Minggu, 31 Januari 2016

Ahmadiyah Dan Komplikasi SKB 3 Menteri



Ahmadiyah Dan Komplikasi SKB 3 Menteri

OLEH SONY GUSTI ANASTA


Seorang belanda pernah bertutur, tolok ukur negara hukum terlihat dari bagaimana negara tersebut menghargai hak sipil warga negaranya. Hal ini juga sejalan dengan apa yang dicetuskan oleh Djanedri M. Gaffar, Sekjen Mahkamah Konstitusi Indonesia saat ini. Dalam sebuah tulisannya, beliau mengatakan salah satu ciri dari sebuah negara hukum adalah melindungi hak warga negara. Termasuk hak untuk beragama dan menjalankan ibadah agamanya.

Kasus Ahmadiyah adalah salah satu contoh konflik kebebasan beragama di Indonesia dewasa ini. Ahmadiyah dicekal lewat dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri yang intinya memerintahkan setiap jemaah Ahmadiyah untuk menghentikan segala penafsiran agama islam yang tidak sesuai dengan penafsiran agama islam secara umum.

Mirza Ghulam Ahmad
Dari sisi agama, perbedaan penafsiran teletak pada entitas nabi akhir zaman, dimana ajaran islam pada umumnya mengakui bahwa Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir yang membawa syariat terakhir. Oleh karena itu, tidak ada ajaran lain yang dibawa oleh seseorang yang mengaku nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Dimata Ahmadiyah, dalam fase ini mereka tetap sepaham. Namun setelah itu, menurut mereka sosok Mirza Ghulam Ahmad adalah sosok Al-Mahdi atau Isa Al-Masih yang dijanjikan selama ini. Mereka percaya bahwa Al-Mahdi atau Isa Al-Masih yang selama ini dijanjikan adalah Mirza Ghulam Ahmad.

Tetapi, disini saya tidak akan membahas soal tafsir-menafsir mengenai nabi akhir zaman, tulisan diatas hanya sebagai pengantar dan paparan tentang perbedaan orientasi penafsiran antara Ahmadiyah dengan ajaran islam pada umumnya.

Komplikasi SKB 3 Menteri
Ditinjau sekilas secara yuridis, terlihat ada kesalahan penerapan hukum dalam penerbitan SKB 3 Menteri. Sehingga menimbulkan anggapan bahwa negara tidak memenuhi hak sipil masyarakat. Pemerintah mengatakan bahwa penafsiran Ahmadiyah melanggar hak asasi orang lain, diperkuat dengan rumusan pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berintikan bahwa setiap penerapan dan perwujudan hak asasi manusia harus memperhatikan dan menghargai hak asasi orang lain. Penafsiran Ahmadiyah yang menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai Al-Mahdi atau Isa Al-Masih dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap ajaran islam pada umumnya.

Padahal sebelumnya didalam pasal 28E (1) dinyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, dan pasal 28E (3) setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Memang dalam pemberlakuannya, penjaminan dan perlindungan hak asasi manusia dapat disesuaikan dengan kondisi sosial-politik suatu negara, namun, Dr. Bahder Djohan Nst. Dalam bukunya Negara Hukum Dan Hak Asasi Manusia, menyebut soal reduksi pemberlakuan HAM. Bahwa dalam pemberlakuannya HAM dibagi menjadi 2, yaitu derogable rights atau hak yang dapat dikurangi dikarenakan kondisi sosial-politik suatu negara, dan underogable rights atau hak yang tidak dapat dikurangi pemberlakuannya oleh negara. Beliau melanjutkan, kebebasan beragama dan beribadah menurut agama yang dipercayainya adalah satu contoh hak yang tidak dapat dikurangi pemberlakuannya oleh negara. Hal ini didasarkan kepada argumen bahwa agama dalam ruang lingkup aqidah adalah hubungan seorang manusia dengan tuhannya.

