Minggu, 13 Maret 2016

Aspek Hukum Internasional ISIS



Aspek Hukum Internasional ISIS
OLEH SONY GUSTI ANASTA


Islamic State Of Iraq and Sham/ Syria (ISIS) lahir dari ketidakmampuan otoritas Baghdad dalam memanajemen konflik sektarian beberapa bulan yang lalu. ISIS sejatinya bukanlah gerakan bawah tanah, akan tetapi sebuah gerakan revolusioner kaum syiah yang ingin keluar dari cengkraman deskriminatif muslim sunni. Atas dasar persamaan ideologis-relijius, gerakan ini lambat laun mulai merambah ke negara tetangga.

Seakan memanfaatkan kesempatan saat damaskus disibukkan dengan gejolak politik dalam negerinya, kaum syiah suriah mulai ambil bagian. Dengan genjatan senjata mereka berhasil menundukkan beberapa wilayah penting di perbatasan antara suriah dan irak. Hingga akhirnya mereka mendeklarasikan kekhalifahan dan menjadikan Mosul, kota terbesar kedua di irak sebagai ibukota.

Deklarasi yang dilakukan ISIS hingga membuat beberapa negara memberikan tanggapan terkait dengan hal itu termasuk Indonesia membuat ISIS menjadi sentra perbincangan. Dalam aspek Hukum Internasional, hal ini bisa menjadi potensi ratifikasi beberapa subjek Hukum Internasional, baik itu negara, maupun aktor bukan negara.

Oleh guru besar UIN Jakarta, Azyumardi Arza, dalam Kompas (5/8) dikatakan bahwa “ketika negara Lemah, tidak mampu memelihara stabilitas politik, dan keamanan, saat itulah aktor dan kelompok non negara menguat untuk mengurusi wilayah yang fakum dari kekuasaan negara” kondisi inilah yang sejatinya membuat ISIS mulai merangsek menindak segala desriminasi kaum sunni baik di irak maupun suriah.

Atas dasar deklarasi kekhalifahan ISIS dengan Abu Bakr Al Baghdadi sebagai khalifah mereka, membuat kondisi dan geopolitik timur tengah terutama di irak dan suriah semakin memprihatinkan. Beberapa pihak non negara, seperti pengusaha minyak dari belahan negara lain mulai nampak mendanai gerakan paramiliter ini, seperti yang diutarakan Trias Kuncahyono, Kolumnis Politik Luar Negeri Kompas, ISIS merupakan anak kandung dari Al-qaeda. Berbeda dengan induknya yang bertahan dengan gaya gerakan bawah tanah, ISIS tampil dengan pesona baru, lebih berani dan tidak sembunyi-sembunyi.

Negara ISIS
Berdasarkan Konferensi Montevidio Uruguay 1933, ada 5 syarat terbentuknya suatu negara. yang pertama ada Rakyat. ISIS mempunyai banyak pengikut yang dalam tataran ini dapat diartikan sebagai rakyatnya. Walaupun dalam beberapa konsep menyatakan bahwa khilafah menghendaki umat islam berada dibawah satu entitas kepemimpinan politik. Namun basis massa yang ada dan tersekat dalam teritorial kenegaraan tidak menjadi alasan untuk tegaknya sebuah Khilafah. Basis masa secara hukum internasional pada dasarnya sudah berhasil didapatkan gerakan yang lahir dari gagalnya Suriah dan Irak dalam mencari bentuk Demokrasi ini.

Yang kedua, suatu negara juga harus memiliki wilayah yang permanen. Dalam deklarasinya ISIS menyatakan wilayahnya membentang dari timur suriah sampai barat irak. Terlihat jelas penundukkan efektif yang dilakukan ISIS kendati dengan kekerasan berbuah unsur formalitas terbentuknya negara. Dengan sangat cerdik, ISIS mengabaikan konsep Khilafah murni yang menghendaki seluruh umat di dunia berada pada satu kepemimpinan tunggal monarki.

Selanjutnya adalah pemerintahan yang sah. Dalam kajian hukum internasional, harus diakui apa yang dilakukan ISIS jauh lebih baik apa yang telah dilakukan Al-qaeda beberapa tahun lalu yang masih menganut teror dengan rangka gerakan bawah tanah. ISIS yang kini tampil dengan lebih berani secara praktis saya melihat sebagai sebuah gerakan pembebasan revolusi, sama halnya dengan beberapa negara didunia saat mendapatkan kemerdekaannya.
Kesanggupan berhubungan dengan negara lain, dan pengakuan/ ratifikasi adalah unsur berikutnya dari terbentuknya negara. kedua unsur ini merupakan unsur subsider yang hanya berstatus sebagai pelengkap perjuangan ISIS. A Rahman guru besar Hukum Internasional bahkan mengatakan bahwa kesanggupan dan pengakuan dari negara lain bukanlah unsur berdirinya sebuah negara. melainkan hanyalah sebuah syarat eksternal yang berasal dari luar negara.

Hakikat hukum internasional secara radikal saya melihat sama dengan hukum rimba. Siapa yang kuat dialah yang akan berkuasa. Konsep ini lalu dikamuflase oleh negara-negara maju menjadi “kesepakatan internasional”. Jadi subjek internasional hanya akan tunduk pada perjanjian yang telah dibuatnya. Teori ini merupakan perkembangan dari pola pemikiran liberal teori hukum alam rasional dimana kesetiaan adalah titik tumpu kepercayaan.
Namun perjanjian hanyalah berupa secarik tulisan, dan hukum rimba akan selalu hidup dalam politik internasional. Hal ini dapat dilihat ketika Israel meluluhlantakkan palestina dengan senjata pemusnah massal nya. Atau keingkaran israel saat membunuh rakyat sipil palestina yang notabene adalah perempuan dan anak-anak. Atau ulah AS saat menyerbu irak guna menggulingkan pemerintahan otoritarian Saddam Husein yang dinilai sarat pelanggaran Konvensi Jenewa tentang Humaniter.

Walaupun sebagai unsur pelengkap. Ratifikasi pada dasarnya merupakan hal terpenting yang harus didapatkan ISIS. Ratifikasi akan membantu ISIS untuk mendapatkan legitimasi didunia. Ratifkasi bisa berasal dari negara yang memiliki kepentingan, seperti negara yang rakyatnya muslim, atau negara eksportir senjata. Namun ratifikasi juga tidak harus berasal dari negara. Ratifikasi bisa muncul dari aktor non negara. seperti Multinasional Corporation atau beberapa Beligren yang sepaham dengan ideologi mereka.

Namun yang lebih bagus, ratifikasi yang diberikan oleh beberapa negara memiliki dampak yang sedikit lebih kuat dibandingkan ratifikasi oleh MNC atau pengusaha lainnya yang hanya berupa gontoran dana atau peralatan perang lengkap. Jika Abu Bakr Al baghdadi bisa menarik dan menjaga simpati beberapa negara teluk. Bukan tidak mungkin ISIS malah bisa dinobatkan sebagai negara utuh lewat sidang di PBB  seperti halnya yang dilakukan palestina beberapa tahun yang lalu.

(Penulis adalah Mahaisswa FH UNJA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar