Alghifari Aqsa, Direktur LBH Jakarta, saat diskusi bedah buku Bambang
Widjojanto,Berkelahi Melawan Korupsi
|
LBH Jakarta menggelar acara diskusi dan bedah buku
karya Bambang Widjojanto (Bewe) yang berjudul “Berkelahi Melawan Korupsi,
Tunaikan Janji, Wakafkan Diri” selasa (7/2/2017) di lantai 1 Gedung LBH
Jakarta. Hadir sebagai panelis, Emerson Yuntho, Peneliti dari Indonesia
Corruption Watch (ICW), Abdul Fickar Hadjar,
Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti, dan Siti Rakhma Mary, Ketua Bidang Manajemen
Pengetahuan YLBHI, serta Alghiffary Aqsa, Direktur LBH Jakarta. Arif Maulana,
Pengacara Publik LBH Jakarta, bertindak sebagai moderator dalam acara yang
dihadiri oleh puluhan peserta dari berbagai Organisasi Masyarakat Sipil, Klien
dan Paralegal LBH Jakarta.
Buku Berkelahi Melawan Korupsi tersebut merupakan buku
yang ditujukan Bewe sebagai bagian dari pertanggungjawaban dirinya kepada
publik selama menjabat sebagai komisioner KPK 2011-2015. Mayoritas dari isinya
memang sudah diaktualisasikan dan menjadi bagian dari program KPK, namun yang
menarik dalam buku ini adalah Bewe juga ikut memasukkan informasi-informasi
yang belum diketahui oleh publik, mengapa suatu program diluncurkan dan apa
saja hal mendasar yang menjadi kepentingan dari program serta sebagian
lika-liku dalam pelaksanaanya, termasuk dalam buku ini juga menjelaskan
bagaimana investigasi dan penyidikan dilakukan serta apa saja dan bagaimana
cara untuk menghadapi ancaman dan tantangan.
Melalui buku ini, Bewe juga menceritakan perjalanan
kasus penting yang dipilihnya untuk ditulis dan dianalisisnya, harapannya
masyarakat bisa belajar dan berefleksi dari kasus-kasus korupsi yang terjadi,
misalnya: Belajar dari Dinasti Banten, Bersihkan yang kotor di simulator, dan
kisah sukses silent operation KPK
dalam mengejar buronan korupsi yang minggat dari Indonesia, hidup dan nyman
menetap di china selama bertahun-tahun. Bewe juga turut menuliskan kisah-kisah ancaman dan
gempuran dari koruptor, seperti misalnya, KPK pernah diserang oleh kelompok
yang tidak dikenal, ada juga fitnah kepada KPK dari kelompok yang ingin
melemahkan KPK, atau belum lagi ancaman dan percobaan mencelakakan Penyidik
KPK, seperti yang pernah terjadi dengan Novel Baswedan.
Buku ini adalah satu dari tiga buku yang berhasil
disusun oleh BeWe selama kurang lebih satu tahun aktifitasnya ketika berada di
Jepang sejak Maret 2016 yang lalu. Buku ini ditulis untuk berbagi pengalaman, pemikiran dan
refleksinya dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Dua judul buku yang
lain masing-masing berjudul “Berantas Korupsi Reformasi, Pemikiran Kritis Bewe”
dan “BeWe Menggugat, Kriminalisasi Membungkan Suara Rakyat”. Buku terakhir penyusunannya
melibatkan teman-teman elemen gerakan
masyarakat sipil salah satunya adalah Pengacara Publik LBH Jakarta.
Dalam pemberantasan korupsi bersama KPK, BeWe menggagas
pendekatan budaya pop, maksudnya adalah Bewe sadar bahwa pemberantasan korupsi
tidak akan berhasil jika hanya melibatkan akademisi, dosen, para peneliti, dan
para penegak hukum semata, pemberantasan korupsi juga harus melibatkan anak-anak
muda dan dengan cara yang lebih popular yang melibatkan masyarakat banyak.
Meskipun tidak hadir langsung dalam acara diskusi dan
bedah bukunya, dengan menggunakan jaringan media Skype, Bewe dari Jepang
mengutarakan alasannya mengapa ia menyusun buku ini, alasan yang pertama adalah
buku tersebut ditujukan sebagai bukti pengabdian dan warisan ilmu dan
pengalaman Bewe kepada teman-teman di KPK dan masyarakat sipil yang selama ini
mendukung ikhtiar pemberantasan korupsi. Yang kedua, menurut Bewe, buku ini
menjadi sangat relevan karena problem korupsi yang kian membesar dan strategi korupsi yang semakin canggih, buku ini bisa menjadisalah satu refleksi bahwa upaya
pemberantasan korupsi harus taktis strategis,
terkonsolidasi, dan melibatkan publik secara keseluruhan. Yang ketiga, buku ini
tidak hanya sekadar hanya merumuskan masalah saja, namun juga memiliki ide dan
gagasan pemberantasan korupsi, di dalamnya begitu banyak analisis Bewe tentang cara
dan strategi untuk mendorong upaya pemberantasan korupsi.Yang terakhir, di
dalam buku ini juga ada beberapa bagian informasi yang saat ini belum beredar
di publik, di dalamnya terdapat kisah-kisah BeweKPK secara keseluruhan dalam
melakukan pemberantasan korupsi. Dalam teleconference
tersebut, Bewe mengingatkan bahwa pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan
dengan kerja gila,“jika orang tersebut tidak sepenuh hati, maka dia tidak akan
bisa memberantas korupsi.” Ujar Bewe.
Abdul Fickar sebagai Panelis menganggap tindakan Bewe
ketika menyebutkan nama dalam buku ini agak sedikit resisten, namun seyogyanya
dalam iklim negara demokrasi, bantahan, balasan, serta klarifikasi dapat dilakukan
dengan membuat buku juga, semacam antithesis dari penyataan Bewe. Menurutnya, Bewe
tidak dapat dituntut secara pidana, melarang orang membuat buku berarti melanggar
hak orang tersebut dalam mengeluarkan pendapat “dan itu adalah gejala awal dari rezim otoritarian, kalau rezim
demokrasi, dia tidak mungkin melakukan itu.”Ujar Abdul Fickar.
Selain itu, ia mengkritisi kenapa terminology ‘berkelahi’ yang dipilih dalam judul buku
tersebut, kenapa bukan memberantas? Abdul Fickar melanjutkan berkelahi berarti
menandakan adanya bargaining position
yang setara, atau adanya kedudukan yang sama-sama besar, sama-sama tinggi
antara pemerintah dan masyarakat sipil dengan korupsi itu sendiri. Secara
implisit, ia menangkap bahwa Bewe hendak menyampaikan bahwa perkembangan
teknologi korupsi semakin pesat, oleh sebab itu upaya dan usaha pemberantasan
korupsi pun harus dilakukan dengan upaya yang seoptimal-optimalnya.
Emerson Yuntho mengatakan bahwa Bewe itu tipe aktifis
multi talenta, selain aktifis, pembela HAM, lawyer,
dia juga pemikir dan penulis. Terkait
dengan itu, Emerson Yuntho mengatakan bahwa buku Bewe sangat baik, dan
menurutnya Bewe hendak memperingatkan kepada kita semua bahwa pemberantasan
korupsi pasti akan terus menemukan perlawanan dari orang yang tidak senang
dengan kerja-kerja KPK. Salah satu perlawanan terhadap KPK adalah kriminalisasi
kepada penyidik dan komisioner KPK. perlawanan lain yang kerap dilupakan oleh
gerakan masyarakat sipil adalah politik pelemahan KPK lewat legislasi di
parlemen serta Judicial Review di Mahkamah
Konstiusi, sebagai contoh, Emerson menyebut hilangnya kata ‘dapat’ dalam pasal
2 dan 3 Undang-Undang Tipikor.
Siti Rakhma Mary dari YLBHI mengatakan, dalam
penyusunannya Bewe sangat berbeda dengan penulis-penulis buku anti korupsi lainnya,
“dalam buku ini tergambar sisi-sisi Bewe
yang terangkum dalam pandangan dan kisah-kisahnya, sehingga kita menjadi tahu
siapa itu Bewe sebenarnya, dan bagaimana pandangan, pemikiran, serta gagasannya
terhadap upaya pemberantasan korupsi. BeWe adalah role model aktifis
yang tidak hanya bisa mengkonsep dan mengaktualisasikannya, namun juga
merefleksikan aksinya dengan tulisan. Aktifis yang mampu menuliskan gagasan dan
merefleksikan pengalamannya itu luar biasa” Ujar Rakhma yang juga pernah
menjadi Direktur LBH Semarang tersebut.
Menurutnya, Bewe tidak hanya menuliskan apa yang ada
akan tetapi, Bewe juga ikut menganalisis
apa yang sedang terjadi dan apa serta bagaimana yang akan terjadi di waktu yang
akan datang. Selain itu, Rakhma juga mengapresiasi Bewe yang menuliskan sejarah
lembaga anti korupsi di Indonesia dan berbagai kisah serta modus dalam setiap
upaya pelemahannya berikut degan data-data yang sangat lengkap. Terkai titu,
Rakhma berkata “Semua akan tahu sejarah
bahwa upaya pelemahan lembaga anti korupsi terjadi sejak presiden-presiden
sebelumnya.” Siti Rakhma juga baru mengetahui lewat buku ini bahwa
persentase kemenangan KPK adalah 100 persen, terbaik di antara lembaga anti
korupsi manapun di dunia.Ujar Rakhma di sela-sela diskusi tersebut.
Di awal diskusi, Alghifari Aqsa menyampaikan kebanggaannya,”suatu kehormatan bagi LBH Jakarta dapat
menyelenggarakan soft lauching dari buku ini, terimakasih atas kedatangan
paralegal, jaringan dan NGO lain, ada banyak pembelajaran yang dapat diambil
dari buku ini, bahwa buku ini merupakan komitmen tanggung jawab publik dari
seorang advokat, pengacara publik, akademisi, dan mantan komisioner KPK.”
Dalam penutupannya.Alghifari Aqsa mengecam tindakan
pelemahan terhadap KPK, baik secara politik maupun secara fisik. Secara fisik,
Ia ingat betul ketika mobil KPK disiram oleh air keras oleh penyerang yang
tidak dikenal, atau cerita pengalaman penyidik KPK yang ditodong dengan pistol,
atau cerita soal Novel Baswedan yang pernah ditabrak sebannyak 2 kali, dan ini tidak terpublish ke
media.
Secara politik dan wibawa kelembagaan, Algif
menjelaskan jangan sampai upaya fitnah, atau berita hoax menjelekkan citra, serta menjauhkan KPK dari
publik atau masyarakat luas, karena secara tidak langsung, itu bisa melemahkan
fungsi KPK. Ia juga mengkritik tuduhan-tuduhan dari orang yang tidak memiliki sense anti korupsi yang mengatakan upaya
Operasi Tangkap Tangan yang dilakukan KPK adalah tindakan politik bukan upaya
penegakan terhadap hukum
Sony Gusti Anasta