Setting SKB 3 Menteri
Surat Keputusan Bersama 3 Menteri  merupakan bentuk dari sebuah beschiking (keputusan yang dikeluarkan oleh badan administrasi/ eksekutif). Berkaitan dengan keputusan, sebagai badan administrasi, pemerintah dan segala pembantunya dalam pembuatan sebuah keputusan selain harus tunduk kepada peraturan perundang-undangan, juga harus tunduk kepada AAUPB (asas-asas umum pemerintahan yang baik). Ada 7 (tujuh) asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana tertuang didalam  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Baik Dan Bersih Dari KKN.

Jika kita lihat secara logika pemerintahan, latar belakang terciptanya Surat Keputusan Bersama 3 Menteri terkait Ahmadiyah agak sedikit dipaksakan. Dengan Menafikkan kebebasan beragama, pemerintah telah menyadandarkannya kepada asas ketertiban umum. Asas ketertiban umum maksudnya adalah dalam menerapkan suatu keputusan, pemerintah harus memperhatikan apakah keputusan tersebut bertentangan atau tidak dengan usaha untuk mewujudkan ketertiban umum.

Dalam kasus ini, penafsiran Ahmadiyah terkait nabi akhir zaman telah menimbulkan keresahan dimasyarakat, pembakaran dan pembantaian di segala penjuru negeri dianggap sebagai gejolak yang menggangu stabilitas nasional. Masyarakat muslim pada umumnya merasa bahwa penafsiran tersebut sebagai bentuk penistaan dan penghinaan kepada agama islam dan Nabi Muhammad SAW sebagai nabi penutupan.

Jhon locke pernah mengatakan bahwa hak asasi manusia merupakan seperangkat hak yang diperoleh seorang manusia dikarenakan dia semata-mata manusia. Tidak ada pengurangan terhadap hak tersebut sekalipun ia merupakan warga suatu negara, anggota suatu etnis, maupun jemaah dari suatu aliran agama. Namun dalam kondisi bangsa Indonesia yang sangat pluralistik, dan isu SARA terasa  begitu sensitif, maka pemberlakuan hak asasi manusia haruslah berjalan selaras dengan usaha untuk mewujudkan ketertiban umum dan tentunya tetap berada dalam koridor ideologi Pancasila.

Penulis adalah mahasiswa FH UNJA.

Minggu, 24 Januari 2016

Politik Hukum Sarat Syariat



Politik Hukum Sarat Syariat

OLEH SONY GUSTI ANASTA



Dalam tulisan saya yang berjudul “Bias Islam Nusantara” yang dimuat di harian Jambi Ekspres (7 September 2013) mengatakan bahwa sebagai negara yang mempunyai penduduk islam terbesar di dunia sudah saatnya Indonesia memakai dan menerapkan hukum islam sebagai regulator dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Interpretasi Pancasila sudah saatnya di amalkan dengan ide-ide yang tertera dalam Al-quran dan Hadis, agar prilaku bangsa Indonesia mencerminkan prilaku bangsa yang beradab dan diridhoi Allah SWT.

Sebagai aspek Ilmu yang paling bertanggung jawab terhadap perkembangan islam di nusantara, aspek ilmu hukum menjadi prioritas utama untuk menggerakkan aspek ilmu lain agar berbumbu dan bercitra islami.

Aspek ekonomi, sosial, perdagangan, sampai hiburan adalah aspek-aspek yang penerapan dan cara kerjanya bergantung kepada rumusan hukum yang ada. Oleh karena itu tidak berlebihan jika dikatakan politik hukum suatu bangsa adalah kunci utama untuk merubah segala lini kehidupan di bangsa yang bersangkutan.

Hukum Dan Gejala
Dalam suatu sumber perkuliahan, saya pernah membaca bahwa hukum dapat mempengaruhi gejala, dan gejala dapat mempengaruhi hukum. Maksudnya adalah adanya hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala yang ada dimasyarakat. Hubungan tersebut adalah, di satu sisi hukum dapat menjadi (sosial engineering) pengubah pola sosial, sehingga atmosfir dan suasana sosial yang ada dapat terkontrol secara yuridis, dan disisi berbeda hukum dapat menjadi fasilitator yang memberikan sarana terhadap hubungan dan peristiwa sosial yang ada di masyarakat. Dalam pengertian ini, hukum menjadi aturan yang bersifat (reacting) atau mereaksi akibat yang timbul dari suatu peristiwa sosial.

Itu artinya, saat ini untuk penyebar-luasan asas dan nilai islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melewati dua cara, yang pertama adalah dengan memberikan sughesti agamis kedalam hukum nasional sehingga dapat menimbulkan gejala di masyarakat dan kedua menjadikan peristiwa atau gejala di masyarakat sebagai justifikasi untuk menelurkan hukum dengan energi syariat.

Cara yang pertama dibangun dalam sebuah pemikiran bahwa islam sebagai agama rahmatan lil alamin, adalah satu-satunya  agama yang diridhoi oleh Allah SWT. Dasar pemikiran ini sangat lekat hubungannya dengan aliran pendukung teori hukum alam, dimana terdapat doktrin lawas yang mengatakan setiap sistem hukum berasal dari satu entitas hukum. Walupun saat ini kenyataannya hukum selalu dikotak-kotakkan secara teritorial, apalagi untuk negara semacam Indonesia yang memiliki berbagai macam suku, adat, dan agama.

Sedangkan jalan yang lainnya berarti, di masyarakat harus terjadi dahulu hal-hal yang tidak diharapkan untuk memberikan legitimasi kepada politisi yang mendukung nilai islam mengakar dalam hukum nasional agar berani menerapkan aturan syariat. Walaupun perisitiwa yang tidak diharapkan tersebut hanya sebagai justifikasi agar penerapan nilai islam dapat dieksekusi.

Di Indonesia sendiri, bentang sejarah penerapan nilai islam dalam peraturan perundang-undangan ibarat pisau bermata dua. Kita boleh bangga karena beberapa peraturan perundang-undangan yang ada sudah berasas islam dan mendukung cita-cita islam untuk mencapai kemaslahatan. Namun kita juga tidak dapat memungkiri kalau prestasi alim ulama maupun politisi islam dalam memperngaruhi substansi hukum relatif masih sangat lemah mengingat penduduk Indonesia mayoritas beragama islam.

Undang-Undang Syariat
Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan merupakan satu potret keberhasilan alim ulama dan politisi dalam mewujudkan nilai islam menjadi salah satu sendi kehidupan bernegara. Tidak dapat dipungkiri undang-undang ini pun sangat kental dengan aturan islam yang diajarkan oleh Rasullulah SAW. Adanya integrasi antara hukum agama dan hukum positif menandakan bahwa hukum islam bermain penting dalam undang-undang ini.

Walaupun pada tahun 2012 lalu, alim ulama dan para politisi islam, serta kita masyarakat muslim Indonesia pada umumnya sempat ketar-ketir ketika Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal 43 undang-undang yang lahir dalam masa orde baru ini. Anak yang lahir luar kawin yang pada awalnya hanya memiliki hubungan waris dengan pihak keluarga ibunya dihapuskan. Karena Mahkamah Konstitusi menilai pasal ini betentangan dengan prinsip persamaan kedudukan didepan hukum yang dianut Undang-Undang Dasar 1945.

Selain itu, putusan tersebut juga memberikan penafsiran bahwa kawin bercatat yang menjadi inti dari undang-undang ini hanya bersifat administrasi saja. Itu artinya dicatatkan atau tidak suatu perkawinan ke lembaga terkait tidak akan mereduksi hakikat beserta akibat perkawinan tersebut. Hal ini menandakan upaya masyarakat islam dalam mengintegrasikan hukum agama ke hukum nasional mendapat pertentangan.

Selain itu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi juga merupakan bukti bahwa nilai-nilai islam telah berkembang dan berhasil melewati halang badai di DPR. Walaupun disatu sisi kita kerap kebingunan, karena penerapan undang-undang ini dinilai masih setengah hati. Masalah orang pedalaman yang menggunakan koteka adat adalah salah satu alasan penentang keberadaan undang-undang ini. Karena sejurus dengan hal tersebut konstitusi telah mengamanatkan dalam pasal 18b (2) untuk mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.

Di alasan lain, undang-undang ini juga dinilai dapat mempengaruhi pendapatan negara dibidang pariwisata dan kebudayaan karena berpotensi mereduksi jumlah turis yang datang akibat pengaturan dibidang pornografi yang semakin hari semakin ketat. Padahal seharusnya hal inilah yang menjadi nilai jual dimata dunia. Kebudayaan dan sopan santun serta etika yang beradab menjadi kelebihan indonesia dalam pergaulan internasional. Kita hanya menjual pariwisata tidak lantas dengan mengorbankan moralitas dan kesopanan.

Tugas berat selanjutnya telah menunggu didepan mata. Pengaturan gendak atau selingkuh, atau lebih tepatnya zhina mesti dijadikan prioritas dalam politik hukum RUU KUHP kedepannya. Kita tidak bisa membiarkan banyak anak muda yang harus aborsi, atau terkena HIV dan AIDS, hingga dengan dalih pencegahan, penjualan alat kontrasepsi berubah mainstream.

Pencegahan yang paling ideal sesungguhnya adalah dengan menelurkannya lewat aturan yuridis formal, sehingga nanti terdapat upaya penindakan sebagai efek jera di masyarakat, dan pada gilirannya akan membentuk pola pikir publik bahwa aturan syariat adalah aturan yang tepat.

Akhirnya tidak didasarkan kepada euforia islamiyah tulisan ini dibuat. Hanya sekedar merekonstruksi ulang bagaimana politik hukum syariat ini dapat berkiprah dalam substansi hukum Indonesia. Lebih dan kurang, dengan segala kondisi bangsa yang pluralistik, saya percaya hanya efektifitas yang dapat membuktikan.



Minggu, 17 Januari 2016

Bias Islam Nusantara



Bias Islam Nusantara
OLEH SONY GUSTI ANASTA


Jika dipikir-pikir, seorang islam berwarganegaraan Indonesia pasti memiliki satu kebingungan, posisinya adalah mereka selain harus tunduk kepada Undang-Undang Dasar 1945, mereka juga harus patuh terhadap perintah dakwah yang diserukan dalam Al-quran dan Hadis.

Perintah menyampaikan ajaran islam kepada setiap umat manusia bergantung kepada amanah yang dipegangnya. Maksudnya tanggung jawab dakwah akan berbanding lurus dengan kewenangan yang dimilikinya. Misi menyampaikan sebagai seorang mandiri, dan mengubah sebagai seorang pemimpin adalah porsi dari kewenangan tersebut. Semua itu merupakan usaha untuk mencapai islam sebagai agama rahmatan lil alamin.

Satu pertanyaan yang timbul adalah, untuk negara se-majemuk Indonesia, bagaimana mungkin untuk memaksakan islam menjadi satu sistem yang berdaulat utuh? Mengingat Indonesia sudah terlahir dari keberagaman.

Pancasila dan quo vadis ajaran islam
Jauh hari sebelum kemerdekaan, the founding fathers telah merumuskan sebuah ideologi yang berdiri ditengah-tengah diantara banyak ideologi yang ada, yaitu Pancasila. Dimana didalamnya terdapat 5 sila yang menggambarkan kepribadian bangsa Indonesia. Menurut seorang budayawan senior Ridwan Saidi, Pancasila merupakan norma dasar dalam penyelenggaraan negara, artinya setiap peraturan perundang-undangan yang tercipta harus tersinari oleh nilai-nilai metayuristik Pancasila. Dalam bahasa yuridis, norma dasar Pancasila telah terkristalisasi menjadi preambule konstitusi Indonesia. Dan konstitusi inilah yang akan menjadi dasar utama dalam penciptaan setiap peraturan perundang-undangan, mulai dari undang-undang sampai kepada peraturan daerah.

Jika melihat data statistik penduduk Indonesia tahun 2010, menunjukkan bahwa Indonesia memiliki lebih dari 87%  masyarakat pemeluk islam. Cicero pernah mengatakan, ubi societes ubi ius, yang artinya dimana ada masyarakat disitu pasti ada hukum. Dan hukum tersebut merupakan penjelmaan dari kepribadian bangsa yang bersangkutan. Jika demikian, mengapa sistem pemerintahan kita tidak berlandaskan islam?

Kemudian jika dikatakan bahwa Pancasila merupakan idologi yang paling klop dengan bangsa Indonesia, dengan lebih dari 87% pemeluk islam dan adanya anggapan bahwa slogan “adat  bersendi syara, syara bersendi kitabullah” diterima secara umum, bukankah lebih selaras jika yang dipakai adalah hukum islam. Bukankah hukum di Indonesia ini dibuat berdasarkan hukum adat dan hukum agama, lalu kemudian diproses menjadi hukum nasional?

Namun meskipun demikian bukan berarti harus menggantikan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia, membentuk massa, mempengaruhi militer, lalu mengkonspirasi kudeta. Atau membentuk kekuatan tandingan dengan bersembunyi di hutan dan gunung, menebar teror hingga disebut pemberontak dan berharap dunia internasional menganggapnya menjadi pihak yang berperang. Ketar-ketir jika harus bernasib sama dengan Kartosuwiryo.

Islam rahmatan lil alamin
Peristilahan islam rahmatan lil alamin dan janji Allah bahwa islam akan kembali berjaya, keduanya menimbulkan ambiguitas. Apakah islam akan hadir sebagai khilafah, ataukah islam hanya akan menjadi sebuah nilai yang akan mendominasi setiap lini kehidupan manusia?

Menurut saya ada beberapa cara yang harus dilakukan untuk membuktikannya.
Yang pertama, perkuat legislasi islam di parlemen. Dapat dilakukan dengan mendukung partai-partai berbasis islam unjuk taring di DPR, hal ini berguna agar undang-undang yang tercipta bernuansa islam. Dengan demikian maka peraturan perundang-undangan akan berjalan sesuai dengan keinginan masyarakat. Karena saat ini sudah terlanjur banyak ketentuan hukum yang bertentangan dengan islam (masyarakat). Contohnya praktik riba’ bank konvensional. Atau dalam hal jinayah (hukum pidana islam), legalisasi zhina untuk mereka yang belum menikah.

Yang kedua adalah dengan cara membiaskan nilai-nilai islam lewat peraturan daerah, terutama dalam hal perizinan. Misalnya dengan penutupan tempat lokalisasi, kemudian mencabut izin untuk perusahaan minuman keras. Hal tersebut dinilai lebih efisien, mengingat daerah mempunyai karakter sosial dan politik yang berbeda dengan pusat, oleh karenanya dapat dipelintir secara syariah. selain itu membiaskan islam lewat peraturan daerah juga sebagai jalan alternatif mengingat legislasi islam di pusat (DPR) pasti akan sangat sulit untuk dilakukan.

Kemudian, kedua langkah diatas akan menjadi percuma jika tidak diimbangi dengan rekayasa sosial ala kader dakwah. Maksudnya adalah optimalkan peran kader dakwah dalam menyiarkan agama islam. Dari masjid ke masjid, kampus ke kampus, sampai antar individu, yang tujuannya berguna untuk membiasakan masyarakat Indonesia dengan nilai islam, agar nanti pada gilirannya ketika peraturan perundang-undangan bernuansa islam terbentuk, masyarakat indonesia tidak canggung dan dapat menerimanya dengan hati yang terbuka.

Ketiga cara tersebut setidaknya akan mengarahkan kita (indonesia) kepada jawaban atas pertanyaan bagaimanakah konsepsi islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Wallahu alam bishawab.

