Aspek
Hukum Internasional ISIS
OLEH SONY GUSTI ANASTA
Islamic
State Of Iraq and Sham/ Syria (ISIS) lahir dari ketidakmampuan otoritas Baghdad
dalam memanajemen konflik sektarian beberapa bulan yang lalu. ISIS sejatinya
bukanlah gerakan bawah tanah, akan tetapi sebuah gerakan revolusioner kaum
syiah yang ingin keluar dari cengkraman deskriminatif muslim sunni. Atas dasar
persamaan ideologis-relijius, gerakan ini lambat laun mulai merambah ke negara
tetangga.
Seakan
memanfaatkan kesempatan saat damaskus disibukkan dengan gejolak politik dalam
negerinya, kaum syiah suriah mulai ambil bagian. Dengan genjatan senjata mereka
berhasil menundukkan beberapa wilayah penting di perbatasan antara suriah dan
irak. Hingga akhirnya mereka mendeklarasikan kekhalifahan dan menjadikan Mosul,
kota terbesar kedua di irak sebagai ibukota.
Deklarasi
yang dilakukan ISIS hingga membuat beberapa negara memberikan tanggapan terkait
dengan hal itu termasuk Indonesia membuat ISIS menjadi sentra perbincangan.
Dalam aspek Hukum Internasional, hal ini bisa menjadi potensi ratifikasi
beberapa subjek Hukum Internasional, baik itu negara, maupun aktor bukan
negara.
Oleh
guru besar UIN Jakarta, Azyumardi Arza, dalam Kompas (5/8) dikatakan bahwa “ketika
negara Lemah, tidak mampu memelihara stabilitas politik, dan keamanan, saat
itulah aktor dan kelompok non negara menguat untuk mengurusi wilayah yang fakum
dari kekuasaan negara” kondisi inilah yang sejatinya membuat ISIS mulai
merangsek menindak segala desriminasi kaum sunni baik di irak maupun suriah.
Atas
dasar deklarasi kekhalifahan ISIS dengan Abu Bakr Al Baghdadi sebagai khalifah
mereka, membuat kondisi dan geopolitik timur tengah terutama di irak dan suriah
semakin memprihatinkan. Beberapa pihak non negara, seperti pengusaha minyak
dari belahan negara lain mulai nampak mendanai gerakan paramiliter ini, seperti
yang diutarakan Trias Kuncahyono, Kolumnis Politik Luar Negeri Kompas, ISIS
merupakan anak kandung dari Al-qaeda. Berbeda dengan induknya yang bertahan
dengan gaya gerakan bawah tanah, ISIS tampil dengan pesona baru, lebih berani
dan tidak sembunyi-sembunyi.
Negara ISIS
Berdasarkan
Konferensi Montevidio Uruguay 1933, ada 5 syarat terbentuknya suatu negara.
yang pertama ada Rakyat. ISIS mempunyai banyak pengikut yang dalam tataran ini
dapat diartikan sebagai rakyatnya. Walaupun dalam beberapa konsep menyatakan
bahwa khilafah menghendaki umat islam berada dibawah satu entitas kepemimpinan
politik. Namun basis massa yang ada dan tersekat dalam teritorial kenegaraan
tidak menjadi alasan untuk tegaknya sebuah Khilafah. Basis masa secara hukum
internasional pada dasarnya sudah berhasil didapatkan gerakan yang lahir dari
gagalnya Suriah dan Irak dalam mencari bentuk Demokrasi ini.
Yang
kedua, suatu negara juga harus memiliki wilayah yang permanen. Dalam
deklarasinya ISIS menyatakan wilayahnya membentang dari timur suriah sampai
barat irak. Terlihat jelas penundukkan efektif yang dilakukan ISIS kendati
dengan kekerasan berbuah unsur formalitas terbentuknya negara. Dengan sangat
cerdik, ISIS mengabaikan konsep Khilafah murni yang menghendaki seluruh umat di
dunia berada pada satu kepemimpinan tunggal monarki.
Selanjutnya
adalah pemerintahan yang sah. Dalam kajian hukum internasional, harus diakui
apa yang dilakukan ISIS jauh lebih baik apa yang telah dilakukan Al-qaeda
beberapa tahun lalu yang masih menganut teror dengan rangka gerakan bawah
tanah. ISIS yang kini tampil dengan lebih berani secara praktis saya melihat
sebagai sebuah gerakan pembebasan revolusi, sama halnya dengan beberapa negara
didunia saat mendapatkan kemerdekaannya.
Kesanggupan
berhubungan dengan negara lain, dan pengakuan/ ratifikasi adalah unsur
berikutnya dari terbentuknya negara. kedua unsur ini merupakan unsur subsider
yang hanya berstatus sebagai pelengkap perjuangan ISIS. A Rahman guru besar
Hukum Internasional bahkan mengatakan bahwa kesanggupan dan pengakuan dari
negara lain bukanlah unsur berdirinya sebuah negara. melainkan hanyalah sebuah
syarat eksternal yang berasal dari luar negara.
Hakikat
hukum internasional secara radikal saya melihat sama dengan hukum rimba. Siapa
yang kuat dialah yang akan berkuasa. Konsep ini lalu dikamuflase oleh
negara-negara maju menjadi “kesepakatan internasional”. Jadi subjek
internasional hanya akan tunduk pada perjanjian yang telah dibuatnya. Teori ini
merupakan perkembangan dari pola pemikiran liberal teori hukum alam rasional
dimana kesetiaan adalah titik tumpu kepercayaan.
Namun
perjanjian hanyalah berupa secarik tulisan, dan hukum rimba akan selalu hidup
dalam politik internasional. Hal ini dapat dilihat ketika Israel
meluluhlantakkan palestina dengan senjata pemusnah massal nya. Atau keingkaran israel
saat membunuh rakyat sipil palestina yang notabene adalah perempuan dan
anak-anak. Atau ulah AS saat menyerbu irak guna menggulingkan pemerintahan
otoritarian Saddam Husein yang dinilai sarat pelanggaran Konvensi Jenewa
tentang Humaniter.
Walaupun
sebagai unsur pelengkap. Ratifikasi pada dasarnya merupakan hal terpenting yang
harus didapatkan ISIS. Ratifikasi akan membantu ISIS untuk mendapatkan
legitimasi didunia. Ratifkasi bisa berasal dari negara yang memiliki
kepentingan, seperti negara yang rakyatnya muslim, atau negara eksportir
senjata. Namun ratifikasi juga tidak harus berasal dari negara. Ratifikasi bisa
muncul dari aktor non negara. seperti Multinasional Corporation atau beberapa
Beligren yang sepaham dengan ideologi mereka.
Namun
yang lebih bagus, ratifikasi yang diberikan oleh beberapa negara memiliki
dampak yang sedikit lebih kuat dibandingkan ratifikasi oleh MNC atau pengusaha lainnya
yang hanya berupa gontoran dana atau peralatan perang lengkap. Jika Abu Bakr Al
baghdadi bisa menarik dan menjaga simpati beberapa negara teluk. Bukan tidak
mungkin ISIS malah bisa dinobatkan sebagai negara utuh lewat sidang di PBB seperti halnya yang dilakukan palestina
beberapa tahun yang lalu.
(Penulis
adalah Mahaisswa FH UNJA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar