Hukuman Mati Langgar Konsepsi
OLEH SONY ANASTA
Politik penegakan hukum tebang pilih
sudah sangat marak terjadi. Keadilan dicampakkan dan kepastian hukum diinjak-injak.
Pencuri sendal jepit dihukum seberat-beratnya, sedangkan koruptor miliaran
rupiah bisa jalan-jalan ke singapura, pura-pura
sakit atau traveling sambil menonton
pertandingan tenis. Secara konsepsi, teori penegakan hukum versi Lawrence
Friedman gagal terimplementasi.
Hukum sebagai kaedah di masyarakat
memberikan batasan sikap terhadap prilaku manusia dan mengganjarnya dengan
hukuman yang setimpal. Rasa keadilan di masyarakat diwujudkan dalam kepastian
hukum dengan memberikan ancaman seadil-adilnya kepada mereka yang melakukan
kesalahan. Namun terkadang hukum memberikan ancaman yang melampaui batas
konstitusi (konstimeter). Seperti hukuman mati dan penjara seumur hidup.
Fakta Yuridis
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi secara eksplisit memberikan ancaman
hukuman mati terhadap orang yang diberikan titel KORUPTOR oleh pengadilan.
Begitu pula dalam KUHP, dalam pasal 10 mengatur jenis pidana yang terdiri atas
1) pidana mati, 2) pidana penjara, 3) kurungan, dan 4) denda. Dan pasal 12 ayat
(1) yang mengatur, pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu
tertentu.
Dari cuplikan pasal diatas dapat ditarik
sebuah konklusi bahwa bangsa Indonesia hari ini masih menganggap hukuman mati
dan penjara seumur hidup sebagai sebuah ancaman pidana yang bertujuan untuk
membuat jera orang dan mengaplikasikan rasa keadilan kedalam substansi
peraturan perundang-undangan.
Lantas apakah hukuman mati dan penjara
seumur hidup merupakan pengaturan yang relevan di republik ini? Apakah
legalitas pasal yang mengatur hukuman mati dan penjara seumur hidup mempunyai
daya laku dan daya guna seperti yang diungkapkan oleh Maria Farida?
Negara Hukum dan HAM
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur bahwa Negara Republik Indonesia
adalah negara hukum. Apakah yang dimaksud dengan negara hukum? setiap sarjana
tentu mempunyai pengertian tersendiri terkait dengan konsep negara hukum. Julius
Stahl pakar hukum eropa kontinental mengatakan bahwa negara hukum terdiri dari
4 ciri-ciri, yakni; 1) Adanya pembatasan atau pemisahan kekuasaan, 2)
Pemerintahan berdasarkan undang-undang, 3) adanya peradilan adminstrasi, dan
yang ke 4) adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Sebagai negara hukum, sudah selayaknya
Indonesia menghargai dan mengormati hak azazi yang dimiliki oleh setiap warga
negaranya termasuk hak untuk hidup. Berkaitan dengan hal itu pasal 28A
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur bahwa setiap
manusia berhak untuk hidup, serta berhak untuk mempertahankan hidup dan
kehidupannya.
Walaupun beda konteks jika manusia
tersebut melakukan pelanggaran hukum, apalagi pelanggaran tersebut merupakan extraordinary crime yang meliputi;
tindak pidana korupsi, kejahatan narkoba, dan terorisme.
Namun jika kita lihat secara seksama
pasal 28I Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur
yang intinya bahwa hak untuk hidup merupakan hak yang tidak bisa dicabut, atau
yang menurut Bahder Djohan Nasution dianggap sebagai underogable rights (hak-hak yang tidak dapat dikurangi)
Hak untuk hidup adalah bagian dari
seperangkat hak asasi manusia yang diberikan tuhan kepada manusia sejak ia
berada didalam kandungan sampai ia meninggal dunia. Ditambahkan John Locke
bahwa hak tersebut tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, kendati ia
adalah warga negara tertentu, jemaah kelompok agama tertentu, atau bahkan
pengikut ajaran politik tertentu. Karena pada hakikatnya negara didirikan untuk
menjamin kebebasan setiap warga negaranya.
Oleh karenanya jika kita berpijak pada
aliran hukum alam dimana disebut bahwa hak asasi manusia adalah hak yang
diberikan oleh tuhan kepada setiap manusia, maka sebenarnya negara lewat tangan
hakim dilarang membunuh orang dengan alasan peraturan perundang-undangan. Yang
berhak untuk mencabut nyawa seseorang adalah yang memberikan kehidupan itu
sendiri, yakni tuhan.
Atau jika dikatakan bahwa hakim
memiliki legitimasi untuk menjatuhi hukuman mati kepada tersangka dikarenakan
hakim dianggap sebagai wakil tuhan dimuka bumi, maka hemat saya hendaknya hukum
yang dipakai adalah hukum tuhan, bukan hukum buatan manusia. jalan demikian
lebih mencerminkan konsistensi aliran hukum, baik dibidang legislasi maupun
dibidang yudikasi. Sehingga percepatan kemajuan bangsa ini terutama dalam
penegakan hukum dan upaya untuk menciptakan ketentraman dimasyarakat dapat
lebih terarah.
Konsep Pemasyarakatan Kita
Yuzril Ihza Mahendra dalam obrolannya
di salah satu stasiun tv swasta menghimbau kepada kita masyarakat Indonesia,
terkhusus aparatur penegak hukum untuk lebih memperdalam pemahaman terkait
dengan undang-undang pemasyarakatan kita yang saat ini diatur dalam
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 12 tahun 1995.
Konsep pemidanaan yang kita anut pada
saat ini berbasis pemasyarakatan bukan penjara. Undang-undang menganggap bahwa
mereka yang melakukan kejahatan dengan kesalahan dan melanggar hukum dimasukkan
kedalam LAPAS (lembaga pemasyarakatan) untuk dididik dan dibina selama waktu
tertentu sesuai dengan vonis pengadilan. Sehingga ketika keluar nanti bisa
dikembalikan kepada masyarakat.
Konsep pemasyarakatan berbeda dengan
konsep penjara. Konsep penjara sebenarnya sudah mulai ditinggalkan sejak abad
ke-18. Konsep penjara hanya bertujuan untuk menghukum orang dan memberikan efek
jera kepada tersangka dan masyarakat luas.
Oleh karena itu hukuman mati dan
penjara seumur hidup sebenarnya tidak relevan lagi dan bertentangan dengan
konsep pemasyarakatan yang sedang kita anut saat ini. Bagaimana seseorang akan
menjadi orang baik dan melakukan taubatan
nasuha jika mereka divonis mati atau penjara seumur hidup.
Hak untuk hidup dan mempertahankan
hidup dan kehidupannya merupakan hak yang melekat didalam diri manusia yang
tidak dapat dicabut bahkan oleh negara sekalipun, kendati status mereka adalah
tersangka, bahkan untuk segala ancaman tindak pidana.
Dalam proyeksi amandemen Undang-Undang
Dasar 1999-2002, dinyatakan bahwa negara mengakui, menghormati, bahkan
menjunjung tinggi terhadap perlindungan hak-hak dasar manusia. Bahkan Fachry
Hamzah anggota DPR RI masa bakti 2009-2014 pernah mengatakan bahwa hakikat
keberadaan manusia jauh lebih penting daripada eksistensi negara itu sendiri.
Sekilas, hukuman mati dan penjara
seumur hidup dianggap sebagai jawaban atas keresahan masyarakat dalam politik
penegakan hukum di Indonesia. Namun, bukan berarti anggapan tersebut harus
diamini. Penegakan hukum harus juga mempertimbangkan peraturan
perundang-undangan dan konsep hak asasi manusia. Kriminalisasi bukanlah sebagai
upaya untuk balas dendam, atau yang menurut Satjipto Raharjo untuk
menakut-nakuti masyarakat. Lebih dari itu kriminalisasi bertujuan untuk
memberikan rasa kepastian hukum dan kesebandingan hukum ke tengah-tengah
masyarakat. Lebih-lebih bisa melahirkan kebahagiaan.
Menurut Bagir Manan, hakim bukan saja
sebagai corong undang-undang, akan tetapi hakim merupakan corong bagi keadilan.
Silahkan hakim memutus, akankah berpijak kepada peraturan perundang-undangan,
atau bergantung kepada argumen emosional untuk mematikan orang. Toh mereka adalah wakil tuhan dimuka
bumi. Orang awam hanya menerka, kira-kira keadilan seperti apa yang diputuskan.