Minggu, 29 Januari 2017

KSP: Kasus Indra Azwan Bisa Jadi Pintu Masuk Perbaikan Kebijakan.


Indra Azwan didampingi oleh LBH Jakarta kembali mendatangi kompleks kantor Kementerian Sekretariat Negara untuk kesekian kalinya. Kali ini Indra Azwan bertemu dengan Perwakilan Deputi V  Kantor Staff Kepresidenan, Bapak Tio dan Bapak  Nanda (6/2/2017). Pertemuannya dengan KSP kali ini adalah dalam rangka untuk mengadukan tindakan undue delay yang dilakukan oleh oknum penyidik atau petugas pengadilan militer tekait dengan kasus Joko Sumanteri, seorang anggota Polri tersangka kasus tabrak lari yang menewaskan anak Indra Azwan, Rifhki Andhika di awal tahun 1993.

Dalam audiensi tersebut, Indra melayangkan 3 (tiga) permintaannya ke Staff Kepresidenan. Yang pertama ia meminta kepada presiden untuk segera menyelesaikan kasus ini, Presiden harus mengawal setiap upaya yang dilakukan untuk mengungkap segala fakta-fakta yang terjadi di lapangan, memberikan tindakan tegas terhadap fakta tersebut untuk mewujudkan keadilan bagi Indra Azwan. Yang kedua dia ingin melaporkan kepada Presiden Joko Widodo untuk meminta pertanggungjawaban Badrodin Haiti yang waktu itu masih menjabat sebagai Kapolda Jawa Timur, terkait dengan laporannya ke presiden yang menurut Indra Azwan penuh dengan kebohongan, rekayasa, dan permainan. Yang ketiga Indra Azwan ingin menyampaikan amanah dari Eks. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) kepada Presiden Joko Widodo terkait dengan situasi dan kondisi di pedalaman Aceh saat ini, terutama di wilayah-wilayah yang menjadi basis dari GAM itu sendiri. Indra Azwan mendapatkan amanah tersebut ketika ia memulai aksi jalan kaki mengelilingi Indonesia.

Kasus yang menimpa Indra Azwan bermula saat terjadinya kecelakaan tabrak lari yang dilakukan oleh Joko Sumanteri kepada Rifhki Andika pada awal tahun 1993 hingga menyebabkan si korban meninggal dunia. Indra Azwan sebagai orang tua dari Rifhki Andhika kemudian mengadukan kejadian tersebut ke Denpom III/V Malang. Oleh Denpom III/V Malang, sempat dilakukan penyelidikan kepada tersangka Joko Sumanteri, namun secara tiba-tiba pemeriksaan terhadap kasus ini berhenti di tengah jalan hingga tahun 2004. Pemeriksaan ulang baru dilakukan kembali di bulan agustus tahun 2004 dan baru pertama kali disidangkan pada tahun 2006. Hal ini menjadi semakin aneh ketika sidang kedua terhadap Joko Sumanteri baru kembali diadakan pada tahun 2008.

Dalam putusannya, majelis hakim menganggap bahwa hak menuntut oleh negara daluarsa. Upaya hukum kemudian dilakukan hingga tingkat Mahkamah Agung, namun amar putusan tetap tidak berubah, seluruh putusan pengadilan mengatakan bahwa hak menuntut negara telah hapus.

Kasus ini dinilai Pengacara Publik LBH Jakarta, Arif Maulana sangat menarik, karena dalam penyelidikannya, ikut melibatkan pemangku kekuasaan, seperti Badrodin Haiti, dan Gatot Nurmantyo. Dalam level pemeriksaannya, Wakil menteri Hukum dan Ham waktu itu, Deny Indrayana sampai membentuk Satuan Tugas Anti Mafia Hukum (SATGAS Anti Mafia Hukum) untuk menelusuri fakta terkait dengan penundaan berlarut ini, namun hasilnya tidak memuaskan dan belum bisa memberikan keadilan bagi pihak Indra Azwan. Indra Azwan ingat betul ketika bedah kasus di Universitas Brawijaya, Malang, Triatmojo dari TIM SATGAS Anti Mafia Hukum mengatakan bahwa Joko Sumanteri telah dijadikan ATM Berjalan oleh oknum penyidik, hal itu dilakukan untuk menunda, mengulur-ulur waktu agar berkas perkara Joko Sumanteri tidak segera naik ke pengadilan.

Dalam perjalanan kasusnya, Indra Azwan bersama Badrodin Haiti yang waktu itu masih berstatus Kapolda Jawa Timur, Gatot Nurmantyo yang waktu itu masih menjabat sebagai Panglima Kodam, dan Joko Sumanteri tersangka tabrak lari anaknya pernah dikonfrontir. Mereka akhirnya membuat sebuah kesepakatan tertulis yang isinya pihak penyidik meminta waktu 6 bulan untuk menyelidiki penyebab terjadinya kadaluarsa. Namun sampai sekarang, Indra Azwan tidak pernah diberi kabar berkaitan dengan hasil penyelidikan tersebut.

Indra Azwan mengatakan bahwa selama pemeriksaan kasus  yang dimulai pada tahun 1993 hingga tahun 2017 tidak pernah sekalipun Joko Sumanteri datang untuk meminta maaf, atau sekedar silahturahmi. Joko Sumanteri hanya pernah datang dengan didampingi 2 (dua) pengawal sembari membawa perjanjian tertulis dan meminta Indra Azwan untuk menandatanganinya. Seperti yang dikatakan di atas, Indra juga hendak mengadukan kepada Presiden terkait dengan kebohongan yang dilakukan oleh Badrodin Haiti, dia mengaku telah menyiapkan segala bukti tertulisnya. “Selama ini laporan Badrodin Haiti kepada Presiden itu bohong semua, jikalau presiden saja berani ia bohongi, apalagi rakyat” ujar Indra Azwan di KSP.”

 Salah satu kebohongan lain yang merugikan indra azwan menurutnya adalah ketika Panggilan untuk menghadap ke Pengadilan militer tidak pernah digubris oleh Joko Sumanteri, relass sidang tersebut pernah berbalaskan langsung dari Kapolres Blitar yang mengatakan bahwa Joko Sumanteri sudah tidak berdinas di Polres Blitar lagi, padahal faktanya berdasarkan daftar riwayat hidup, Joko Sumanteri, pada tahun tersebut, Joko Sumanteri masih dinas di Polres Blitar.

Selain itu, Indra Azwan juga telah mengadukan kasusnya baik ke Ombudsman, maupun Komnasham, namun sama seperti lembaga negara lainnya, hal itu tidak memberikan kepuasan batin serta keadilan kepada Indra Azwan. Dia mengaku sudah capek dengan segala kebohongan dan rekayasa yang dilakukan oleh pejabat negara, ia menanyakan secara terus menerus mengapa hukum selalu berlaku tegas untuk orang miskin, namun menjadi sulit sekali diterapkan kepada orang yang berada di atas. “mengapa sangat sulit bagi orang miskin untuk mendapatkan keadilan di negeri ini“ Tanya Indra.

Arif Maulana, Pengacara Publik LBH Jakarta menjelaskan bahwa, penyebab terjadinya daluarsa terhadap kasus Joko Sumanteri adalah undue delay atau yang dalam bahasa sehari-sehari sering dinamai Penundaan Berlarut. Undue Delay merupakan pelanggaran terhadap asas peradilan yang bersih, jujur, dan adil, tujuannya adalah agar kasus mengambang, menggantung, atau tidak naik ke Pengadilan. Arif menjelaskan kasus Indra Azwan bukan merupakan kasus satu-satunya, LBH Jakarta sendiri pada tahun 2016 setidaknya menangani sekitar 11 kasus dugaan Undue Delay dalam pemeriksaan di Pra Penuntutan.

Terkait dengan pemeriksaan di pra penuntutan, Arif menjelaskan bahwa pada penelitian yang dilakukan oleh LBH Jakarta dan MaPPI FH UI yang berjudul “Pra Penuntutan Sekarang, Ratusan Ribu Perkara Disimpan, Puluhan Ribu Perkara Hilang: Penelitian Pelaksanaan Mekanisme Pra Penuntutan di Indonesia Sepanjang Tahun 2012-2016” menjelaskan bahwa sekitar 255.618 berkas perkara tanpa SPDP, dan 44.273 berkas perkara hilang di pra penuntutan. Kelemahan manajemen di Pra Penuntutan salah satu soal jangka waktulah yang sebenarnya menjadi  penyebab struktural dari ribuan kasus penundaan berlarut ini, termasuk kasus yang menimpa Indra Azwan. Selain itu, Arif mengatakan bahwa angka itu baru terjadi di wilayah sipil, tidak tahu bagaimana dengan Peradilan militer  “Hal tersebut baru terjadi di wilayah sipil, tidak tahu kalau di peradilan militer bagaimana” ujar Arif.

Selain itu, di sisi yang bersamaan, Hal tersebut dikonfirmasi Bapak Tio dari Deputi V Kantor Staff Kepresidenan, menurutnya kasus ini adalah kasus serius.

“memang benar sangat banyak kasus penundaan berlarut semacam ini, namun sedikit sekali orang yang berani melawan memperjuangkan keadilan secara konsisten sebagaimana yang dilakukan oleh Indra Azwan, semangat dan perjuangan mereka yang mengalamai ketidakadilan, hari ini diwakilkan oleh Indra Azwan” ujar Tio.

Dia mengatakan jika memungkinkan, kasus Indra Azwan akan menjadi pintu masuk perubahan kebijakan.

“Kasus Indra Azwan, jika memungkinkan nanti akan menjadi pintu masuk bagi kasus-kasus lain yang serupa, semoga ini bisa merubah kebijakan, apalagi program Perbaikan Proses dalam Penyidikan merupakan salah satu agenda dalam Paket Kebijakan Hukum Pemerintahan di tahun 2017”

Selain itu, Pengacara Publik LBH Jakarta, Ayu Eza tiara juga mengeluhkan terkait dengan manajemen distribusi surat di Setneg, ia mengatakan bahwa surat permohonan audiensi kepada Presiden Joko Widodo yang pernah dikirimkannya malah dialihkan ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia dengan alasan petugasnya bahwa “Presiden Pasti Sibuk”.

Ayu menjelaskan bahwa kasus semacam ini tidak hanya terjadi sekali atau dua kali, dulu pada jaman pemerintahan Presiden SBY, Indra Azwan pernah mengirimkan surat pengaduan sekitar 7 kali, namun saat ia bertemu dengan Presiden, SBY mengaku bahwa surat tersebut tidak pernah sampai ke dirinya. Ayu melanjutkan bahwa kondisi presiden sedang sibuk adalah urusan yang berbeda. “berkaitan dengan Presiden sedang sibuk adalah urusan yang berbeda, namun memang surat ini tidak pernah disampaikan” ucap Ayu.

Arif menutup audiensi siang itu dengan meminta kepda KSP untuk serius menindaklanjuti pengaduan Indra Azwan, KSP dapat menelesuri kembali kasus ini dengan mentracking putusan etik Joko Sumanteri dan petugas lainnya, serta melakukan pengecekan terhadap distribusi pelimpahan perkara antar penyidik, polisi militer dan oditur militer.

Sony Gusti Anasta


Aksi Papua, Demonstrasi Penolakan Terhadap Refresifitas dan GOMPRA berjalan damai dan lancar.




Front Rakyat Indonesia West Papua (FRIWP) dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) melakukan aksi long march dari patung kuda sampai ke depan Istana Negara. Aksi yang diiringi dengan orasi damai tersebut kemudian dilanjutkan hingga ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM) (20/01/2017). Dalam aksinya kali ini, FRIWP dan AMP menyatakan menolak tuduhan makar kepada 4 aktivis  Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang ditangkap di Manado dan Jayapura. Selain itu mereka  juga dengan tegas mendesak agar TNI dan POLRI segera menghentikan segala bentuk sweeping disertai kekerasan yang dilakukan oleh aparat gabungan kepada masyarakat Papua, terutama yang berada di Kabupaten Dogiyai.

Dalam orasinya, perwakilan dari massa aksi, Surya mengatakan bahwa tindakan aparat kepolisian yang menangkap aktifis KNPB di Manado terlalu berlebihan dan terkesan sewenang-wenang. Dia mengatakan bahwa penangkapan tersebut dilakukan tanpa maksud dan alasan yang jelas.

dia ditangkap ketika dia hanya duduk-duduk di dalam sekretariat” tutur surya saat orasi.

Tindakan pihak kepolisian yang sering menggunakan pasal makar kepada para aktifis dan peserta demonstrasi dimaknai massa aksi sebagai mundurnya perkembangan demokrasi di Indonesia. Penggunaan pasal makar yang dilakukan oleh POLRI lebih mengarah kepada bentuk takutnya rezim penguasa terhadap perlawanan dari masyarakat sipil. Pengenaan pasal makar tanpa dasar dan tujuan yang jelas, kepada masyarakat yang sedang menyampaikan pendapat dan pikirannya di depan umum adalah suatu bentuk kriminalisasi dan merupakan pelanggaran berat terhadap pelaksanaan Hak Sipil dan Politik warga negara. Surya menerangkan bahwa, sebuah perbuatan baru dapat dikatakan sebagai makar jika dalam pelaksanaanya melibatkan kekerasan atau senjata.

“kami hanya mengeluarkan pendapat, kami hanya menyampaikan kekejaman aparat dan ketidakadilan di tanah papua, apakah hanya karena kata-kata kami, kemudian membuat pimpinan negara menjadi terbunuh, menjadi terluka?” tutur Surya. Orasi surya disambut gemuruh oleh massa aksi yang mayoritas adalah mahasiswa yang berasal dari Papua tersebut.

Selain Surya, Veronica seorang aktifis pembela Hak Asasi Manusia juga turut mengecam tuduhan makar yang sering dilakukan oleh POLRI kepada aktifis KNPB, dia menilai bahwa tindakan Pemerintah Indonesia jauh lebih kejam dan refresif dibandingkan Pemerintah Kolonial Belanda.

“Coba perhatikan, pejuang kemerdekaan Indonesia dulu tidak pernah dikenai pasal makar oleh Belanda. Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Subandrio, Sjahrir, dan lain-lain, mereka tidak pernah dicap makar oleh Belanda. Bahkan selama masa Presiden Soekarno, hanya ada satu kali pengenaan pasal makar yaitu kepada DI/TII.” Ujar Veronica, dalam orasinya.

Peserta aksi juga dengan keras menolak adanya sweeping tanpa arah yang dilakukan oleh Tim Gabungan Giat Operasi Mantap Praja (GOMPRA). GOMPRA merupakan Tim Gabungan yang beranggotakan aparat TNI dan POLRI yang sengaja dibentuk dan dikirimkan oleh Kepolisian Daerah Papua (POLDA PAPUA) untuk menjaga Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (kamtibnas) di Dogiyai, sebuah kabupaten  baru di Papua, tujuan utamanya adalah untuk menjaga terselenggaranya Pemilihan Kepala Daerah yang aman dan lancar. Namun, massa aksi menilai bahwa tindakan yang telah dilakukan oleh Tim Gabungan GOMPRA ini sangat refresif dan telah melampaui dari tugas yang sudah diberikan kepadanya. Hal itu dikarenakan dalam pelaksanaannya, GOMPRA malah melakukan sweeping tanpa arah, dan melakukan deskriminasi dan kecurigaan berlebihan terhadap masyarakat Papua.

Di Dogiyai, Tim Gabungan GOMPRA melakukan sweeping terhadap alat tajam, seperti silet, cutter, pisau, parang, sabit, kampak, ketapel, dan anak panah, padahal alat tajam tersebut digunakan masyarakat Digoyai untuk  berburu, bertanam, dan berkebun. “hanya dengan itu, kami (masyarakat papua) bisa makan dan bertahan hidup, kenapa malah di sweeping?” ujar perwakilan massa aksi dalam orasinya.

Selain itu, massa aksi juga menolak dengan keras segala bentuk sweeping atribut Papua Merdeka. Mereka menilai, sweeping  TIM GOMPRA dengan menyita dan merampas secara paksa handphone dan laptop  yang di dalamnya berisi gambar Bintang Kejora, lagu-lagu Papua, berita tentang Papua, video tentang Papua, tokoh-tokoh Papua, dan segala macam hal yang berhubungan dengan Papua adalah bentuk kesewenang-wenangan aparat dan merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak atas privasi dan hak atas peradilan yang jujur dan adil (fair trail). Mereka berpendapat bahwa, menyimpan pernak-pernik digital yang berhubungan dengan Papua belum tentu merupakan wujud dari pelaksanaan makar.

Selain itu, menurut mereka, GOMPRA juga sering terjebak pada interogasi berbasis stigma, mereka kerap melakukan tindakan deskriminatif kepada penduduk Papua yang memiliki rambut gimbal. Di Dogiyai dan beberapa wilayah di Papua, orang-orang yang memiliki rambut gimbal dan kumis serta jenggot yang panjang selalu dicurigai, berapa dari mereka ada yang diinterogasi dan ditahan oleh aparat, beberapa yang malang nasibnya, bahkan sempat di hajar, dan dipukuli hingga mengalamai pendaharan.

Setelah hampir 3 jam berorasi di depan Istana Negara, massa melanjutkan aksinya ke KOMNASHAM. Setelah sampai di sana, sesaat sebelum mengadukan tindakan refresif yang dilakukan oleh aparat, massa aksi sempat melakukan orasi di halaman depan kantor lembaga negara yang membela hak asasi manusia tersebut, mereka menuntut agar Natalius Pigai dihadapkan pada massa untuk mendengarkan dan menindaklanjuti segala tindakan refresitas aparat, baik di Papua maupun di Manado. Di ruang pengaduan KOMNASHAM, massa aksi diterima oleh Ibu Sandrayati Moniaga dan Ibu Siti Noor Laila, mereka mengadukan tindakan refresif aparat kepolisian yang menangkap 4 aktifis KNPB di Manado dan Jayapura, serta tindakan sweeping sewenang-wenang oleh Tim Gabungan GOMPRA di Dogiyai.

Seorang massa aksi, mengatakan bahwa dirinya telah bosan mengadukan kasus Papua ke POLRI dan KOMNASHAM, ia kecewa karena permintaan dan tuntutannya terhadap penghapusan ketidakadilan dan refresifitas aparat di Papua tidak juga terwujud. Saking emosionalnya, ia meminta KOMNASHAM mengeluarkan rekomendasi kepada Kapolri untuk mencopot jabatan Kapolres Nabire, “saya ingin agar Kapolres Nabire dicopot dari jabatannya” ujarnya bersemangat.

Setelah mengadukan permasalahannya ke KOMNASHAM, massa aksi kemudian menuju LBH Jakarta. Hari ini demonstrasi aksi massa dalam hal menyampaikan pendapat di muka umum berlangsung damai, aman dan lancar tanpa hambatan.


 Sony Gusti Anasta














Rabu, 25 Januari 2017

Perbuatan Melawan Hukum Joko Sumanteri



A.     Pengertian Umum PMH
B.     Unsur-Unsur PMH
C.     Teori Schultznorm
D.    Teori AANPRAKELIJKHEID
E.      Unsur Kesalahan Dalam PMH
F.      PMH Joko Sutrisno
G.     PMH Penegak Hukum Militer





A.     Pengertian Perbuatan Melawan Hukum

Perbuatan Melawan Hukum adalah suatu perbuatan yang mana baik tindakan secara formil atau akibat dari perbuatan tersebut menerbitkan kerugian pada seseorang atau sesuatu, yang mana baik perbuatan dan akibat tersebut secara otomatis diikuti dengan kewajiban bagi seseorang untuk menerbitkan atau mengganti kerugian yang diderita oleh orang yang dirugikan atas akibat yang sudah dia lakukan. Jadi, dapat dikatakan, karena perbuatan melawan hukum maka timbullah suatu ikatan (verbintenisen) untuk mengganti kerugian yang diderita oleh yang dirugikan.


Akibat dari suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum, walaupun akibat itu tidak dikehendaki oleh yang melakukan perbuatan tersebut, maka siapa yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum tersebut harus mengganti kerugian atas perbuatan tersebut.


Bahwa pengertian dan asas ini diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata, yang berbunyi :

Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut

Utrecht, berpendapat bahwa :
Penafsiran dalam pasal 1365 KUHPerdata dalam yurisprudensi Belanda (yurisprudensi Indonesia mengikuti yurisprudensi Belanda) ada sejarahnya. Dalam abad ke-19 ketika aliran logisme masih kuat, yang menjadi perbuatan melawan hukum hanyalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang saja. Perbuatan yang bertentangan dengan kebiasaan bukanlah perbuatan melawan hukum, jadi sesuai aliran logisme yang berpendapat diluar undang-undang tidak ada hukum. Pada akhr abad ke-19 pendapat aliran logisme ini mendapat tantangan dari berbagai  pihak.  Telah  diketahui  bahwa molengraf-lah  yang mula-mula mengatakan bahwa penafsiran yang sempit itu tidak dapat dipertahankan dan diteruskan.  E. Utrecht. Pengantar Dalam Hukum Indonesia, cet.VI Jakarta : (Balai Pustaka, 1961), hal.294.[1]

Molengraft mengemukakan :
Bahwa pengertian perbuatan melawan hukum seperti yang disebut pada pasal 1365 KUH Perdata, tidak hanya suatu perbuatan yang bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan, melainkan juga meliputi perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan segala sesuatu yang ada diluar undang-undang yang memuat kaedah-kaedah sosial.[2]

B.     Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum

Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1365 KUH Perdata, maka suatu perbuatan melawan hukum haruslah mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

1.      Adanya suatu perbuatan
2.      Perbuatan tersebut melawan hukum
3.      Adanya kesalahan dari pihak pelaku
4.      Adanya kerugian bagi korban
5.      Adanya hubungan kausalitas antara perbuatan dengan kerugian[3]

Berikut penjelasannya bagi masing-masing unsur dari perbuatan melawan hukum tersebut, yaitu sebagai berikut:

1.      Adanya suatu perbuatan
Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh suatu perbuatan dari si pelakunya. Umumnya diterima anggapan bahwa dengan perbuatan disini dimaksudkan, baik berbuat sesuatu (dalam arti aktif) maupun tidak berbuat sesuatu (dalam arti pasif), misalnya tidak berbuat sesuatu, padahal dia mempunyai kewajiban hukum untuk membuatnya, kewajiban mana timbul dari hukum yang berlaku karena ada kewajiban yang timbul dari suatu kontrak)

2.      Perbuatan tersebut melawan hukum.
Perbuatan yang dilakukan seseorang tersebut haruslah bertenatangan dengan hukum, unsur melawan hukum ini diartikan dalam arti yang seluas-luasnya, yakni meliputi hal-hal sebagai berikut;

a.      Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku
b.      Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum
c.       Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan
d.      Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat

3.      Adanya kesalahan dari pihak pelaku.
Adanya unsur kesalahan dari pelaku, kesalahan merupakan perbuatan yang dapat dimintakan tanggung jawabnya jiak memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

a.      Ada unsur kesengajaan.
b.      Ada unsur kelalaian.
c.  Tidak ada alasan pembenar dan pemaaf (rechtvaardigingsgrond), seperti keadaan overmacht, membela diri, tidak waras, dan lain-lain.

4.      Adanya kerugian bagi korban.
Adanya kerugian yang diderita oleh korban, baik kerugian yang sifatnya  materiil, maupun kerugian yang sifatnya immateriil.

5.      Adanya hubungan kausalitas antara perbuatan dan kerugian.
Adanya hubungan sebab akibat, antara perbuatan yang dilakukan dan dengan kerugian yang timbul, misalnya perbuatan yang menghilangkan nyawa orang lain mengakibatkan kerugian kepada ahli waris atau orang yang ditinggalkannya. Adapun kerugian tersebut timbul karena adanya perbuatan, baik yang hubungan sebab akibatnya bersifat  faktual (sine qua non), maupun sebab akibat kira-kira (proximate cause).[4]


C.     Teori Schultznorm

teori schultznorm disebut juga sebagai ajaran relativitas. Pada intinya teori ini mengatakan bahwa seseorang dapat dimintakan tanggung jawabnya karena telah melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana yang diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata, yang mana beban pembuktiannya tidak cukup dengan membuktikan perbuatan tersebut memiliki hubungan kausalitas dengan kerugian yang ditimbulkan, akan tetapi juga melihat apakah norma atau aturan yang dilanggar, memang dibuat untuk melindungi kepentingan korban. Teori ini sangat bergantung pada alasan atau penjelasan dalam pasal yang berkaitan, atau bisa juga berdasarkan memorie van toelichting dari peraturan tersebut.

sebagai contoh: beberapa dokter menggugat PMH seorang dokter gadungan. Memang waktu itu, di belanda ada aturan yang menyatakan dokter yang membuka praktek harus memilki izin atau sertifikasi. Karena dokter gadungan ini tidak memilki izin atau sertifikasi, maka beberapa dokter yang berpraktek di sekitar dia tinggal mengajukan PMH terhadap tindakan dokter gadungan ini, karena dia, penghasilan dari beberapa dokter resmi kemudian drastic berkurang. Dalam putusannya, hoge raad menolak, PMH yang diajukan, karena aturan yang dibuat soal izin praktek dan sertifikasi adalah dibuat untuk melindungi masyarakat menyoal kualitas dari dokter, bukan untuk melindungi kepentingan dokter lainnya.

Di, Indonesia, tidak ada aturan yang mengatakan bahwa apakah ada indikasi terhadap pemberlakuan terhadap pasal ini. Menurut Prof. Prodjodikoro, hakim tidak harus dan/atau bahkan tidak selamanya harus menerapkan teori ini atau tidak. Namun hakim dapat menggunakan teori ini hanya case by case dalam mewadahi unsur keadilan dalam putusannya yang menyangkut dengan perbuatan melawan hukum.[5]


D.    Teori AANPRAKELIJKHEID
Dapat juga disebut sebagai teori tanggung gugat, yaitu teori yang menyatakan tentang beban pertanggung jawaban terhadap suatu perbuatan yang dikategorikan PMH. Tujuan dari teori ini untuk menentukan siapa yang seharusnya menerima gugatan terhadap gugatan PMH. Dalam teori ini, teori tanggung gugat atas PMH yang dilakukan oleh orang lain dapat dibagi kepada 3 kategori sebagai berikut:

1.   Teori tanggung jawab atasan.
2.  Teori tanggung jawab pengganti yang bukan atasan atas orang-orang dalam tanggungan.
3. Teori tanggung jawab pengganti dari barang-barang yang berada di bawah tanggungannya.

Secara yuridis, KUHPerdata memerinci beberapa pihak yang harus menerima tanggung gugat dari PMH yang dilakukan oleh pihak lain, yaitu sebagai berikut:

1.  Orang tua atau wali terhadap anak-anak dibawah tanggungan atau perwaliannya (1367 BW)
2.      Majikan atas pekerjanya (1367 BW)
3.      Guru-guru atas muridnya (1367 BW)
4.      Kepala tukang atas tukangnya (1367 BW)
5.      Pemilik binatang atas binatangnya (1368 BW)
6.      Pemakai binatang atas binatang yang dipakainya (1368 BW)
7.      Pemilik gedung atas ambruknya gedung (1369 BW)

Untuk kategori di luar apa yang sudah disampaikan di atas, konsep tanggung gugat juga berlaku secara umum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1367 ayat (1) BW:

“Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, namun juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barag-barang yang berada di bawah pengawasannya”[6]

E.      Kesalahan dalam PMH

Adapun unsur kesalahan dalam PMH adalah unsur kesengajaan dan unsur kelalaian, oleh sebab itu tidak ada terhadap PMH yang dilakuakan, tidak ada alasan pembenar dan pemaaf:

Kesengajaan dalam PMH
Unsur kesengajaan menurut Munir Fuady adalah sebagai berikut:
1.      Adanya kesadaran (state of mind) untuk melakukan
2.      Adanya konsekuensi dari perbuatan. Jadi bukan hanya perbuatannya saja.
3.      Kesadaran untuk melakukan, bukan hanya untuk menimbulkan konsekuensi, melainkan juga adanya kepercayaan bahwa dengan tindakan tersebut pasti dapat menimbulkan konsekuensi tersebut.[7]

Kelalaian dalam PMH
Unsur kelalaian menurut Munir Fuady adalah sebagai berikut:
a.      Adanya suatu perbuatan atau mengabaikan sesuatu yang semestinya dilakukan
b.      Adanya suatu kewajiban kehati-hatian (duty of care)
c.       Tidak dijalankan kewajiban kehatian-kehatian tersebut
d.      Adanya kerugian bagi orag lain
e.      Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan atau tidak melakukan perbuatan dengan kerugian yang timbul[8]

F.      PMH Joko Sutrisno

PMH terhadap perbuatan joko sutrisno seorang anggota Polri yang berpangkat Lettu Pol. Joko Sutrisno, pada tahun 1993 melakukan kelalaian mengemudikan sebuah Mobil Sedan, Honda Accord hingga menyebabkan kecelakaan, menabrak seorang anak kecil, anak dari Indra Azwan yang bernama Rifki Andhika. Atas itu, Indra Azwan mengalami kerugian materiil dan immateriil, materiil berupa hilangnya nyawa Rifki Andhika, biaya-biaya yang dibutuhkan untuk mewujudan keadilan tersebut, dan immateriil berupa kesedihan yang mendalam, dan pengharapan yang sia-sia dan hampir pupus selama lebih dari 24 tahun memperjuangkan keadilan bagi tersangka penabrak lari anak kandungnya.


