Ahmadiyah
Dan Komplikasi SKB 3 Menteri
OLEH SONY GUSTI ANASTA
Seorang
belanda pernah bertutur, tolok ukur negara hukum terlihat dari bagaimana negara
tersebut menghargai hak sipil warga negaranya. Hal ini juga sejalan dengan apa
yang dicetuskan oleh Djanedri M. Gaffar, Sekjen Mahkamah Konstitusi Indonesia
saat ini. Dalam sebuah tulisannya, beliau mengatakan salah satu ciri dari
sebuah negara hukum adalah melindungi hak warga negara. Termasuk hak untuk
beragama dan menjalankan ibadah agamanya.
Kasus
Ahmadiyah adalah salah satu contoh konflik kebebasan beragama di Indonesia
dewasa ini. Ahmadiyah dicekal lewat dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama Tiga
Menteri yang intinya memerintahkan setiap jemaah Ahmadiyah untuk menghentikan
segala penafsiran agama islam yang tidak sesuai dengan penafsiran agama islam
secara umum.
Mirza
Ghulam Ahmad
Dari
sisi agama, perbedaan penafsiran teletak pada entitas nabi akhir zaman, dimana
ajaran islam pada umumnya mengakui bahwa Nabi Muhammad SAW sebagai nabi
terakhir yang membawa syariat terakhir. Oleh karena itu, tidak ada ajaran lain
yang dibawa oleh seseorang yang mengaku nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Dimata
Ahmadiyah, dalam fase ini mereka tetap sepaham. Namun setelah itu, menurut
mereka sosok Mirza Ghulam Ahmad adalah sosok Al-Mahdi atau Isa Al-Masih yang
dijanjikan selama ini. Mereka percaya bahwa Al-Mahdi atau Isa Al-Masih yang
selama ini dijanjikan adalah Mirza Ghulam Ahmad.
Tetapi,
disini saya tidak akan membahas soal tafsir-menafsir mengenai nabi akhir zaman,
tulisan diatas hanya sebagai pengantar dan paparan tentang perbedaan orientasi
penafsiran antara Ahmadiyah dengan ajaran islam pada umumnya.
Komplikasi
SKB 3 Menteri
Ditinjau
sekilas secara yuridis, terlihat ada kesalahan penerapan hukum dalam penerbitan
SKB 3 Menteri. Sehingga menimbulkan anggapan bahwa negara tidak memenuhi hak
sipil masyarakat. Pemerintah
mengatakan bahwa penafsiran Ahmadiyah melanggar hak asasi orang lain, diperkuat
dengan rumusan pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang berintikan bahwa setiap penerapan dan perwujudan hak asasi manusia
harus memperhatikan dan menghargai hak asasi orang lain. Penafsiran Ahmadiyah
yang menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai Al-Mahdi atau Isa Al-Masih dianggap
sebagai bentuk penghinaan terhadap ajaran islam pada umumnya.
Padahal
sebelumnya didalam pasal 28E (1) dinyatakan bahwa setiap warga negara berhak
untuk memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, dan pasal 28E (3) setiap
orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Memang
dalam pemberlakuannya, penjaminan dan perlindungan hak asasi manusia dapat
disesuaikan dengan kondisi sosial-politik suatu negara, namun, Dr. Bahder
Djohan Nst. Dalam bukunya Negara Hukum Dan Hak Asasi Manusia, menyebut soal
reduksi pemberlakuan HAM. Bahwa dalam pemberlakuannya HAM dibagi menjadi 2,
yaitu derogable rights atau hak yang
dapat dikurangi dikarenakan kondisi sosial-politik suatu negara, dan underogable rights atau hak yang
tidak dapat dikurangi pemberlakuannya oleh negara. Beliau melanjutkan, kebebasan
beragama dan beribadah menurut agama yang dipercayainya adalah satu contoh hak
yang tidak dapat dikurangi pemberlakuannya oleh negara. Hal ini didasarkan
kepada argumen bahwa agama dalam ruang lingkup aqidah adalah hubungan seorang
manusia dengan tuhannya.
Setting
SKB 3 Menteri
Surat
Keputusan Bersama 3 Menteri merupakan
bentuk dari sebuah beschiking
(keputusan yang dikeluarkan oleh badan administrasi/ eksekutif). Berkaitan
dengan keputusan, sebagai badan administrasi, pemerintah dan segala pembantunya
dalam pembuatan sebuah keputusan selain harus tunduk kepada peraturan
perundang-undangan, juga harus tunduk kepada AAUPB (asas-asas umum pemerintahan
yang baik). Ada 7 (tujuh) asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana
tertuang didalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Baik Dan
Bersih Dari KKN.
Jika
kita lihat secara logika pemerintahan, latar belakang terciptanya Surat
Keputusan Bersama 3 Menteri terkait Ahmadiyah agak sedikit dipaksakan. Dengan
Menafikkan kebebasan beragama, pemerintah telah menyadandarkannya kepada asas
ketertiban umum. Asas ketertiban umum maksudnya adalah dalam menerapkan suatu
keputusan, pemerintah harus memperhatikan apakah keputusan tersebut bertentangan
atau tidak dengan usaha untuk mewujudkan ketertiban umum.
Dalam
kasus ini, penafsiran Ahmadiyah terkait nabi akhir zaman telah menimbulkan
keresahan dimasyarakat, pembakaran dan pembantaian di segala penjuru negeri
dianggap sebagai gejolak yang menggangu stabilitas nasional. Masyarakat muslim
pada umumnya merasa bahwa penafsiran tersebut sebagai bentuk penistaan dan penghinaan
kepada agama islam dan Nabi Muhammad SAW sebagai nabi penutupan.
Jhon
locke pernah mengatakan bahwa hak asasi manusia merupakan seperangkat hak yang
diperoleh seorang manusia dikarenakan dia semata-mata manusia. Tidak ada
pengurangan terhadap hak tersebut sekalipun ia merupakan warga suatu negara,
anggota suatu etnis, maupun jemaah dari suatu aliran agama. Namun dalam kondisi
bangsa Indonesia yang sangat pluralistik, dan isu SARA terasa begitu sensitif, maka pemberlakuan hak asasi
manusia haruslah berjalan selaras dengan usaha untuk mewujudkan ketertiban umum
dan tentunya tetap berada dalam koridor ideologi Pancasila.
Penulis adalah mahasiswa FH UNJA.