Minggu, 29 November 2015

Angkot yang Beringas



Angkot yang Beringas

OLEH SONY GUSTI ANASTA


10 Maret 2015 lalu Angkot jurusan simpang rimbo – pasar dengan sukses terbalik di depan kamar potong Jalan Pattimura Jambi. Diduga sopir mengemudi dalam keadaan mabuk dengan membawa banyak penumpang, namun dari pengakuan saksi mata di tempat kejadian perkara tak sedikit yang mengatakan bahwa Angkot terbalik karena adu kencang dengan kendaraan lain.

Peristiwa tersebut, secara tidak langsung mengajak kita berfikir bahwa tingkah ugal-ugalan oknum sopir angkot semakin hari semakin menjadi-jadi. Sebagai contoh, Angkot yang sering berhenti mendadak, bahkan tidak mengenakan lampu sen membuat pengemudi yang berada dibelakang harus dengan cepat – sigap menghindari Angkot tersebut, tidak sedikit diantara mereka lalu mengalami kecelakaan. Belum lagi tingkah sopir yang kerap menghentikan Angkot ditengah jalan, membuat ruas jalanan semakin sempit, yang pada akhirnya menggangu arus  lalu lintas di daerah tersebut.

Dalam usaha transportasi, termasuk usaha Angkot, Peraturan Perundang-undangan telah menyebutkan, mereka yang menjadi penumpang dalam tragedi naas Angkot yang terbalik dapat menuntut hak mereka dalam hal pengobatan, penyembuhan atas luka yang dialami, dan beberapa rehabilitasi yang wajar atas kecelakaan yang ditimpa dirinya. Pengusaha pemilik Angkot berkewajiban mengganti seluruh kerugian yang lahir dari kelalaian pegawainya (sopir Angkot) dalam menjalankan tugasnya. Hal tersebut secara tegas diatur dalam pasal 7F Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, “bahwa Pengusaha berkewajiban untuk: memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan

Dimana Peran Pemda?
Dalam sistem administrasi transportasi, negara sebagai penyelenggara ketertiban di jalanan terbagi menjadi 2. Yang pertama Dinas Perhubungan sebagai (regulator) dan Polantas sebagai (eksekutor). Kedua instansi, baik regulator maupun eksekutor memiliki andil masing-masing dalam menciptakan suasana jalanan yang kondusif. Namun sayangnya, baik regulator maupun eksekutor dinilai telah lalai dalam menjalankan tugasnya.

Sebagai regulator, Dinas Perhubungan tidak memberikan perhatian yang serius terhadap manajemen tan pembinaan usaha angkot. Secara statis, terlihat Dinas Perhubungan hanya membajak Angkot dengan rupiah sebagai syarat jika angkot ingin menambang, tanpa diimbangi dengan pengawasan dan pengayoman baik kepada pengusaha Angkot, sopir, dan penumpang, padahal isu Angkot yang beringas, bukan merupakan isu baru. Sedari dulu publik sama-sama mengetahui bagaimana buruknya etika mengemudi sopir angkot ketika berada di jalanan.

Disisi yang berbeda, Polantas sebagai eksekutor terlihat ogah-ogahan dalam menanggulangi fenomena ini. banyak angkot yang tanpa etika menyalahi aturan lalu lintas dan merugikan pengguna jalan lain. Keaktifan petugas juga tidak terlihat dalam mengisi jalan-jalan di jambi untuk mengawasi jika ada sopir Angkot yang nakal, atau mengawasi arus lalu lintas secara keseluruhan.

Sekilas, baik Polantas maupun Dinas Perhubungan nampaknya saling lempar bola panas, siapa yang semestinya bertanggung jawab dalam persoalan Angkot yang beringas ini. disatu sisi Polantas beranggapan bahwa Dinas Perhubungan sebagai regulator tidak becus dalam membuat kebijakan untuk mengurusi Angkot nakal tersebut. Dipihak lain Dinas Perhubungan malah mengira bahwa sebagai eksekutor, Polantas seharusnya lebih tegas dalam menindak segala perbuatan yang menyimpang dari okum sopir Angkot, sehingga permasalahan-permasalahan yang sama tidak terulang dikemudian hari.

Perbaikan Tata Kelola
Dinas Perhubungan seharusnya dapat lebih peka dalam menyikapi permasalahan yang ada, selain dengan komitmen menjalankan sistem yang sudah ada, Dinas Perhubungan dapat membuat regulasi baru berupa syarat operasi sopir angkot. Jadi sopir angkot yang diperbolehkan menambang adalah sopir angkot yang diizinkan oleh Dinas Perhubungan yang dibuktikan dengan sebuah dokumen resmi tanda bahwa sopir Angkot tersebut layak untuk mengemudi.

Dokumen inilah yang menjadi alat penjamin bagi pengusaha untuk memperkerjakan sopir angkot. Dokumen tersebut akan menjadi sebuah penangkal jika suatu saat sopir angkot yang diperkerjakannya bertindak brutal dan merugikan pengguna jalan. Dengan adanya dokumen tersebut, membuat pengusaha memiliki dasar hukum yang kuat untuk menuntut sopir yang telah merugikan baik dirinya, penumpang, maupun pengguna jalan lain.

Tentunya pelaksanaan ini harus diiringi dengan pengawasan dan penindakan terhadap kebijakan (beschiking) yang ditetapkan pemerintah. Seperti, Dinas Perhubungan  bisa saja mencabut izin operasi kelayakan sopir Angkot, atau mengganjar sanksi bagi pengusaha yang memperkerjakan sopir angkot yang tidak memiliki dokumen resmi kelayakan.

Peran serta masyarakat pun harus diikut sertakan. Dinas Perhubungan dapat membuka layanan pengaduan. Penumpang atau masyarakat yang menyaksikan Angkot ugal-ugalan dapat segera menghubungi Dinas Perhubungan atau Polantas untuk segera ditindak lanjuti.

Sebagai Polantas, seharusnya petugas dapat lebih tegas dalam menindak segala pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh sopir Angkot, mulai dari kebiasaan kebut-kebutan, berhenti mendadak, menghentikan Angkot ditengah jalan, atau melebihkan jumlah penumpang di atas standar yang ditetapkan peraturan perundang-undangan (over capacity).

Akhirnya tulisan diatas hanya akan menjadi tulisan, dan selamanya hanya akan menjadi wacana jika pemerintah tidak benar-benar serius dalam menanggapi kasus Angkot yang beringas ini. Mewujudkan suasana jalanan yang kondusif memang menjadi tanggung jawab Dinas Perhubungan dan Polantas, namun ikhtiar tersebut harus diiringi oleh pemahaman bersama, baik Sopir Angkot, Pengusaha, maupun penumpang. Wallahua’alam bisshawab

Minggu, 22 November 2015

Nir Proteksi Kaum Jalanan



Nir Proteksi Kaum Jalanan

OLEH SONY GUSTI ANASTA



Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa, fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. seharusnya jika aturan normatif ini diterapkan dengan baik, maka tidak akan lagi pernah nampak oleh kita, segerombolan cacat yang minta-minta dijalan, ataupun seabrek anak jalanan baik yang mengemis maupun mengamen.

Pasal ini merupakan aturan turunan dari ide bangsa Indonesia dalam menyelenggarakan ketertiban umum dan mensejahterakan kehidupan bangsa. Terlaksana atau tidak dalam hal administrasi, pasal ini secara statis harus diakui sebagai niat baik pemerintah dalam meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat dan menjaga ketertiban umum serta kenyamanan publik.

Namun apabila  kita lihat dalam kerangka penerapan, peng-aplikasi-an pasal ini masih jauh panggang dari api. Seharusnya telah menjadi hak bagi mereka yang tidak mampu dan hidup dibawah garis kemiskinan untuk mendapat penghidupan yang layak, tidak meminta-minta atau memaksa memperkejakan diri padahal mereka sendiri adalah orang yang berada dibawah pengampuan. Dalam tahap ini, negara dinilai telah lalai dalam mengurus salah satu sendi terbawah dari lapisan masyarakat.

Menurut saya, hal ini disebabkan karena nir komitmen pemerintah untuk mengamalkan isi dari konstitusi. Ketidak seriusan pemerintah dalam melindungi dan menjamin hak konstitusional kaum jalanan menyebabkan masalah baru yang lebih serius.

Operasi orang cacat yang menyisir lampu merah di setiap sudut kota Jambi tentu saja akan membuat frame sosial bahwa Kota Jambi adalah kota kumuh dengan jaminan sosial yang hampir ter-degradasi. Barang tentu, ibarat api menyambar semak, hal ini akan berimbas kepada sektor lain, baik itu dibidang hukum, sosial-budaya, ketertiban, dan keamanan.

Kemudian Lemahnya komitmen pemerintah dalam melindungi dan memberikan proteksi baik secara hukum maupun ekonomi kepada kaum jalanan juga akan membidik ketidak-teraturan serta ketidak-nyamanan publik. Sebagai contoh didaerah lampu merah pasar. Kita pasti akan dihadapkan kepada segerombolan anak dibawah umur (tak layak kerja) mengemis kendati dalih yang ditawarkan adalah jasa dalam wujud musik (mengamen). Pengendara angkutan pribadi pasti akan merasa tidak nyaman dengan semua itu, selain dapat mereduksi tingkat keamanan, juga akan memperlambat arus lalu lintas. ditambah lagi si anak tersebut tidak segan-segan untuk menggoreskan bodi mobil dengan uang logam apabila tidak diberi bayaran.