Adapun unsur terhadap meninggalnya Rifki Muhammd adalah sebagai berikut:

1.      Adanya perbuatan: adanya perbuatan Joko Sutrisno yang mengemudikan mobil sedan pada tanggal 8 Febuari 1993, yang kemudian menabrak Rifki Andhika, kemudian langsung melarikan diri, akibat perbuatannya, Rifki Andhika mengalami pendaharaan di bagian kepala dan sejumlah badan, dan meninggal dunia di jalan perjalanan menuju rumah sakit Saiful Anwar Malang.
2.      Perbuatan tersebut melawan hukum: adapun perbuatan yang dilakukan Joko Sumantri tersebut melawan hukum, terutama Hak untuk hidup dari Rifki Andhika dan ketentuan dalam pasal 359 KUHP (karena kesalahan dan kealpaan menyebabkan orang meninggal dunia)
3.      Kesalahan dalam perbuatan: adanya kesalahan berupa kelalaian yang dilakukan Joko Sutrisno dengan tidak berhati-hati. Tidak cermat, dan waspada mengemudikan mobilnya hingga menabrak Rifki Andhika yang sedang ingin menyebrang jalan, dan karenananya mengakibatkan Rifki Andhika meninggal dunia
4.      Adanya kerugian: kerugian yang ditimbulkan adalah hilangnya nyawa Rifki Muhammad, dan hilangnya anak, penghibur, harapan masa depan bagi Indra Azwan.
5.      Adanya hubungan kausalitas antara kerugian dan kesalahan yang dilakukan: Kesalahan berupa kelalaian yang dilakukan oleh Joko Sumantri berupa tabrak lari hingga menyebabkan Rifki Muhamad meninggal berakibat langsung terhadap Meninggalnya atau perginya Rifki Muhammad. Akibat dari perginya Rifki Muhammad tersebut, ahli waris merasa  dirugikan, berupa tidak adanya buah hati yang senantiasa menemani dan membahagiakan ahlinya.


Bahwa dengan demikian, perbuatan yang dilakukan oleh Joko Sumantri dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan melawan hukum, dimana perbuatan melawan hukum yang dilakukan Joko Sumantri ini meninggalkan kesedihan yang mendalam bagi ahli waris, ahli waris kehilangan satu di antara penyemangat dan pembahagia hidup. Apalagi ditambah dengan tidak jelasnya alur penyelesaian perkara ini menyebabkan ahli waris merasa kehilangan hak atas akses terhadap keadilan. Berdasarkan pasal 1967 BW, daluarsa gugatan PMH terhadap Joko Sumantri adalah 30 tahun semenjak terjadinya kecelakaan.


G.     PMH Penegak Hukum Militer 

Pertama penting untuk diketahui, bahwa paska dikeluarkannya  undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, setiap tindak pidana yang dilakukan oleh anggota POLRI berada pada lapangan peradilan umum. namun sebelum itu, anggotra polri yang melakukan tindak pidana tunduk pada  peradilan militer, sebagaimana yang diatur dalam UU PNPS 3 tahun 1965. Oleh dikarenakan lakalantas yang menimpa Rifki Andhika terjadi pada tahun 1993 yakni sebelum UU POLRI dikeluarkan dan dwi fungsi ABRI masih berlaku, maka peradilan yang berwenang memeriksa dan memutus Joko Sumanteri adalah peradilan militer, hal ini diatur dalam pasal 1 ayat (2) KUHP mengenai ketentuan umum tindak pidana, walaupun proses penuntutan kasusnya dilakukan  saat undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang kepolisian republik indonesia telah diberlakukan.

Bahwa berkaitan dengan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Joko Sumantri, penyelesaian perkara berupa penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus ini ternyata berlarut-larut dan tidak mencerminkan asas kepastian hukum dan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Karena penyelesaian kasus yang lama dan berlarut-larut maka membuat hak negara untuk menuntut tersangka menjadi hapus/hilang. Adanya dugaan undue delay untuk membuat kasus daluarsa membuat Joko Sumantri bebas dari jeratan pidana. terbebasnya Joko Sumanteri dari jeratan pidana, membuat hak korban unutk mendapatkan keadilan menjadi hilang.

Sebelum kita uraikan unsur-unsur dari PMH yang dilakukan oleh oknum dari penegak hukum di militer, penting untuk kita ketahui bahwa gugurnya hak negara untuk menuntut sebuah perkara pidana karena daluarsa untuk tindak pidana yang diancam lebih dari 5 tahun adalah 12 tahun dari terjadinya tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 78 ayat (1) butir 3 KUHP.

Jadi, jika terjadinya tindak pidana dilakukan pada 8 Febuari 1993, maka hapusnya menuntut negara terjadi di atas tanggal 8 febuari 2005, maka berdasarkan pemeriksaan berkas yang sudah dilakukan, ada 2 peristiwa yang kemungkinan telah terjadinya perbuatan undue delay untuk membuat kasus daluarsa, yakni:

1.      13 September 1993 – hingga 16 agustus 2004 = Undue Delay sekitar 10 tahun, 11 bulan (untuk selanjutnya disebut periode undue delay pertama).
2.      Undue Delay 16 agustus 2004 – 9 Febuari 2005 = Sejak penyidikan ulang pada tanggal 16 agustus 2004, masih terdapat sekitar 6 bulan bagi oditurat militer untuk melakukan penuntutan. (untuk selanjutnya disebut periode undue delay kedua)

Penghitungan diatas cukup penting untuk memetakan kepada siapa saja nantinya gugatan PMH akan dialamatkan agar nantinya gugatan tidak dinyatakan kurang pihak (plurius litis consortium), dan salah orang/alamat (error in persona).

Pada periode undue delay pertama, menurut berkas yang ada, Denpom V/III malang telah melimpahkan berkas perkara ke  Polda jatim selaku Papera, dan Oditurat Militer III-12 selaku penuntut. Setelah pelimpahan berkas tersebut, penyelidikan kasus terhenti sampai tahun 2004.

Pada periode undue delay kedua, menurut berkas yang ada, adanya proses pemeriksaan yang memakan waktu sekitar 2 bulan oleh Denpom Malang, dan pemeriksaan berkas oleh kepala oditurat militer sebanyak 1,5 bulan, dan 2,5 bulan menjelang 8 febuari 2016 (daluarsanya penuntutan) oleh Kapolda Jatim.

Berdasarkan keterangan di atas, adapun unsur-unsur dari PMH yang diduga dilakukan oleh oknum Denpom V/III Malang, Kapolda Jatim, dan Oditurat Militer III-12 adalah sebagai berikut:

1.     Adanya perbuatan: yaitu perbuatan yang menyebabkan terjadinya penundaan berlarut dalam penyelidikan dan penyidikan kasus dimana Joko Sumantri sebagai tersangka;

2. Perbuatan tersebut melawan hukum: adapun perbuatan tersebut melawan hukum, yakni berupa pelanggaran terhadap aturan tekhnis administrasi penyelidikan tindak pidana yang melibatkan militer, dan pelanggaran terhadap asas yang diatur dalam Undang-Undang kekuasaan kehakiman mengenai asas peradilan yang bersih, jujur, dan tidak memihak, serta asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

3. Kesalahan dalam perbuatan: terkait dengan kesalahan yang dilakukan oleh oknum penyidik, maka dapat diduga terjadi salah satu di antara kesalahan, yakni:

(1)   Adanya kemungkinan kesengajaan untuk menunda penyelesaian kasus
(2)   Adanya kemungkinan kelalaian terhadap pemeriksaan dan distribusi berkas kasus

Untuk ini, perlu dilakukan penelitian atau setidaknya investigasi lebih lanjut apakah, kesalahan yang dilakukan, baik dalam periode undue delay pertama, maupun periode undue delay kedua merupakan kesengajaan atau kelalaian.

Dalam hal, jika pada saat investigasi terbukti bahwa terdapat kesengajaan yang dilakukan oleh oknum penegak hukum militer, maka unsur kesalahan dari PMH otomatis terpenuhi.

Dalam hal, jika telah terjadi kelalaian yang dilakukan oleh oknum penegak hukum militer, maka sebagai tolok ukur, harus dicari peraturan yang tepat mengenai mekanisme tekhnis penyelidikan dan penyidikan di pengadilan militer. Hal ini merupakan kewajiban untuk membuktikan sebagai upaya terhadap pemenuhan unsur dalam PMH, terutama unsur Perbuatan tersebut melawan hukum dan kesalahan karena kelalaian dalam PMH:

Terkait dengan hal tersebut, menurut Munir Fuady, yang dimaksud perbuatan tersebut melawan hukum adalah sebagai berikut:

a.      Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku
b.      Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum
c.       Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan
d.      Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat[9]

Selain itu, masih menurut munir fuady, unsur dari kesalahan karena kelalaian adalah sebagai berikut:

a.      Adanya suatu perbuatan atau mengabaikan sesuatu yang semestinya dilakukan
b.      Adanya suatu kewajiban kehati-hatian (duty of care)
c.       Tidak dijalankan kewajiban kehatian-kehatian tersebut[10]

Perbuatan melawan hukum dari oknum penegak hukum militer dapat dibuktikan PMHnya terutama dalam unsur Perbuatan yang dilakukannya melawan hukum dan adanya unsur kesalahan karena kelalaian jika hanya terdapat aturan hukum tekhnis mengenai mekanisme dan waktu estimasi yang ditetapkan dalam undang-undang atau peraturan pemerintah lainnya.

Adapun berhubung kejadian kecelakaan lalu lintas terjadi pada tahun 1993, dan mengingat undang-undang peradilan militer baru berlaku dari tanggal 10 februari 1997, maka terkait dengan dasar hukum yang berlaku dalam penyelidikan dan penyidikan dalam hukum acara pidana militer terkhusus untuk kasus yang menimpa Rifkhi Andhika, maka peraturan terkait dengan itu adalah sebagai berikut:

a)      8 Febuari 1993 – 10 febuari 1997 berlaku hukum acara pidana militer, yaitu Undang-Undang dan segala peraturan terkait yang keluar sebelum undang-undang 31 tahun 1997.
b)     10 Febuari 1997 – 8 febuari 2005 yaitu waktu dimana habis masa kadaluarsa. Yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Pengadilan Militer.

a.d.a) Dalam lintas sejarah, terkait dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang peradilan militer, telah terbit beberapa aturan mengenai hukum acara,  di tubuh pengadilan militer. Pengaturan mengani hal ini dimulai dari terbitnya undang-undang darurat nomor 17 tahun 1950 tentang Hukum Acara Pidana Tentang Pengadilan Tentara. Mengingat undang-undang ini berlaku pada periode Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat, maka undang-undang ini berlaku dengan ditetapkannya undang-undang nomor 6 tahun 1950 tentang pengesahan UU darurat nomor 17 tahun 1950 sebagai undang-undang federal. Isinya tidak banyak hanya menjelaskan struktur penegak hukum, dan pemberlakuan HIR sebagai hukum acara.

Setelah itu, pada tahun 1965, keluarlah UU Nomor 3 PNPS tahun 1965 tentang Memperlakukan Hukum Pidana Tentara, Hukum Acara Pidana Tentara Dan Hukum Disiplin Tentara Bagi Anggota-Anggota Angkatan Kepolisian. Peraturan ini merupakan wujud prinsip koneksitas yang memaksa anggota polisi yang melakukan tindak pidana, diproses berdasarkan undang-undang ini. Selain itu, aturan ini juga memiliki aturan turunan terutama Kepres Nomor 53 tahun 1972 tentang Pengendalian Dan Pengawasan Atas Penggunaan Wewenang Penjerahan Perkara, Pemeriksaan Pendahuluan Dan Penuntutan Dilingkungan Angkatan Bersendjata Republik Indonesia.

Namun tidak satupun dari undang-undang tersebut, ataupun dari aturan pelaksana undang-undang tersebut menyebutkan mengenai jangka waktu pemeriksaan mengenai suatu tindak pidana,  yang diatur dalam peraturan terkait adalah perluasan yuridiksi peradilan militer atau peradilan ketentaraan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh militer, serta susunan pengadilan dan kejaksaan, dan pemberlakuan HIR sebagai hukum acara pidana militer.

Setelah ketentuan dalam undang-undang tesebut berjalan, pada tahun 1981 keluarlah undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP, undang-undang ini menjadi aturan yang sifatnya generalis terhadap segala hukum acara yang ada yakni HIR. Hal ini diatur secara jelas dalam Penjelasan umum undang-undang nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang pada intinya mengatakan sebagai berikut:

Undang-undang Nomor 6 Tahun 1950 tentang Menetapkan Undang-undang Darurat tentang Hukum Acara Pidana Pada Pengadilan Tentara sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Drt Tahun 1958 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1950 tentang Hukum Acara Pidana Pada Pengadilan Ketentaraan yang menyatakan bahwa hukum acara pidana pada peradilan ketentaraan berlaku sebagai pedoman het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) dengan perubahan dalam Undang-undang tersebut; sedangkan yang mengatur pemeriksaan pada Mahkamah Tentara Agung dan Pengadilan Tentara Tinggi dalam tingkat kedua berpedoman pada titel 15 Strafvordering. Dengan dicabutnya HIR oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dalam praktek peradilan, Mahkamah Militer menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai pedoman.

Oleh sebab itu, pasca dikeluarkannya undang-undang nomor 8 tahun 1981, maka pengaturan hukum acara pidana untuk seluruh tindak pidana yang terjadi setelah tanggal 31 desember 1981 diatur dalam KUHAP. Dan dalam penjelasan umum KUHAP tersebut juga mengatakan bahwa pemberlakuan undang-undang ini menghapuskan atau membuat tidak berlakunya HIR. Oleh sebab itu, untuk pengaturan hukum acara yang memang dari berlakunya UU Nomor 17 tahun 1950 sampai dengan UU nomor 3 PNPS 1965 menggunakan HIR kehilangan dasar hukum acara.

Selain itu, tidak ditemukan adanya mekanisme pengawasan dalam peradilan militer yang diwujudkan dalam pengaturan jangka waktu dalam tiap tahapan pemeriksaan sampai dengan diberlakukannya undang-undang nomor 31 tahun 1997 tentang peradilan militer. Paling tidak ukuran pengawasan dan jangka waktu pemeriksaan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anggota polisi ataupun militer diatur dalam konsep umum peradilan yang diatur dalam UU Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman:

1.      “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.” (pasal 4 ayat (2) UU Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok keuasaan kehakiman))

Dalam penjelasannya dikatakan bahwa  “Peradilan harus memenuhi harapan dari para pencari keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang cepat, tepat, adil dan biaya ringan. Tidak diperlukan pemeriksaan dan acara yang berbelit-belit yang dapat menyebabkan proses sampai bertahun-tahun, bahkan kadang-kadang harus dilanjutkan oleh para ahli-waris pencari keadilan. Biaya ringan artinya biaya yang serendah mungkin sehingga dapat terpikul oleh rakyat. Ini semua dengan tanpa mengorbankan ketelitian untuk mencari kebenaran dan keadilan.”

2.      Selain itu, penundaan berlarut pada periode undue delay pertama mengindikasikan bahwa proses pradilan militer terhadap perbuatan yang dilakukan oleh Joko Sumanteri diduga dicampuri oleh pihak-pihak di luar pengadilan, yang tidak ingin proses pencapaian keadilan yang dihenedaki oleh korban tercapai. Hal ini bertentangan dengan pasal 4 ayat (3) UU pokok-pokok kekuasaan kehakiman;

Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh fihak-fihak lain diluar Kekuasaan Kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam Undang-undang Dasar.”

a.d.b) bahwa setelah dikeluarkannya undang-undang 31 tahun 1997 tentang peradilan militer, maka proses dan mekanisme serta jangka waktu dalam pemeriksaan perkara di pengadilan militer di atur dalam undang-undang tersebut. Walaupun berkaitan dengan jangka waktu di dalam tiap tahapan pemeriksaan di pengadilan militer tidak sepenuhnya mengatur secara rinci, namun dapat diklasifikasikan tahapan dan waktu di pengadilan militer adalah sebagai berikut:

No
Tahapan
Jangka Waktu
1.
Memproses laporan atau pengaduan (pasal 99 ayat 1)
Tidak diatur
2.
Penyerahan berkas perkara dari Polisi Militer ke ANKUM, Perwira Penyerah Perkara, dan aslinya ke oditurat militer (pasal 101 ayat 1)
Tidak diatur
3.
Pemanggilan saksi atau tersangka untuk penyidikan (pasal 103 ayat 1)
Tenggat waktu yang wajar x 2
4.
Penangkapan oleh penyidik (pasal 76 ayat 3)
1 hari
5.
Penahanan oleh ANKUM (pasal 78 ayat 1)
20 hari
6.
Penahanan oleh Perwira Penyerah Perkara (pasal 78 ayat 2)
30 hari dan dapat diperpanjang, Max.180 hari
7.
Penyerahan Perkara kepada oditur selaku penuntut umum oleh penyidik lewat Perwira Penyerah Perkara (pasal 124 ayat 1)
Tidak diatur
8.
Permintaan oleh Oditur kepada Penyidik untuk melengkapi berkas perkara dalam hal berkas perkara kurang lengkap (pasal 124 ayat 2)
Tidak diatur
9.
Oditur melakukan penyidikan tambahan atau mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk penyidikan, dalam hasil penyidikan tidak cukup. (pasal 124 ayat 3)
Tidak diatur
10.
Jawab menjawab antara Oditur dan Perwira Penyerah Perkara mengenai hukuman acara pengadilan militer (pasal 127-129)
Tidak diatur
11.
Penyerahan Berkas Perkara dari Oditur ke Pengadilan Militer/ atau Pengadilan Militer Tinggi (pasal 130 ayat 1)
Tidak diatur
12.
Perbaikan surat dakwaan oleh oditur (pasal 131 ayat 1)
7 hari
13.
Penetepan Ketua Pengadilan militer/ pengadilan militer tinggi mengenai penolakan penyelesaian perkara berdasarkan kewenangan (pasal 133 ayat 1)
7 hari
14.
Keberatan oditur terhadap penetapan ketua pengadilan militer, atau pengadilan militer tinggi (pasal 134 ayat 1)
7 hari
15.
Pengadilan militer/ pengadilan militer tinggi meneruskan keberatan oditur kepada Pengadilan Militer Utama (pasal 134 ayat 4)
7 hari
16.
Penetapan berupa penolakan atau pengabulan oleh Pengadilan militer tinggi/ pengadilan militer utama terhadap keberatan yang dilakukan oleh oditur (pasal 135 ayat 1)
14 hari
17.
Penahanan oleh Pengadilan militer/ Pengadilan militer tinggi untuk menunggu pemeriksaan dan proses penuntutan di pengadilan (pasal 137 ayat 1 b)
30 hari
18.
Perpanjangan penahanan oleh Pengadilan militer/ Pengadilan militer tinggi untuk menunggu pemeriksaan dan proses penuntutan di pengadilan (pasal 137 ayat 2)
60 hari
19.
Perpanjangan penahanan oleh Pengadilan militer/ pengadilan militer tinggi apabila terdapat pemeriksaan lanjutan terhadap tindak pidana yang diancam lebih dari 9 tahun atau lebih (pasal 138 ayat 2)
30 hari + 30 hari
20.
Pemanggilan menghadap pengadilan (pasal 139 ayat 2)
3 hari sebelum hari sidang.
Pemeriksaan di Pengadilan

Bahwa jumlah waktu yang dibutuhkan dalam pemeriksaan dari penyelidikan hingga penuntutan dan putusan tidak dapat ditaksir, karena banyak tahapan baik dalam penyelidikan, penyerahan perkara, penuntutuan dan pelaksanaan putusan dalam pengadilan militer tidak memiliki jangka waktu.

Dalam konteks pemeriksaan yang berlarut terhadap kasus joko sumanteri, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1.      Dalam Peridoe undue delay yang pertama tidak ada aturan baku yang mengatur mengenai jangka waktu dalam tiap tahapan pemeriksaan baik di tingkat penyidik polisi militer dan oditurat militer, maupun di pengadilan militer itu sendiri. Jangka waktu penyidikan tidak dapat merujuk kepada KUHAP, selain karena tahapannya berbeda, dan terdapat perbedaan definisi antara penyidik di KUHAP dan penyidik dalam UU pengadilan milliter. Namun penentuan apakah telah terjadi undue delay pada periode pertama, hal ini dapat berdasarkan pada asas pengadilan sederhana, cepat, dan biaya ringan, dan asas-asas umum pemerintahan yang baik, serta ukuran batas kewajaran berdasarkan kasus yang sedang diperiksa, sehingga tidak merugikan kepentingan umum/publik.

Selain itu untuk menentukan siapakah yang bersalah dan terbukti melakukan undue delay dapat ditracking ketika adanya pernyataan Denpom III/V malang yang menyatakan telah melimpahkan berkas perkara ke oditurat dan polisi daerah jawa timur. Apabila hasil dari pelimpahan perkara tersebut, Denpom III/V malang dapat menunjukkan tanda terima pelimpahan berkas perkara, maka tanggung jawab berada pada oditurat militer dan Polda Jawa Timur, namun apabila tidak, maka tanggung jawab berada pada Denpom III/V malang.

Adapun dikarenakan tidak ada aturan tekhnis mengenai jangka waktu dan mekanisme pelimpahan berkas yang jelas diantara penegak hukum militer, sebagai perwujudan terhadap asas kepastian hukum dan dan good governance, maka untuk dasar hukum terkait dengan dugaan undue delay pada periode pertama adalah sebagai berikut:

a.      pasal 4 ayat (2) yang menyatakan “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan”

b.       pasal 4 ayat (3) yang menyatakan Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh fihak-fihak lain diluar Kekuasaan Kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam Undang-undang Dasar.”


2.      Dalam periode undue delay yang kedua, yang mana baru dimulai pada bulan agustus 2004 dan berakhir pada febuari 2005, maka dari kronologis yang didapat dari indra azwan dimana terdapat proses pemeriksaan yang agak lama, dan kesalahan penuntutan yang mulanya dialamatkan kepada pengadilan militer, namun karena Joko sumanteri sudah naik pangkat sehingga, yang berwenang adalah pengadilan militer tinggi, maka berkas perkara dikembalikan kepada oditurat militer dan selanjutnya diproses ke pengadilan militer tinggi.

Dalam hal ini, berdasarkan tabel jangka waktu dan pemeriksaan dalam hukum pengadilan militer, yang mana, waktu selama 6 bulan menjelang daluarsanya penuntutan oleh pengadilan militer, adalah berada dalam tahap penyelidikan dan pra penuntutan oleh oditurat militer. Bahwa pada tahap pemeriksaan tersebut, dikarenakan jangka waktu tidak diatur maka unsur kesalahan berupa kelalaian dari aparat penegak hukum militer tida k  dapat diukur.

Bahwa kerugian yang yang diderita Indra Azwan berupa tidak tercapainya keadilan dalam bentuk dipenjarakannya Joko Sumanteri, dan terselenggaranya peradilan militer yang bersih, jujur,  cepat, dan transparan tidak hanya sekedar kesalahan dari penegak hukum militer, namun juga terjadi karena kesalahan pembuat undang-undang yang tidak mencantumkan jangka waktu sehingga tidak ada kepastian hukum.


4.      Adanya kerugian yang ditimbulkan: untuk kerugian yang ditimbulkan dikaranakan adanya dugaan undue delay  yang dilakukan, ada dua entitas yang dirugikan, yaitu:

(1)   Pihak korban dan ahli waris: adapun kerugian yang diderita oleh korban adalah hilangnya hak korban untuk menuntut keadilan berupa dipenjarakannya Joko Sumantri.
(2)   Negara selaku oditurat atau penuntut umum: hilangnya hak oditurat untuk menuntut. Hilangnya hak negara untuk menghukum pelaku.

Persoalan kerugian yang dialami oleh pihak korban, harus dirinci, keadilan seperti apakah yang ahli waris inginkan, mengingat Joko Sumantri sudah dikenakan sanksi etik. Dalam surat yang POLDA Jawa timur keluarkan bahwa, walaupun Joko Sumantri sudah dihukum secara etik, Ahli Waris korban, Indra Azwan tetap bersih keukuh tidak bisa memaafkan Joko.

Dalam hal, Indra Azwan menginginkan agar Joko dipenjara maka jika  memang telah terjadi kesalahan yang mengakibatkan undue delay, maka sebenarnya hak untuk menuntut, hak akses terhadap keadilan pun ada pada oditurat selaku penuntut umum negara.

Dalam konteks hukum pidana sebagaimana yang tersirat dalam KUHAP, terdapat pemahaman bahwa hukum pidana berada pada lapangan hukum publik, dan beban pembuktian, hak dan kewajiban menuntut pun ada pada negara bukan pada korban, Dengan logika yang semacam ini, maka akses untuk menuntut keadilan terhadap lamanya proses penyelidikan dan penyidikan ada pada negara dan dilakukan oleh oditurat militer.

Adapun untuk hak yang dimiliki korban hanya diatur dalam 1 pasal, yakni pasal 98 KUHP yang mengatur hak untuk mendapat ganti rugi yang digabungkan dengan tuntutan perkara. Persoalan apakah adanya hak korban untuk melakukan upaya hukum litigasi pidana, dalam rangka untuk menghukum pelaku berdasarkan keinginanya sendiri tidak ada diatur dalam KUHP.

Namun mengenai hak korban untuk menuntut keadilan sebenarnya diatur dalam prinsip dan beberapa aturan hukum internasional seperti;

(1)   Ketidak-seimbangan antara perlindungan korban kejahatan dengan pelaku kejahatan pada dasarnya merupakan salah satu pengingkaran dari asas setiap warga negara yang bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945, sebagai landasan konstitusional (menurut Ari Brotodihardjo)

(2)   Dalam Kongres PBB VII/1985 di Milan (tentang “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders”) dikemukakan, bahwa hak-hak korban seyogianya terlihat sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana.

(3)   Pengertian “korban” berdasarkan ketentuan angka 1 “Declaration of basic principles of justice for victims of crime and abuse of power” pada tanggal 6 September 1985 dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Deklarasi Nomor A/Res/40/34 Tahun 1985 ditegaskan, bahwa:


"Korban" berarti orang yang secara individu atau kolektif, telah menderita kerugian, termasuk cedera fisik atau mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau substansial hak dasar mereka, melalui tindakan atau kelalaian yang melanggar hukum pidana operasi dalam negara-negara anggota, termasuk hukum-hukum yang melarang adanya kewenangan yang melampui batas.


Selain itu, bila berbicara soal kerugian, apakah aturan mengenai jangka waktu pemeriksaan dalam hukum acara militer dibuat untuk memberikan kepastian hukum kepada oditurat, atau korban. jika memang dalam Memorie Van Tulechting atau dalam penjelasan atau dalam naskah akademik undang-undang tersebut, aturan mengenai jangka waktu dibuat dalam rangka untuk menjamin kepastian hukum dan sebagai perwujudan agar tercapainya peradilan yang profesional, cepat, sederhana, dan biaya ringan, serta melindungi kepentingan dari korban dan penuntut umum (oditur) maka perbuatan tersebut dapat lah dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum karena telah memenuhi unsur “Adanya Kerugian” berdasarkan analisis dengan batu uji teori schuldnorm (atau norma perlindungan)

5.      Adanya hubungan kausalitas antara kerugian dan kesalahan yang dilakukan:: adanya kerugian yang ditimbulkan berupa hilangnya hak korban atau ahli waris untuk menuntut keadilan berupa dipenjarakannya Joko Sumantri, dan hilangnya Hak Negara dalam hal ini oditurat militer untuk menuntut, jelas merupakan bentuk kerugian yang timbul akibat kelalaian yang dilakukan oleh oknum Denpom V/III malang, Oditurat Militer III-12, atau Polda Jawa Timur.

H.    Daftar Pustaka

Fuady, Munir. Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer. Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2013.







[1] http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-perbuatan-melawan-hukum.html
[2] Ibid.
[3] Munir Fuady. Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer. Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2013, hal.10
[4] Ibid., hal. 10-14
[5]  Ibid., hal.14-16
[6]  Ibid., hal. 16-19
[7] Ibid., hal. 47
[8] Ibid., hal. 73
[9] Ibid., hal.11.
[10] Ibid., hal. 73