Minggu, 10 Januari 2016

Mempertegas Sistem Presidensil



Mempertegas Sistem Presidensil Lewat Pemilu Serentak 2019

OLEH SONY GUSTI ANASTA


Mahkamah Konstitusi telah memutus pemilu 2019 yang akan datang dilaksanakan serentak. Artinya, saat menyoblos nanti panitia penyelenggara pemilu akan menyediakan 5 kotak suara, masing-masing untuk DPR, DPRD Provinsi, DPRD kabupaten/kota, DPD, dan sisanya untuk Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden.

Dengan kata lain, pengaturan presidential treeshold atau ambang batas pengusungan calon presiden dan wakil presiden dihapuskan. Sehingga setiap partai peserta pemilu dengan bebas dapat mengusung presiden dan wakil presiden, tanpa  harus mempertimbangkan perolehan suara nasional.

Transisi Pemerintahan
Dengan diadakannya pemilu serentak akan makin menguatkan sistem presidensil yang sedang kita anut. Maklum jika kita tarik akar sejarah, negara ini memang masih dalam masa transisi pemerintahan, dari yang dulunya parlementer menuju sistem pemerintahan presidensil.

Pengaturan presidenstial treeshold dalam mengusung presiden sebenarnya tidak mempunyai landasan hukum yang kuat. Hal ini sebenarnya hanya teori ketatanegaraan yang diwariskan oleh sistem pemilu parlementer dari Undang-Undang Dasar sebelum amandemen.

Saat itu lembaga legislatif (MPR) adalah  lembaga tertinggi negara, sehingga presiden yang menjabat, dipilih dan bertanggung jawab kepada parlemen. Pengaturan ini membentuk frame berfikir bahwa presiden yang menjabat harus mendapatkan dukungan koalisi partai di parlemen. Pemilihan presiden hanya dianggap sebagai pemilihan minor, sedangkan pemilu legislatiflah sebagai pemilu utama.

Karena diangkat dan bertanggung jawab terhadap perlemen, dan untuk menciptakan efektifitas pemerintahan, maka presiden yang diusung harus mempunyai dukungan partai di legislatif, agar nantinya tidak terjadi perbedaan orientasi dalam membangun negara antara lembaga eksekutif dengan lembaga legislatif. Dan wujud dukungan partai di legislatif tersebut adalah pengaturan president treeshold.

Hal inilah yang sebenarnya menjadi duduk teori berlakunya presidential treeshold dalam drama pemilu 2004, 2009, dan 2014. Namun keadaan yang demikian justru membuat pemerintahan dikuasai oleh sebagian orang (oligarchie). Akhirnya sistem ini melahirkan banyak pemangku kekuasaan yang korup dan tidak amanah.

Setelah dilaksanakan 4 kali amandemen Konstitusi pada tahun 1999 sampai 2002, Indonesia beralih kepada sistem pemerintahan presidensil. Dengan demikian kedudukan presiden dan parlemen menjadi seimbang, oleh sebab itu MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara, melainkan hanya sebagai lembaga negara.

Konsistensi Teoretis
Mahfud MD, Ketua MK jilid II mengategorikan ciri-ciri sistem presidensil sebagai berikut 1) Selain berkedudukan sebagai kepala negara, presiden juga menjabat sebagai kepala pemerintahan, 2) Presiden dan parlemen dipilih langsung oleh rakyat, 3) Presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen, dan 4) kedudukan presiden dan parlemen setara.

Dalam pasal 6A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dikatakan bahwa “presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat”. Dan pasal 7C menyatakan bahwa “presiden tidak dapat membubarkan/ membekukan DPR”. Pasal ini sejatinya merupakan ciri dan implementasi dari sistem presidensil sebagaimana yang Mahfud MD kemukakan.

Dalam sistem presidensil, tidak dikenal pemilu mayor dan pemilu minor seperti halnya dalam sistem pemilu parlementer. Semua pemilu menghasilkan produk pejabat yang mempunyai kedudukan yang sama sehingga pengaturan presidential treeshold menjadi tidak relevan. Disamping menghalangi calon presiden berkualitas yang diusung partai minoritas untuk maju dalam bursa pemilihan kepala negara, pengaturan presidential treeshold juga dapat menyebabkan pilihan masyarakat hanya akan berputar pada wajah-wajah lawas penunggu partai politik yang berkuasa.

Mempertegas sistem pemilu presidensil pada akhirnya juga akan membuka keran pengusungan presiden independen. Hal ini tentu akan menjadi semangat baru dalam kehidupan ketatanegaraan kita. Pasalnya beberapa survey kenamaan menyebutkan, mayoritas masyarakat Indonesia sudah tidak menaruh kepercayaan lagi terhadap calon yang diusung oleh partai politik.

Secara pribadi, konsekuensi seperti inilah yang mesti kita dukung bersama-sama. Kalau tidak, masyarakat Indonesia terpaksa akan dihadapkan pada 2 pilihan dilematis. Pilihan pertama masyarakat akan tetap memlilih dari daftar yang itu-itu saja, atau pilihan kedua, pemilih akan memperpanjang deretan golput dalam sejarah pemilu Indonesia, sehingga makin mengurangi legitimasi hasil pemilu.

Menekan Laju Politik Transaksional
Pemilu serentak akan menjadi sebuah terobosan strategis bagi bangsa Indonesia. Selain sebagai perwujudan komitmen atas undang-undang dasar 1945, pemilu serentak atau pemilu 5 kotak yang akan dilaksanakan pada tahun 2019 mendatang juga akan mereduksi tingkat politik transaksional.

Pakar komunikasi politik Efendi Ghazali bilang, dalam pemilu parlementer yang mengharuskan adanya presidenstial treeshold, ada 4 ragam politik dagang sapi atau politik transaksional yang terjadi. 1) politik transaksional akan terjadi saat mengajukan daftar calon legislatif, 2) pada saat mengajukan nama presiden dan wakil presiden, 3) pada saat putaran ke-2 pemilihan presiden dan wakil presiden, 4) dan terakhir saat penyusunan kabinet.

Dengan adanya pemilu serentak eksekutif-legislatif, maka akan mengurangi kemungkinan terjadinya politik dagang sapi, sehingga nantinya calon yang terpilih dapat berkonsentrasi penuh kepada program kerja untuk menyejahterakan masyarakat, tanpa harus pening kepala memikirkan konsekuensi dari lobi-lobi politik yang menghantarkan dirinya menjadi pemangku kekuasaan (stakeholder).

Namun terlepas dari itu, jika kita teliti secara seksama, Mahkamah Kontitusi tidak mengabulkan seluruh petitum yang dimohonkan. Dalam amar putusannya mahkamah memang memutus pemilu serentak dilaksanakan mulai dari tahun 2019, tapi pasal 9 undang-undang pilpres yang mengatur tentang ambang batas pencalonan presiden (presidential treeshold) tidak dibatalkan. Tentunya hal ini agak sedikit aneh dan kontradiksi dengan pokok putusan yang disampaikan mahkamah.

Penting untuk diketahui,  bahwa putusan MK tentang pemilu serentak 2019 adalah final dan mengikat semenjak diucapkan. Tapi tidak menutup kemungkinan kalau DPR yang terpilih nantinya akan membuat norma baru yang isinya melawan keputusan mahkamah.

Memang baik parlemen maupun pemerintah tidak dapat membuat norma serupa yang dinyatakan inkonstitusional oleh badan peradilan. Namun beda teori beda praktik, pasalnya pemerintah pernah membuat PERPPU MK yang menyatakan bahwa kinerja mahkamah diawasi oleh Komisi Yudisial (KY). Padahal sebelumnya MK telah memutus untuk membatalkan kewenangan KY dalam mengawasi dirinya.

Yang dikhawatirkan adalah DPR akan menempuh jalan serupa untuk mengembalikan presidential treeshold dengan alasan konvensi ketatanegaraan.