Yang dikhawatirkan oleh banyak pihak adalah ketakutan beragam jikalau hal ini menjadi kebiasaan, dan akan diterima secara umum. Nantinya setiap pengemudi kendaraan akan memberikan duit logam kepada setiap mereka yang meminta secara terpaksa, karena takut mobilnya akan digores. menjadi mandul kebaikannya dimata Allah, karena perbuatan mulianya dikuliti dengan maksud untuk melindungi mobil sendiri.

Setiap sektor tempat sumber duit, baik itu lampu merah maupun komplek penjualan yang ramai akan selalu dijadikan pilihan utama dalam menjalankan operasi. hitung-hitungan kasar pendapatannya akan sangat besar jika bingkai pikir masyarakat untuk selalu memberi kepada orang yang meminta-minta sudah menjadi hukum kebiasaan. Masyarakat akan senantiasa memberi kaum jalanan secara sukarela karena ada gengsi dan sanksi sosial apabila tidak memberi. Yang disayangkan, ketakutan tersebut bukanlah didasarkan kepada perintah agama, melainkan ketakutan dikucilkan dari pergaulan publik. Disisi yang berbeda, hal ini juga akan memberikan pelajaran yang tidak baik kepada kaum jalanan untuk tetap meminta-minta.

Selain itu, banyaknya pengemis dan anak jalanan di kawasan padat dan ramai penduduk menjadi sebuah indikasi dari sedikitnya lapangan pekerjaan yang disediakan pemerintah. Oleh karena itu, banyak orang yang menghalalkan berbagai cara untuk dapat bertahan hidup, termasuk dengan mengamen dan mengemis. Lebih-lebih hal ini juga akan berpotensi menciptakan lapangan usaha yang inkonstitusional. Semisal timbulnya fenomena mucikari mata pencarian jalanan yang memperkerjakan orang cacat dan anak dibawah umur.

Manula yang dikirim ke beberapa sektor untuk mengemis, anak-anak yang disistribusikan untuk mengamen dan meminta-minta di komplek ramai pembeli, semua itu adalah pelanggaran hukum. Selain mereka adalah orang yang berada dibawah pengampuan (tidak dapat melakukan perbuatan hukum) menurut BW (burgelijk weetbook), mereka juga merupakan orang-orang yang diharamkan untuk berkerja menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

 Jika benar mereka adalah orang miskin, hal ini masih bisa dimaklumi. Namun jika mereka yang mengemis dan meminta adalah orang yang pura-pura bagaimana? Pasalnya jika kita amati pemandangan ancol Kota Jambi sedikit lebih sensitif, maka kita akan mendapatkan pemandangan beberapa dari mereka (kaum jalanan) tampil anggun menawan dengan baju bagus dan rambut poni produksi salon.

Walaupun disatu sisi dapat memberikan kesempatan kepada mereka untuk menopang perekonomian secara mandiri, tapi disisi lain kita juga berbicara soal bagaimana komitmen kita meneggakkan aturan hukum yang ada. Sekali undang-undang bilang tidak boleh mempekerjakan anak-anak dan manula, maka sampai kapanpun aturan ini harus ditegakkan kendati keadaan dan atmosfir sosial menghendaki yang berbeda. karena sebagai konsekuensinya pemerintah telah memberikan jaminan untuk memelihara mereka.

Menjadi dilema dimana masalah ini berada dalam lingkaran setan, kaum jalanan yang berjuang untuk bertahan hidup, sedang pemerintah harus menegakkan aturan hukum yang ada dan menciptakan ketertiban sosial, sedangkan pemerintah sendiri tidak benar-benar serius untuk memberikan pengayoman dan perlindungan serta jaminan hidup yang layak kepada kaum jalanan.

Sekali lagi, menurut saya hal ini terjadi karena tidak adanya komitmen kuat dari pemerintah dalam menjalankan amanat Konstitusi, padahal dalam pengangkatannya setiap dari eleman birokrasi telah bersumpah untuk menjalankan tugasnya secara sungguh-sungguh sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Terakhir, dukungan masyarakat untuk ikut membantu sosialisasi dari pemerintah dengan memberikan pengayoman dan teladan yang baik akan lebih bermanfaat ketimbang hanya memberikan selogam uang untuk menyelamatkan mobil dari gerutu tangan jahil si kaum jalanan.