana.
terbebasnya Joko Sumanteri dari jeratan pidana, membuat hak korban unutk
mendapatkan keadilan menjadi hilang.
Sebelum kita
uraikan unsur-unsur dari PMH yang dilakukan oleh oknum dari penegak hukum di
militer, penting untuk kita ketahui bahwa gugurnya hak negara untuk menuntut
sebuah perkara pidana karena daluarsa untuk tindak pidana yang diancam lebih
dari 5 tahun adalah 12 tahun dari
terjadinya tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 78 ayat (1) butir
3 KUHP.
Jadi, jika
terjadinya tindak pidana dilakukan pada 8 Febuari 1993, maka hapusnya menuntut
negara terjadi di atas tanggal 8 febuari 2005, maka berdasarkan pemeriksaan
berkas yang sudah dilakukan, ada 2 peristiwa yang kemungkinan telah terjadinya
perbuatan undue delay untuk membuat
kasus daluarsa, yakni:
1.
13 September 1993
– hingga 16 agustus 2004 = Undue Delay
sekitar 10 tahun, 11 bulan (untuk selanjutnya disebut periode undue delay pertama).
2.
Undue Delay 16
agustus 2004 – 9 Febuari 2005 = Sejak penyidikan ulang pada tanggal 16 agustus
2004, masih terdapat sekitar 6 bulan
bagi oditurat militer untuk melakukan penuntutan. (untuk selanjutnya disebut
periode undue delay kedua)
Penghitungan
diatas cukup penting untuk memetakan kepada siapa saja nantinya gugatan PMH
akan dialamatkan agar nantinya gugatan tidak dinyatakan kurang pihak (plurius litis consortium), dan salah
orang/alamat (error in persona).
Pada periode undue delay pertama, menurut berkas yang
ada, Denpom V/III malang telah melimpahkan berkas perkara ke Polda jatim selaku Papera, dan Oditurat
Militer III-12 selaku penuntut. Setelah pelimpahan berkas tersebut,
penyelidikan kasus terhenti sampai tahun 2004.
Pada periode undue delay kedua, menurut berkas yang
ada, adanya proses pemeriksaan yang memakan waktu sekitar 2 bulan oleh Denpom
Malang, dan pemeriksaan berkas oleh kepala oditurat militer sebanyak 1,5 bulan,
dan 2,5 bulan menjelang 8 febuari 2016 (daluarsanya penuntutan) oleh Kapolda
Jatim.
Berdasarkan
keterangan di atas, adapun unsur-unsur dari PMH yang diduga dilakukan oleh
oknum Denpom V/III Malang, Kapolda Jatim, dan Oditurat Militer III-12 adalah
sebagai berikut:
1. Adanya perbuatan: yaitu perbuatan yang menyebabkan terjadinya penundaan berlarut dalam
penyelidikan dan penyidikan kasus dimana Joko Sumantri sebagai tersangka;
2. Perbuatan tersebut melawan hukum: adapun perbuatan tersebut melawan hukum, yakni
berupa pelanggaran terhadap aturan tekhnis administrasi penyelidikan tindak
pidana yang melibatkan militer, dan pelanggaran terhadap asas yang diatur dalam
Undang-Undang kekuasaan kehakiman mengenai asas peradilan yang bersih, jujur,
dan tidak memihak, serta asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya
ringan.
3. Kesalahan dalam perbuatan: terkait dengan kesalahan yang dilakukan oleh oknum penyidik, maka
dapat diduga terjadi salah satu di antara kesalahan, yakni:
(1)
Adanya kemungkinan
kesengajaan untuk menunda penyelesaian kasus
(2)
Adanya kemungkinan
kelalaian terhadap pemeriksaan dan distribusi berkas kasus
Untuk ini, perlu dilakukan penelitian atau setidaknya
investigasi lebih lanjut apakah, kesalahan yang dilakukan, baik dalam periode undue delay pertama, maupun periode undue delay kedua merupakan kesengajaan
atau kelalaian.
Dalam hal, jika pada saat investigasi terbukti bahwa
terdapat kesengajaan yang dilakukan oleh oknum penegak hukum militer, maka
unsur kesalahan dari PMH otomatis terpenuhi.
Dalam hal, jika telah terjadi kelalaian yang dilakukan
oleh oknum penegak hukum militer, maka sebagai tolok ukur, harus dicari
peraturan yang tepat mengenai mekanisme tekhnis penyelidikan dan penyidikan di
pengadilan militer. Hal ini merupakan kewajiban untuk membuktikan sebagai upaya
terhadap pemenuhan unsur dalam PMH, terutama unsur Perbuatan tersebut melawan hukum dan kesalahan karena kelalaian dalam PMH:
Terkait dengan hal tersebut, menurut Munir Fuady, yang
dimaksud perbuatan tersebut melawan hukum adalah sebagai berikut:
a. Perbuatan yang
melanggar undang-undang yang berlaku
b.
Yang melanggar hak
orang lain yang dijamin oleh hukum
c.
Perbuatan yang
bertentangan dengan kesusilaan
d.
Perbuatan yang
bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat
Selain itu, masih menurut munir fuady, unsur dari
kesalahan karena kelalaian adalah sebagai berikut:
a.
Adanya suatu
perbuatan atau mengabaikan sesuatu yang semestinya
dilakukan
b.
Adanya suatu
kewajiban kehati-hatian (duty of care)
c.
Tidak dijalankan
kewajiban kehatian-kehatian tersebut
Perbuatan melawan hukum dari oknum penegak hukum
militer dapat dibuktikan PMHnya terutama dalam unsur Perbuatan yang
dilakukannya melawan hukum dan adanya unsur kesalahan karena kelalaian jika hanya
terdapat aturan hukum tekhnis mengenai mekanisme dan waktu estimasi yang
ditetapkan dalam undang-undang atau peraturan pemerintah lainnya.
Adapun berhubung kejadian kecelakaan lalu lintas
terjadi pada tahun 1993, dan mengingat undang-undang peradilan militer baru
berlaku dari tanggal 10 februari 1997, maka terkait dengan dasar hukum yang
berlaku dalam penyelidikan dan penyidikan dalam hukum acara pidana militer
terkhusus untuk kasus yang menimpa Rifkhi Andhika, maka peraturan terkait
dengan itu adalah sebagai berikut:
a)
8 Febuari 1993 –
10 febuari 1997 berlaku hukum acara pidana militer, yaitu Undang-Undang dan
segala peraturan terkait yang keluar sebelum undang-undang 31 tahun 1997.
b)
10 Febuari 1997 –
8 febuari 2005 yaitu waktu dimana habis masa kadaluarsa. Yang berlaku adalah Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1997 tentang Pengadilan Militer.
a.d.a) Dalam lintas sejarah, terkait dengan peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang peradilan militer, telah terbit
beberapa aturan mengenai hukum acara, di
tubuh pengadilan militer. Pengaturan mengani hal ini dimulai dari terbitnya
undang-undang darurat nomor 17 tahun 1950 tentang Hukum Acara Pidana Tentang
Pengadilan Tentara. Mengingat undang-undang ini berlaku pada periode Konstitusi
Sementara Republik Indonesia Serikat, maka undang-undang ini berlaku dengan
ditetapkannya undang-undang nomor 6 tahun 1950 tentang pengesahan UU darurat
nomor 17 tahun 1950 sebagai undang-undang federal. Isinya tidak banyak hanya
menjelaskan struktur penegak hukum, dan pemberlakuan HIR sebagai hukum acara.
Setelah itu, pada tahun 1965, keluarlah UU Nomor 3
PNPS tahun 1965 tentang Memperlakukan Hukum Pidana Tentara, Hukum Acara Pidana Tentara Dan Hukum Disiplin Tentara Bagi
Anggota-Anggota Angkatan Kepolisian. Peraturan
ini merupakan wujud prinsip koneksitas yang memaksa anggota polisi yang
melakukan tindak pidana, diproses berdasarkan undang-undang ini. Selain itu, aturan
ini juga memiliki aturan turunan terutama Kepres Nomor 53 tahun 1972 tentang Pengendalian Dan Pengawasan Atas Penggunaan Wewenang Penjerahan Perkara, Pemeriksaan Pendahuluan Dan Penuntutan
Dilingkungan Angkatan Bersendjata Republik Indonesia.
Namun tidak satupun dari
undang-undang tersebut, ataupun dari aturan pelaksana undang-undang tersebut
menyebutkan mengenai jangka waktu pemeriksaan mengenai suatu tindak
pidana, yang diatur dalam peraturan
terkait adalah perluasan yuridiksi peradilan militer atau peradilan ketentaraan
terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh militer, serta susunan pengadilan
dan kejaksaan, dan pemberlakuan HIR sebagai hukum acara pidana militer.
Setelah ketentuan dalam
undang-undang tesebut berjalan, pada tahun 1981 keluarlah undang-undang nomor 8
tahun 1981 tentang KUHAP, undang-undang ini menjadi aturan yang sifatnya
generalis terhadap segala hukum acara yang ada yakni HIR. Hal ini diatur secara
jelas dalam Penjelasan umum undang-undang nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan
Militer yang pada intinya mengatakan sebagai berikut:
Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1950 tentang Menetapkan Undang-undang Darurat tentang Hukum Acara
Pidana Pada Pengadilan Tentara sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 1 Drt Tahun 1958 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1950
tentang Hukum Acara Pidana Pada Pengadilan Ketentaraan yang menyatakan bahwa
hukum acara pidana pada peradilan ketentaraan berlaku sebagai pedoman het
Herziene Inlandsch Reglement (HIR) dengan perubahan dalam Undang-undang tersebut;
sedangkan yang mengatur pemeriksaan pada Mahkamah Tentara Agung dan Pengadilan
Tentara Tinggi dalam tingkat kedua berpedoman pada titel 15 Strafvordering.
Dengan dicabutnya HIR oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, dalam praktek peradilan, Mahkamah Militer menggunakan Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai pedoman.
Oleh sebab itu, pasca
dikeluarkannya undang-undang nomor 8 tahun 1981, maka pengaturan hukum acara
pidana untuk seluruh tindak pidana yang terjadi setelah tanggal 31 desember
1981 diatur dalam KUHAP. Dan dalam penjelasan umum KUHAP tersebut juga
mengatakan bahwa pemberlakuan undang-undang ini menghapuskan atau membuat tidak
berlakunya HIR. Oleh sebab itu, untuk pengaturan hukum acara yang memang dari
berlakunya UU Nomor 17 tahun 1950 sampai dengan UU nomor 3 PNPS 1965
menggunakan HIR kehilangan dasar hukum acara.
Selain itu, tidak ditemukan
adanya mekanisme pengawasan dalam peradilan militer yang diwujudkan dalam
pengaturan jangka waktu dalam tiap tahapan pemeriksaan sampai dengan
diberlakukannya undang-undang nomor 31 tahun 1997 tentang peradilan militer.
Paling tidak ukuran pengawasan dan jangka waktu pemeriksaan terhadap tindak
pidana yang dilakukan oleh anggota polisi ataupun militer diatur dalam konsep
umum peradilan yang diatur dalam UU Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman:
1.
“Peradilan
dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.” (pasal 4 ayat (2) UU
Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok keuasaan kehakiman))
Dalam
penjelasannya dikatakan bahwa “Peradilan harus memenuhi harapan dari para
pencari keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang cepat, tepat, adil dan
biaya ringan. Tidak diperlukan pemeriksaan dan acara yang berbelit-belit yang
dapat menyebabkan proses sampai bertahun-tahun, bahkan kadang-kadang harus
dilanjutkan oleh para ahli-waris pencari keadilan. Biaya ringan artinya biaya
yang serendah mungkin sehingga dapat terpikul oleh rakyat. Ini semua dengan
tanpa mengorbankan ketelitian untuk mencari kebenaran dan keadilan.”
2.
Selain
itu, penundaan berlarut pada periode undue
delay pertama mengindikasikan bahwa proses pradilan militer terhadap
perbuatan yang dilakukan oleh Joko Sumanteri diduga dicampuri oleh pihak-pihak di
luar pengadilan, yang tidak ingin proses pencapaian keadilan yang dihenedaki
oleh korban tercapai. Hal ini bertentangan dengan pasal 4 ayat (3) UU
pokok-pokok kekuasaan kehakiman;
“Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh fihak-fihak lain
diluar Kekuasaan
Kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam Undang-undang Dasar.”
a.d.b)
bahwa setelah dikeluarkannya undang-undang 31 tahun 1997 tentang peradilan
militer, maka proses dan mekanisme serta jangka waktu dalam pemeriksaan perkara
di pengadilan militer di atur dalam undang-undang tersebut. Walaupun berkaitan
dengan jangka waktu di dalam tiap tahapan pemeriksaan di pengadilan militer
tidak sepenuhnya mengatur secara rinci, namun dapat diklasifikasikan tahapan
dan waktu di pengadilan militer adalah sebagai berikut:
No
|
Tahapan
|
Jangka Waktu
|
1.
|
Memproses laporan atau
pengaduan (pasal 99 ayat 1)
|
Tidak diatur
|
2.
|
Penyerahan berkas perkara
dari Polisi Militer ke ANKUM, Perwira Penyerah Perkara, dan aslinya ke
oditurat militer (pasal 101 ayat 1)
|
Tidak diatur
|
3.
|
Pemanggilan saksi atau
tersangka untuk penyidikan (pasal 103 ayat 1)
|
Tenggat waktu yang wajar x 2
|
4.
|
Penangkapan oleh penyidik
(pasal 76 ayat 3)
|
1 hari
|
5.
|
Penahanan oleh ANKUM
(pasal 78 ayat 1)
|
20 hari
|
6.
|
Penahanan oleh Perwira
Penyerah Perkara (pasal 78 ayat 2)
|
30 hari dan dapat diperpanjang, Max.180 hari
|
7.
|
Penyerahan Perkara kepada
oditur selaku penuntut umum oleh penyidik lewat Perwira Penyerah Perkara (pasal
124 ayat 1)
|
Tidak diatur
|
8.
|
Permintaan oleh Oditur kepada
Penyidik untuk melengkapi berkas perkara dalam hal berkas perkara kurang
lengkap (pasal 124 ayat 2)
|
Tidak diatur
|
9.
|
Oditur melakukan
penyidikan tambahan atau mengembalikan berkas perkara kepada penyidik
disertai petunjuk penyidikan, dalam hasil penyidikan tidak cukup. (pasal 124
ayat 3)
|
Tidak diatur
|
10.
|
Jawab menjawab antara
Oditur dan Perwira Penyerah Perkara mengenai hukuman acara pengadilan militer
(pasal 127-129)
|
Tidak diatur
|
11.
|
Penyerahan Berkas Perkara
dari Oditur ke Pengadilan Militer/ atau Pengadilan Militer Tinggi (pasal 130
ayat 1)
|
Tidak diatur
|
12.
|
Perbaikan surat dakwaan
oleh oditur (pasal 131 ayat 1)
|
7 hari
|
13.
|
Penetepan Ketua
Pengadilan militer/ pengadilan militer tinggi mengenai penolakan penyelesaian
perkara berdasarkan kewenangan (pasal 133 ayat 1)
|
7 hari
|
14.
|
Keberatan oditur terhadap
penetapan ketua pengadilan militer, atau pengadilan militer tinggi (pasal 134
ayat 1)
|
7 hari
|
15.
|
Pengadilan militer/
pengadilan militer tinggi meneruskan keberatan oditur kepada Pengadilan
Militer Utama (pasal 134 ayat 4)
|
7 hari
|
16.
|
Penetapan berupa
penolakan atau pengabulan oleh Pengadilan militer tinggi/ pengadilan militer
utama terhadap keberatan yang dilakukan oleh oditur (pasal 135 ayat 1)
|
14 hari
|
17.
|
Penahanan oleh Pengadilan
militer/ Pengadilan militer tinggi untuk menunggu pemeriksaan dan proses
penuntutan di pengadilan (pasal 137 ayat 1 b)
|
30 hari
|
18.
|
Perpanjangan penahanan
oleh Pengadilan militer/ Pengadilan militer tinggi untuk menunggu pemeriksaan
dan proses penuntutan di pengadilan (pasal 137 ayat 2)
|
60 hari
|
19.
|
Perpanjangan penahanan
oleh Pengadilan militer/ pengadilan militer tinggi apabila terdapat
pemeriksaan lanjutan terhadap tindak pidana yang diancam lebih dari 9 tahun
atau lebih (pasal 138 ayat 2)
|
30 hari + 30 hari
|
20.
|
Pemanggilan menghadap
pengadilan (pasal 139 ayat 2)
|
3 hari sebelum hari sidang.
|
Pemeriksaan di Pengadilan
|
Bahwa jumlah waktu yang
dibutuhkan dalam pemeriksaan dari penyelidikan hingga penuntutan dan putusan
tidak dapat ditaksir, karena banyak tahapan baik dalam penyelidikan, penyerahan
perkara, penuntutuan dan pelaksanaan putusan dalam pengadilan militer tidak
memiliki jangka waktu.
Dalam konteks pemeriksaan
yang berlarut terhadap kasus joko sumanteri, dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1.
Dalam Peridoe undue delay yang
pertama tidak ada aturan baku yang mengatur mengenai jangka waktu dalam tiap
tahapan pemeriksaan baik di tingkat penyidik polisi militer dan oditurat
militer, maupun di pengadilan militer itu sendiri. Jangka waktu penyidikan
tidak dapat merujuk kepada KUHAP, selain karena tahapannya berbeda, dan
terdapat perbedaan definisi antara penyidik di KUHAP dan penyidik dalam UU
pengadilan milliter. Namun penentuan apakah telah terjadi undue delay pada periode pertama, hal ini dapat berdasarkan pada asas
pengadilan sederhana, cepat, dan biaya ringan, dan asas-asas umum pemerintahan
yang baik, serta ukuran batas kewajaran berdasarkan kasus yang sedang
diperiksa, sehingga tidak merugikan kepentingan umum/publik.
Selain itu untuk menentukan
siapakah yang bersalah dan terbukti melakukan undue delay dapat ditracking ketika adanya pernyataan Denpom III/V malang
yang menyatakan telah melimpahkan berkas perkara ke oditurat dan polisi daerah
jawa timur. Apabila hasil dari pelimpahan perkara tersebut, Denpom III/V malang
dapat menunjukkan tanda terima pelimpahan berkas perkara, maka tanggung jawab
berada pada oditurat militer dan Polda Jawa Timur, namun apabila tidak, maka
tanggung jawab berada pada Denpom III/V malang.
Adapun dikarenakan tidak
ada aturan tekhnis mengenai jangka waktu dan mekanisme pelimpahan berkas yang
jelas diantara penegak hukum militer, sebagai perwujudan terhadap asas
kepastian hukum dan dan good governance, maka untuk dasar hukum terkait dengan
dugaan undue delay pada periode pertama adalah sebagai berikut:
a.
pasal 4 ayat (2) yang menyatakan “Peradilan dilakukan dengan sederhana,
cepat, dan biaya ringan”
b.
pasal 4 ayat (3) yang menyatakan “Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh
fihak-fihak lain diluar Kekuasaan Kehakiman dilarang, kecuali dalam
hal-hal yang tersebut dalam
Undang-undang Dasar.”
2.
Dalam periode undue delay yang
kedua, yang mana baru dimulai pada bulan agustus 2004 dan berakhir pada febuari
2005, maka dari kronologis yang didapat dari indra azwan dimana terdapat proses
pemeriksaan yang agak lama, dan kesalahan penuntutan yang mulanya dialamatkan
kepada pengadilan militer, namun karena Joko sumanteri sudah naik pangkat
sehingga, yang berwenang adalah pengadilan militer tinggi, maka berkas perkara
dikembalikan kepada oditurat militer dan selanjutnya diproses ke pengadilan
militer tinggi.
Dalam hal ini, berdasarkan
tabel jangka waktu dan pemeriksaan dalam hukum pengadilan militer, yang mana,
waktu selama 6 bulan menjelang daluarsanya penuntutan oleh pengadilan militer,
adalah berada dalam tahap penyelidikan dan pra penuntutan oleh oditurat
militer. Bahwa pada tahap pemeriksaan tersebut, dikarenakan jangka waktu tidak
diatur maka unsur kesalahan berupa kelalaian dari aparat penegak hukum militer
tida k dapat diukur.
Bahwa kerugian yang yang
diderita Indra Azwan berupa tidak tercapainya keadilan dalam bentuk
dipenjarakannya Joko Sumanteri, dan terselenggaranya peradilan militer yang
bersih, jujur, cepat, dan transparan
tidak hanya sekedar kesalahan dari penegak hukum militer, namun juga terjadi
karena kesalahan pembuat undang-undang yang tidak mencantumkan jangka waktu
sehingga tidak ada kepastian hukum.
4.
Adanya kerugian yang ditimbulkan: untuk
kerugian yang ditimbulkan dikaranakan adanya dugaan undue delay yang dilakukan, ada
dua entitas yang dirugikan, yaitu:
(1)
Pihak korban dan
ahli waris: adapun kerugian yang diderita oleh korban adalah hilangnya hak
korban untuk menuntut keadilan berupa dipenjarakannya Joko Sumantri.
(2)
Negara selaku
oditurat atau penuntut umum: hilangnya hak oditurat untuk menuntut. Hilangnya
hak negara untuk menghukum pelaku.
Persoalan kerugian yang dialami oleh pihak korban,
harus dirinci, keadilan seperti apakah yang ahli waris inginkan, mengingat Joko
Sumantri sudah dikenakan sanksi etik. Dalam surat yang POLDA Jawa timur
keluarkan bahwa, walaupun Joko Sumantri sudah dihukum secara etik, Ahli Waris
korban, Indra Azwan tetap bersih keukuh tidak bisa memaafkan Joko.
Dalam hal, Indra Azwan menginginkan agar Joko
dipenjara maka jika memang telah terjadi
kesalahan yang mengakibatkan undue delay,
maka sebenarnya hak untuk menuntut, hak akses terhadap keadilan pun ada pada
oditurat selaku penuntut umum negara.
Dalam konteks hukum pidana sebagaimana yang tersirat
dalam KUHAP, terdapat pemahaman bahwa hukum pidana berada pada lapangan hukum
publik, dan beban pembuktian, hak dan kewajiban menuntut pun ada pada negara
bukan pada korban, Dengan logika yang semacam ini, maka akses untuk menuntut
keadilan terhadap lamanya proses penyelidikan dan penyidikan ada pada negara
dan dilakukan oleh oditurat militer.
Adapun untuk hak yang dimiliki korban hanya diatur
dalam 1 pasal, yakni pasal 98 KUHP yang mengatur hak untuk mendapat ganti rugi
yang digabungkan dengan tuntutan perkara. Persoalan apakah adanya hak korban
untuk melakukan upaya hukum litigasi pidana, dalam rangka untuk menghukum
pelaku berdasarkan keinginanya sendiri tidak ada diatur dalam KUHP.
Namun mengenai hak korban untuk menuntut keadilan
sebenarnya diatur dalam prinsip dan beberapa aturan hukum internasional
seperti;
(1)
Ketidak-seimbangan
antara perlindungan korban kejahatan dengan pelaku kejahatan pada dasarnya
merupakan salah satu pengingkaran dari asas setiap warga
negara yang bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, sebagaimana
yang diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945, sebagai landasan konstitusional
(menurut Ari Brotodihardjo)
(2)
Dalam Kongres PBB
VII/1985 di Milan (tentang “The
Prevention of Crime and the Treatment of Offenders”) dikemukakan, bahwa
hak-hak korban seyogianya terlihat sebagai bagian integral dari keseluruhan
sistem peradilan pidana.
(3)
Pengertian “korban” berdasarkan
ketentuan angka 1 “Declaration of
basic principles of justice for victims of crime and abuse of power” pada
tanggal 6 September 1985 dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Deklarasi Nomor
A/Res/40/34 Tahun 1985 ditegaskan, bahwa:
"Korban" berarti orang yang
secara individu atau kolektif, telah menderita kerugian, termasuk cedera fisik
atau mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau substansial hak dasar
mereka, melalui tindakan atau kelalaian yang melanggar hukum pidana operasi
dalam negara-negara anggota, termasuk hukum-hukum yang melarang adanya kewenangan yang
melampui batas.
Selain itu, bila berbicara soal kerugian, apakah
aturan mengenai jangka waktu pemeriksaan dalam hukum acara militer dibuat untuk
memberikan kepastian hukum kepada oditurat, atau korban. jika memang dalam
Memorie Van Tulechting atau dalam penjelasan atau dalam naskah akademik
undang-undang tersebut, aturan mengenai jangka waktu dibuat dalam rangka untuk
menjamin kepastian hukum dan sebagai perwujudan agar tercapainya peradilan yang
profesional, cepat, sederhana, dan biaya ringan, serta melindungi kepentingan dari
korban dan penuntut umum (oditur) maka perbuatan tersebut dapat lah
dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum karena telah memenuhi unsur “Adanya Kerugian” berdasarkan analisis
dengan batu uji teori schuldnorm
(atau norma perlindungan)
5.
Adanya hubungan
kausalitas antara kerugian dan kesalahan yang dilakukan:: adanya kerugian yang
ditimbulkan berupa hilangnya hak korban atau ahli waris untuk menuntut keadilan
berupa dipenjarakannya Joko Sumantri, dan hilangnya Hak Negara dalam hal ini
oditurat militer untuk menuntut, jelas merupakan bentuk kerugian yang timbul
akibat kelalaian yang dilakukan oleh oknum Denpom V/III malang, Oditurat
Militer III-12, atau Polda Jawa Timur.
H. Daftar Pustaka
Fuady, Munir. Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer.
Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2013.