Bias
Islam Nusantara
OLEH SONY GUSTI ANASTA
Jika
dipikir-pikir, seorang islam berwarganegaraan Indonesia pasti memiliki satu
kebingungan, posisinya adalah mereka selain harus tunduk kepada Undang-Undang Dasar
1945, mereka juga harus patuh terhadap perintah dakwah yang diserukan dalam
Al-quran dan Hadis.
Perintah
menyampaikan ajaran islam kepada setiap umat manusia bergantung kepada amanah
yang dipegangnya. Maksudnya tanggung jawab dakwah akan berbanding lurus dengan
kewenangan yang dimilikinya. Misi menyampaikan sebagai seorang mandiri, dan
mengubah sebagai seorang pemimpin adalah porsi dari kewenangan tersebut. Semua
itu merupakan usaha untuk mencapai islam sebagai agama rahmatan lil alamin.
Satu
pertanyaan yang timbul adalah, untuk negara se-majemuk Indonesia, bagaimana
mungkin untuk memaksakan islam menjadi satu sistem yang berdaulat utuh?
Mengingat Indonesia sudah terlahir dari keberagaman.
Pancasila
dan quo vadis ajaran islam
Jauh
hari sebelum kemerdekaan, the founding
fathers telah merumuskan sebuah ideologi yang berdiri ditengah-tengah
diantara banyak ideologi yang ada, yaitu Pancasila. Dimana didalamnya terdapat
5 sila yang menggambarkan kepribadian bangsa Indonesia. Menurut seorang
budayawan senior Ridwan Saidi, Pancasila merupakan norma dasar dalam
penyelenggaraan negara, artinya setiap peraturan perundang-undangan yang
tercipta harus tersinari oleh nilai-nilai metayuristik Pancasila. Dalam bahasa
yuridis, norma dasar Pancasila telah terkristalisasi menjadi preambule konstitusi Indonesia. Dan
konstitusi inilah yang akan menjadi dasar utama dalam penciptaan setiap
peraturan perundang-undangan, mulai dari undang-undang sampai kepada peraturan
daerah.
Jika melihat
data statistik penduduk Indonesia tahun 2010, menunjukkan bahwa Indonesia
memiliki lebih dari 87% masyarakat pemeluk
islam. Cicero pernah mengatakan, ubi
societes ubi ius, yang artinya dimana ada masyarakat disitu pasti ada
hukum. Dan hukum tersebut merupakan penjelmaan dari kepribadian bangsa yang bersangkutan.
Jika demikian, mengapa sistem pemerintahan kita tidak berlandaskan islam?
Kemudian
jika dikatakan bahwa Pancasila merupakan idologi yang paling klop dengan bangsa Indonesia, dengan
lebih dari 87% pemeluk islam dan adanya anggapan bahwa slogan “adat bersendi syara, syara bersendi kitabullah”
diterima secara umum, bukankah lebih selaras jika yang dipakai adalah hukum
islam. Bukankah hukum di Indonesia ini dibuat berdasarkan hukum adat dan hukum
agama, lalu kemudian diproses menjadi hukum nasional?
Namun
meskipun demikian bukan berarti harus menggantikan Pancasila sebagai ideologi
bangsa Indonesia, membentuk massa, mempengaruhi militer, lalu mengkonspirasi
kudeta. Atau membentuk kekuatan tandingan dengan bersembunyi di hutan dan
gunung, menebar teror hingga disebut pemberontak dan berharap dunia
internasional menganggapnya menjadi pihak yang berperang. Ketar-ketir jika
harus bernasib sama dengan Kartosuwiryo.
Islam rahmatan lil
alamin
Peristilahan
islam rahmatan lil alamin dan janji
Allah bahwa islam akan kembali berjaya, keduanya menimbulkan ambiguitas. Apakah
islam akan hadir sebagai khilafah,
ataukah islam hanya akan menjadi sebuah nilai yang akan mendominasi setiap lini
kehidupan manusia?
Menurut
saya ada beberapa cara yang harus dilakukan untuk membuktikannya.
Yang
pertama, perkuat legislasi islam di parlemen. Dapat dilakukan dengan mendukung
partai-partai berbasis islam unjuk taring di DPR, hal ini berguna agar
undang-undang yang tercipta bernuansa islam. Dengan demikian maka peraturan
perundang-undangan akan berjalan sesuai dengan keinginan masyarakat. Karena
saat ini sudah terlanjur banyak ketentuan hukum yang bertentangan dengan islam
(masyarakat). Contohnya praktik riba’ bank konvensional. Atau dalam hal jinayah (hukum pidana islam), legalisasi
zhina untuk mereka yang belum menikah.
Yang
kedua adalah dengan cara membiaskan nilai-nilai islam lewat peraturan daerah,
terutama dalam hal perizinan. Misalnya dengan penutupan tempat lokalisasi,
kemudian mencabut izin untuk perusahaan minuman keras. Hal tersebut dinilai
lebih efisien, mengingat daerah mempunyai karakter sosial dan politik yang
berbeda dengan pusat, oleh karenanya dapat dipelintir secara syariah. selain
itu membiaskan islam lewat peraturan daerah juga sebagai jalan alternatif
mengingat legislasi islam di pusat (DPR) pasti akan sangat sulit untuk
dilakukan.
Kemudian,
kedua langkah diatas akan menjadi percuma jika tidak diimbangi dengan rekayasa
sosial ala kader dakwah. Maksudnya adalah optimalkan peran kader dakwah dalam
menyiarkan agama islam. Dari masjid ke masjid, kampus ke kampus, sampai antar
individu, yang tujuannya berguna untuk membiasakan masyarakat Indonesia dengan
nilai islam, agar nanti pada gilirannya ketika peraturan perundang-undangan
bernuansa islam terbentuk, masyarakat indonesia tidak canggung dan dapat
menerimanya dengan hati yang terbuka.
Ketiga
cara tersebut setidaknya akan mengarahkan kita (indonesia) kepada jawaban atas
pertanyaan bagaimanakah konsepsi islam sebagai agama rahmatan lil alamin.
Wallahu alam bishawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar