Minggu, 22 November 2015

Nir Proteksi Kaum Jalanan



Nir Proteksi Kaum Jalanan

OLEH SONY GUSTI ANASTA



Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa, fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. seharusnya jika aturan normatif ini diterapkan dengan baik, maka tidak akan lagi pernah nampak oleh kita, segerombolan cacat yang minta-minta dijalan, ataupun seabrek anak jalanan baik yang mengemis maupun mengamen.

Pasal ini merupakan aturan turunan dari ide bangsa Indonesia dalam menyelenggarakan ketertiban umum dan mensejahterakan kehidupan bangsa. Terlaksana atau tidak dalam hal administrasi, pasal ini secara statis harus diakui sebagai niat baik pemerintah dalam meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat dan menjaga ketertiban umum serta kenyamanan publik.

Namun apabila  kita lihat dalam kerangka penerapan, peng-aplikasi-an pasal ini masih jauh panggang dari api. Seharusnya telah menjadi hak bagi mereka yang tidak mampu dan hidup dibawah garis kemiskinan untuk mendapat penghidupan yang layak, tidak meminta-minta atau memaksa memperkejakan diri padahal mereka sendiri adalah orang yang berada dibawah pengampuan. Dalam tahap ini, negara dinilai telah lalai dalam mengurus salah satu sendi terbawah dari lapisan masyarakat.

Menurut saya, hal ini disebabkan karena nir komitmen pemerintah untuk mengamalkan isi dari konstitusi. Ketidak seriusan pemerintah dalam melindungi dan menjamin hak konstitusional kaum jalanan menyebabkan masalah baru yang lebih serius.

Operasi orang cacat yang menyisir lampu merah di setiap sudut kota Jambi tentu saja akan membuat frame sosial bahwa Kota Jambi adalah kota kumuh dengan jaminan sosial yang hampir ter-degradasi. Barang tentu, ibarat api menyambar semak, hal ini akan berimbas kepada sektor lain, baik itu dibidang hukum, sosial-budaya, ketertiban, dan keamanan.

Kemudian Lemahnya komitmen pemerintah dalam melindungi dan memberikan proteksi baik secara hukum maupun ekonomi kepada kaum jalanan juga akan membidik ketidak-teraturan serta ketidak-nyamanan publik. Sebagai contoh didaerah lampu merah pasar. Kita pasti akan dihadapkan kepada segerombolan anak dibawah umur (tak layak kerja) mengemis kendati dalih yang ditawarkan adalah jasa dalam wujud musik (mengamen). Pengendara angkutan pribadi pasti akan merasa tidak nyaman dengan semua itu, selain dapat mereduksi tingkat keamanan, juga akan memperlambat arus lalu lintas. ditambah lagi si anak tersebut tidak segan-segan untuk menggoreskan bodi mobil dengan uang logam apabila tidak diberi bayaran.

Yang dikhawatirkan oleh banyak pihak adalah ketakutan beragam jikalau hal ini menjadi kebiasaan, dan akan diterima secara umum. Nantinya setiap pengemudi kendaraan akan memberikan duit logam kepada setiap mereka yang meminta secara terpaksa, karena takut mobilnya akan digores. menjadi mandul kebaikannya dimata Allah, karena perbuatan mulianya dikuliti dengan maksud untuk melindungi mobil sendiri.

Setiap sektor tempat sumber duit, baik itu lampu merah maupun komplek penjualan yang ramai akan selalu dijadikan pilihan utama dalam menjalankan operasi. hitung-hitungan kasar pendapatannya akan sangat besar jika bingkai pikir masyarakat untuk selalu memberi kepada orang yang meminta-minta sudah menjadi hukum kebiasaan. Masyarakat akan senantiasa memberi kaum jalanan secara sukarela karena ada gengsi dan sanksi sosial apabila tidak memberi. Yang disayangkan, ketakutan tersebut bukanlah didasarkan kepada perintah agama, melainkan ketakutan dikucilkan dari pergaulan publik. Disisi yang berbeda, hal ini juga akan memberikan pelajaran yang tidak baik kepada kaum jalanan untuk tetap meminta-minta.

Selain itu, banyaknya pengemis dan anak jalanan di kawasan padat dan ramai penduduk menjadi sebuah indikasi dari sedikitnya lapangan pekerjaan yang disediakan pemerintah. Oleh karena itu, banyak orang yang menghalalkan berbagai cara untuk dapat bertahan hidup, termasuk dengan mengamen dan mengemis. Lebih-lebih hal ini juga akan berpotensi menciptakan lapangan usaha yang inkonstitusional. Semisal timbulnya fenomena mucikari mata pencarian jalanan yang memperkerjakan orang cacat dan anak dibawah umur.

Manula yang dikirim ke beberapa sektor untuk mengemis, anak-anak yang disistribusikan untuk mengamen dan meminta-minta di komplek ramai pembeli, semua itu adalah pelanggaran hukum. Selain mereka adalah orang yang berada dibawah pengampuan (tidak dapat melakukan perbuatan hukum) menurut BW (burgelijk weetbook), mereka juga merupakan orang-orang yang diharamkan untuk berkerja menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

 Jika benar mereka adalah orang miskin, hal ini masih bisa dimaklumi. Namun jika mereka yang mengemis dan meminta adalah orang yang pura-pura bagaimana? Pasalnya jika kita amati pemandangan ancol Kota Jambi sedikit lebih sensitif, maka kita akan mendapatkan pemandangan beberapa dari mereka (kaum jalanan) tampil anggun menawan dengan baju bagus dan rambut poni produksi salon.

Walaupun disatu sisi dapat memberikan kesempatan kepada mereka untuk menopang perekonomian secara mandiri, tapi disisi lain kita juga berbicara soal bagaimana komitmen kita meneggakkan aturan hukum yang ada. Sekali undang-undang bilang tidak boleh mempekerjakan anak-anak dan manula, maka sampai kapanpun aturan ini harus ditegakkan kendati keadaan dan atmosfir sosial menghendaki yang berbeda. karena sebagai konsekuensinya pemerintah telah memberikan jaminan untuk memelihara mereka.

Menjadi dilema dimana masalah ini berada dalam lingkaran setan, kaum jalanan yang berjuang untuk bertahan hidup, sedang pemerintah harus menegakkan aturan hukum yang ada dan menciptakan ketertiban sosial, sedangkan pemerintah sendiri tidak benar-benar serius untuk memberikan pengayoman dan perlindungan serta jaminan hidup yang layak kepada kaum jalanan.

Sekali lagi, menurut saya hal ini terjadi karena tidak adanya komitmen kuat dari pemerintah dalam menjalankan amanat Konstitusi, padahal dalam pengangkatannya setiap dari eleman birokrasi telah bersumpah untuk menjalankan tugasnya secara sungguh-sungguh sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Terakhir, dukungan masyarakat untuk ikut membantu sosialisasi dari pemerintah dengan memberikan pengayoman dan teladan yang baik akan lebih bermanfaat ketimbang hanya memberikan selogam uang untuk menyelamatkan mobil dari gerutu tangan jahil si kaum jalanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar