Angkot yang Beringas
OLEH SONY GUSTI
ANASTA
10 Maret
2015 lalu Angkot jurusan simpang rimbo – pasar dengan sukses terbalik di depan
kamar potong Jalan Pattimura Jambi. Diduga sopir mengemudi dalam keadaan mabuk
dengan membawa banyak penumpang, namun dari pengakuan saksi mata di tempat
kejadian perkara tak sedikit yang mengatakan bahwa Angkot terbalik karena adu
kencang dengan kendaraan lain.
Peristiwa
tersebut, secara tidak langsung mengajak kita berfikir bahwa tingkah ugal-ugalan oknum sopir angkot semakin
hari semakin menjadi-jadi. Sebagai contoh, Angkot yang sering berhenti
mendadak, bahkan tidak mengenakan lampu sen membuat pengemudi yang berada
dibelakang harus dengan cepat – sigap menghindari Angkot tersebut, tidak
sedikit diantara mereka lalu mengalami kecelakaan. Belum lagi tingkah sopir
yang kerap menghentikan Angkot ditengah jalan, membuat ruas jalanan semakin
sempit, yang pada akhirnya menggangu arus
lalu lintas di daerah tersebut.
Dalam
usaha transportasi, termasuk usaha Angkot, Peraturan Perundang-undangan telah
menyebutkan, mereka yang menjadi penumpang dalam tragedi naas Angkot yang
terbalik dapat menuntut hak mereka dalam hal pengobatan, penyembuhan atas luka
yang dialami, dan beberapa rehabilitasi yang wajar atas kecelakaan yang ditimpa
dirinya. Pengusaha pemilik Angkot berkewajiban mengganti seluruh kerugian yang
lahir dari kelalaian pegawainya (sopir Angkot) dalam menjalankan tugasnya. Hal
tersebut secara tegas diatur dalam pasal 7F Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, “bahwa
Pengusaha berkewajiban untuk: memberi kompensasi,
ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan”
Dimana Peran Pemda?
Dalam
sistem administrasi transportasi, negara sebagai penyelenggara ketertiban di
jalanan terbagi menjadi 2. Yang pertama Dinas Perhubungan sebagai (regulator)
dan Polantas sebagai (eksekutor). Kedua instansi, baik regulator maupun
eksekutor memiliki andil masing-masing dalam menciptakan suasana jalanan yang
kondusif. Namun sayangnya, baik regulator maupun eksekutor dinilai telah lalai
dalam menjalankan tugasnya.
Sebagai
regulator, Dinas Perhubungan tidak memberikan perhatian yang serius terhadap
manajemen tan pembinaan usaha angkot. Secara statis, terlihat Dinas Perhubungan
hanya membajak Angkot dengan rupiah sebagai syarat jika angkot ingin menambang,
tanpa diimbangi dengan pengawasan dan pengayoman baik kepada pengusaha Angkot,
sopir, dan penumpang, padahal isu Angkot
yang beringas, bukan merupakan isu baru. Sedari dulu publik sama-sama mengetahui
bagaimana buruknya etika mengemudi sopir angkot ketika berada di jalanan.
Disisi
yang berbeda, Polantas sebagai eksekutor terlihat ogah-ogahan dalam menanggulangi fenomena ini. banyak angkot yang
tanpa etika menyalahi aturan lalu lintas dan merugikan pengguna jalan lain.
Keaktifan petugas juga tidak terlihat dalam mengisi jalan-jalan di jambi untuk
mengawasi jika ada sopir Angkot yang nakal, atau mengawasi arus lalu lintas secara
keseluruhan.
Sekilas,
baik Polantas maupun Dinas Perhubungan nampaknya saling lempar bola panas,
siapa yang semestinya bertanggung jawab dalam persoalan Angkot yang beringas ini. disatu sisi Polantas
beranggapan bahwa Dinas Perhubungan sebagai regulator tidak becus dalam membuat
kebijakan untuk mengurusi Angkot nakal tersebut. Dipihak lain Dinas Perhubungan
malah mengira bahwa sebagai eksekutor, Polantas seharusnya lebih tegas dalam
menindak segala perbuatan yang menyimpang dari okum sopir Angkot, sehingga
permasalahan-permasalahan yang sama tidak terulang dikemudian hari.
Perbaikan Tata Kelola
Dinas
Perhubungan seharusnya dapat lebih peka dalam menyikapi permasalahan yang ada,
selain dengan komitmen menjalankan sistem yang sudah ada, Dinas Perhubungan
dapat membuat regulasi baru berupa syarat operasi sopir angkot. Jadi sopir
angkot yang diperbolehkan menambang adalah sopir angkot yang diizinkan oleh Dinas
Perhubungan yang dibuktikan dengan sebuah dokumen resmi tanda bahwa sopir
Angkot tersebut layak untuk mengemudi.
Dokumen
inilah yang menjadi alat penjamin bagi pengusaha untuk memperkerjakan sopir
angkot. Dokumen tersebut akan menjadi sebuah penangkal jika suatu saat sopir
angkot yang diperkerjakannya bertindak brutal dan merugikan pengguna jalan.
Dengan adanya dokumen tersebut, membuat pengusaha memiliki dasar hukum yang
kuat untuk menuntut sopir yang telah merugikan baik dirinya, penumpang, maupun
pengguna jalan lain.
Tentunya
pelaksanaan ini harus diiringi dengan pengawasan dan penindakan terhadap
kebijakan (beschiking) yang ditetapkan pemerintah. Seperti, Dinas Perhubungan bisa saja mencabut izin operasi kelayakan
sopir Angkot, atau mengganjar sanksi bagi pengusaha yang memperkerjakan sopir
angkot yang tidak memiliki dokumen resmi kelayakan.
Peran
serta masyarakat pun harus diikut sertakan. Dinas Perhubungan dapat membuka
layanan pengaduan. Penumpang atau masyarakat yang menyaksikan Angkot
ugal-ugalan dapat segera menghubungi Dinas Perhubungan atau Polantas untuk
segera ditindak lanjuti.
Sebagai
Polantas, seharusnya petugas dapat lebih tegas dalam menindak segala
pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh sopir Angkot, mulai dari kebiasaan
kebut-kebutan, berhenti mendadak, menghentikan Angkot ditengah jalan, atau
melebihkan jumlah penumpang di atas standar yang ditetapkan peraturan
perundang-undangan (over capacity).
Akhirnya
tulisan diatas hanya akan menjadi tulisan, dan selamanya hanya akan menjadi
wacana jika pemerintah tidak benar-benar serius dalam menanggapi kasus Angkot
yang beringas ini. Mewujudkan suasana
jalanan yang kondusif memang menjadi tanggung jawab Dinas Perhubungan dan Polantas,
namun ikhtiar tersebut harus diiringi oleh pemahaman bersama, baik Sopir
Angkot, Pengusaha, maupun penumpang. Wallahua’alam
bisshawab