Politik Hukum Sarat Syariat
OLEH SONY GUSTI ANASTA
Dalam tulisan saya yang berjudul “Bias Islam
Nusantara” yang dimuat di harian Jambi Ekspres (7 September 2013) mengatakan
bahwa sebagai negara yang mempunyai penduduk islam terbesar di dunia sudah saatnya
Indonesia memakai dan menerapkan hukum islam sebagai regulator dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Interpretasi Pancasila sudah saatnya di amalkan
dengan ide-ide yang tertera dalam Al-quran dan Hadis, agar prilaku bangsa Indonesia
mencerminkan prilaku bangsa yang beradab dan diridhoi Allah SWT.
Sebagai aspek Ilmu yang paling bertanggung jawab
terhadap perkembangan islam di nusantara, aspek ilmu hukum menjadi prioritas utama
untuk menggerakkan aspek ilmu lain agar berbumbu dan bercitra islami.
Aspek ekonomi, sosial, perdagangan, sampai hiburan
adalah aspek-aspek yang penerapan dan cara kerjanya bergantung kepada rumusan
hukum yang ada. Oleh karena itu tidak berlebihan jika dikatakan politik hukum
suatu bangsa adalah kunci utama untuk merubah segala lini kehidupan di bangsa
yang bersangkutan.
Hukum Dan Gejala
Dalam suatu sumber perkuliahan, saya pernah membaca
bahwa hukum dapat mempengaruhi gejala, dan gejala dapat mempengaruhi hukum.
Maksudnya adalah adanya hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala yang
ada dimasyarakat. Hubungan tersebut adalah, di satu sisi hukum dapat menjadi
(sosial engineering) pengubah pola sosial, sehingga atmosfir dan suasana sosial
yang ada dapat terkontrol secara yuridis, dan disisi berbeda hukum dapat
menjadi fasilitator yang memberikan sarana terhadap hubungan dan peristiwa
sosial yang ada di masyarakat. Dalam pengertian ini, hukum menjadi aturan yang
bersifat (reacting) atau mereaksi akibat yang timbul dari suatu peristiwa sosial.
Itu artinya, saat ini untuk penyebar-luasan asas
dan nilai islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melewati dua cara, yang
pertama adalah dengan memberikan sughesti agamis kedalam hukum nasional sehingga
dapat menimbulkan gejala di masyarakat dan kedua menjadikan peristiwa atau
gejala di masyarakat sebagai justifikasi untuk menelurkan hukum dengan energi
syariat.
Cara yang pertama dibangun dalam sebuah pemikiran
bahwa islam sebagai agama rahmatan lil alamin, adalah satu-satunya agama yang diridhoi oleh Allah SWT. Dasar
pemikiran ini sangat lekat hubungannya dengan aliran pendukung teori hukum alam,
dimana terdapat doktrin lawas yang mengatakan setiap sistem hukum berasal dari
satu entitas hukum. Walupun saat ini kenyataannya hukum selalu dikotak-kotakkan
secara teritorial, apalagi untuk negara semacam Indonesia yang memiliki
berbagai macam suku, adat, dan agama.
Sedangkan jalan yang lainnya berarti, di masyarakat
harus terjadi dahulu hal-hal yang tidak diharapkan untuk memberikan legitimasi
kepada politisi yang mendukung nilai islam mengakar dalam hukum nasional agar
berani menerapkan aturan syariat. Walaupun perisitiwa yang tidak diharapkan
tersebut hanya sebagai justifikasi agar penerapan nilai islam dapat dieksekusi.
Di Indonesia sendiri, bentang sejarah penerapan
nilai islam dalam peraturan perundang-undangan ibarat pisau bermata dua. Kita
boleh bangga karena beberapa peraturan perundang-undangan yang ada sudah berasas
islam dan mendukung cita-cita islam untuk mencapai kemaslahatan. Namun kita
juga tidak dapat memungkiri kalau prestasi alim ulama maupun politisi islam
dalam memperngaruhi substansi hukum relatif masih sangat lemah mengingat penduduk
Indonesia mayoritas beragama islam.
Undang-Undang Syariat
Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
merupakan satu potret keberhasilan alim ulama dan politisi dalam mewujudkan
nilai islam menjadi salah satu sendi kehidupan bernegara. Tidak dapat
dipungkiri undang-undang ini pun sangat kental dengan aturan islam yang
diajarkan oleh Rasullulah SAW. Adanya integrasi antara hukum agama dan hukum
positif menandakan bahwa hukum islam bermain penting dalam undang-undang ini.
Walaupun pada tahun 2012 lalu, alim ulama dan para
politisi islam, serta kita masyarakat muslim Indonesia pada umumnya sempat
ketar-ketir ketika Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal 43 undang-undang yang
lahir dalam masa orde baru ini. Anak yang lahir luar kawin yang pada awalnya
hanya memiliki hubungan waris dengan pihak keluarga ibunya dihapuskan. Karena Mahkamah
Konstitusi menilai pasal ini betentangan dengan prinsip persamaan kedudukan
didepan hukum yang dianut Undang-Undang Dasar 1945.
Selain itu, putusan tersebut juga memberikan
penafsiran bahwa kawin bercatat yang menjadi inti dari undang-undang ini hanya
bersifat administrasi saja. Itu artinya dicatatkan atau tidak suatu perkawinan
ke lembaga terkait tidak akan mereduksi hakikat beserta akibat perkawinan
tersebut. Hal ini menandakan upaya masyarakat islam dalam mengintegrasikan
hukum agama ke hukum nasional mendapat pertentangan.
Selain itu,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi juga
merupakan bukti bahwa nilai-nilai islam telah berkembang dan berhasil melewati
halang badai di DPR. Walaupun disatu sisi kita kerap kebingunan, karena
penerapan undang-undang ini dinilai masih setengah hati. Masalah orang
pedalaman yang menggunakan koteka adat adalah salah satu alasan penentang
keberadaan undang-undang ini. Karena sejurus dengan hal tersebut konstitusi
telah mengamanatkan dalam pasal 18b (2) untuk mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
Di alasan lain,
undang-undang ini juga dinilai dapat mempengaruhi pendapatan negara dibidang
pariwisata dan kebudayaan karena berpotensi mereduksi jumlah turis yang datang
akibat pengaturan dibidang pornografi yang semakin hari semakin ketat. Padahal
seharusnya hal inilah yang menjadi nilai jual dimata dunia. Kebudayaan dan
sopan santun serta etika yang beradab menjadi kelebihan indonesia dalam
pergaulan internasional. Kita hanya menjual pariwisata tidak lantas dengan
mengorbankan moralitas dan kesopanan.
Tugas berat
selanjutnya telah menunggu didepan mata. Pengaturan gendak atau selingkuh, atau
lebih tepatnya zhina mesti dijadikan prioritas dalam politik hukum RUU KUHP kedepannya.
Kita tidak bisa membiarkan banyak anak muda yang harus aborsi, atau terkena HIV
dan AIDS, hingga dengan dalih pencegahan, penjualan alat kontrasepsi berubah mainstream.
Pencegahan
yang paling ideal sesungguhnya adalah dengan menelurkannya lewat aturan yuridis
formal, sehingga nanti terdapat upaya penindakan sebagai efek jera di
masyarakat, dan pada gilirannya akan membentuk pola pikir publik bahwa aturan
syariat adalah aturan yang tepat.
Akhirnya tidak
didasarkan kepada euforia islamiyah tulisan ini dibuat. Hanya sekedar
merekonstruksi ulang bagaimana politik hukum syariat ini dapat berkiprah dalam
substansi hukum Indonesia. Lebih dan kurang, dengan segala kondisi bangsa yang
pluralistik, saya percaya hanya efektifitas yang dapat membuktikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar