Selasa, 21 Februari 2017

LBH Jakarta Gelar Diskusi Buku Berkelahi Melawan Korupsi

Alghifari Aqsa, Direktur LBH Jakarta, saat diskusi bedah buku Bambang
Widjojanto,Berkelahi Melawan Korupsi

 LBH Jakarta menggelar acara diskusi dan bedah buku karya Bambang Widjojanto (Bewe) yang berjudul “Berkelahi Melawan Korupsi, Tunaikan Janji, Wakafkan Diri” selasa (7/2/2017) di lantai 1 Gedung LBH Jakarta. Hadir sebagai panelis, Emerson Yuntho, Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Abdul Fickar Hadjar,  Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti, dan  Siti Rakhma Mary, Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI, serta Alghiffary Aqsa, Direktur LBH Jakarta. Arif Maulana, Pengacara Publik LBH Jakarta, bertindak sebagai moderator dalam acara yang dihadiri oleh puluhan peserta dari berbagai Organisasi Masyarakat Sipil, Klien dan Paralegal LBH Jakarta.

Buku Berkelahi Melawan Korupsi tersebut merupakan buku yang ditujukan Bewe sebagai bagian dari pertanggungjawaban dirinya kepada publik selama menjabat sebagai komisioner KPK 2011-2015. Mayoritas dari isinya memang sudah diaktualisasikan dan menjadi bagian dari program KPK, namun yang menarik dalam buku ini adalah Bewe juga ikut memasukkan informasi-informasi yang belum diketahui oleh publik, mengapa suatu program diluncurkan dan apa saja hal mendasar yang menjadi kepentingan dari program serta sebagian lika-liku dalam pelaksanaanya, termasuk dalam buku ini juga menjelaskan bagaimana investigasi dan penyidikan dilakukan serta apa saja dan bagaimana cara untuk menghadapi ancaman dan tantangan.

Melalui buku ini, Bewe juga menceritakan perjalanan kasus penting yang dipilihnya untuk ditulis dan dianalisisnya, harapannya masyarakat bisa belajar dan berefleksi dari kasus-kasus korupsi yang terjadi, misalnya: Belajar dari Dinasti Banten, Bersihkan yang kotor di simulator, dan kisah sukses silent operation KPK dalam mengejar buronan korupsi yang minggat dari Indonesia, hidup dan nyman menetap di china selama bertahun-tahun. Bewe juga  turut menuliskan kisah-kisah ancaman dan gempuran dari koruptor, seperti misalnya, KPK pernah diserang oleh kelompok yang tidak dikenal, ada juga fitnah kepada KPK dari kelompok yang ingin melemahkan KPK, atau belum lagi ancaman dan percobaan mencelakakan Penyidik KPK, seperti yang pernah terjadi dengan Novel Baswedan.

Buku ini adalah satu dari tiga buku yang berhasil disusun oleh BeWe selama kurang lebih satu tahun aktifitasnya ketika berada di Jepang sejak Maret 2016 yang lalu. Buku ini ditulis  untuk berbagi pengalaman, pemikiran dan refleksinya dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Dua judul buku yang lain masing-masing berjudul “Berantas Korupsi Reformasi, Pemikiran Kritis Bewe” dan “BeWe Menggugat, Kriminalisasi Membungkan Suara Rakyat”. Buku terakhir penyusunannya melibatkan  teman-teman elemen gerakan masyarakat sipil salah satunya adalah Pengacara Publik LBH Jakarta.

Dalam pemberantasan korupsi bersama KPK, BeWe menggagas pendekatan budaya pop, maksudnya adalah Bewe sadar bahwa pemberantasan korupsi tidak akan berhasil jika hanya melibatkan akademisi, dosen, para peneliti, dan para penegak hukum semata, pemberantasan korupsi juga harus melibatkan anak-anak muda dan dengan cara yang lebih popular yang melibatkan masyarakat banyak.

Meskipun tidak hadir langsung dalam acara diskusi dan bedah bukunya, dengan menggunakan jaringan media Skype, Bewe dari Jepang mengutarakan alasannya mengapa ia menyusun buku ini, alasan yang pertama adalah buku tersebut ditujukan sebagai bukti pengabdian dan warisan ilmu dan pengalaman Bewe kepada teman-teman di KPK dan masyarakat sipil yang selama ini mendukung ikhtiar pemberantasan korupsi. Yang kedua, menurut Bewe, buku ini menjadi sangat relevan karena problem  korupsi yang  kian membesar dan strategi korupsi  yang semakin canggih, buku ini bisa  menjadisalah satu refleksi bahwa upaya pemberantasan korupsi harus taktis strategis, terkonsolidasi, dan melibatkan publik secara keseluruhan. Yang ketiga, buku ini tidak hanya sekadar hanya merumuskan masalah saja, namun juga memiliki ide dan gagasan pemberantasan korupsi, di dalamnya begitu banyak analisis Bewe tentang cara dan strategi untuk mendorong upaya pemberantasan korupsi.Yang terakhir, di dalam buku ini juga ada beberapa bagian informasi yang saat ini belum beredar di publik, di dalamnya terdapat kisah-kisah BeweKPK secara keseluruhan dalam melakukan pemberantasan korupsi. Dalam teleconference tersebut, Bewe mengingatkan bahwa pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan dengan kerja gila,“jika orang tersebut tidak sepenuh hati, maka dia tidak akan bisa memberantas korupsi.” Ujar Bewe.

Abdul Fickar sebagai Panelis menganggap tindakan Bewe ketika menyebutkan nama dalam buku ini agak sedikit resisten, namun seyogyanya dalam iklim negara demokrasi, bantahan, balasan, serta klarifikasi dapat dilakukan dengan membuat buku juga, semacam antithesis dari penyataan Bewe. Menurutnya, Bewe tidak dapat dituntut secara pidana, melarang orang membuat buku berarti melanggar hak orang tersebut dalam mengeluarkan pendapat “dan itu adalah gejala awal dari rezim otoritarian, kalau rezim demokrasi, dia tidak mungkin melakukan itu.”Ujar Abdul Fickar.

Selain itu, ia mengkritisi kenapa terminology ‘berkelahi’ yang dipilih dalam judul buku tersebut, kenapa bukan memberantas? Abdul Fickar melanjutkan berkelahi berarti menandakan adanya bargaining position yang setara, atau adanya kedudukan yang sama-sama besar, sama-sama tinggi antara pemerintah dan masyarakat sipil dengan korupsi itu sendiri. Secara implisit, ia menangkap bahwa Bewe hendak menyampaikan bahwa perkembangan teknologi korupsi semakin pesat, oleh sebab itu upaya dan usaha pemberantasan korupsi pun harus dilakukan dengan upaya yang seoptimal-optimalnya.

Emerson Yuntho mengatakan bahwa Bewe itu tipe aktifis multi talenta, selain aktifis, pembela HAM, lawyer, dia juga  pemikir dan penulis. Terkait dengan itu, Emerson Yuntho mengatakan bahwa buku Bewe sangat baik, dan menurutnya Bewe hendak memperingatkan kepada kita semua bahwa pemberantasan korupsi pasti akan terus menemukan perlawanan dari orang yang tidak senang dengan kerja-kerja KPK. Salah satu perlawanan terhadap KPK adalah kriminalisasi kepada penyidik dan komisioner KPK. perlawanan lain yang kerap dilupakan oleh gerakan masyarakat sipil adalah politik pelemahan KPK lewat legislasi di parlemen serta Judicial Review di Mahkamah Konstiusi, sebagai contoh, Emerson menyebut hilangnya kata ‘dapat’ dalam pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tipikor.

Siti Rakhma Mary dari YLBHI mengatakan, dalam penyusunannya Bewe sangat berbeda dengan penulis-penulis buku anti korupsi lainnya, “dalam buku ini tergambar sisi-sisi Bewe yang terangkum dalam pandangan dan kisah-kisahnya, sehingga kita menjadi tahu siapa itu Bewe sebenarnya, dan bagaimana pandangan, pemikiran, serta gagasannya terhadap upaya pemberantasan korupsi. BeWe adalah role model aktifis yang tidak hanya bisa mengkonsep dan mengaktualisasikannya, namun juga merefleksikan aksinya dengan tulisan. Aktifis yang mampu menuliskan gagasan dan merefleksikan pengalamannya itu luar biasa” Ujar Rakhma yang juga pernah menjadi Direktur LBH Semarang tersebut.

Menurutnya, Bewe tidak hanya menuliskan apa yang ada akan tetapi, Bewe  juga ikut menganalisis apa yang sedang terjadi dan apa serta bagaimana yang akan terjadi di waktu yang akan datang. Selain itu, Rakhma juga mengapresiasi Bewe yang menuliskan sejarah lembaga anti korupsi di Indonesia dan berbagai kisah serta modus dalam setiap upaya pelemahannya berikut degan data-data yang sangat lengkap. Terkai titu, Rakhma berkata “Semua akan tahu sejarah bahwa upaya pelemahan lembaga anti korupsi terjadi sejak presiden-presiden sebelumnya.” Siti Rakhma juga baru mengetahui lewat buku ini bahwa persentase kemenangan KPK adalah 100 persen, terbaik di antara lembaga anti korupsi manapun di dunia.Ujar Rakhma di sela-sela diskusi tersebut.

Di awal diskusi, Alghifari Aqsa menyampaikan kebanggaannya,”suatu kehormatan bagi LBH Jakarta dapat menyelenggarakan soft lauching dari buku ini, terimakasih atas kedatangan paralegal, jaringan dan NGO lain, ada banyak pembelajaran yang dapat diambil dari buku ini, bahwa buku ini merupakan komitmen tanggung jawab publik dari seorang advokat, pengacara publik, akademisi, dan mantan komisioner KPK.”

Dalam penutupannya.Alghifari Aqsa mengecam tindakan pelemahan terhadap KPK, baik secara politik maupun secara fisik. Secara fisik, Ia ingat betul ketika mobil KPK disiram oleh air keras oleh penyerang yang tidak dikenal, atau cerita pengalaman penyidik KPK yang ditodong dengan pistol, atau cerita soal Novel Baswedan yang pernah ditabrak  sebannyak 2 kali, dan ini tidak terpublish ke media.

Secara politik dan wibawa kelembagaan, Algif menjelaskan jangan sampai upaya fitnah, atau berita hoax  menjelekkan citra, serta menjauhkan KPK dari publik atau masyarakat luas, karena secara tidak langsung, itu bisa melemahkan fungsi KPK. Ia juga mengkritik tuduhan-tuduhan dari orang yang tidak memiliki sense anti korupsi yang mengatakan upaya Operasi Tangkap Tangan yang dilakukan KPK adalah tindakan politik bukan upaya penegakan terhadap hukum

Sony Gusti Anasta