Mempertegas Sistem
Presidensil Lewat Pemilu Serentak 2019
OLEH
SONY GUSTI ANASTA
Mahkamah Konstitusi telah memutus pemilu 2019
yang akan datang dilaksanakan serentak. Artinya, saat menyoblos nanti panitia
penyelenggara pemilu akan menyediakan 5 kotak suara, masing-masing untuk DPR,
DPRD Provinsi, DPRD kabupaten/kota, DPD, dan sisanya untuk Calon Presiden dan Calon
Wakil Presiden.
Dengan kata lain, pengaturan presidential treeshold atau ambang batas
pengusungan calon presiden dan wakil presiden dihapuskan. Sehingga setiap
partai peserta pemilu dengan bebas dapat mengusung presiden dan wakil presiden, tanpa harus mempertimbangkan
perolehan suara nasional.
Transisi Pemerintahan
Dengan diadakannya pemilu serentak akan makin
menguatkan sistem presidensil yang sedang kita anut. Maklum jika kita tarik
akar sejarah, negara ini memang masih dalam masa transisi pemerintahan, dari
yang dulunya parlementer menuju sistem pemerintahan presidensil.
Pengaturan presidenstial
treeshold dalam mengusung presiden sebenarnya tidak mempunyai landasan
hukum yang kuat. Hal ini sebenarnya hanya teori ketatanegaraan yang diwariskan
oleh sistem pemilu parlementer dari Undang-Undang Dasar sebelum amandemen.
Saat itu lembaga legislatif (MPR) adalah lembaga tertinggi negara, sehingga presiden
yang menjabat, dipilih dan bertanggung jawab kepada parlemen. Pengaturan
ini membentuk frame berfikir bahwa presiden yang menjabat harus mendapatkan dukungan
koalisi partai di parlemen. Pemilihan presiden hanya dianggap sebagai pemilihan
minor, sedangkan pemilu legislatiflah sebagai pemilu utama.
Karena diangkat dan bertanggung jawab terhadap
perlemen, dan untuk menciptakan efektifitas pemerintahan, maka presiden yang
diusung harus mempunyai dukungan partai di legislatif, agar nantinya tidak
terjadi perbedaan orientasi dalam membangun negara antara lembaga eksekutif
dengan lembaga legislatif. Dan wujud dukungan partai di
legislatif tersebut adalah pengaturan president
treeshold.
Hal inilah yang
sebenarnya
menjadi duduk teori berlakunya presidential
treeshold dalam drama pemilu 2004, 2009, dan 2014. Namun keadaan yang
demikian justru membuat pemerintahan dikuasai oleh sebagian orang (oligarchie). Akhirnya sistem ini
melahirkan banyak pemangku kekuasaan yang korup dan tidak amanah.
Setelah dilaksanakan 4 kali amandemen Konstitusi
pada tahun 1999 sampai 2002, Indonesia beralih kepada sistem pemerintahan
presidensil. Dengan demikian kedudukan presiden dan parlemen menjadi seimbang,
oleh sebab itu MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara, melainkan hanya
sebagai lembaga negara.
Konsistensi Teoretis
Mahfud MD, Ketua MK jilid II mengategorikan
ciri-ciri sistem presidensil sebagai berikut 1) Selain berkedudukan sebagai
kepala negara, presiden juga menjabat sebagai kepala pemerintahan, 2) Presiden
dan parlemen dipilih langsung oleh rakyat, 3) Presiden tidak bertanggung jawab
kepada parlemen, dan 4) kedudukan presiden dan parlemen setara.
Dalam pasal 6A Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 dikatakan bahwa “presiden dan wakil presiden
dipilih langsung oleh rakyat”. Dan pasal 7C menyatakan bahwa “presiden tidak
dapat membubarkan/ membekukan DPR”. Pasal ini sejatinya merupakan ciri dan
implementasi dari sistem presidensil sebagaimana yang Mahfud MD kemukakan.
Dalam sistem presidensil, tidak dikenal pemilu
mayor dan pemilu minor seperti halnya dalam sistem pemilu parlementer. Semua
pemilu menghasilkan produk pejabat yang mempunyai kedudukan yang sama sehingga pengaturan presidential treeshold menjadi tidak
relevan. Disamping menghalangi calon presiden berkualitas yang diusung partai minoritas
untuk maju dalam bursa pemilihan kepala negara, pengaturan presidential treeshold juga dapat menyebabkan pilihan masyarakat
hanya akan berputar pada wajah-wajah lawas
penunggu partai politik yang berkuasa.
Mempertegas sistem pemilu presidensil pada
akhirnya juga akan membuka keran pengusungan presiden independen. Hal ini tentu
akan menjadi semangat baru dalam kehidupan ketatanegaraan kita. Pasalnya
beberapa survey kenamaan menyebutkan, mayoritas masyarakat Indonesia sudah
tidak menaruh kepercayaan lagi terhadap calon yang diusung oleh partai politik.
Secara pribadi, konsekuensi seperti inilah yang
mesti kita dukung bersama-sama. Kalau tidak, masyarakat Indonesia terpaksa akan
dihadapkan pada 2 pilihan dilematis. Pilihan pertama masyarakat akan tetap
memlilih dari daftar yang itu-itu saja, atau pilihan kedua, pemilih akan
memperpanjang deretan golput dalam sejarah pemilu Indonesia, sehingga makin
mengurangi legitimasi hasil pemilu.
Menekan Laju Politik
Transaksional
Pemilu serentak akan menjadi sebuah terobosan
strategis bagi bangsa Indonesia. Selain sebagai perwujudan komitmen atas undang-undang
dasar 1945, pemilu serentak atau pemilu 5 kotak yang akan dilaksanakan pada tahun
2019 mendatang juga akan mereduksi tingkat politik transaksional.
Pakar komunikasi politik Efendi Ghazali bilang,
dalam pemilu parlementer yang mengharuskan adanya presidenstial treeshold, ada 4 ragam politik dagang sapi atau
politik transaksional yang terjadi. 1) politik transaksional akan terjadi saat
mengajukan daftar calon legislatif, 2) pada saat mengajukan nama presiden dan
wakil presiden, 3) pada saat putaran ke-2 pemilihan presiden dan wakil
presiden, 4) dan terakhir saat penyusunan kabinet.
Dengan adanya pemilu serentak
eksekutif-legislatif, maka akan mengurangi kemungkinan terjadinya politik
dagang sapi, sehingga nantinya calon yang terpilih dapat berkonsentrasi penuh
kepada program kerja untuk menyejahterakan masyarakat, tanpa harus pening
kepala memikirkan konsekuensi dari lobi-lobi politik yang menghantarkan dirinya
menjadi pemangku kekuasaan (stakeholder).
Namun terlepas dari itu, jika kita teliti secara
seksama, Mahkamah Kontitusi tidak mengabulkan seluruh petitum yang dimohonkan.
Dalam amar putusannya mahkamah memang memutus pemilu serentak dilaksanakan
mulai dari tahun 2019, tapi pasal 9 undang-undang pilpres yang mengatur tentang
ambang batas pencalonan presiden (presidential
treeshold) tidak dibatalkan. Tentunya hal ini agak sedikit aneh dan
kontradiksi dengan pokok putusan yang disampaikan mahkamah.
Penting untuk diketahui, bahwa putusan MK tentang pemilu serentak 2019
adalah final dan mengikat semenjak diucapkan. Tapi tidak menutup kemungkinan
kalau DPR yang terpilih nantinya akan membuat norma baru yang isinya melawan
keputusan mahkamah.
Memang baik parlemen maupun pemerintah tidak
dapat membuat norma serupa yang dinyatakan inkonstitusional oleh badan
peradilan. Namun beda teori beda praktik, pasalnya pemerintah pernah membuat
PERPPU MK yang menyatakan bahwa kinerja mahkamah diawasi oleh Komisi Yudisial
(KY). Padahal sebelumnya MK telah memutus untuk membatalkan kewenangan KY dalam
mengawasi dirinya.
Yang dikhawatirkan adalah DPR akan menempuh
jalan serupa untuk mengembalikan presidential
treeshold dengan alasan konvensi ketatanegaraan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar